Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA

56

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Kekuatan Mengikat Akta Arbitrase

Untuk mengetahui kekuatan mengikat akta arbitrase, peneliti melakukan tinjauan terhadap syarat sahnya akta arbitrase yang dibuat oleh para pihak, keberlakuan akta arbitrase bagi sengketa para pihak, dan kompetensi absolut arbitrase.

1. Syarat Sahnya Akta Arbitrase

Berdasarkan atas asas kebebasan berkontrak maka para pihak yang membuat akta arbitrase bebas untuk menentukan apa yang mereka kehendaki. Akta arbitrase sebagaimana setiap perjanjian pada umumnya menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara para pihak. Selain itu, karena akta arbitrase merupakan kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian, menurut peneliti telah sesuai dengan asas kekuatan mengikatpacta sunt servanda, yaitu suatu perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya sepanjang perjanjian yang bersangkutan tidak melanggar syarat sah perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu : “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal.” Syarat sah perjanjian harus selalu diterapkan dalam membuat suatu akta arbitrase karena tanpa memenuhi syarat sah tersebut maka akta arbitrase dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat subyektif, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan atau dapat batal demi hukum apabila tidak 57 memenuhi syarat obyektif, yaitu: suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Mengenai syarat subyektif sepakat dan kecakapan tidak diatur secara khusus dalam UU Arbitrase. Sebagai konsekuensi asas kekuatan mengikatpacta sunt servanda maka hakim maupun pihak ketiga tidak boleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut. Akta arbitrase tidak dapat dibatalkan secara sepihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Ayat 2 KUH Perdata yang merupakan konsekuensi logis dari adanya asas pacta sunt servanda, yaitu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Ketentuan tersebut juga ditegaskan dengan Pasal 620 Ayat 2 Rv yang menyatakan bahwa kekuasaan para arbiter tidak boleh ditarik kembali kecuali atas kesepakatan bulat para pihak. Ketentuan mengenai akta arbitrase tidak dapat dibatalkan secara sepihak juga diatur dalam yurisprudensi, salah satunya dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 4 Mei No. 317Kpdt1984 yang menyatakan bahwa melepaskan akta arbitrase harus dilakukan secara tegas dengan suatu persetujuan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, sedangkan dalam hal adanya eksepsi Mahkamah Agung berpendirian bahwa ada atau tidaknya eksepsi, akta arbitrase dengan sendirinya berbobot kompetensi absolut, sehingga yuridiksi mengadili sengketa yang timbul dari perjanjian dengan sendirinya menurut hukum jatuh menjadi kewenangan absolut Mahkamah Arbitrase tribunal arbitration. Oleh karena itu setiap pengadilan menghadapi kasus gugatan yang seperti itu harus tunduk kepada ketentuan Pasal 134 HIR dan menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili. Adapun isi Pasal 134 HIR adalah : “Jika perselisihan itu adalah suatu perkara yang tiada masuk kuasa pengadilan negeri, maka pada tiap- tiap waktu dalam pemeriksaan perkara itu, boleh diminta supaya hakim menerangkan dirinya tidak berkuasa dan hakim itupun wajib pula 58 menerangkan karena jabatannya bahwa ia tidak berkuasa untuk perkara itu” Yahya Harahap, 2001: 75. Jadi, peneliti berpendapat bahwa sesuai dengan asas kekuatan mengikatpacta sunt servanda maka suatu perjanjian pada umumnya maupun akta arbitrase pada khususnya, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan oleh karena itu suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan sepakat kedua belah pihak. Kesepakatan untuk membatalkan perjanjian harus dibuat secara tertulis agar dapat dijadikan sebagai alat bukti bahwa peristiwa pembatalan perjanjian tersebut memang benar terjadi. Akta arbitrase memiliki kekuatan mengikat berdasarkan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikatpacta sunt servanda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 KUH Perdata, selain itu juga memenuhi syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun ketertiban umum.

2. Seperability Principle Prinsip Keterpisahan Akta Arbitrase

Sebagai suatu perjanjian assessoir, akta arbitrase tetap harus memenuhi prinsip-prinsip dalam perjanjian asesoir, yaitu Munir Fuady, 2000: 118 : a. Isi perjanjian asesoir tidak boleh melampaui perjanjian pokoknya; b. Isi perjanjian asesoir tidak boleh bertentangan dengan perjanjian pokoknya; c. Tidak akan ada perjanjian asesoir tanpa perjanjian pokoknya. Akta arbitrase bukanlah suatu perjanjian asessoir ‘biasa’ karena akta arbitrase tidak batal apabila perjanjian pokoknya batal, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Huruf h UU Arbitrase yang menyatakan bahwa :