Penetapan lag optimal menggunakan nilai dari likelihood ratio LR, final prediction error
FPE, Akaike information criterion AIC, Schwartz information criterion
SC, dan Hannan-Quin criterion HQ. Besarnya lag yang terpilih adalah lag yang terpendek. Tabel 13 menunjukkan bahwa semua kriteria yang ada
memberikan hasil lag terpendek untuk Amerika Serikat maupun Jepang yaitu lag pertama. Oleh karena itu, lag yang dipilih untuk Amerika Serikat dan Jepang
adalah lag pertama. Masing-masing lag ini akan digunakan pada persamaan VAR sebagai lag optimal.
5.3 Pengujian Stabilitas VAR
Langkah pengujian yang selanjutnya adalah pengujian stabilitas VAR. VAR yang dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan harus stabil agar
impulse response function IRF dan forecasting error variance decomposition
FEVD menjadi valid. Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar- akar dari fungsi polinomial atau dikenal dengan roots of characteristic
polinomial . Jika semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada di dalam unit
circle atau jika nilai absolutnya 1 maka model VAR tersebut dianggap stabil.
Hasil pengujian yang ditunjukkan pada Tabel 14 menunjukkan bahwa persamaan VAR untuk Amerika Serikat dan Jepang memiliki nilai modulus kurang dari satu,
sehingga dapat disimpulkan bahwa model VAR yang dibentuk sudah stabil pada lag
optimalnya. Tabel 14 Hasil Pengujian Stabilitas VAR
Modulus Amerika Serikat Modulus Jepang
0,924258 0,830514
0,616262 0,793284
0,526992 0,485868
0,526992 0,342030
0,041701 0,151539
5.4 Analisis Kointegrasi
Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner terkointegrasi atau tidak. Konsep kointegrasi dikemukakan
oleh Engle dan Granger 1987 sebagai kombinasi linear dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menghasilkan variabel yang stasioner.
Kombinasi linear ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara
variabel. Jika trace statisticcritical value, maka persamaan tersebut terkointegrasi. Dengan demikian H
= non-kointegrasi dengan hipotesis alternatifnya H
1
= kointegrasi. Jika trace statistic critical value, maka kita tolak H
atau terima H
1
yang artinya terjadi kointegrasi. Setelah jumlah persamaan yang terkointegrasi telah diketahui maka tahapan analisis dilanjutkan dengan analisis
Vector Error Correction Model VECM.
Persamaan kointegrasi dapat memiliki intercepts dan deterministic trends
. Terdapat lima asumsi deterministic trend dalam uji kointegrasi untuk menentukan pilihan trend yang digunakan bisa dilihat dari hasil summary, serta
pilihan lag yang digunakan adalah lag optimal. Pemilihan asumsi dengan summary
disesuaikan berdasarkan kriteria informasi AIC dan SC, dan kemudian dipilih salah satu. Uji kointegrasi dilakukan melalui Johansen Cointegration Test.
Tabel 15 Analisis Kointegrasi
Hipotesis Trace Statistics
Amerika Serikat Jepang
Rank = 0
97,15795 69,06128
Rank = 1
54,31239 35,62992
Rank = 2 33,36699
17,72856 Rank = 3
13,56947 2,586001
Rank = 4 0,897211
0,240608
Cetak tebal menunjukkan Trace Statistics5 critical value dan terjadi kointegrasi
Hasil uji kointegrasi menunjukkan bahwa terdapat kointegrasi antar variabel, artinya secara multivariate terdapat persamaan linier jangka panjang
yang dikandung dalam model. Tabel 15 menunjukkan bahwa ekspor karet alam ke Amerika Serikat dengan nilai trace statistic terdapat dua rank kointegrasi dan
ekspor karet alam ke Jepang terdapat satu rank kointegrasi pada taraf 5 persen. Jumlah rank ini digunakan sebagai model koreksi kesalahan yang akan
dimasukkan ke dalam model VAR menjadi VECM.
