Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
kreditor dan pihak yang lain debitor, pihak debitor yang dikarenakan oleh salah satu sebab tidak membayarberhenti membayar utangnya kepada
kreditor, maka kreditor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan
debitor pailit yang penguasaan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini Pasal 1 Angka 1 UUK 2004. Syarat untuk mengajukan
permohonan pernyataan pailit yaitu apabila debitor memiliki dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya. Peraturan khusus yang mengatur tentang kepailitan yaitu Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Apabila masalah sengketa dagang mengenai kepailitan, maka untuk penyelesaiannya adalah menjadi kewenangan
pengadilan niaga secara khusus, yang merupakan bagian dari peradilan umum negeri sebagaimana ditentukan dalam Pasal 300 Ayat 1 UUK 2004.
Terhadap hal yang demikian apabila dalam perjanjian tersebut terdapat akta arbitrase, apakah debitor atau kreditor dapat mengajukan permohonan
pailit kepada Pengadilan Niaga yang berwenang untuk memeriksa perkara tersebut, atau harus diselesaikan melalui prosedur arbitrase sesuai dengan isi
perjanjian, karena dalam prakteknya terdapat kasus dimana para pihak telah mencantumkan klausula arbitrase, namun ketika terjadi sengketa salah satu
pihak mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga. Seperti dalam perkara kepailitan antara PT. Environmental Network Indonesia
dan Kelompok Tani Tambak FSSP Maserrocinnae Selanjutnya dalam penelitian ini disebut dengan PT. Enindo dan kawan sebagai pemohon
pernyataan pailitkreditor melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan PPF International Corporation Selanjutnya dalam penelitian ini disebut dengan
PT. PPFW dan kawan sebagai termohon pailitdebitor.
Berdasarkan perjanjian, PT. Enindo menerima pekerjaan jasa manajemen termasuk kontruksi di bidang agrikultur atau proyek tambak udang dari PT.
PPFW dan kawan dengan mengeluarkan biaya terlebih dahulu, termasuk membayar tenaga kerja yang diperlukan, dan secara berkala akan diganti oleh
PT. PPFW dan kawan, akan tetapi sebelum masa perjanjian berakhir PT. PPFW dan kawan mengakhiri secara paksa perjanjian tersebut, dan terdapat
perbedaan jumlah utang yang harus dibayarkan oleh PT. PPFW dan kawan
kepada PT. Enindo. Berdasarkan fakta tersebut pemohon mengajukan
permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, akan tetapi majelis hakim tidak mengabulkan permohonan tersebut karena terdapat
akta arbitrase dalam perjanjiannya. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, peneliti tertarik untuk
mengkaji mengenai kewenangan pengadilan niaga dalam menyelesaikan perkara kepailitan dengan adanya akta arbitrase dalam perjanjian para pihak
yang bersengketa. Untuk itu, penulis membuat penulisan hukum dalam bentuk skripsi dengan judul : “TINJAUAN YURIDIS KEWENANGAN
PENGADILAN NIAGA DALAM MENYELESAIKAN PERKARA KEPAILITAN DENGAN ADANYA AKTA ARBITRASE Studi Putusan
Kasus PT. Environmental Network Indonesia dan Kelompok Tani Tambak FSSP Maserrocinnae melawan PT. Putra Putri Fortuna Windu dan PPF
International Corporation”.