Hukum adat memiliki dua unsur yaitu : 1 unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat. 2 unsur psikologis,
bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, artinya adat mempunyai kekuatan hukum Wignjodipoero 1967. Oleh karena itu, unsur inilah yang menghubungkan
adanya kewajiban hukum opinioyuris necessitates. Selanjutnya dalam kehidupan masyarakat hukum adat, umumnya terdapat tiga bentuk hukum adat, yaitu:
1 Hukum yang tidak tertulis jus non scriptum; merupakan bagian yang terbesar.
2 Hukum yang tertulis jus scriptum; hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan.
3 Uraian dalam hukum secara tertulis, lazimnya uraian ini adalah suatu hasil penelitian yang dibukukan.
2.3. Sasi
2.3.1. Definisi Sasi
Sasi merupakan bentuk aturan pengelolan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang telah dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Maluku. Sasi
merupakan kearifan tradisional yang hadir dalam sosok peraturan adat yang mempertahankan nilai-nilai lama dalam menjaga kelestarian lingkungan yang
sudah berkembang sejak abad XVII. Istilah sasi berasal dari kata sanksi witness mengandung pengertian tentang larangan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu
tanpa izin dalam jangka waktu tertentu, yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat Biley Zerner 1992. Sedangkan menurut Kissya 1993 sasi
adalah larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati.
Sasi sebenarnya tidak tergolong kepada katagori kata yang mempunyai watak larangan atau suruhan yang bersifat langgeng dan menetap, namun istilah
tersebut hanya menekankan pada suatu larangan yang temporal Fadlun 2006. Dengan demikian sasi memiliki dimensi temporal dan lambing atribut yang
bersama-sama membuat institusi sasi mengikat. Menurut Pattinama dan Pattipelony 2003, sasi merupakan tradisi
masyarakat yang memiliki nilai hukum yang substantif yaitu larangan untuk tidak
mengambil hasil laut maupun hasil hutan sampai pada waktu tertentu. Sasi dapat memiliki nilai hukum, karena memiliki norma dan aturan yang berhubungan
dengan cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat yang memuat unsur etika dan norma. Nilai-nilai hukum yang substansial dalam sistem sasi sebagai inti dari
hukum adat tersebut sebagai berikut: a Penggunaan hak seseorang secara tepat menurut waktu yang ditentukan. b Mencegah timbulnya sengketa antara sesama
negeri. c Pemeliharaan dan pelestarian alam demi peningkatan kesejahteraan bersama. d Kewajiban untuk memanjakan hasil laut dan darat. e Mengurangi
timbulnya kejahatan berupa pencurian sumberdaya alam.
2.3.2. Sejarah Sasi
Menurut sejarahnya sasi di Maluku telah ada sejak dahulu kala dan merupakan komitmen bersama baik oleh masyarakat maupun tokoh adat, tokoh
masyarakat dan tokoh agama. Hal ini didasarkan atas kesadaran bahwa tanpa lingkungan mereka tidak dapat hidup dengan layak, sehingga sasi harus
dipertahankan dari generasi ke generasi berikutnya. Dalam pemeliharaan sumberdaya alam terdapat aturan-aturan yang berlaku baik secara tertulis maupun
tidak tertulis, yang dikenal dengan “Hukum Sasi”. Hukum sasi adalah suatu sistem hukum lokal yang berisikan larangan dan keharusan untuk mengambil
potensi sumberdaya alam untuk jangka waktu tertentu Pattinama Pattipelony
2003.
Menurut Wahyono 2000, masyarakat Maluku mempunyai kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam agar memberikan manfaat secara
berkesinambungan sustainable bagi seluruh masyarakat sekitarnya. Semua kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam, baik darat maupun laut saling
terkait yang diatur dalam hukum adat. Sasi diberlakukan karena sumberdaya alam di pulau-pulau kecil sangat terbatas, sementara kebutuhan anggota masyarakat
terus meningkat. Jadi dapat dikatakan bahwa antara jumlah penduduk dengan ketersediaan sumberdaya alam tidak seimbang, sehingga lahirlah pemikiran
bahwa sumberdaya alam yang terbatas tersebut harus dikelola secara arif dan bijaksana demi kepentingan bersama. Tujuan utama menata sasi adalah untuk
menjaga keseimbangan antara alam, manusia dan dunia spiritual, dimana
pelanggaran atas pelaksanaan sasi akan memperoleh sanksi berdasarkan dunia spiritual dan sanksi masyarakat Lakollo 1988.
Ketentuan hukum adat tentang sasi memuat tiga hal. Pertama adalah sasi memuat unsur larangan memanfaatkan sumberdaya alam dalam jangka waktu
untuk memberi kesempatam kepada flora dan fauna untuk memperbaharui dirinya, memelihara mutu dan memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut.
Kedua, ketentuan sasi tidak hanya mencakup lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial dan lingkungan buatan manusia. Ketiga, ketentuan sasi ini
ditentukan oleh masyarakat pendiri dari bawah, atas prakarsa masyarakat sendiri Kissya 1993.
Gambar 1 Latar belakang kearifan lokal Sasi
Pelaksanaan sasi diawali oleh lembaga kewang yang merupakan lembaga adat yang terdiri atas perwakilan masing-masing Soa marga. Lembaga adat
dipimpin oleh seorang kepala kewang yang diangkat menurut warisan dari datuk- datuk berdasarkan keturunan. Para kewang inilah yang berkewajiban
mengamankan peraturan-peraturan sasi, mengadakan rapat sasi dan menjatuhkan sanksi kepada masyarakat yang melanggar.
Pelaksanaan sasi dimulai dengan dilakukannya rapat kewang untuk menentukan sumberdaya alam yang akan disasi. Lewat rapat kewang inilah
ditetapkan sumberdaya atau wilayah yang tertutup dari kegiatan eksploitasi, hal ini disebut dengan istilah tutup sasi. Artinya, selama tutup sasi, tak diperkenankan
seorangpun untuk mengambil atau merusak habitat sumberdaya itu, sampai waktu yang kemudian diperbolehkan kembali masa buka sasi. Hasil rapat kewang
kemudian disampaikan kepada semua penduduk negeri, lengkap dengan peraturan dan sanksinya bagi yang melanggar. Hal ini selalu dilakukan untuk tetap
mengingatkan masyarakat tentang budaya sasi dan setelah itu, tanda sasi
•
Kepercayaan spiritual
•
Perilaku masyarakat
•
Pertambahan penduduk Kehidupan masyarakat
yang teratur dan menjaga ketersedian sumberdaya
dipasang. Umumnya tanda tersebut berupa janur yang pemasangannya disesuaikan dengan jenis sumberdaya yang disasi Pattinama dan Pattipelony
2003.
2.3.3. Peranan Sasi