Impuls Response Function IRF
walaupun dalam pembuatannya dicampur dengan karet sintetis, tetapi jumlah karet alam yang digunakan tetap besar, yaitu dua kali lipat komponen karet alam
untuk pembuatan ban non-radial. Jenis-jenis ban yang besar kurang baik bila dibuat dari bahan karet sintetis yang lebih banyak. Porsi karet alam yang
dibutuhkan untuk ban berukuran besar adalah jauh lebih besar. Ban pesawat terbang bahkan dibuat hampir semuanya dari bahan karet alam. Walaupun
keberadaan karet sintetis berpengaruh pada perdagangan karet alam, dua jenis karet ini memiliki pasar tersendiri. Karet alam dan karet sintetis tidak akan saling
mematikan atau bersaing penuh. Keduanya mempunyai sifat saling melengkapi atau komplementer Zuhra, 2006.
Sekitar lebih dari 70 persen karet alam dunia digunakan untuk industri ban. Biasanya dalam proses pembuatan ban konvensional, karet alam dengan
komposisi sebanyak 24 persen, harus dicampur dengan karet sintetis 19 persen, karet hasil daur ulang 0,3 persen, steel 14 persen, serat buatan 7 persen, carbon
black 23 persen dan bahan campuran lainnya sebanyak 13 persen, sehingga
didalam ban konvensional 50 persen lebih masih bergantung pada unsur turunan minyak bumi. Seiring dengan keterbatasan minyak bumi dan isu pentingnya
pengurangan efek emisi karbondioksida yang timbul dalam proses pembuatan ban berbahan turunan dari minyak bumi, para pembuat ban berlomba-lomba untuk
mengurangi bahan turunan dari minyak bumi dalam proses pembuatan ban. Dengan adanya trend produsen ban untuk memproduksi ban ramah lingkungan
jenis green tyres, maka diperkirakan dimasa depan untuk industri ban saja permintaan karet alam akan bertambah sekitar 2-3 kali lipat, sebab kandungan
karet alam didalam ban akan menjadi sekitar 60-80 persen. Produksi karet alam dunia pada tahun 2010 adalah sekitar 10,3 juta ton
atau meningkat lebih dari 3,5 persen per tahun selama 10 tahun terakhir Tabel 6. Total produksi karet alam Thailand, Indonesia dan Malaysia mencapai 68 persen
dari total produksi dunia pada tahun 2010. Sebagai produsen utama karet alam, ketiga negara tersebut memiliki pertumbuhan produksi yang positif selama
periode 2000-2010. Indonesia yang merupakan produsen karet alam nomor dua terbesar di dunia dengan produksi setelah Thailand memiliki rata-rata
pertumbuhan tertinggi selama periode tersebut yaitu sebesar 5,65 persen per
tahun. Thailand sebagai kompetitor utama karet alam Indonesia memiliki pertumbuhan yang cukup rendah yaitu 2,27 persen per tahun, dan Malaysia
memiliki pertumbuhan produksi karet alam terendah yaitu 1,2 persen per tahun. Rendahnya pertumbuhan produksi Malaysia disebabkan karena banyaknya
tanaman karet yang sudah tidak produktif dan terbatasnya lahan untuk pengembangan karet. Walaupun memiliki pertumbuhan yang lebih rendah
daripada Indonesia, Thailand memiliki pangsa produksi yang terbesar dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000 pangsa produksi Thailand sebesar 34,7 persen,
Indonesia sebesar 22,2 persen, dan Malaysia sebesar 13,7 persen dari total produksi dunia. Pada tahun 2010 pangsa produksi karet alam Thailand menurun
menjadi 31,6 persen dan Indonesia meningkat menjadi 26,9 persen dari total produksi dunia.
Tabel 5 Produksi Karet Alam Negara Produsen Utama dan Dunia, 2000-2010
Tahun Produksi 000 ton
Thailand Indonesia
Malaysia Dunia
1 2
3 4
5 2000
2.346 1.501
928 6.762
2001 2.320
1.607 882
7.332 2002
2.615 1.632
890 7.326
2003 2.876
1.798 986
8.005 2004
2.984 2.066
1.169 8.744
2005 2.937
2.271 1.126
8.896 2006
3.137 2.637
1.284 9.706
2007 3.056
2.755 1.200
9.833 2008
3.090 2.751
1.072 10.042
2009 3.164
2.595 857
9.662 2010
3.252 2.770
939 10.291
Pertumbuhan per tahun 2,27
5,65 1,20
3,55
Sumber : International Rubber Study Group IRSG
Saat ini Indonesia berada di peringkat kedua sebagai negara produsen karet alam terbesar di dunia. Peringkat pertama ditempati Thailand, sedangkan
Malaysia di posisi ketiga. Dari segi areal perkebunannya, Indonesia memiliki hamparan kebun karet terluas di dunia. Menurut catatan Ditjen Perkebunan,