Peran Lembaga Adat Sasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Dusun di Negeri Allang Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah

(1)

PERAN LEMBAGA ADAT

SASI

DALAM PENGELOLAAN

SUMBERDAYA

DUSUN

DI NEGERI ALLANG KECAMATAN

LEIHITU BARAT, KABUPATEN MALUKU TENGAH

DAHLAN ETLEGAR

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peran Lembaga Adat

Sasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Dusun di Negeri Allang Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2013

Dahlan Etlegar


(3)

Dusun di Negeri Allang Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah. Dibimbing oleh Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc. F.Trop.

Praktek pengelolaan hutan yang telah membudaya bagi masyarakat Maluku dan masyarakat Allang, dikenal dengan istilah dusun. Dusun telah dikenal oleh masyarakat Maluku sejak nenek moyang mereka, ini terbukti dari penggunaan istilah dusun pada jenis-jenis sumberdaya alam tertentu seperti antara lain dusun pala, dusun cengkeh, dusun kelapa yang merupakan warisan masa lalu.

Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengkaji bentuk dan peran kelembagaan adat Negeri Allang dalam mengatur sumberdaya dusun, 2) Menjelaskan peran masyarakat negeri Allang dalam mengelola sumberdaya dusun-nya, 3) Menjelaskan tingkat pemahaman masyarakat negeri Allang terhadap aturan sasi.

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2012. Tempat penelitian dan pengumpulan data dilakukan di Negeri Allang, Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam, pengamatan terlibat dan pengukuran lapangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan adat masyarakat Negeri Allang dalam mengatur dan mengelola sumberdaya dusun terdiri atas

Saniri Negeri, Raja/Pati, Kewang, Kepala Soa, Marinyo dan peran serta masyarakat. Kelembagaan adat sasi yang berperan dalam mengatur dan mengelola sumberdaya dusun di negeri Allang yaitu pemerintahan negeri, kewang dan

dewan gereja.

Kelembagaan lokal di negeri Allang berperan sangat efektif mengatur hak penguasaan dan pemanfaatan secara bersama atau individu terhadap sumberdaya

dusun dati, dusun pusaka dati, dusun sanimu, dusun lenyap, dusun pembelian dan

dusun perusahaan. Hal ini tercermin pada pengaturan kewenangan yang jelas antara lembaga kewang dan gereja dalam penegakkan aturan sasi gereja. Selain itu juga tercermin pada sikap masyarakat yang sangat percaya (trust), paham dan patuh terhadap aturan sasi gereja yang ditegakkan oleh lembaga kewang. Meskipun hak penguasaan dan pemanfaatan masing-masing dusun berbeda-beda, namun tetap memberikan implikasi performansi yang baik bagi masing-masing

dusun. Hal ini disebabkan karena Masyarakat Allang sangat percaya, paham dan patuh terhadap aturan sasi (sasi negeri dan sasi gereja) yang ditegakkan oleh lembaga kewang.

Kata kunci : kelembagaan adat, aturan adat sasi, pengelolaan dusun, performansi


(4)

Management Allang Leihitu West District, Central Maluku. Supervised by Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc. F.Trop.

The practice of community-based forest resource management through agroforestry management system which is a form of traditional farming systems in forest management has long been entrenched in the community. Local knowledge systems are different from each other even though according to the socio-cultural conditions and local ecosystems, but in general the system of knowledge and local resource management is always growing and evolving continuously from generation to generation in Maluku which include: Ambon Island , Seram Island, and Lease Islands, planting techniques is already a tradition of community forest management, known by the term hamlet. Hamlet is a term commonly used in the management of community forests by planting a variety of techniques, and has a high level of diversity (Ajawaila, 1996). Hamlet in general systems in practice, the public has a legal device in the form of customary rules very well in regulating land tenure, as well as managing the results that have been cultivated crops. Forest tenure traditionally been governed by clan groups or so-called eye home / home know that a whole kinship society consisting of several households using family names form the same clan in a country. As for the harvesting of forest products and crops, there is also the management tools that are integrated with the community since the first, in the form of restrictions governing access to the Community in the forest and plants in the specified period with a view to harvesting at the right time.

This study aimed to 1) assess the shape and role of traditional institutions in managing resources Allang Affairs hamlet, 2) describe the role of the state in managing the resource Allang his village, 3) describe the level of public understanding of the rule sasi Allang country.

The research activities carried out in August 2012. Places of research and data collection in the State Allang, District Leihitu West, Central Maluku regency, Maluku Province. The data used in this study is primary data and secondary data. Primary data is data obtained through in-depth research to society Allang country, field measurements to determine the performance of the hamlet and direct observations to obtain more detailed information. Secondary data is data relating to the state of the physical environment, socio-economic communities and other data related to the object of the study is available in the country Allang. Primary data was sourced from formal and informal respondents. Respondents formal like a king, priest and church council, kewang head and members. While respondents are informal community leaders (elders) and members of the local community. Data was collected using in-depth interviews, participant observation and field measurement.

The results showed that the shape of the State Allang customary institutions in organizing and managing resources saniri hamlet consisting of State, King / Starch, kewang, Head of soa, marinyo and community participation. Sasi

customary institutions that play a role in organizing and managing resources in the country hamlet Allang the state government, kewang and church council.


(5)

in setting clear authority between agencies and churches in Kewang Sasi

enforcement of the rules of the church. It is also reflected in the attitude of people who strongly believe (trust), understand and adhere to the rules established by the church kewang institutions. Although tenure and utilization of each village is different, but still provide good performance implications for each hamlet. This is because people Allang strongly believe, understand and adhere to the rules of sasi (sasi negeri and sasi gereja) are enforced by the kewang.

Keywords: institutional custom, custom rules sasi, the management of the hamlet, hamlet performance.


(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Manajemen Hutan

PERAN LEMBAGA ADAT

SASI

DALAM PENGELOLAAN

SUMBERDAYA

DUSUN

DI NEGERI ALLANG KECAMATAN

LEIHITU BARAT, KABUPATEN MALUKU TENGAH

DAHLAN ETLEGAR

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(7)

Judul Skripsi : Peran Lembaga Adat Sasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Dusun

di Negeri Allang Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah.

Nama : Dahlan Etlegar NIM : E14080125

Disetujui oleh

Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc. F.Trop Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS Ketua Departemen


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga Tugas Akhir dengan judul : Peran Lembaga Adat Sasi Dalam Pengelolaan Sumberdaya Dusun di Negeri Allang, Kabupaten Maluku Tengah Propinsi Maluku dapat diselesaikan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan pada Institut Pertanian Bogor.

Dengan penuh kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Iin Ichwandi, MSc.F.Trop yang telah bersedia meluangkan

waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tugas akhir ini.

2. Bapak Prof. Ir. Imam Wahyudi, MS yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk hadir dalam Ujian Komprehensif selaku penguji.

3. Bapak Ir. Sudaryanto sebagai Ketua Sidang pada Ujian Komprehensif.

4. Pemerintah Daerah Kabupaten Seram Bagian Timur yang telah memberikan Beasiswa kepada penulis untuk mengikuti program tugas belajar di Institut Pertanian Bogor.

5. Institut Pertanian Bogor khususnya Departemen Manajemen Hutan dimana penulis menuntut ilmu sekaligus memberi dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan studi.

6. Bapak A.G. Etlegar dan mama Joh yang telah memberikan dukungan doa dan semangat kepada penulis.

7. Keluarga tercinta (Almarhum Ayah, Ibu, Kakak, Adik serta seluruh keluarga) atas dukungan semangat dan doanya.

8. Kakak-kakak tercinta (Kak Yana, Kak Neng, Kak Min, Kak Eksan Yusuf) yang telah memberikan dukungan dan motivasi demi kelancaran studi selama penulis menuntut ilmu.

9. Teman-teman MNH 45, Kosan Abimanyu (Bung Jusmy Putuhena, Sidik, Dulla), Faijul Rais Kilbaren, Mina dan Adindaku tercinta Sakina Abdulrahman yang telah memberikan dukungan semangat dan membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih jauh dari kesempurnaan untuk itu saran dan masukan untuk perubahan selanjutnya penulis sangat harapkan dari semua pihak.

Bogor, Mei 2013


(9)

Penulis dilahirkan di Kesui Kabupaten Seram Bagian Timur Propinsi Maluku pada tanggal 26 Juni 1987 sebagai putra kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Almarhum Bapak Ikra Etlegar dan Ibu Wapudu Etlegar.

Riwayat pendidikan dimulai dari SD Negeri 1 Bula pada tahun 1994, dilanjutkan ke SLTP Negeri 1 Bula pada tahun 2000 dan lulus SMA Negeri 1 Bula pada tahun 2006. Pada tahun 2008 penulis diberikan kesempatan melanjutkan Program Sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) pada Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis telah melaksanakan Praktek Pengelolaan Ekosistem Hutan (P2EH) di Cilacap-Baturraden pada tahun 2010, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi pada tahun 2011 dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Inhutani II Unit Malinau Kalimantan Timur pada tahun 2012. Selama menjadi mahasiswa, penulis juga aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dari tingkat Komisariat Kehutanan sampai pada jenjang Pengurus HMI Cabang Bogor. Pada tahun 2012 penulis juga aktif di organisasi Persatuan Mahasiswa Maluku (PERMAMA) Bogor.

Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Peran Lembaga Adat Sasi dalam Pengelolaan Sumberdaya Dusun di Negeri Allang Kecamatan Leihitu Barat Kabupaten Maluku Tengah” dibawah bimbingan Dr. Ir. Iin Ichwandi M.Sc. F.Trop untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.


