Prosedur Arbitrase Tinjauan tentang Arbitrase

40 dan isi tuntutan yang jelas. Penyampaian salinan tuntutan oleh ketua majelis arbitrase kepada termohon disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan menjawab secara tertulis dalam tenggang waktu 14 hari sejak diterimanya salinan tuntutan Pasal 38-39 UU Arbitrase; f. Ketua majelis arbitrase menyampaikan jawaban termohon kepada pemohon sekaligus memerintahkan kepada para pihak untuk menghadap di muka sidang arbitrase, dalam tenggang waktu 14 hari sejak dikeluarkannya perintah tersebut Pasal 40 UU Arbitrase; g. Persidangan yang dilakukan secara tertutup, dengan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lain yang dipilih oleh para pihak, dengan cara arbitrase, tempat dan jangka waktu arbitrase yang ditentukan oleh para pihak atau majelis arbitrase. Dalam persidangan pertama, termohon dapat mengajukan tuntutan balasan yang akan diperiksa dan diputus oleh majelis arbitrase bersamaan dengan pokok sengketa Pasal 27, 28, dan 31 UU Arbitrase; h. Upaya perdamaian oleh majelis arbitrase. Jika perdamaian tercapai, maka majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut Pasal 45 UU Arbitrase; i. Apabila upaya perdamaian gagal, maka akan dilanjutkan dengan pemeriksaan terhadap pokok sengketa. Pada tahap pemeriksaan ini para pihak diberi kesempatan terakhir untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya, dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh majelis arbitrase. Pemeriksaan atas sengketa ini harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 hari sejak majelis arbitrase terbentuk. Jangka waktu ini dapat diperpanjang dengan persetujuan dari para pihak Pasal 46 dan Pasal 48 UU Arbitrase; 41 j. Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hasil sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase. Putusan bersifat final, mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak final and binding, yang diucapkan dalam waktu paling lama 30 hari setelah pemeriksaan ditutup. Putusan harus memuat syarat-syarat normatif yang terutama memuat kepala putusan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Pasal 54, 55, 57, dan 60 UU Arbitrase; k. Koreksi terhadap kekeliruan administrative danatau menambah atau mengurangi suatu tuntutan putusan dalam tenggang waktu 14 hari setelah diterimanya putusan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 58; l. Untuk eksekusi atau pelaksanaan putusan arbitrase, ada beberapa prinsip hukum dalam tata cara pelaksanaan Arbitrase Nasional maupun Arbitrase Internasional yang perlu diperhatikan, yaitu pada Bab VI Bagian Pertama untuk arbitrase Nasional Pasal 59-64 dan Bagian Kedua untuk arbitrase internasional Pasal 64-69 UU Arbitrase.

d. Kekuatan Mengikat Putusan Arbitrase

Putusan arbitrase bersifat final, dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak final and binding, dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali Pasal 60 UU Arbitrase. Terhadap putusan arbitrase tersebut dapat dilakukan upaya perlawanan ke pengadilan negeri, tetapi upaya perlawanan tersebut hanya dapat dilakukan kepada Ketua PN, dan itu pun sangat terbatas, yaitu sebagai berikut Pasal 70 UU Arbitrase : a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; 42 b. Setelah putusan diambil, ditemukan semacam “novum”, yakni ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; c. Putusan arbitrase diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Dari alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana tersebut Pasal 70 UU Arbitrase dan seperti yang telah disebutkan bahwa upaya pembatalan tersebut bukanlah merupakan “banding” biasa terhadap suatu putusan arbitrase. Pembatalan merupakan suatu “upaya hukum yang luar biasa”, oleh karena itu, tanpa alasan-alasan yang spesifik tersebut pada prinsipnya suatu pembatalan putusan arbitrase tidak mungkin dipenuhi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya suatu putusan arbitrase adalah tingkat pertama dan terakhir.

e. Asas-Asas Arbitrase

Asas-asas dalam perjanjian arbitrase adalah sebagai berikut: 1 Asas kesepakatan, artinya kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan perselisihan secara damai; 2 Asas musyawarah, setiap perselisihan diupayakan untuk diselesaikan secara musyawarah, baik antara arbiter dengan para pihak maupun antara arbiter itu sendiri; 3 Asas limitatif, yaitu pembatasan dalam penyelesaian perselisihan melalui arbitrase terbatas pada perselisihan-perselisihan di bidang perdaganganbisnis dan industri; 4 Asas final dan binding yaitu suatu putusan arbitrase bersifat putusan akhir yang tidak dapat dilanjutkan dengan upaya hukum lain. Sehubungan dengan asas tersebut, tujuan arbitrase itu sendiri adalah untuk menyelesaikan perselisihan dalam bidang perdaganganbisnis dan industri, dan hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya oleh para pihak, dengan mengeluarkan suatu putusan yang cepat dan adil tanpa 43 adanya formalitas atau prosedur yang berbelit yang dapat menghambat penyelesaian perselisihan.

f. Keunggulan Arbitrase

Secara umum dinyatakan bahwa lembaga arbitrase mempunyai keunggulan dibandingkan dengan lembaga peradilan antara lain: 1 Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; 2 Dapat dihindarkan kelambatan yang diakibatkan karena prosedur dan administratif; 3 Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; 4 Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan 5 Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara prosedur sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.

3. Tinjauan tentang Kepailitan

2 Istilah Kepailitan Secara etimologi kepailitan berasal dari kata pailit, selanjutnya istilah “pailit” berasal dari bahasa Belanda “failliet” yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Istilah faillet sendiri berasal dari Perancis yaitu “faillite” yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran, sedangkan dalam Bahasa Inggris dikenal dengan kata to fail dengan arti sama, dan dalam bahasa latin disebut failure. Kemudian istilah kepailitan dalam pengertian hukum mengandung unsur- unsur tersendiri yang dibatasi secara tajam, namun definisi mengenai pengertian itu tidak ada dalam undang-undang. Selanjutnya istilah pailit dalam Bahasa Belanda adalah faiyit, maka ada pula sementara orang yang menerjemahkan sebagai paiyit dan faillissement sebagai kepailitan. Kemudian pada negara-negara yang berbahasa inggris untuk pengertian