3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2012. Tempat penelitian dan pengumpulan data dilakukan di Negeri Allang, Kecamatan Leihitu
Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Gambar 3 Sketsa lokasi penelitian
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini dirancang menggunakan metode triangulasi dengan jenis penelitian studi kasus. Metode triangulasi dapat diartikan sebagai “kombinasi
sumber data” yang memadukan sedikitnya tiga metode, seperti pengamatan, wawancara dan analisis dokumen Sitorus 1998. Kelebihan dari metode ini
adalah saling menutupi kelemahan antara satu metode dengan metode lainnya sehingga hasil yang diharapkan lebih valid. Sebagai satuan kasusnya adalah
“Peran lembaga adat Sasi dalam pengelolaan sumberdaya dusun di Negeri Allang, Kecamatan Leihitu Barat Kabupaten Maluku Tengah”. Menurut Nazir
1988, studi kasus adalah penelitian tentang suatu objek yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khusus dari keseluruhan personalitas. Tujuan studi kasus
Lokasi Penelitian
Sumber: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000
adalah memberikan gambaran tentang latar belakang, sifat-sifat dan karakter dari suatu keadaan yang ada pada waktu penelitian dilakukan.
3.4. Metode Pengambilan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh peneliti dari responden dan
hasil pengamatan lapangan serta pengukuran lapangan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari literatur, data statistik, laporan yang diperoleh dari instansi
terkait dan data pendukung yang ada ditingkat negeri maupun kecamatan. Data primer bersumber dari responden baik formal maupun informal. Responden
formal seperti raja, pendeta dan dewan gereja, kepala kewang dan anggotanya. Sedangkan responden yang informal adalah tokoh masyarakat tetua adat, dan
salah satu anggota masyarakat setempat. Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam, pengamatan
terlibat dan pengukuran lapangan.
3.4.1. Wawancara Mendalam
Metode ini dilakukan dengan wawancara indept interview menggunakan pedoman wawancara dan kuesioner terhadap responden yang berasal dari individu
pemilik masing-masing dusun kepala-kepala soamata rumah dan kepala rumah tangga yang berasal dari suatu mata rumah tertentu. Wawancara mendalam
dilakukan dengan berpedoman pada pertanyaan-pertanyaan kunci mengenai struktur kelembagaan dan aturan - aturan tentang sasi serta peran lembaga adat
dalam mengatur hak penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya dusun. Untuk mendapatkan sumber informasi yang tepat dilakukan tiga tahap, yakni 1
pemilihan responden awal yang terkait dengan fokus penelitian. 2 pemilihan responden lanjutan guna memperluas deskripsi informasi dan melacak variasi
informasi yang mungkin ada. 3 menghentikan pemilihan responden lanjutan bilamana dianggap sudah tidak ditemukan lagi variasi informasi.
3.4.2. Pengamatan Terlibat
Pengamatan terlibat digunakan untuk mengamati kegiatan pengawasanpengamanan dusun oleh lembaga kewang. Pengamatan difokuskan
pada kegiatan tutup sasi dan buka sasi serta sejauh mana implikasinya terhadap performansi atau penampakan substansi kajian dusun itu sendiri.
3.4.3. Pengukuran Lapangan
Pengukuran lapangan dimaksudkan untuk mendapatkan data mengenai komposisi jenis atau masyarakat tumbuh-tumbuhan pada masing-masing dusun
berdasarkan aturan lokalistik setempat. Data pengukuran ini merupakan salah satu bentuk identifikasi vegetasi yang dapat menjelaskan tentang kondisi tegakan
hutan, yaitu pohon dan permudaannya serta tegakan tumbuhan bawah Soerianegara Indrawan 2002.