(10)

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...4

2.1. Defenisi Kelembagaan ...4

2.1.1 Ciri-ciri Kelembagaan Adat ...5

2.1.2 Tugas dan Wewenang ...7

2.2. Hukum Adat ...8

2.3. Sasi ...9

2.3.1 Defenisi Sasi ...9

2.3.2 Sejarah Sasi ...10

2.3.3 Peranan Sasi ...12

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...13

3.1. Kerangka Pemikiran ...14

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ...15

3.3. Metode Penelitian ...15

3.4. Metode Pengambilan Data ...16

3.4.1 Wawancara Mendalam ...16

3.4.2 Pengamatan Terlibat ...17

3.4.3 Pengkuran Lapangan ...17

3.4.4 Konsep Operasional ...18

3.5. Analisis Data ...19

3.5.1 Analisis Peran Lembaga Adat ...19


(11)

4.1.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah ...21

4.1.2 Jenis Tanah dan Topografi ...21

4.1.3 Iklim ...22

4.1.4 Kependudukan ...22

4.1.5 Sarana dan Prasarana ...24

4.2. Asal Usul Masyarakat dan Latar Belakang Sejarah Pemerintahan ...24

4.3. Pola Pemukiman dan Ikatan Sosial ...27

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ...28

5.1. Struktur Kelembagaan Masyarakat Negeri Allang ...28

5.2. Lembaga Adat Negeri Allang dalam Mengelola Sumberdaya Dusun ...30

5.2.1 Kewang ...31

5.2.2 Kelembagaan Penguasaan dan Pemanfaatan Dusun ...33

5.3. Jenis Dusun ...38

5.3.1 Dusun Dati ...38

5.3.2 Dusun Pusaka Dati ...39

5.3.3 Dusun Sanimu ...39

5.3.4 Dusun Pembelian ...39

5.3.5 Dusun Lenyap ...39

5.3.6 Dusun Perusahaan ...40

5.4. Sasi ...41

5.4.1 Sasi Negeri ...44

5.4.2 Sasi Gereja ...44

5.5. Efektivitas Aturan Lembaga Kewang dalam Mengatur Penguasaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Dusun ...46

5.5.1 Tingkat Kepercayaan Masyarakat Allang terhadap Aturan Lembaga Kewang ...50

5.5.2 Tingkat Pemahaman dan Pelanggaran Masyarakat Allang Terhadap Aturan Lembaga Kewang ...52


(12)

6.1. Kesimpulan ...57

6.2. Saran ...58

DAFTAR PUSTAKA ...59


(13)

Halaman

1 Komposisi Jenis Dusun ... 17

2 Mata Pencaharian Penduduk Negeri Allang ... 22

3 Jumlah Penduduk berdasarkan Agama di Negeri Allang ... 23

4 Jumlah Penduduk berdasarkan Kelas Umur ... 23

5 Jumlah Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 24

6 Sarana Pendidikan ... 24

7 Bentuk Hak atas Dusun pada masing-masing Dusun ... 37

8 Bentuk Kelembagaan Kepemilikan Dusun pada Masayarakat Negeri Allang ... 41

9 Jenis Tanaman dengan Periode Pemberlakuan Sasi di Negeri Allang ... 43

10 Bentuk Sanksi ... 43

11 Tingkat Kepatuhan Masyarakat terhadap Sasi ... 47

12 Aturan Lembaga Kewang dan Sanksi pada saat Pemberlakuan Sasi ... 48

13 Tingkat Kepercayaan Responden ... 51

14 Tingkat Pemahaman dan Pelanggaran terhadap Aturan Sasi ... 53

15 Performansi pada masing-masing Dusun berdasarkan Dominasi Jenis ... 54 16 Performansi pada masing-masing Dusun berdasarkan Tingkat Vegetasi . 54


(14)

Halaman

1 Latar Belakang Kearifan Lokal (Sasi) ... 11

2 Kerangka Pemikiran ... 14

3 Sketsa Lokasi Penelitian ... 15

4 Desain plot contoh di lapangan... 18

5 Struktur Lembaga Adat Negeri Allang ... 28

6 Organisasi Kewang ... 32


(15)

Halaman 1 Daftar Istilah ... 62 2 Performansi masing-masing Dusun ... 64 3 Foto Dusun Pembelian, Perusahaan, Sanimu, Pusaka Dati dan Dati ... 65


(16)

Praktek pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat melalui sistem pengelolaan membentuk agroforestry yang merupakan sistem budidaya tradisional dalam pengelolaan hutan yang telah lama membudaya di masyarakat. Sistem-sistem pengetahuan lokal tersebut walaupun berbeda satu sama lain sesuai dengan kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem masyarakat setempat, namun secara umum sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal ini selalu tumbuh dan berkembang terus-menerus secara turun-temurun di Maluku yang meliputi: Pulau Ambon, Pulau Seram, dan Pulau-pulau Lease. Teknik-teknik penanaman tersebut sudah merupakan tradisi pengelolaan hutan yang dikenal masyarakat dengan istilah dusun. Dusun merupakan sebuah istilah yang biasanya digunakan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan teknik penanaman yang bervariasi, serta memiliki tingkat keragaman yang tinggi (Ajawaila, 1996).

Keragaman dusun menurut Wattimena (2007), meliputi tanaman campuran strata bawah (rerumputan, tanaman rempah-rempah dan obat-obatan, kusu-kusu padi atau Andropogonamboinensis, untuk makanan ternak). Tanaman campuran strata menengah seperti buah-buahan (durian, kelapa, langsat, manggis, duku, gandaria, jambu), tanaman palawija (cengkeh, pala, coklat, kenari dan petai), dan kombinasi tanaman berkayu strata atas seperti sengon, jabon, jenis ficus dan lain-lain.

Sistem dusun secara umum dalam prakteknya, masyarakat memiliki perangkat hukum yakni berupa aturan-aturan adat yang sangat baik dalam mengatur status kepemilikan lahan, maupun mengelola hasil-hasil tanaman yang telah diusahakan. Kepemilikan lahan hutan secara adat telah diatur berdasarkan kelompok-kelompok marga atau yang disebut dengan matarumah/rumah tau

yakni suatu kesatuan kekerabatan masyarakat yang terdiri dari beberapa rumah tangga dengan memakai nama keluarga berupa marga yang sama di dalam suatu negeri. Sedangkan untuk pemanenan hasil hutan maupun tanaman, terdapat pula aturan pengelolaan yang sudah menyatu dengan masyarakat sejak dulu, yaitu berupa larangan yang mengatur akses masyarakat dalam mengambil hasil hutan


(17)

dan tanaman pada jangka waktu tertentu dengan maksud agar pemanenan dilakukan pada waktu yang tepat.

Sebagai salah satu bentuk tradisi masyarakat secara tradisional dalam menata tata karma kehidupan bermasyarakat, termasuk upaya untuk mengatur pemerataan pembagian atau pendapatan hasil dari pada sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga/penduduk setempat, sistem dusun dengan aturan-aturan adat yang dimiliki masyarakat, sejauhmana telah dipraktekan oleh masyarakat merupakan hal yang perlu dikaji dan diangkat sebagai bagian dari kearifan masyarakat dalam upaya membangun pengelolaan sumberdaya dusun yang berkelanjutan.

Latar belakang berdirinya hukum adat dilandasi oleh dua faktor yaitu

Pertama, adanya masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya dan wilayah sendiri. Pemahaman tentang masyarakat dalam hukum adat sangat dibutuhkan untuk melihat peran serta masyarakat dalam penerapan aturan hukum adat, serta mengetahui apakah peraturan yang dibuat oleh hukum adat dapat diterima seluruh masyarakat atau hanya sekelompok orang yang mengatasnamakan seluruh masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Keterlibatan masyarakat dalam hukum adat sangat dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan hukum adat agar tetap eksis dalam pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu, keberadaan masyarakat dapat menjadi salah satu kekuatan bagi hukum adat untuk menerapkan peraturan serta sanksi yang tegas kepada masyarakat yang melanggar. Kedua, adanya pengakuan dari Pemerintah terhadap kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya hutan secara tradisional. Perubahan paradigma pembangunan didorong oleh kenyataan bahwa masyarakat masih melakukan pengelolaan sumberdaya alam termasuk sumberdaya dusun.

Saat ini masih ditemukan berbagai pengelolaan sumberdaya dusun berbasis masyarakat dan terbukti masih dapat menyelamatkan dusun dari ancaman kepunahan. Hal ini karena pola hubungan antara masyarakat dengan sumberdaya hutan masih dilakukan menurut kaidah lingkungan yang lebih mengutamakan keselarasan dan keseimbangan alami dibandingkan kepentingan ekonomi semata.


(18)

1.2. Rumusan Masalah

Peran sasi dalam sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dusun

pada masyarakat Negeri Allang telah berlangsung lama dan merupakan warisan leluhur. Pembelajaran tentang sasi dan perannya dalam kehidupan masyarakat adat menjadi penting. Yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana bentuk dan peran kelembagaan adat Negeri Allang dalam

mengatur sumberdaya dusun ?

2. Bagaimana masyarakat negeri Allang dalam mengelola sumberdaya dusun -nya ?

3. Bagaimana tingkat pemahaman masyarakat terhadap aturan sasi ?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji bentuk dan peran kelembagaan adat Negeri Allang dalam mengatur sumberdaya dusun.

2. Menjelaskan peran masyarakat negeri Allang dalam mengelola sumberdaya

dusun-nya.


(19)

Kelembagaan secara umum merupakan aturan formal (hukum, kontrak, sistem politik, organisasi, pasar dan lain-lain) serta informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama dan tren sosial) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antar individu maupun kelompok (Kherallah & Kirsten 2001). Kelembagaan merupakan aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi, dimana kelembagaan memfasilitasi koordinasi antar anggota untuk membantu mereka dengan harapan setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Ostrom (1985; 1986), mengartikan kelembagaan sebagai aturan dan rambu – rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat. Penataan kelembagaan dapat ditentukan beberapa unsur yaitu: aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakkan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi. Selain itu, North (1990) mengartikan kelembagaan sebagai aturan main dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor – faktor ekonomi, sosial dan politik. Sedangkan menurut Uphoff (1986), kelembagaan merupakan suatu himpunan atau tatanan norma - norma dan tingkah laku yang berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama.

Menurut Schmid (1987) dalam El Ibrahim (2009), kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur hubungan antar orang yang mendefinisikan hak -hak mereka. Selain itu hubungan dengan hak-hak orang lain, hak-hak istimewa yang diberikan, serta tanggung jawab yang mereka lakukan. Kelembagaan juga dapat diartikan sebagai instrumen yang mengatur hubungan antar orang atau kelompok masyarakat melalui hak dan kewajiban dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya.Kelembagaan mempunyai peran penting dalam masyarakat untuk mengurangi ketidakpastian dengan menyusun struktur yang stabil bagi hubungan manusia. Kelembagaan merupakan gugus


(20)

kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya.

2.1.1. Ciri - Ciri Kelembagaan Adat

Suatu kelembagaan dicirikan oleh tiga komponen utama yaitu: (1) hak – hak kepemilikan (property rights) berupa hak atas benda, materi maupun non materi. (2) batas yurisdiksi (jurisdictional boundary), dan (3) aturan representasi ( rules of representation) Shaffer & Schmid (1987) dalam Pakpahan (1989). Dengan demikian perubahan kelembagaan dicirikan oleh perubahan satu atau lebih unsur-unsur kelembagaan.

Hak-hak kepemilikan (property rights) mengandung pengertian tentang hak dan kewajiban yang didefinisikan dan diatur oleh hukum adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya, situasi atau kondisi. Pernyataan terhadap hak milik memerlukan pengesahan dari masyarakat dimana ia berada. Implikasi dari hal tersebut adalah: (1) hak seseorang adalah kewajiban orang lain; (2) hak yang dicerminkan oleh kepemilikan (owner ship) adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Property rights individu atas suatu asset

terdiri atas hak atau kekuasaan untuk mengkonsumsi, mendapatkan dan melakukan hak-haknya atas asset (Basuni 2003).