5.5 Estimasi
Vector Error Correction Model 5.5.1
Hubungan Persamaan Jangka Pendek
Dalam estimasi VECM ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat, yang menjadi variabel dependen adalah volume ekspor karet alam Indonesia ke
Amerika Serikat KAS sedangkan variabel independennya adalah volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat KAS pada lag 1, harga ekspor karet
alam Indonesia ke Amerika Serikat PAS pada lag 1, nilai tukar riil rupiah terhadap dolar AS ERIAS pada lag 1, harga internasional karet alam PINTL
pada lag 1, harga karet alam negara kompetitor PTHAI pada lag 1 dan GDP riil Amerika Serikat YIAS.
Hasil estimasi VECM jangka pendek pada Tabel 16 menunjukkan hubungan persamaan jangka pendek antara ekspor karet alam
Indonesia ke Amerika Serikat dengan variabel-variabel independen. Tabel 16 Hasil Estimasi VECM Jangka Pendek Ekspor Karet Alam Indonesia ke
Amerika Serikat dan Jepang
+ , -
+ , -
. ,
0 11 0 0 11
, 0 11
0 11 -.
0 11 0 11
, - 0 11
2 - 0 11
, -
0 11 -
0 11 3
4 4
signifikan pada taraf nyata 5 persen
Variabel yang berpengaruh signifikan pada ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dalam jangka pendek adalah volume ekspor itu sendiri pada lag 1
dan harga ekspor pada lag 1. Volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat signifikan mempengaruhi ekspor karet alam itu sendiri pada lag 1 dengan
taraf nyata 5 persen. Hal ini berarti setiap terjadi kenaikan 1 persen volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat pada 1 triwulan sebelumnya akan
menurunkan volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat sebesar 0,3 persen pada triwulan saat ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa stok ekspor karet
alam ke Amerika Serikat menentukan ekspor karet alam di triwulan berikutnya. Saat stok karet alam yang diekspor ke Amerika Serikat pada 1 triwulan
sebelumnya masih ada karena adanya peningkatan volume ekspor, maka pada triwulan ini volume ekspor karet alam ke Amerika Serikat akan turun sebesar 0,3
persen. Begitu pula setiap terjadi kenaikan sebesar 1 persen harga ekspor karet
alam Indonesia ke Amerika Serikat pada lag 1 menurunkan volume ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat sebesar 0,69 persen. Kenaikan harga ekspor
karet alam pada 1 triwulan sebelumnya berdampak pada menurunnya ekspor karet alam pada triwulan saat ini karena turunnya penawaran impor excess demand
akibat meningkatnya harga ekspor karet alam Indonesia. Hal ini sejalan dengan teori dalam Mankiw 2007 yang menyatakan bahwa disaat harga barang
domestik relatif lebih mahal dibanding barang-barang luar negeri, maka ekspor neto akan menurun. Variabel nilai tukar riil pada lag 1, harga karet alam
internasional pada lag 1, harga karet alam negara kompetitor pada lag 1 dan GDP riil tidak memengaruhi ekspor karet alam ke Amerika Serikat dalam jangka
pendek. Dalam estimasi VECM jangka pendek ekspor karet alam Indonesia ke
Jepang, yang menjadi variabel dependen adalah volume ekspor karet alam Indonesia ke Jepang KJ dan variabel independen adalah volume ekspor karet
alam Indonesia ke Jepang KJ pada lag 1, harga ekspor karet alam Indonesia ke Jepang PJ pada lag 1, nilai tukar riil rupiah terhadap yen Jepang ERIJ pada lag
1, harga internasional karet alam PINTL pada lag 1, harga karet alam negara kompetitor PTHAI pada lag 1 dan GDP riil Jepang YIJ.