Dalam mempelajari komposisi jenis tumbuhan atau vegetasi masing-masing dusun yaitu sebagai berikut:
Tabel 1 Komposisi Jenis Dusun
No Jenis
Dusun Jumlah Plot
1 Dusun dati
2 2
Dusun pusaka dati 2
3 Dusun sanimu
2 4
Dusun pembelian 2
5 Dusun perusahaan
2
Jumlah 10
Penentuan petak contoh menggunakan cara garis berpetak dengan plot pengamatan berbentuk persegi empat. Petak contoh dipilih secara sengaja
purposive sampling pada kawasan dusun dengan jumlah petak contoh sebanyak dua buah petak contoh. Jalur pengamatan pada masing-masing dusun dibuat
sebanyak lima buah jalur dengan panjang masing-masing 100 meter dan jarak antar titik pusat plot pengamatan adalah 20 meter. Jumlah plot pengamatan pada
setiap lokasi untuk masing-masing tingkat berjumlah 10 plot. Luas plot contoh untuk masing-masing petak yaitu seluas 0,08 ha. Plot
contoh dibuat bersarang nested sampling yang dibagi kedalam empat ukuran, yaitu: 20 m x 20 m, 10 m x 10 m, 5 m x 5 m, dan 2 m x 2 m. Klasifikasi tingkat
pertumbuhan dan ukuran plot pengamatan yang digunakan sebagai berikut:
1. Petak contoh berukuran 20 m x 20 m digunakan untuk tingkat pohon
vegetasi dengan diameter =20 cm. 2.
Petak contoh berukuran 10 m x 10 m digunakan untuk tingkat tiang vegetasi dengan diameter 10-20 cm.
3. Petak contoh berukuran 5 m x 5 m digunakan untuk pancang vegetasi
dengan diameter 10 cm dan tinggi 1,5 cm. 4.
Petak contoh berukuran 2 m x 2 m digunakan untuk tingkat semai seadling untuk tinggi tumbuhan 1,5 cm dan tumbuhan bawah
penutup tanah.
Desain petak contoh yang digunakan untuk mengamati masing-masing tingkatan pertumbuhan disajikan pada gambar 4.
Gambar 4 Desain plot contoh di lapangan
3.4.4. Konsep Operasional
Peran lembaga adat sasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah ketepatan pemerintah negeri, lembaga kewang dan gereja dalam mengatur
penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dusun. Ketepatan yang dimaksud adalah rumusan aturan yang dapat memperjelas transfer hak
kepemilikan dalam pemanfaatan sumberdaya dusun, pengaturan batas yurisdiksi, aturan repsentasi yang adil antar para pihak dan peran aturan sasi dalam
pengelolaan sumberdaya dusun serta kepastian bentuk hak yang jelas dan diakui oleh anggota masyarakat yang lain dalam implementasinya.
20 m
100 m Arah Rintis
Kepastian bentuk hak penguasaan yang dimaksud adalah terdapatnya kejelasan batas fisik di lapangan serta didukung dengan pengakuan dari masing-
masing kelompok mata rumah dalam implementasinya. Kepastian bentuk hak penguasaan yang tergolong tinggi jika terdapat kejelasan batas fisik di lapangan
serta didukung dengan pengakuan dari masing-masing kelompok mata rumah, sebaliknya jika tidak ada kejelasan batas fisik di lapangan namun didukung
dengan pengakuan dari masing-masing kelompok mata rumah maka kepastian bentuk haknya tergolong sedang, dan jika tidak ada kejelasan batas fisik dan
pengakuan dari masing-masing kelompok mata rumah maka kepastian bentuk haknya tergolong rendah.
Peran yang dimaksud adalah tingkat partisipasi, kepercayaan, pemahaman dan kepatuhan warga masyarakat yang diukur berdasarkan kategori masyarakat
yang percaya, paham dan patuh terhadap aturan sasi negeri dan sasi gereja yang ditegakkan oleh lembaga kewang dan gereja.
Peran lembaga adat sasi dalam pengelolaan sumberdaya dusun juga ditentukan oleh suatu performansi dusun yang baik. Oleh karena itu, penelitian ini
juga mengukur tingkat performansi dusun berdasarkan nilai kerapatan jenis. Hal ini dilakukan untuk menjelaskan wujud performansi masing-masing dusun yang
merupakan implikasi dari ketepatan lembaga kewang dan gereja dalam mengatur penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya dusun
dalam implementasinya.