Batas yurisdiksi (jurisdictional boundary) menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu masyarakat. Konsep batas yurisdiksi berarti batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga, atau mengandung makna kedua-duanya sehingga mengandung makna bagaimana batas yurisdiksi berperan dalam mengatur lokasi sumberdaya. Perubahan batas yurisdiksi dipengaruhi oleh empat faktor antara lain:

1) Perasaan sebagai suatu masyarakat (sense of community). Perasaan sebagai suatu masyarakat menentukan siapa yang termasuk dalam masyarakat dan yang tidak. Hal ini berkaitan dengan konsep jarak sosial yang menentukan komitmen yang dimiliki oleh suatu masyarakat terhadap suatu kebijaksanaan.

2) Eksternalitas, merupakan dampak yang diterima pihak tertentu akibat tindakan pihak lain. Perubahan atas batas yurisdiksi akan merubah struktur eksternalitas yang akhirnya merubah siapa menanggung apa.


(21)

3) Homogenitas, berkaitan dengan preferensi masyarakat yang merefleksikan permintaan terhadap barang dan jasa.

4) Skala ekonomi, menunjukan situasi dimana biaya per satuan terus menurun apabila output ditingkatkan. Batas yurisdiksi yang sesuai akan menghasilkan ongkos per satuan yang lebih rendah dibandingkan dengan alternatif

batas yurisdiksi lainnya.

Aturan representasi (rules of representation) merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Proses pengambilan keputasan dalam organisasi, terdapat dua jenis ongkos yang mendasari keputusan, yaitu (1) ongkos membuat keputusan sebagai produk dari partisipasi dalam membuat keputusan, dan (2) ongkos eksternal yang ditanggung oleh seseorang atau sebuah organisasi sebagai akibat keputusan organisasi tersebut. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Konsep ini menentukan jenis keputusan yang dibuat, sehingga aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumberdaya yang langkah. Oleh karena itu perlu dicari suatu mekanisme representasi yang efisien dalam arti menurunkan ongkos transaksi.

Menurut Gillin dan Gilin (1954) dalam Sugianto (2002), ciri-ciri umum suatu lembaga sosial yaitu:

1) Lembaga sosial merupakan tradisi tertulis dan tidak tertulis yang merumuskan tujuan, tata tertib dan lain-lain.

2) Lembaga sosial merupakan suatu pola pemikiran dan perilaku yang terwujud melaui aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya.

3) Lembaga sosial merupakan suatu tingkatan kekekalan tertentu, umumnya lama dan melalui proses yang panjang.

4) Setiap lembaga sosial memiliki satu atau beberapa tujuan.

5) Setiapa lembaga sosial mempunyai alat atau perlengkapan yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.

6) Setiap lembaga sosial mempunyai lambang, simbol yang khas yang menggambarkan fungsi dan tujuan.

Secara empiris lembaga sosial (local) yang berkembang di masyarakat dapat bersifat formal dan informal. Ciri-ciri lembaga sosial formal yang bersifat formal


(22)

yaitu terbentuk atas campur tangan pihak luar (pemerintah), ada dasar hukum untuk membentuk lembaga secara legal, pengurus dipilih atas pertimbangan kebutuhan dan masa kepengurusannya jelas, struktur bersifat formal dan mudah dipengaruhi oleh pihak luar. Sedangkan ciri-ciri lembaga yang bersifat informal adalah terbentuk atas kehendak masyarakat yang bersangkutan, manajemennya lemah, dinamika aktifitas tidak teratur, terbentuk atas norma dan nilai yang dikembangkan atas dasar trust, pengurus dipilih lembaga bersifat monoton, dan menolak campur tangan pihak luar (Sugianto 2002).

2.1.2. Tugas dan Wewenang Lembaga Adat

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.3 Tahun 1997 tentang pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat, bahwa tugas lembaga adat yaitu:

1) Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada pemerintah serta menyelesaikan perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.

2) Memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah serta memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan, pelaksanaan pembagunan dan pembinaan masyarakat.

3) Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif antara kepala adat/pemangku adat/tetua adat dan pimpinan atau pemuka adat dengan aparat pemerintah di daerah.

Hak dan wewenang lembaga adat tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No.3 Tahun 1997 tentang pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat, Pasal 6 angka 1 Tahun 2000 tentang hak dan wewenang lembaga adat yaitu:

a) Mewakili masyarakat adat ke luar yakni dalam hal menyangkut kepentingan dan mempengaruhi adat.

b) Mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah hidup yang lebih layak dan lebih baik.


(23)

c) Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.2. Hukum Adat

Menurut Wignjodipoero (1967) adat adalah pencerminan dari kepribadian suatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad dan adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat bahwa kaidah-kaidah adat berupa kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu. Sedangkan Soekanto (2001) berpendapat bahwa hukum adat merupakan bagian dari adat istiadat, maka dapat dikatakan bahwa hukum adat merupakan konkritisasi dari kesadaran hukum, khusus pada masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana.

Wignjodipoero (1967) mengutip pengertian tentang hukum adat dari beberapa pakar hukum, yaitu:

1) Prof. Dr. Supomo SH menyatakan bahwa hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di alam peraturan legislatif (unstatutory law), meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh orang yang berwajib, tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasannya peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

2) Dr. Sukanto menyatakan bahwa hukum adat sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, dan mempunyai akibat hukum.

3) Mr. J.H.P. Bellefroid menyatakan bahwa hukum adat sebagai peraturan hidup meskipun tidak diundangkan oleh penguasa tetapi tetapi masih dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peratutan tersebut berlaku sebagai hokum.

4) Mr. B. Terhaar Bzn menyatakan bahwa hukum adat sebagai keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa, serta pengaruh dan dalam pelaksanaannya berlaku serta-merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati. Fungsionaris meliputi Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.


(24)

Hukum adat memiliki dua unsur yaitu : (1) unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu diindahkan oleh rakyat. (2) unsur psikologis, bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, artinya adat mempunyai kekuatan hukum (Wignjodipoero 1967). Oleh karena itu, unsur inilah yang menghubungkan adanya kewajiban hukum (opinioyuris necessitates). Selanjutnya dalam kehidupan masyarakat hukum adat, umumnya terdapat tiga bentuk hukum adat, yaitu:

1) Hukum yang tidak tertulis (jus non scriptum); merupakan bagian yang terbesar.

2) Hukum yang tertulis (jus scriptum); hanya sebagian kecil saja, misalnya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh raja-raja atau sultan. 3) Uraian dalam hukum secara tertulis, lazimnya uraian ini adalah suatu hasil

penelitian yang dibukukan.

2.3. Sasi

2.3.1. Definisi Sasi

Sasi merupakan bentuk aturan pengelolan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang telah dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Maluku. Sasi

merupakan kearifan tradisional yang hadir dalam sosok peraturan adat yang mempertahankan nilai-nilai lama dalam menjaga kelestarian lingkungan yang sudah berkembang sejak abad XVII. Istilah sasi berasal dari kata sanksi (witness) mengandung pengertian tentang larangan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu tanpa izin dalam jangka waktu tertentu, yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat Biley & Zerner (1992). Sedangkan menurut Kissya (1993) sasi

adalah larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati.

Sasi sebenarnya tidak tergolong kepada katagori kata yang mempunyai watak larangan atau suruhan yang bersifat langgeng dan menetap, namun istilah tersebut hanya menekankan pada suatu larangan yang temporal (Fadlun 2006). Dengan demikian sasi memiliki dimensi temporal dan lambing (atribut) yang bersama-sama membuat institusi sasi mengikat.

Menurut Pattinama dan Pattipelony (2003), sasi merupakan tradisi masyarakat yang memiliki nilai hukum yang substantif yaitu larangan untuk tidak


(25)

mengambil hasil laut maupun hasil hutan sampai pada waktu tertentu. Sasi dapat memiliki nilai hukum, karena memiliki norma dan aturan yang berhubungan dengan cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat yang memuat unsur etika dan norma. Nilai-nilai hukum yang substansial dalam sistem sasi sebagai inti dari hukum adat tersebut sebagai berikut: (a) Penggunaan hak seseorang secara tepat menurut waktu yang ditentukan. (b) Mencegah timbulnya sengketa antara sesama negeri. (c) Pemeliharaan dan pelestarian alam demi peningkatan kesejahteraan bersama. (d) Kewajiban untuk memanjakan hasil laut dan darat. (e) Mengurangi timbulnya kejahatan berupa pencurian sumberdaya alam.

2.3.2. Sejarah Sasi

Menurut sejarahnya sasi di Maluku telah ada sejak dahulu kala dan merupakan komitmen bersama baik oleh masyarakat maupun tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Hal ini didasarkan atas kesadaran bahwa tanpa lingkungan mereka tidak dapat hidup dengan layak, sehingga sasi harus dipertahankan dari generasi ke generasi berikutnya. Dalam pemeliharaan sumberdaya alam terdapat aturan-aturan yang berlaku baik secara tertulis maupun tidak tertulis, yang dikenal dengan “Hukum Sasi”. Hukum sasi adalah suatu sistem hukum lokal yang berisikan larangan dan keharusan untuk mengambil potensi sumberdaya alam untuk jangka waktu tertentu (Pattinama & Pattipelony 2003).

Menurut Wahyono (2000), masyarakat Maluku mempunyai kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam agar memberikan manfaat secara berkesinambungan (sustainable) bagi seluruh masyarakat sekitarnya. Semua kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya alam, baik darat maupun laut saling terkait yang diatur dalam hukum adat. Sasi diberlakukan karena sumberdaya alam di pulau-pulau kecil sangat terbatas, sementara kebutuhan anggota masyarakat terus meningkat. Jadi dapat dikatakan bahwa antara jumlah penduduk dengan ketersediaan sumberdaya alam tidak seimbang, sehingga lahirlah pemikiran bahwa sumberdaya alam yang terbatas tersebut harus dikelola secara arif dan bijaksana demi kepentingan bersama. Tujuan utama menata sasi adalah untuk menjaga keseimbangan antara alam, manusia dan dunia spiritual, dimana


(26)

pelanggaran atas pelaksanaan sasi akan memperoleh sanksi berdasarkan dunia spiritual dan sanksi masyarakat (Lakollo 1988).

Ketentuan hukum adat tentang sasi memuat tiga hal. Pertama adalah sasi

memuat unsur larangan memanfaatkan sumberdaya alam dalam jangka waktu untuk memberi kesempatam kepada flora dan fauna untuk memperbaharui dirinya, memelihara mutu dan memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut.

Kedua, ketentuan sasi tidak hanya mencakup lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial dan lingkungan buatan manusia. Ketiga, ketentuan sasi ini ditentukan oleh masyarakat pendiri dari bawah, atas prakarsa masyarakat sendiri (Kissya 1993).

Gambar 1 Latar belakang kearifan lokal (Sasi)

Pelaksanaan sasi diawali oleh lembaga kewang yang merupakan lembaga adat yang terdiri atas perwakilan masing-masing Soa (marga). Lembaga adat dipimpin oleh seorang kepala kewang yang diangkat menurut warisan dari datuk-datuk berdasarkan keturunan. Para kewang inilah yang berkewajiban mengamankan peraturan-peraturan sasi, mengadakan rapat sasi dan menjatuhkan sanksi kepada masyarakat yang melanggar.

