1.2. Rumusan Masalah
Peran sasi dalam sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dusun pada masyarakat Negeri Allang telah berlangsung lama dan merupakan warisan
leluhur. Pembelajaran tentang sasi dan perannya dalam kehidupan masyarakat adat menjadi penting. Yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana bentuk dan peran kelembagaan adat Negeri Allang dalam
mengatur sumberdaya dusun ? 2.
Bagaimana masyarakat negeri Allang dalam mengelola sumberdaya dusun- nya ?
3. Bagaimana tingkat pemahaman masyarakat terhadap aturan sasi ?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mengkaji bentuk dan peran kelembagaan adat Negeri Allang dalam mengatur sumberdaya dusun.
2. Menjelaskan peran masyarakat negeri Allang dalam mengelola sumberdaya
dusun-nya. 3.
Mengkaji tingkat pemahaman masyarakat terhadap aturan sasi.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Kelembagaan
Kelembagaan secara umum merupakan aturan formal hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar dan lain-lain serta informal norma, tradisi,
sistem nilai, agama dan tren sosial yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antar individu maupun kelompok Kherallah Kirsten 2001. Kelembagaan
merupakan aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi, dimana kelembagaan memfasilitasi koordinasi antar anggota untuk membantu mereka
dengan harapan setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Ostrom 1985; 1986,
mengartikan kelembagaan sebagai aturan dan rambu – rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur
hubungan yang saling mengikat. Penataan kelembagaan dapat ditentukan beberapa unsur yaitu: aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan
sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakkan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan
kewenangan organisasi. Selain itu, North 1990 mengartikan kelembagaan sebagai aturan main dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh
faktor – faktor ekonomi, sosial dan politik. Sedangkan menurut Uphoff 1986, kelembagaan merupakan suatu himpunan atau tatanan norma - norma dan tingkah
laku yang berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama.
Menurut Schmid 1987 dalam El Ibrahim 2009, kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur hubungan antar orang yang mendefinisikan
hak -hak mereka. Selain itu hubungan dengan hak-hak orang lain, hak-hak istimewa yang diberikan, serta tanggung jawab yang mereka lakukan.
Kelembagaan juga dapat diartikan sebagai instrumen yang mengatur hubungan antar orang atau kelompok masyarakat melalui hak dan kewajiban dalam
kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya.Kelembagaan mempunyai peran penting dalam masyarakat untuk mengurangi ketidakpastian dengan menyusun
struktur yang stabil bagi hubungan manusia. Kelembagaan merupakan gugus
kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya.
2.1.1. Ciri - Ciri Kelembagaan Adat
Suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga komponen utama yaitu: 1 hak – hak kepemilikan property rights berupa hak atas benda, materi maupun non materi.
2 batas yurisdiksi jurisdictional boundary, dan 3 aturan representasi rules of representation Shaffer Schmid 1987 dalam Pakpahan 1989. Dengan
demikian perubahan kelembagaan dicirikan oleh perubahan satu atau lebih unsur-
unsur kelembagaan.
Hak-hak kepemilikan property rights mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum adat dan tradisi atau
konsensus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi. Pernyataan terhadap
hak milik memerlukan pengesahan dari masyarakat dimana ia berada. Implikasi dari hal tersebut adalah: 1 hak seseorang adalah kewajiban orang lain; 2 hak
yang dicerminkan oleh kepemilikan owner ship adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Property rights individu atas suatu asset
terdiri atas hak atau kekuasaan untuk mengkonsumsi, mendapatkan dan melakukan hak-haknya atas asset Basuni 2003.
Batas yurisdiksi jurisdictional boundary menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu masyarakat. Konsep batas yurisdiksi berarti batas wilayah
kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna kedua-duanya sehingga mengandung makna bagaimana batas yurisdiksi
berperan dalam mengatur lokasi sumberdaya. Perubahan batas yurisdiksi dipengaruhi oleh empat faktor antara lain:
1 Perasaan sebagai suatu masyarakat sense of community. Perasaan sebagai suatu masyarakat menentukan siapa yang termasuk dalam masyarakat dan yang
tidak. Hal ini berkaitan dengan konsep jarak sosial yang menentukan komitmen yang dimiliki oleh suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan.
2 Eksternalitas, merupakan dampak yang diterima pihak tertentu akibat tindakan pihak lain. Perubahan atas batas yurisdiksi akan merubah struktur eksternalitas
yang akhirnya merubah siapa menanggung apa.
3 Homogenitas, berkaitan dengan preferensi masyarakat yang merefleksikan permintaan terhadap barang dan jasa.
4 Skala ekonomi, menunjukan situasi dimana biaya per satuan terus menurun apabila output ditingkatkan. Batas yurisdiksi yang sesuai akan menghasilkan
ongkos per satuan yang lebih rendah dibandingkan dengan alternatif batas yurisdiksi lainnya.