3.5. Analasis Data
3.5.1. Analisis Peran Lembaga Adat Sasi
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui peran aturan lembaga adat sasi dalam mengatur penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya dusun pada
masyarakat Negeri Allang. Peran aturan lembaga adat sasi ditentukan berdasarkan masyarakat yang percaya, paham dan patuh terhadap aturan sasi gereja dan sasi
negeri, berupa aturan umum dan aturan khusus yang ditegakkan oleh lembaga kewang dan gereja. Kepatuhan seseorang terhadap aturan dapat diperlemah atau
dikuatkan oleh kepatuhan orang lain terhadap aturan tersebut. Oleh karena itu, penting untuk meninjau kepercayaan seseorang bahwa orang lain mematuhi aturan
Suharjito dan Saputro 2008. Adapun penentuan peran lembaga adat sasi didasarkan pada kriteria sebagai berikut:
- Peran suatu aturan yang ditegakkan oleh lembaga kewang dan gereja
dikatakan tinggi jika masyarakat tidak pernah atau jarang melakukan pelanggaran terhadap aturan sasi gereja.
- Sebaiknya aturan yang ditegakkan oleh lembaga kewang dan gereja dikatakan
rendah jika masyarakat pernah dan sering melakukan pelanggaran terhadap aturan sasi.
Tingkat kepercayaan responden diukur dengan proporsi responden dengan kategori percaya, ragu-ragu, dan tidak percaya. Unsur aturan dideskripsikan
aspek-aspek yang diaturnya dan diukur tingkat pemahaman dan pelanggaran responden terhadap aturan. Tingkat pemahaman responden terhadap aturan diukur
dengan proporsi responden dengan kategori paham, cukup paham, dan tidak paham terhadap aturan. Tingkat pelanggaran responden terhadap aturan diukur
dengan proporsi responden dengan kategori sering, jarang, dan tidak pernah melanggar aturan. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan teknik
wawancara terstruktur kepada responden.Responden dipilih secara acak dengan warga masyarakat di negeri Allang. Jumlah responden adalah 30 orang.
3.5.2. Analisis Dusun
Analisis dusun dilakukan untuk mengetahui implikasi pengaturan lembaga adat sasi dalam mengatur pola penguasaan sumberdaya dusun yang berbeda-beda.
Implikasi pengaturan dijelaskan berdasarkan hasil identifikasi komposisi jenis tumbuhan pada masing-masing dusun. Identifikasi menggunakan analisis vegetasi
menurut Soerianegara dan Indrawan 1982. Analisis yang dilakukan adalah dengan menghitung kerapatan tumbuhan individuha tingkat semai, pancang,
tiang dan pohon pada masing-masing dusun untuk menduga kecukupan jumlah tumbuhan atau kerapatan tumbuhan dalam menjaga heterogenitas dan
adaptabilitas vegetasi terhadap perubahan-perubahan atau penyakit. Secara jelas rumus perhitungan kerapatan diuraikan sebagai berikut:
Kerapatan = Jumlah Pohon Suatu Jenis
Luas Petak Contoh
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Keadaan Fisik 4.1.1 Letak Geografis dan Luas Wilayah
Negeri Allang merupakan salah satu negeri yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Leihitu Barat Kabupaten Maluku Tengah dan terletak di pulau
Ambon. Jarak negeri Allang dengan ibukota kecamatan + 5 km sedangkan untuk ke ibukota propinsi + 52 km. Luas wilayah negeri Allang + 250 km
2
dengan luas wilayah pemukiman + 5 km
2
. Secara geografis negeri Allang terletak pada posisi 03
30’ sampai dengan 03
45’ LS dan garis 127 45’ sampai dengan 128
15’ BT. Adapun batas-batas wilayah Negeri Allang adalah sebagai berikut:
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Liliboi
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Wakasihu
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Negeri Lima
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Banda
4.1.2. Jenis Tanah dan Topografi
Berdasarkan hasil pemetaan tanah pada semua peta lahan yang menyebar di kawasan pulau Ambon dengan didasarkan atas pendekatan Terms Of Reference
TOR Type A pemetaan dari Lembaga Penelitian Tanah LPT Bogor pada tahun 1983 bahwa jenis tanah yang terdapat di Pulau Ambon adalah jenis tanah podsolik
podsolik merah kuning, podsolik coklat kelabu, dan rensina. Pada daerah penelitian, jenis tanahnya adalah podsolik merah kuning.