Pelaksanaan sasi dimulai dengan dilakukannya rapat kewang untuk menentukan sumberdaya alam yang akan disasi. Lewat rapat kewang inilah ditetapkan sumberdaya atau wilayah yang tertutup dari kegiatan eksploitasi, hal ini disebut dengan istilah tutup sasi. Artinya, selama tutup sasi, tak diperkenankan seorangpun untuk mengambil atau merusak habitat sumberdaya itu, sampai waktu yang kemudian diperbolehkan kembali (masa buka sasi). Hasil rapat kewang kemudian disampaikan kepada semua penduduk negeri, lengkap dengan peraturan dan sanksinya bagi yang melanggar. Hal ini selalu dilakukan untuk tetap mengingatkan masyarakat tentang budaya sasi dan setelah itu, tanda sasi

• Kepercayaan spiritual

• Perilaku masyarakat

• Pertambahan penduduk

Kehidupan masyarakat yang teratur dan menjaga ketersedian sumberdaya


(27)

dipasang. Umumnya tanda tersebut berupa janur yang pemasangannya disesuaikan dengan jenis sumberdaya yang disasi (Pattinama dan Pattipelony 2003).

2.3.3. Peranan Sasi

Peranan Sasi adalah sebagai wadah pengamanan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan, mendidik dan membentuk sikap serta perilaku masyarakat yang merupakan upaya untuk memelihara tata krama hidup bermasyarakat termasuk upaya pemerataan dan pembagian pendapatan dari sumberdaya alam kepada seluruh masyarakat. Oleh karena itu sasi mempunyai peran sebagai nilai budaya masyarakat, maka perlu menjaga kelestarian. Selain itu, kelembagaan sasi juga memiliki peran untuk memberikan kesempatan kepada mahluk hidup (sumberdaya alam) tertentu untuk memperbaharui dirinya dan berkembang biak, memelihara mutu dan memperbanyak populasi sumberdaya alam tersebut (Pattanama dan Patipelony 2003).

Batasan lain yang secara eksplisit yang memuat konsep pelestarian tentang keberadaan lembaga adat sasi adalah seperti yang dikemukakan oleh Kissya (1993) bahwa sasi pada hakekatnya merupakan suatu upaya untuk memelihara tata krama hidup bermasyarakat, termasuk upaya kearah pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumberdaya alam sekitar kepada seluruh warga atau penduduk setempat. Untuk itu keberadaan sasi sangat membantu masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya yang ada wilayah sekitar hutan secara optimal agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


(28)

3.1. Kerangka Pemikiran

Perhatian berbagai pihak dalam upaya mengoptimalkan asas lestari dan asas manfaat hutan telah menjadi topik bahasan yang menarik dari waktu ke waktu akibat terjadinya alih guna lahan yang terus bertambah. Berbagai sistem dan solusi tradisional terbaik yang telah banyak dikembangkan oleh banyak kalangan dengan berbagai istilah dan model pengelolaan seperti repong atau terminologi pengelolaan lainnya di Maluku yang secara tradisional dikenal dengan dusun, merupakan model-model pengelolaan yang pada dasarnya semua itu memiliki kesamaan dimana fokus utamanya adalah masyarakat sebagai pelaku atau aktor utamanya.

Sebagai aktor utama kajian tentang masyarakat lokal penting, tidak hanya dalam memahami bagaimana komunitas lokal memperlakukan sumberdaya alam disekitarnya, namun juga bagaimana memanfaatkan berbagai hal positif darinya. Disamping itu, dengan diketahuinya pola-pola interaksi antara komunitas masyarakat lokal dengan alam, maka akan teridentifikasi sejumlah kebutuhan yang dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam memformulasikan rencana pengelolaan sumberdaya dusun, dengan menempatkan peran aktif dan akses masyarakat melalui kombinasi manajemen dan teknik-teknik modern dengan konsep, pola, dan teknik-teknik tradisional berdasarkan karakteristik yang dimiliki tiap-tiap komunitas.


(29)

Dari kerangka pemikiran yang diuraikan diatas, maka kerangka pemikiran yang dilakukan dapat disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2 Kerangka pemikiran

Sumberdaya

Dusun

Dusun Dati

Dusun Pusaka Dati

Dusun Sanimu

Dusun Pembelian

Dusun Perusahaan

Dusun Lenyap

Pengelolaan Dusun Pengaturan Dusun

1. Lembaga adat di Negeri Allang:

-Pemerintah negeri -Saniri

-Dewan Gereja -Kewang

2. Jenis Sasi di Negeri Allang:

-Sasi Negeri

-Sasi Gereja Masyarakat Allang tersebar

di 8 wilayah (soa):

1. Soa Palya 2. Soa Kolya 3. Soa Tapela 4. Soa Acamami 5. Soa Baru 6. Soa Urubasa 7. Soa Wara

8. Soa Kampung Baru

Efektivitas Pengelolaan dan Pengaturan Sumberdaya

Dusun:

- Tingkat Kepatuhan - Tingkat Kepercayaan - Performansi Dusun


(30)

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2012. Tempat penelitian dan pengumpulan data dilakukan di Negeri Allang, Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.

Gambar 3 Sketsa lokasi penelitian

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dirancang menggunakan metode triangulasi dengan jenis penelitian studi kasus. Metode triangulasi dapat diartikan sebagai “kombinasi sumber data” yang memadukan sedikitnya tiga metode, seperti pengamatan, wawancara dan analisis dokumen (Sitorus 1998). Kelebihan dari metode ini adalah saling menutupi kelemahan antara satu metode dengan metode lainnya sehingga hasil yang diharapkan lebih valid. Sebagai satuan kasusnya adalah “Peran lembaga adat Sasi dalam pengelolaan sumberdaya dusun di Negeri Allang, Kecamatan Leihitu Barat Kabupaten Maluku Tengah”. Menurut Nazir (1988), studi kasus adalah penelitian tentang suatu objek yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khusus dari keseluruhan personalitas. Tujuan studi kasus

Lokasi Penelitian

Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000


(31)

adalah memberikan gambaran tentang latar belakang, sifat-sifat dan karakter dari suatu keadaan yang ada pada waktu penelitian dilakukan.

3.4. Metode Pengambilan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh peneliti dari responden dan hasil pengamatan lapangan serta pengukuran lapangan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari literatur, data statistik, laporan yang diperoleh dari instansi terkait dan data pendukung yang ada ditingkat negeri maupun kecamatan. Data primer bersumber dari responden baik formal maupun informal. Responden formal seperti raja, pendeta dan dewan gereja, kepala kewang dan anggotanya. Sedangkan responden yang informal adalah tokoh masyarakat (tetua adat), dan salah satu anggota masyarakat setempat. Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam, pengamatan terlibat dan pengukuran lapangan.

3.4.1. Wawancara Mendalam

Metode ini dilakukan dengan wawancara indept interview menggunakan pedoman wawancara dan kuesioner terhadap responden yang berasal dari individu pemilik masing-masing dusun (kepala-kepala soa/mata rumah dan kepala rumah tangga yang berasal dari suatu mata rumah tertentu). Wawancara mendalam dilakukan dengan berpedoman pada pertanyaan-pertanyaan kunci mengenai struktur kelembagaan dan aturan - aturan tentang sasi serta peran lembaga adat dalam mengatur hak penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya dusun. Untuk mendapatkan sumber informasi yang tepat dilakukan tiga tahap, yakni (1) pemilihan responden awal yang terkait dengan fokus penelitian. (2) pemilihan responden lanjutan guna memperluas deskripsi informasi dan melacak variasi informasi yang mungkin ada. (3) menghentikan pemilihan responden lanjutan bilamana dianggap sudah tidak ditemukan lagi variasi informasi.


(32)

3.4.2. Pengamatan Terlibat

Pengamatan terlibat digunakan untuk mengamati kegiatan pengawasan/pengamanan dusun oleh lembaga kewang. Pengamatan difokuskan pada kegiatan tutup sasi dan buka sasi serta sejauh mana implikasinya terhadap performansi atau penampakan substansi kajian dusun itu sendiri.

3.4.3. Pengukuran Lapangan

Pengukuran lapangan dimaksudkan untuk mendapatkan data mengenai komposisi jenis atau masyarakat tumbuh-tumbuhan pada masing-masing dusun

berdasarkan aturan lokalistik setempat. Data pengukuran ini merupakan salah satu bentuk identifikasi vegetasi yang dapat menjelaskan tentang kondisi tegakan hutan, yaitu pohon dan permudaannya serta tegakan tumbuhan bawah (Soerianegara & Indrawan 2002).

Dalam mempelajari komposisi jenis tumbuhan atau vegetasi masing-masing

dusun yaitu sebagai berikut: Tabel 1 Komposisi Jenis Dusun

No Jenis Dusun Jumlah Plot

1 Dusun dati 2

2 Dusun pusaka dati 2

3 Dusun sanimu 2

4 Dusun pembelian 2

5 Dusun perusahaan 2

Jumlah 10

Penentuan petak contoh menggunakan cara garis berpetak dengan plot pengamatan berbentuk persegi empat. Petak contoh dipilih secara sengaja (purposive sampling) pada kawasan dusun dengan jumlah petak contoh sebanyak dua buah petak contoh. Jalur pengamatan pada masing-masing dusun dibuat sebanyak lima buah jalur dengan panjang masing-masing 100 meter dan jarak antar titik pusat plot pengamatan adalah 20 meter. Jumlah plot pengamatan pada setiap lokasi untuk masing-masing tingkat berjumlah 10 plot.

Luas plot contoh untuk masing-masing petak yaitu seluas 0,08 ha. Plot contoh dibuat bersarang (nested sampling) yang dibagi kedalam empat ukuran, yaitu: 20 m x 20 m, 10 m x 10 m, 5 m x 5 m, dan 2 m x 2 m. Klasifikasi tingkat pertumbuhan dan ukuran plot pengamatan yang digunakan sebagai berikut:


(33)

1. Petak contoh berukuran 20 m x 20 m digunakan untuk tingkat pohon (vegetasi dengan diameter >=20 cm).

2. Petak contoh berukuran 10 m x 10 m digunakan untuk tingkat tiang (vegetasi dengan diameter 10-20 cm).

3. Petak contoh berukuran 5 m x 5 m digunakan untuk pancang (vegetasi dengan diameter < 10 cm dan tinggi > 1,5 cm).

4. Petak contoh berukuran 2 m x 2 m digunakan untuk tingkat semai

(seadling) untuk (tinggi tumbuhan <1,5 cm) dan tumbuhan bawah (penutup tanah).

Desain petak contoh yang digunakan untuk mengamati masing-masing tingkatan pertumbuhan disajikan pada gambar 4.