Aturan representasi rules of representation merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Proses
pengambilan keputasan dalam organisasi, terdapat dua jenis ongkos yang mendasari keputusan, yaitu 1 ongkos membuat keputusan sebagai produk dari
partisipasi dalam membuat keputusan, dan 2 ongkos eksternal yang ditanggung oleh seseorang atau sebuah organisasi sebagai akibat keputusan organisasi
tersebut. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Konsep ini menentukan jenis keputusan yang
dibuat, sehingga aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya yang langkah. Oleh karena itu perlu dicari suatu mekanisme
representasi yang efisien dalam arti menurunkan ongkos transaksi. Menurut Gillin dan Gilin 1954 dalam Sugianto 2002, ciri-ciri umum
suatu lembaga sosial yaitu: 1
Lembaga sosial merupakan tradisi tertulis dan tidak tertulis yang merumuskan tujuan, tata tertib dan lain-lain.
2 Lembaga sosial merupakan suatu pola pemikiran dan perilaku yang terwujud
melaui aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. 3
Lembaga sosial merupakan suatu tingkatan kekekalan tertentu, umumnya lama dan melalui proses yang panjang.
4 Setiap lembaga sosial memiliki satu atau beberapa tujuan.
5 Setiapa lembaga sosial mempunyai alat atau perlengkapan yang digunakan
untuk mencapai tujuan tersebut. 6
Setiap lembaga sosial mempunyai lambang, simbol yang khas yang menggambarkan fungsi dan tujuan.
Secara empiris lembaga sosial local yang berkembang di masyarakat dapat bersifat formal dan informal. Ciri-ciri lembaga sosial formal yang bersifat formal
yaitu terbentuk atas campur tangan pihak luar pemerintah, ada dasar hukum untuk membentuk lembaga secara legal, pengurus dipilih atas pertimbangan
kebutuhan dan masa kepengurusannya jelas, struktur bersifat formal dan mudah dipengaruhi oleh pihak luar. Sedangkan ciri-ciri lembaga yang bersifat informal
adalah terbentuk atas kehendak masyarakat yang bersangkutan, manajemennya lemah, dinamika aktifitas tidak teratur, terbentuk atas norma dan nilai yang
dikembangkan atas dasar trust, pengurus dipilih lembaga bersifat monoton, dan menolak campur tangan pihak luar Sugianto 2002.
2.1.2. Tugas dan Wewenang Lembaga Adat
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Permendagri No.3 Tahun 1997 tentang pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan
lembaga adat, bahwa tugas lembaga adat yaitu: 1 Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada pemerintah serta
menyelesaikan perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
2 Memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah serta
memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan, pelaksanaan pembagunan dan pembinaan masyarakat.
3 Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif antara kepala adatpemangku adattetua adat dan pimpinan atau pemuka adat dengan
aparat pemerintah di daerah. Hak dan wewenang lembaga adat tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Permendagri No.3 Tahun 1997 tentang pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat, Pasal 6 angka 1 Tahun 2000
tentang hak dan wewenang lembaga adat yaitu: a Mewakili masyarakat adat ke luar yakni dalam hal menyangkut kepentingan
dan mempengaruhi adat. b Mengelola hak-hak adat danatau harta kekayaan adat untuk meningkatkan
kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah hidup yang lebih layak dan lebih baik.
c Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.2. Hukum Adat
Menurut Wignjodipoero 1967 adat adalah pencerminan dari kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan
dari abad ke abad dan adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat bahwa kaidah-kaidah adat berupa kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat
pengakuan umum dalam masyarakat itu. Sedangkan Soekanto 2001 berpendapat bahwa hukum adat merupakan bagian dari adat istiadat, maka dapat dikatakan
bahwa hukum adat merupakan konkritisasi dari kesadaran hukum, khusus pada masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana.
Wignjodipoero 1967 mengutip pengertian tentang hukum adat dari beberapa pakar hukum, yaitu:
1 Prof. Dr. Supomo SH menyatakan bahwa hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di alam peraturan legislatif unstatutory law, meliputi peraturan-
peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh orang yang berwajib, tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan
bahwasannya peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. 2 Dr. Sukanto menyatakan bahwa hukum adat sebagai kompleks adat-adat yang
kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, dan mempunyai akibat hukum.
3 Mr. J.H.P. Bellefroid menyatakan bahwa hukum adat sebagai peraturan hidup meskipun tidak diundangkan oleh penguasa tetapi tetapi masih dihormati dan
ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peratutan tersebut berlaku sebagai hokum.
4 Mr. B. Terhaar Bzn menyatakan bahwa hukum adat sebagai keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris
hukum dalam arti luas yang mempunyai wibawa, serta pengaruh dan dalam pelaksanaannya berlaku serta-merta spontan dan dipatuhi dengan sepenuh
hati. Fungsionaris meliputi Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.
Hukum adat memiliki dua unsur yaitu : 1 unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat. 2 unsur psikologis,
bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, artinya adat mempunyai kekuatan hukum Wignjodipoero 1967. Oleh karena itu, unsur inilah yang menghubungkan
adanya kewajiban hukum opinioyuris necessitates. Selanjutnya dalam kehidupan masyarakat hukum adat, umumnya terdapat tiga bentuk hukum adat, yaitu:
1 Hukum yang tidak tertulis jus non scriptum; merupakan bagian yang terbesar.
2 Hukum yang tertulis jus scriptum; hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan.
3 Uraian dalam hukum secara tertulis, lazimnya uraian ini adalah suatu hasil penelitian yang dibukukan.
2.3. Sasi