Sama halnya dengan ekspor karet alam ke Amerika Serikat, Tabel 16 juga menunjukkan bahwa volume
ekspor karet alam Indonesia ke Jepang dipengaruhi secara signifikan oleh variabel volume ekspor karet alam Indonesia ke Jepang pada lag 1. Setiap kenaikan 1
persen volume ekspor pada lag 1 akan menurunkan volume ekspor karet alam itu
sendiri sebesar 0,36 persen. Hal ini berarti setiap terjadi kenaikan volume ekspor karet alam ke Jepang 1 triwulan sebelumnya akan menurunkan volume ekspor
karet alam ke Jepang pada triwulan ini. Variabel harga ekspor karet alam Indonesia ke Jepang pada lag 1, nilai tukar riil pada lag 1, harga internasional
karet alam pada lag 1, harga karet alam negara kompetitor pada lag 1 dan GDP riil Jepang tidak mempengaruhi volume ekspor karet alam Indonesia ke Jepang
pada taraf nyata 5 persen. Variabel nilai tukar riil tidak berpengaruh signifikan pada perdagangan
karet alam ke Amerika Serikat maupun ke Jepang dalam jangka pendek. Pertumbuhan ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat dari triwulan 1
tahun 1996 sampai dengan triwulan 4 tahun 2010 0,02 persen yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan nilai tukar riilnya 0,01 persen membuat penawaran
impor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat tetap tinggi, yang berarti terjadi excess demand
. Importir karet alam Amerika Serikat tetap akan mengimpor karet alam dari Indonesia, tanpa memperhitungkan terjadinya apresiasi maupun
depresiasi yang terjadi. Demikian halnya dalam perdagangan karet alam Indonesia ke Jepang.
Pertumbuhan ekspor karet alam ke Jepang rata-rata 0,05 persen tiap triwulannya dari tahun 1996 hingga 2010, lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan nilai
tukar riilnya yang hanya sebesar 0,01 persen per triwulan. Kondisi ini juga akan membuat permintaan karet alam Jepang dari Indonesia tetap tinggi, tanpa melihat
terjadinya depresiasi maupun apresiasi nilai tukar rupiah terhadap yen Jepang. Dalam jangka pendek, perdagangan karet alam Indonesia ke Amerika Serikat
lebih dipengaruhi oleh volume ekspor karet alam itu sendiri pada lag 1 dan harga ekspor karet alam pada lag 1. Perdagangan karet alam Indonesia ke Jepang juga
tidak dipengaruhi oleh variabel nilai tukar riil, namun lebih dipengaruhi oleh volume ekspor karet alam itu sendiri pada lag 1. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Tety 2002 yang menyatakan bahwa penawaran ekspor karet alam ke Amerika Serikat dan Jepang tidak dipengaruhi
perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan pajak ekspor.
5.5.2 Hubungan Persamaan Jangka Panjang
Hasil estimasi jangka panjang pada Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai tukar riil ERIAS pada lag 1, harga internasional PINTL pada lag 1, dan harga
negara kompetitor PTHAI pada lag 1 berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5 persen pada ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat. Dalam kondisi
jangka panjang, setiap terjadi perubahan sebesar 1 persen nilai tukar riil rupiah terhadap dolar AS akan menurunkan volume ekspor karet alam Indonesia ke
Amerika Serikat sebesar 1,7 persen. Perubahan dalam nilai tukar riil bisa berupa apresiasi maupun depresiasi. Peningkatan sebesar 1 persen nilai tukar riil rupiah
terhadap dolar AS, atau biasa disebut dengan depresiasi nilai tukar riil, idealnya diimbangi dengan peningkatan ekspor karet alam. Hasil estimasi jangka panjang
ekspor karet alam Indonesia ke Amerika Serikat ini justru bertentangan dengan teori Tweeten 1992, dimana depresiasi nilai tukar riil pada 1 triwulan
sebelumnya akan menurunkan volume ekspor karet alam ke Amerika Serikat pada triwulan saat ini. Tweeten 1992 menyatakan bahwa saat nilai tukar negara
pengekspor terdepresiasi, maka excess demand akan bergerak ke kanan sehingga harga komoditi yang diekspor meningkat di pasar ekspor, sehingga negara
pengekspor akan meningkatkan volume ekspornya. Pada perdagangan karet alam ke Jepang, nilai tukar riil berhubungan negatif juga dengan ekspor karet alam
namun tidak berpengaruh signifikan dalam jangka panjang. Tabel 17 Hasil Estimasi VECM Jangka Panjang Ekspor Karet Alam Indonesia
ke Amerika Serikat dan Jepang
+ , -
+ , -
. ,
0 1 0 1
, 0 1
0 1 -.
0 1 0 1
, - 0 1
- 0 1 -
0 1 -
0 1 ,
signifikan pada taraf nyata 5 persen