Gambar 4 Desain plot contoh di lapangan

3.4.4. Konsep Operasional

Peran lembaga adat sasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah ketepatan pemerintah negeri, lembaga kewang dan gereja dalam mengatur penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dusun. Ketepatan yang dimaksud adalah rumusan aturan yang dapat memperjelas transfer hak kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya dusun, pengaturan batas yurisdiksi, aturan repsentasi yang adil antar para pihak dan peran aturan sasi dalam pengelolaan sumberdaya dusun serta kepastian bentuk hak yang jelas dan diakui oleh anggota masyarakat yang lain dalam implementasinya.

20 m

100 m


(34)

Kepastian bentuk hak penguasaan yang dimaksud adalah terdapatnya kejelasan batas fisik di lapangan serta didukung dengan pengakuan dari masing-masing kelompok mata rumah dalam implementasinya. Kepastian bentuk hak penguasaan yang tergolong tinggi jika terdapat kejelasan batas fisik di lapangan serta didukung dengan pengakuan dari masing-masing kelompok mata rumah, sebaliknya jika tidak ada kejelasan batas fisik di lapangan namun didukung dengan pengakuan dari masing-masing kelompok mata rumah maka kepastian bentuk haknya tergolong sedang, dan jika tidak ada kejelasan batas fisik dan pengakuan dari masing-masing kelompok mata rumah maka kepastian bentuk haknya tergolong rendah.

Peran yang dimaksud adalah tingkat partisipasi, kepercayaan, pemahaman dan kepatuhan warga masyarakat yang diukur berdasarkan kategori masyarakat yang percaya, paham dan patuh terhadap aturan sasi negeri dan sasi gereja yang ditegakkan oleh lembaga kewang dan gereja.

Peran lembaga adat sasi dalam pengelolaan sumberdaya dusun juga ditentukan oleh suatu performansi dusun yang baik. Oleh karena itu, penelitian ini juga mengukur tingkat performansi dusun berdasarkan nilai kerapatan jenis. Hal ini dilakukan untuk menjelaskan wujud performansi masing-masing dusun yang merupakan implikasi dari ketepatan lembaga kewang dan gereja dalam mengatur penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dusun dalam implementasinya.

3.5. Analasis Data

3.5.1. Analisis Peran Lembaga Adat Sasi

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui peran aturan lembaga adat sasi

dalam mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya dusun pada masyarakat Negeri Allang. Peran aturan lembaga adat sasi ditentukan berdasarkan masyarakat yang percaya, paham dan patuh terhadap aturan sasi gereja dan sasi negeri, berupa aturan umum dan aturan khusus yang ditegakkan oleh lembaga

kewang dan gereja. Kepatuhan seseorang terhadap aturan dapat diperlemah atau dikuatkan oleh kepatuhan orang lain terhadap aturan tersebut. Oleh karena itu, penting untuk meninjau kepercayaan seseorang bahwa orang lain mematuhi aturan


(35)

(Suharjito dan Saputro 2008). Adapun penentuan peran lembaga adat sasi

didasarkan pada kriteria sebagai berikut:

- Peran suatu aturan yang ditegakkan oleh lembaga kewang dan gereja

dikatakan tinggi jika masyarakat tidak pernah atau jarang melakukan pelanggaran terhadap aturan sasi gereja.

- Sebaiknya aturan yang ditegakkan oleh lembaga kewang dan gereja dikatakan rendah jika masyarakat pernah dan sering melakukan pelanggaran terhadap aturan sasi.

Tingkat kepercayaan responden diukur dengan proporsi responden dengan kategori percaya, ragu-ragu, dan tidak percaya. Unsur aturan dideskripsikan aspek-aspek yang diaturnya dan diukur tingkat pemahaman dan pelanggaran responden terhadap aturan. Tingkat pemahaman responden terhadap aturan diukur dengan proporsi responden dengan kategori paham, cukup paham, dan tidak paham terhadap aturan. Tingkat pelanggaran responden terhadap aturan diukur dengan proporsi responden dengan kategori sering, jarang, dan tidak pernah melanggar aturan. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan teknik wawancara terstruktur kepada responden.Responden dipilih secara acak dengan warga masyarakat di negeri Allang. Jumlah responden adalah 30 orang.

3.5.2. Analisis Dusun

Analisis dusun dilakukan untuk mengetahui implikasi pengaturan lembaga adat sasi dalam mengatur pola penguasaan sumberdaya dusun yang berbeda-beda. Implikasi pengaturan dijelaskan berdasarkan hasil identifikasi komposisi jenis tumbuhan pada masing-masing dusun. Identifikasi menggunakan analisis vegetasi menurut Soerianegara dan Indrawan (1982). Analisis yang dilakukan adalah dengan menghitung kerapatan tumbuhan (individu/ha) tingkat semai, pancang, tiang dan pohon pada masing-masing dusun untuk menduga kecukupan jumlah tumbuhan atau kerapatan tumbuhan dalam menjaga heterogenitas dan adaptabilitas vegetasi terhadap perubahan-perubahan atau penyakit. Secara jelas rumus perhitungan kerapatan diuraikan sebagai berikut:

Kerapatan = Jumlah Pohon Suatu Jenis Luas Petak Contoh


(36)

4.1.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah

Negeri Allang merupakan salah satu negeri yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Leihitu Barat Kabupaten Maluku Tengah dan terletak di pulau Ambon. Jarak negeri Allang dengan ibukota kecamatan + 5 km sedangkan untuk ke ibukota propinsi + 52 km. Luas wilayah negeri Allang + 250 km2 dengan luas wilayah pemukiman + 5 km2.

Secara geografis negeri Allang terletak pada posisi 03030’ sampai dengan 03045’ LS dan garis 127045’ sampai dengan 128015’ BT. Adapun batas-batas wilayah Negeri Allang adalah sebagai berikut:

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Liliboi - Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Wakasihu - Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Negeri Lima - Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Banda

4.1.2. Jenis Tanah dan Topografi

Berdasarkan hasil pemetaan tanah pada semua peta lahan yang menyebar di kawasan pulau Ambon dengan didasarkan atas pendekatan Terms Of Reference

(TOR) Type A pemetaan dari Lembaga Penelitian Tanah (LPT) Bogor pada tahun 1983 bahwa jenis tanah yang terdapat di Pulau Ambon adalah jenis tanah podsolik (podsolik merah kuning, podsolik coklat kelabu), dan rensina. Pada daerah penelitian, jenis tanahnya adalah podsolik merah kuning.

Wilayah negeri Allang memiliki daerah yang datar disepanjang pantai sedangkan sebagain besar merupakan daerah bergunung dengan kemiringan yang bervariasi. Daerah yang curam ditemui pada daerah-daerah perbukitan dan pegunungan yang terpisah satu dengan yang lain oleh jalur drainase alam dalam bentuk lembah.


(37)

4.1.3. Iklim

Iklim di Pulau Ambon termasuk didalamnya lokasi penelitian adalah iklim tropis dan iklim musim, karena letak Pulau Ambon yang dikelilingi oleh lautan dan berlangsung bersamaan dengan iklim musim di daerah ini yaitu: musim barat dan utara serta musim timur dan tenggara. Kedua musim ini diselilingi oleh musim pancaroba yang merupakan transisi dari kedua musim tersebut. Musim barat umumnya berlangsung dari bulan Desember sampai dengan bulan Maret, sedangkan pada bulan April adalah masa transisi ke musim timur. Musim timur berlangsung dari bulan Mei sampai dengan bulan Oktober disusul oleh musim pancaroba pada bulan November.

4.1.4. Kependudukan

Dari data yang diperoleh dari Kantor Negeri Allang, tercatat bahwa jumlah penduduk Negeri Allang sebanyak 4.458 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 2.186 jiwa dan perempuan sebanyak 2.272 jiwa. Mata pencaharian penduduk negeri Allang sebagian besar sebagai petani yaitu dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Mata Pencaharian Penduduk Negeri Allang

No Uraian Jumlah

1 Petani 852

2 PNS 81

3 Pensiunan 9

4 Nelayan 115

5 Tukang Kayu 175

6 Tukang Batu 75

7 Wira Usaha 57

8 Wiraswasta 59

9 Ukiran 2

10 Anyaman 25

11 Penjahit 12

12 Pandai Besi 2

Jumlah 1464

Sumber: Statistik Negeri Allang Tahun 2011

Penduduk Negeri Allang mayoritas beragama Kristen disamping agama lain yang dianut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel jumlah penduduk berdasarkan golongan agama yang dianut di Negeri Allang, Kecamatan Leihitu Barat Kabupaten Maluku Tengah:


(38)

Tabel 3 Jumlah Penduduk berdasarkan Agama di Negeri Allang pada Tahun 2011

Agama Jumlah

Islam 14

Kristen Protestan 4.442

Katholik 2

Hindu -

Budha -

Sumber : Data Statistik Kantor Negeri Allang Tahun 2011

Keterangan: - = tidak ada

Untuk mengetahui sebaran penduduk di negeri Allang menurut klasifikasi umur dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4 Jumlah Penduduk berdasarkan Kelas Umur

No Uraian Jumlah

1 0 – 5 Tahun 478

2 6 – 10 Tahun 483

3 11 – 15 Tahun 485

4 16 – 20 Tahun 401

5 21 – 25 Tahun 382

6 26 – 30 Tahun 421

7 31 – 35 Tahun 329

8 36 – 40 Tahun 251

9 41 – 45 Tahun 220

10 46 – 50 Tahun 216

11 51 – 55 Tahun 210

12 56 – 60 Tahun 172

13 61 – 65 Tahun 167

14 66 – 70 Tahun 93

15 71 – 75 Tahun 64

16 76 – 80 Tahun 38

17 81 – 85 Tahun 29

18 86 – 90 Tahun 14

19 91 – 95 Tahun 3

20 >96 Tahun 1

Pada umumnya penduduk Negeri Allang sudah menduduki jenjang pendidikan formal mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga Perguruaan Tinggi, seperti disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Uraian Jumlah

1 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) 50

2 TK 83

3 SD 1459

4 SLTP 538

5 SMA 818

6 D1 16

7 D2 18

8 D3 17

9 S1 39


(39)

4.1.5. Sarana dan Prasarana 4.1.5.1.Fasilitas Pendidikan

Untuk menunjang pendidikan anak di Negeri Allang terdapat beberapa sarana pendidikan diantaranya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sarana Pendidikan

No Fasilitas Pendidikan Jumlah (Unit)

1 Taman Kanak-Kanak 1

2 Sekolah Dasar 4

3 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 1

Jumlah 6

Sumber : Data statistik Negeri Allang Tahun 2011

4.1.5.2 .Fasilitas Umum

Negeri Allang terdapat fasilitas penunjang lain seperti rumah pintar 1 unit, perpustakaan negeri 1 unit, gedung gereja 2 unit, rumah adat (Baeleo) 1 unit, Kantor negeri 1 unit. Untuk menunjang perekonomian di Negeri Allang terdapat Koperasi Unit Desa (KUD) 1 unit, Warung Serba Ada (Waserda) sebanyak 4 unit. Selain itu terdapat juga beberapa fasilitas olahraga diantaranya lapangan bola kaki 1 unit, lapangan bola volly 1 unit, lapangan bulu tangkis 3 unit. Di bidang kesehatan terdapat 1 unit Rumah Sakit Pembantu dan 8 unit Posyandu.

4.2 Asal Usul Masyarakat dan Latar Belakang Sejarah Pemerintahan

Masyarakat Negeri Allang adalah merupakan campuran dari penduduk asli dan penduduk pendatang yang sudah mendiami Negeri Allang sekitar abad XIV (1452). Penduduk pendatang itu bermigrasi dari kepulauan Maluku Utara yaitu Tidore, Bacan, Ternate, Obi dan Halmahera (Sabandar 1999). Penduduk pendatang pertama berasal dari Pulau Bacan di Maluku Utara, yang diprakarsai oleh 5 (lima) kelompok marga (keluarga) yaitu, terdiri dari marga Huwae, Patty, Kaya, Mauwa dan Lopumeten, dan setelah itu berdatangan lagi dari Pulau Ternate, Pulau Tidore dan Halmahera yang terdiri dari 4 (empat) kelompok marga yaitu antara lain: Marga Sabandar, Siwalette, Sohilait dan Sapakoly. Kesembilan marga ini melakukan perjalanan untuk mencari pemukiman yang baru dan mereka tiba di suatu pulau yaitu Pulau Ambon Negeri Allang, di daerah ini sudah ditempati oleh penduduk asli yang terdiri dari 3 (tiga) kelompok marga yaitu, marga Manuhua, Ralahalu, dan Sipahelut.


(40)

Keluarga pendatang (keluarga sembilan/sembilan marga) awalnya membangun pemukiman mereka di daerah pinggiran pantai. Mereka selalu mendapat gangguan dari penduduk asli, terutama sewaktu membuka areal hutan untuk bercocok tanam, akhirnya keluarga sembilan mengadakan musyawarah dengan penduduk asli untuk mencari solusi agar tidak terjadi konflik dengan penduduk asli. Musyawarah dilakukan pada tahun 1492 oleh kedua belah pihak (pihak penduduk asli dan pihak pendatang), dari musyawarah itu menghasilkan kesepakatan bahwa penduduk asli bersedia bergabung dengan penduduk pendatang, maka bergabunglah 3 (tiga) kelompok marga penduduk asli yang tadinya bermukim di pegunungan turun dan bergabung ke daerah pinggiran pantai, dengan demikian jumlah marga atau fam penduduk Negeri Allang pada saat itu berjumlah 12 marga (keluarga).

Pertemuan antara kedua kelompok penduduk asli dan pendatang itu, maka terciptalah suatu interaksi sosial budaya yang pada akhirnya terwujud harmonisasi kehidupan diantara dua kelompok penduduk. Sejalan dengan itu, untuk tetap menjaga keharmonisan maka disepakati untuk mengangkat seorang pemimpin, yang pada saat itu dikenal “Kapitang” maka dilakukan musyawarah bersama dan hasilnya disepakati dan sebagai suatu “penghormatan” diberikan kepada penduduk asli untuk menjadi pemimpin, maka diangkat seorang pemimpin

(Kapitang) yang bernama Soldier Patileli Ralahalu dan pada akhirnya disepakati itu adalah sebagai pemimpin pertama di Negeri Allang.

Pada tahun 1530, seiring dengan semakin bertambahnya penduduk dan selain juga masih berdatangan lagi marga-marga (keluarga-keluarga) yang lain untuk bergabung dengan warga masyarakat yang sudah ada di Allang. Untuk mencegah terjadinya konflik, pemekaran Negeri Allang dilakukan dengan pembagian marga-marga (keluarga-keluarga) ke wilayah-wilayah dalam bentuk

soa dan ditunjuk kepala soanya (pemimpin marga) sebagai pembantu Kapitang

saat itu untuk mewakili setiap marga. Soa-soa (wilayah-wilayah) pada saat itu dibagi berdasarkan marga-marga yang pertama kali datang ke Negeri Allang (Sabandar 1999).

Perkembangan selanjutnya, pada abad ke-17 tepatnya tahun 1719 VOC dengan konsep pemerintah Hindia Belanda berperan dalam sistem pemerintahan


(41)

di Maluku. Hal ini mengakibatkan negeri-negeri harus mempunyai “Raja” untuk mengendalikan pemerintahan. Atas dasar itu, penyesuaian juga terjadi pada sistem pemerintahan negeri Allang yang sudah dibentuk menjadi 8 (delapan) soa

sebagai wilayah administratif dalam negeri, yang dibagi berdasarkan marga untuk menjalankan pemerintahan, dengan kesepakatan yaitu:

1. Soa Palya dengan Kepala Soanya bermarga Pelasula 2. Soa Kolya dengan Kepala Soanya bermarga Huwae 3. Soa Tapela dengan Kepala Soanya bermarga Sohilait 4. Soa Acamami dengan Kepala Soanya bermarga Siwalette 5. Soa Baru dengan Kepala Soanya bermarga Nussy

6. Soa Urubasa dengan Kepala Soanya bermarga Kaya 7. Soa Wara dengan Kepala Soanya bermarga Ralahalu

8. Soa Kampung Baru dengan Kepala Soanya bermarga Lalihatu

Kondisi pemerintahan negeri hasil ciptaan VOC tersebut tetap dipertahankan setelah Hindia Belanda diambil alih oleh pemerintahan kerajaan Belanda bersamaan dengan bubarnya VOC pada tanggal 31 Desember 1799. Pada tahun 1818, pemerintahan kolonial Belanda mengeluarkan peraturan pemerintah yang mengukuhkan Raja sebagai gelar penguasa negeri serta Kepala Soa sebagai gelar penguasa soa, sehingga terjadi peraturan yang disempurnakan dengan

Staatsblad 19-an tahun 1824 yang mengatur pengangkatan dan pemberhentian

penguasa negeri serta pengakuan dan pengesahan saniri negeri. Pada waktu peraturan yang dikeluarkan saat itu membawa dampak tersendiri bagi masyarakat Allang dimana Raja yang semula dipegang oleh penduduk asli (Marga Ralahalu)

yang lebihnya merupakan penduduk asli beralih ke marga/garis keturunan Patty, hal ini dengan alasan bahwa Marga Patty pada saat itu hanya dapat dipercaya oleh Belanda untuk menjalankan pemerintahan.

Dampak dari kebijakan pemerintah Belanda pada waktu itu mengakibatkan kepemimpinan di negeri Allang hingga pada abad XIX dengan sistem pemerintahan “Raja” tetap dipertahankan dan disepakati oleh seluruh masyarakat berlandaskan adat dan kekerabatan yang merupakan unsur-unsur pokok dalam tradisi yang diwarisi secara turun-temurun, sehingga masyarakat tetap mempertahankan kepemimpinan di desa Allang harus berdasarkan garis


(42)

keturunan/hubungan darah (descent) dan patuh pada kebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat yang sudah berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Atas dasar itu pelaksanaan pemerintahan Negeri Allang diperintah oleh sebuah dewan negeri yang disebut Badan saniri negeri atau secara singkat biasanya disebut saniri.

4.3 Pola Pemukiman dan Ikatan Sosial

Masyarakat Negeri Allang membangun pemukiman secara berkelompok sesuai dengan keturunannya (berdasarkan marga), sampai saat ini kondisi tersebut nampak pada soa-soa yang dihuni oleh suatu keturunan keluarga besar (marga), untuk membangun pemukiman baru masyarakat membangun disekitar lingkungan keluarganya, dan umumnya dari keluarga laki-laki.

Ikatan sosial masyarakat Negeri Allang berdasarkan hubungan patrilineal

yang diiringi dengan pola menetap patrilokal, kesatuan kekerabatan yang paling penting sesudah keluarga batih adalah Matarumah atau fam yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilineal. Matarumah atau fam merupakan kesatuan dari laki-laki dan perempuan yang belum kawin dan para istri dari laki-laki yang telah kawin, dengan kata lain Matarumah atau fam merupakan satu klen kecil patrilineal.


(43)

5.1. Struktur Kelembagaan Masyarakat Negeri Allang

Berdasarkan tingkat kekerabatan masyarakat dari tiap-tiap mata rumah/rumah tau di atas kemudian masyarakat Allang dapat digolongkan berdasarkan persekutuan teritorial geneologis yang terdiri dari delapan soa (wilayah). Secara hirarki kelembagaan sistem kekerabatan masyarakat Allang memiliki bentuk sistem kelembagaan dengan perangkat/aparatur negeri yang terdiri atas Raja/Pati, Saniri Negeri, Kewang, Kepala Soa, Marinyo dan Kapitang.

Hirarki dari sistem pemerintahan lembaga adat untuk negeri Allang disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Struktur Lembaga Adat Negeri Allang Kewang

Marinyo

Masyarakat

Soa Siwalette Soa Pelasula Soa Sohilait Soa Tupang Soa Kaya Soa Ralahalu Soa Huwae Soa Nussy

Saniri Negeri

Kepala PemerintahanNegeri /


(44)

Raja adalah pimpinan lembaga adat yang melaksanakan tugas memimpin negeri setiap hari atau sebagai suatu lembaga eksekutif dengan dibantu oleh lembaga-lembaga adat lainnya seperti kepala soa, marinyo, dan kewang. Raja

berfungsi sebagai kepala pemerintahan negeri sekaligus sebagai kepala adat.

Saniri negeri adalah lembaga adat ditingkat negeri yang terdiri dari tokoh adat, tokoh agama, dan utusan masing-masing soa. Jumlah Saniri negeri di Allang terdiri dari 11 (sebelas) orang. Lembaga saniri negeri bertugas sebagai lembaga legislatif negeri dalam mengambil keputusan-keputusan yang dilaksanakan oleh

raja dan masyarakat. Selain itu, hal-hal penting sebelum dilaksanakan raja

terlebih dulu harus meminta persetujuan saniri negeri, jika ditolak maka tidak boleh dijalankan. Lembaga adat saniri negeri berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan-keputusan tersebut.

Kepala soa adalah pimpinan dari beberapa mata rumah/rumah tau, klen (marga) di dalam negeri yang bertugas membantu raja dalam menangani berbagai permasalahan adat istiadat dan budaya di dalam negeri seperti perkawinan, pengangkatan anak dan lain sebagainya. Kepala soa adalah merupakan juru bicara dari klen (marga) yang dipimpinnya. Kepala soa berfungsi sebagai pembantu raja dalam melaksanakan pemerintahan negeri serta berkedudukan sebagai pembantu raja dalam menyelenggarakan permusyawaratan masyarakat di negeri. Selain itu kepala soa berfungsi menampung dan menyalurkan aspirasi serta pendapat masyarakat di dalam soa-nya. Kepala-kepala soa mempunyai wilayah kekuasaan terhadap sumberdaya dusun yang disebut dengan wilayah soa.

Sekretaris Negeri berkedudukan sebagai unsur staf pembantu Raja dengan tugasnya menjalankan administrasi pemerintahan negeri untuk memberikan pelayanan administari kepada masyarakat. Apabila raja berhalangan, Sekretaris Negeri wajib melaksanakan administrasi pemerintahan dan fungsi-fungsi raja

bersama-sama dengan kepala-kepala soa dan melaporkan kepada Raja apabila sudah dilaksanakan. Sekretaris Negeri dibantu oleh kaur-kaur dalam menjalankan tugasnya.

Kewang (polisi negeri) memiliki peran dalam menjaga dan mengawasi lingkungan negeri baik di darat maupun di laut serta memelihara perbatasan negeri yang meliputi hutan dan kebun-kebun supaya terawat dengan baik. Kewang


(45)

melakukan sasi terhadap hutan/dusun dan seluruh hasil-hasil hutan/dusun sesuai dengan kesepakatan warga masyarakat untuk melindungi hasil-hasil tersebut sebelum waktu panen. Kewang mempunyai tugas melakukan pengontrolan di hutan agar warga masyarakat tidak melakukan perusakan dan pencurian di hutan. Apabila terdapat warga masyarakat yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut, maka akan diberikan sanksi langsung oleh Kewang, atau diserahkan kepada raja

dan selanjutnya di proses di dalam gereja dan di kantor negeri.

Marinyo mempunyai tugas menyampaikan berita dari raja kepada staf pemerintahan yang lain dan kepada masyarakat secara umum. Tugas menyampaikan informasi dalam bentuk pengumuman resmi kepada masyarakat, baik secara lisan maupun tulisan yang disepakati oleh raja, serta mengantarkan surat-surat panggilan kepada warga masyarakat yang membuat tindakan kejahatan berupa melanggar aturan di dalam negeri untuk menghadap staf pemerintah negeri. Selain itu juga bersama-sama dengan staf pemerintah negeri dalam penyelesaian sengketa tanah.

Kapitang adalah panglima perang yang bertugas mengkoordinir masyarakat dalam menghadapi serangan-serangan dari luar yang mengganggu ketentraman dan keamanan masyarakat di dalam negeri. Selain itu pada upacara-upacara adat di negeri, Kapitang berkewajiban untuk mendampingi raja.

5.2. Lembaga Adat Negeri Allang dalam Mengelola Sumberdaya dusun

Kelembagaan dalam arti organisasi berupa kelompok-kelompok masyarakat yang mempunyai aturan baik untuk mengatur hubungan diantara sesama maupun yang berkaitan dengan aturan pengelolaan sumberdaya dusun di sekitarnya. Uphoff (1993) menegaskan bahwa kelembagaan dapat sekaligus berupa organisasi dan sebaliknya. Tetapi jelas bahwa kelembagaan adalah seperangkat norma dan perilaku yang bertahan dari waktu ke waktu dengan memenuhi kebutuhan kolektif, sedangkan organisasi adalah struktur dari peran yang diakui dan diterima.

Tradisi dalam memelihara sumberdaya dusun adalah suatu tata kehidupan/tatakrama masyarakat. Aturan yang mengandung sanksi adalah hukum adat. Adat yaitu kumpulan norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan


(46)

masyarakat dan selalu berkembang serta meliputi aturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari yang senantiasa ditaati dan dihormati (Muslim dkk 1994). Pelanggaran terhadap tradisi atau kebiasaan walaupun tidak ada sanksi namun yang melanggar akan dicemooh. Hal ini disebabkan karena tradisi itu merupakan pencerminan kepribadian dan penjelmaan dari jiwa mereka secara turun-temurun, dimana setiap pelanggaran yang dilakukan terhadap hukum adat akan dikenakan sanksi sesuai aturan adat dalam negeri setempat.

Pembahasan mengenai lembaga adat dalam pengelolaan dusun difokuskan pada pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat Allang secara turun temurun dalam pengelolaan dusun dan telah menyatu dengan sistem kepercayaan dan budaya setempat. Uraian mengenai pengetahuan masyarakat meliputi lembaga

kewang, aturan sasi negeri, sasi gereja, dan dusun. 5.2.1. Kewang

Kewang adalah polisi negeri yang bertanggung jawab atas pengawasan dan inspeksi wilayah negeri, perbatasan, keadaan hutan, kebun-kebun dan lain-lain. Sedangkan Ruhulesin (1985) menyatakan bahwa kewang adalah polisi hutan dan lautan dari setiap negeri, atau dengan kata lain kewang merupakan aparat pengawasan pengamanan lingkungan hidup di dalam wilayah setiap negeri.

Berbeda dengan defenisi di atas, Ohorella (1993) menyatakan bahwa

kewang adalah semacam korps polisi negeri yang dipilih dan diangkat dalam suatu rapat saniri besar/lengkap, yang bertugas memeriksa, mengawasi, mengayomi, mengamankan petuanan (wilayah) negeri yang meliputi wilayah hutan atau daratan dan lautan mencakup seluruh kekayaan alam yang terkandung didalamnya termasuk kehidupan dan penghidupan penduduknya serta mengusahakan penataan penduduk terhadap pranata atau hukum sasi.

Kewang diartikan sebagai suatu unit lembaga adat yang berada di bawah pemerintahan negeri, bertugas sebagai korps polisi negeri dalam penegakan aturan adat, pengawas dan pengamanan terhadap hak kepemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dusun di negeri Allang.

Kelembagaan yang baik, berkembang dan dipertahankan oleh suatu komunitas sedikitnya memiliki tiga fungsi, diantaranya: (1) mampu memberikan pedoman kepada anggota-anggota masyarakat bagaimana mereka harus


(47)

bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi berbagai masalah yang dihadapi, terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhannya; (2) mampu menjaga keutuhan masyarakat; dan (3) memberikan pegangan kepada masyarakat untuk keperluan dalam suatu pengendalian dan pengawasan sosial (social control) (Sallatang 1999, Grant 2001).

Salah satu fungsi dan peran lembaga kewang adalah mengatur pelaksanaan

sasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dusun untuk pencapaian tujuan sasi yaitu; (1) menjaga ketertiban dalam pengelolaan sumberdaya dusun, sehingga mencegah terjadinya perusakan sumberdaya dusun tersebut; (2) mengatur penggunaan hak seseorang secara tepat menurut waktu yang ditentukan untuk mengambil hasil tanamannya; dan (3) menumbuhkan tingkah laku dan pola pikir masyarakat yang berwawasan lingkungan kepada generasi penerus.

Kewang dibentuk dalam suatu organisasi korps melalui pertemuan saniri besar yang wajib dihadiri oleh Raja, Kepala Soa, Anggota Saniri Negeri, tua-tua adat, penduduk negeri dan pendeta. Bentuk organisasinya dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Organisasi Kewang

Gambar 6 menunjukan bahwa kepala kewang bisa merupakan seorang laki-laki maupun seorang perempuan, hal ini sangat tergantung kepada keputusan rapat Saniri Besar pada pembentukan serta pengangkatan wakil-wakil masyarakat dari saniri untuk menduduki jabatan lembaga kewang baik sebagai anggota

Kepala Kewang

Sekretaris Kewang

Badan peradilan (Gereja/dewan gereja)


(48)

kewang, anak kewang, anggota dewan persidangan dan sekretaris kewang.

Sekretaris kewang pada lembaga kewang merupakan seseorang yang ditugaskan dalam mengurus administrasi lembaga kewang agar didalam melaksanakan pekerjaan kewang secara tertib dan teratur, maka perlu ditunjang dengan pekerjaan administrasi yang baik. Sekretaris kewang akan senantiasa membantu

kepala kewang. Tugasnya ialah memegang buku-buku peringatan/larangan (akte

sasi negeri dan sasi gereja), buku sanksi lembaga kewang, buku kas, dan serta membuat surat-surat ijin kepada mereka yang membutuhkan.

Tidak ada batasan jumlah orang yang terlibat dalam lembaga kewang namun biasanya kewang beranggotakan lebih dari sepuluh orang. Di Allang anggota kewang berjumlah 16 orang yang dipilih dari warga yang berada dalam 8 mata rumah (masing-masing mata rumah mewakilkan 2 orang warganya untuk menjadi anggota kewang). Tugas kepala kewang adalah mengatur tugas pengawasan bagi anggota kewang, memimpin rapat kewang, mengadakan koordinasi dengan raja

dan pendeta mengenai saat tutup dan buka sasi. Peran lembaga kewang sangat besar manfaatnya dalam menciptakan rasa aman, adil dan tertib di dalam kehidupan masyarakat di Negeri Allang.

5.2.2. Kelembagaan Penguasaan dan Pemanfaatan Dusun

Praktek pengelolaan hutan yang telah membudaya bagi masyarakat Maluku dan masyarakat Allang, dikenal dengan istilah dusun. Dusun telah dikenal oleh masyarakat Maluku sejak nenek moyang mereka, ini terbukti dari penggunaan istilah dusun pada jenis-jenis sumberdaya alam tertentu seperti antara lain dusun pala, dusun cengkeh, dusun kelapa yang merupakan warisan masa lalu.

Dalam perkembangannya, oleh masyarakat Allang istilah dusun ini digunakan pada lahan yang berkaitan dengan kepemilikan dan penggunaannya seperti dusun dati, dusun pusaka dati, dusun sanimu, dusun pembelian, dusun perusahaan dan dusun lenyap. Selanjutnya istilah dusun ini juga digunakan pada lahan yang berkaitan dengan jenis tanaman dominan yang tumbuh atau diusahakan diatas lahan milik tersebut, seperti dusun cengkeh (lahan didominasi oleh tanaman cengkeh), dusun pala (lahan didominasi oleh tanaman pala).

Menurut Kaya (2003), dusun adalah sistem pengelolaan sumberdaya alam dalam suatu bentang lahan milik dengan mengkombinasikan komoditas pertanian,


(49)

kehutanan dan peternakan serta pemukiman. Dalam hal ini diartikan sebagai suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri atas berbagai jenis tumbuhan hutan maupun tanaman pangan yang diusahakan. Di negeri Allang bentuk dusun-nya yaitu,

dusun yang dibangun oleh masyarakat.

Dusun sudah dikenal oleh masyarakat Allang sejak nenek moyang mereka.

Dusun ini selanjutnya diwariskan secara turun-temurun. Walaupun belum memiliki batas-batas yang jelas, setiap keluarga mata rumah dapat mengetahui dengan pasti pohon-pohon yang dimilikinya. Umumnya batas-batas tersebut berupa batas-batas alam seperti gunung, sungai, batu atau pohon-pohon tertentu. Meskipun dusun-dusun tersebut milik kelompok mata rumah atau perorangan, namun aturan-aturan negeri berlaku terhadap dusun-dusun tersebut. Setiap pemilik

dusun di Allang harus taat pada aturan-aturan negeri yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam di dalam dusun tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas dan defenisi-defenisi sebelumnya tentang

dusun, maka penulis dapat mendefinisikan dusun yakni sebagai suatu modifikasi sistem penanaman dari pembukaan ladang baru yang dilakukan oleh masyarakat baik secara individu maupun secara berkelompok dengan mengkombinasikan tanaman umur pendek dan tanaman umur panjang.

Sumberdaya hutan di Allang dikelola oleh lembaga kewang, dan dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat lokal. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan, jauh sebelumnya wilayah kelola adat Allang telah mendapat pengakuan dari negeri-negeri lain, terutama yang berbatasan langsung dengan wilayah negeri Allang, seperti negeri Liliboy, Wakasihu, dan Negeri Lima. Olehnya itu, peluang terjadinya sengketa terhadap pemanfaatan lahan, utamanya dengan negeri lain sangatlah kecil dan dapat diselesaikan secara bersama oleh kedua belah pihak. Kalaupun ada, lembaga adat telah memiliki resolusi konflik yang diakui dan disepakati bersama baik internal maupun eksternal di negeri Allang, meliputi: metode musyawarah, mediasi, dan mekanisme peradilan adat. Secara struktur kelembagaan, Penelitian ini mengkaji ketiga ciri utama kelembagaan sebagai instrumen yang mengatur hubungan antar orang atau kelompok masyarakat dalam kaitannya dengan bentuk-bentuk penguasaan yang dimilikinya dalam pengelolaan sumberdaya dusun.


(1)

61

Suharjito D. Saputro G. E. 2008. Modal Sosial dalam pengelolaan Sumberdaya Hutan pada masyarakat Kasepuhan, Banten Kidul. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan.

Uphoff N. 1986. Local Institutional Development. West Hartford. CT. Kumarian Press

Uphoff, N. 1993. Local Institutions and Participation for Sustainable Development. Gatekeeper Series SA31. IIED, London.

Wahyono, Rahman P, Laksono, Ratna I, Sudiono, Surmiati A. 2000. Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia. Yogyakarta. Media Presindo. Wattimena G.A. and Papilaya E. 2005. Model Agroforestry di Maluku. Artikel

publikasikan Harian Ambon Expres tanggal 20,21, 22 April 2005. Wattimena G.A. 2007. Agroforetri di Maluku. Makalah Diskusi Panel Alumni

SMU Negeri 2 Ambon. TMII Jakarta.

Wignjodipoero, R. Soerojo.1967. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung.


(2)

beberapa rumah tangga dengan memakai nama keluarga berupa marga yang sama dalam suatu negeri.

2. Soa adalah suatu persekutuan teritorial geneologis, yang terdiri dari kelompok masyarakat yang di dalmnya bisa terdiri dari seketurunan (geneologis) yang terdiri dari beberapa mata rumah/rumah tau di dalam negeri.

3. Raja adalah pimpinan lembaga adat yang melaksanakan tugas memimpin negeri.

4. Saniri negeri adalah lembaga adat di tingkat negeri yang terdiri dari tokoh adat, tokoh agama, dan utusan masing-masing soa.

5. Kepala soa adalah pimpinan dari beberapa mata rumah/rumah tau, klen (marga) didalam negeri yang bertugas membantu raja dalam menangani berbagai permasalahan adat istiadat dan budaya didalam negeri.

6. Kewang adalah polisi negeri yang memiliki peran dalam menjaga dan mengawasi lingkungan negeri baik di darat maupun di laut serta memelihara perbatasan negeri yang meliputi hutan dan kebun-kebun supaya terawat dengan baik.

7. Marinyo mempunyai tugas menyampaikan berita dari raja kepada staf pemerintahan yang lain dan kepada masyarakat secara umum.

8. Tanah Dati adalah tanah atau wilayah adat yang dapat mengatur hak masyarakat baik dalam negeri maupun yang berada di luar negeri terhadap wilayah kekuasaanya atas sumberdaya hutan.

9. Dusun adalah sistem pengelolaan sumberdaya alam dalam suatu bentang lahan milik dengan mengkombinasikan komoditas pertanian dan perkebunan. 10. Dusun dati merupakan dusun yang berada di dalam atau diatas tanah dati. 11. Dusun Pusaka Dati adalah warisan yang diberikan kepada saudara

perempuan (telah menikah) yang suaminya tidak mempunyai dusun.

12. Dusun Sanimu adalah warisan dati yang diberikan kepada saudara perempuan atas bantuannya dalam jasa pelayanan dalam mengurusi orang tua di hari tua sampai orang tuanya meninggal dunia.


(3)

63

13. Dusun Pembelian adalah persetujuan anak dati untuk diperjualbelikan atas dasar tuntutan kebutuhan ekonomi.

14. Dusun Lenyap adalah dusun milik warga yang tidak memiliki keturunan sampai dia meninggal maka dusun tersebut dianggap lenyap dan kemudian diserahkan ke pemerintahan adat negeri.

15. Dusun perusahaan merupakan kawasan hutan yang di miliki oleh orang tertentu yang mengusahakan suatu kawasan hutan dengan membuka lahan baru.

16. Sasi adalah aturan pengelolaan sumberdaya alam berbasiskan masyarakat, yang telah dilakukan oleh masyarakat pedesaan Maluku yang keberadaannya sudah ada sejak jaman dulu kala.

17. Tutup sasi merupakan tahapan dilakukannya kegitan pelarangan terhadap adanya akses masyarakat untuk mengambil atau memungut jenis-jenis hasil

dusun-nya sampai dengan jangka waktu yang ditentukan.

18. buka sasi merupakan salah satu bentuk tahapan dimana masyarakat dapat diperbolehkan mengambil hasil-hasil dusun yang telah di sasi sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan bersama atau tanaman sudah mencapai 100% masak/ benar-benar matang.


(4)

Jumlah/

∑ Pohon ∑ Tiang ∑ Pancang ∑ Semai Jenis/ha

Pala 200 300 400 900

Cengkeh 75 800 3200 4075

Kenari 50 50

Durian 25 25

Langsat 75 400 475

Total/ha 425 1500 3600 5525

Performansi Dusun Pusaka Dati

Jumlah/

∑ Pohon ∑ Tiang ∑ Pancang ∑ Semai Jenis/ha

Pala 175 100 1200 1475

Cengkeh 150 1300 1600 12500 15550

Kenari 25 25

Durian 25 25

Langsat 25 100 125

Total/ha 400 1500 2800 12500 17200

Performansi Dusun Sanimu

Jumlah/

∑ Pohon ∑ Tiang ∑ Pancang ∑ Semai Jenis/ha

Pala 100 600 1600 2500 4800

Cengkeh 200 600 4800 15000 20600

Kenari

Durian 25 25

Langsat 400 400

Total/ha 325 1600 6400 17500 25825

Performansi Dusun Pembelian

Jumlah/

∑ Pohon ∑ Tiang ∑ Pancang ∑ Semai Jenis/ha

Pala 150 1200 400 1750

Cengkeh 200 2400 2800 15000 20400

Kenari Durian Langsat

Total/ha 350 3600 3200 15000 22150

Performansi Dusun Perusahan

Jumlah/

∑ Pohon ∑ Tiang ∑ Pancang ∑ Semai Jenis/ha

Pala 325 1000 800 2125

Cengkeh 50 400 800 1250

Kenari

Durian 25 25

Langsat 25 200 225

Total/ha 425 1600 1600 3625

Tingkat Vegetasi/ha

Jenis Tingkat Vegetasi/ha

Jenis Tingkat Vegetasi/ha

Tingkat Vegetasi /ha

Jenis Tingkat Vegetasi/ha

Jenis Jenis


(5)

65

Lampiran 3. (a) Dusun Pembelian, (b) Dusun perusahan, (c) Dusun Sanimu, (d) Pusaka Dati, (e) Dusun Dati.

(a) (b)

(c)


(6)

Jumlah/

∑ Pohon ∑ Tiang ∑ Pancang ∑ Semai Jenis/ha

Pala 200 300 400 900

Cengkeh 75 800 3200 4075

Kenari 50 50

Durian 25 25

Langsat 75 400 475

Total/ha 425 1500 3600 5525

Performansi Dusun Pusaka Dati

Jumlah/

∑ Pohon ∑ Tiang ∑ Pancang ∑ Semai Jenis/ha

Pala 175 100 1200 1475

Cengkeh 150 1300 1600 12500 15550

Kenari 25 25

Durian 25 25

Langsat 25 100 125

Total/ha 400 1500 2800 12500 17200

Performansi Dusun Sanimu

Jumlah/

∑ Pohon ∑ Tiang ∑ Pancang ∑ Semai Jenis/ha

Pala 100 600 1600 2500 4800

Cengkeh 200 600 4800 15000 20600

Kenari

Durian 25 25

Langsat 400 400

Total/ha 325 1600 6400 17500 25825

Performansi Dusun Pembelian

Jumlah/

∑ Pohon ∑ Tiang ∑ Pancang ∑ Semai Jenis/ha

Pala 150 1200 400 1750

Cengkeh 200 2400 2800 15000 20400

Kenari Durian Langsat

Total/ha 350 3600 3200 15000 22150

Performansi Dusun Perusahan

Jumlah/

∑ Pohon ∑ Tiang ∑ Pancang ∑ Semai Jenis/ha

Pala 325 1000 800 2125

Cengkeh 50 400 800 1250

Kenari

Durian 25 25

Langsat 25 200 225

Total/ha 425 1600 1600 3625

Tingkat Vegetasi/ha

Jenis Tingkat Vegetasi/ha

Jenis Tingkat Vegetasi/ha

Tingkat Vegetasi /ha

Jenis Tingkat Vegetasi/ha

Jenis Jenis


Dokumen yang terkait

Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Mangrove di Wilayah Pesisir, Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Maluku Tengah

0 6 126

Pran Tokoh Adat dalam Perubahan Struktur Pemerintahan Desa (Studi Kasus di Desa Allang Pulau Ambon, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku)

0 5 133

Keragaan Kelembagaan adat agroforestri Dusun: studi kasus Negeri Liang, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah dan Negeri Werinama, Kecamatan Werinama, Kabupaten Seram Bagian Timur

0 18 182

Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Mangrove di Wilayah Pesisir, Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Maluku Tengah

0 5 116

Keragaan Kelembagaan adat agroforestri Dusun studi kasus Negeri Liang, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah dan Negeri Werinama, Kecamatan Werinama, Kabupaten Seram Bagian Timur

0 8 97

Bentuk Penggunaan dan Produktifitas Lahan Sistem Dusung (Studi Kasus di Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah)

0 2 76

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Sosial pada Ibu Bersalin (Primipara) di Desa Lilibooi Kecamatan Leihitu Barat Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Sosial pada Ibu Bersalin (Primipara) di Desa Lilibooi Kecamatan Leihitu Barat Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku

0 0 52

T2 Lampiran Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Modal Sosial dalam Kearifan Lokal Sasi: Studi Kasus terhadap Pelaksanaan Sasi Gereja di Negeri Administratif Hatuhenuecamatan Amahaiabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku

0 0 6

ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

0 0 7