Wilayah negeri Allang memiliki daerah yang datar disepanjang pantai sedangkan sebagain besar merupakan daerah bergunung dengan kemiringan yang
bervariasi. Daerah yang curam ditemui pada daerah-daerah perbukitan dan pegunungan yang terpisah satu dengan yang lain oleh jalur drainase alam dalam
bentuk lembah.
4.1.3. Iklim
Iklim di Pulau Ambon termasuk didalamnya lokasi penelitian adalah iklim tropis dan iklim musim, karena letak Pulau Ambon yang dikelilingi oleh lautan
dan berlangsung bersamaan dengan iklim musim di daerah ini yaitu: musim barat dan utara serta musim timur dan tenggara. Kedua musim ini diselilingi oleh
musim pancaroba yang merupakan transisi dari kedua musim tersebut. Musim barat umumnya berlangsung dari bulan Desember sampai dengan bulan Maret,
sedangkan pada bulan April adalah masa transisi ke musim timur. Musim timur berlangsung dari bulan Mei sampai dengan bulan Oktober disusul oleh musim
pancaroba pada bulan November .
4.1.4. Kependudukan
Dari data yang diperoleh dari Kantor Negeri Allang, tercatat bahwa jumlah penduduk Negeri Allang sebanyak 4.458 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak
2.186 jiwa dan perempuan sebanyak 2.272 jiwa. Mata pencaharian penduduk negeri Allang sebagian besar sebagai petani yaitu dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Mata Pencaharian Penduduk Negeri Allang
No Uraian
Jumlah
1 Petani
852 2
PNS 81
3 Pensiunan
9 4
Nelayan 115
5 Tukang Kayu
175 6
Tukang Batu 75
7 Wira Usaha
57 8
Wiraswasta 59
9 Ukiran
2 10
Anyaman 25
11 Penjahit
12 12
Pandai Besi 2
Jumlah 1464
Sumber: Statistik Negeri Allang Tahun 2011
Penduduk Negeri Allang mayoritas beragama Kristen disamping agama lain yang dianut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel jumlah penduduk
berdasarkan golongan agama yang dianut di Negeri Allang, Kecamatan Leihitu Barat Kabupaten Maluku Tengah:
Tabel 3 Jumlah Penduduk berdasarkan Agama di Negeri Allang pada Tahun 2011
Agama Jumlah
Islam 14
Kristen Protestan 4.442
Katholik 2
Hindu -
Budha -
Sumber : Data Statistik Kantor Negeri Allang Tahun 2011 Keterangan: - = tidak ada
Untuk mengetahui sebaran penduduk di negeri Allang menurut klasifikasi umur dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4 Jumlah Penduduk berdasarkan Kelas Umur
No Uraian
Jumlah
1 0 – 5 Tahun
478 2
6 – 10 Tahun 483
3 11 – 15 Tahun
485 4
16 – 20 Tahun 401
5 21 – 25 Tahun
382 6
26 – 30 Tahun 421
7 31 – 35 Tahun
329 8
36 – 40 Tahun 251
9 41 – 45 Tahun
220 10
46 – 50 Tahun 216
11 51 – 55 Tahun
210 12
56 – 60 Tahun 172
13 61 – 65 Tahun
167 14
66 – 70 Tahun 93
15 71 – 75 Tahun
64 16
76 – 80 Tahun 38
17 81 – 85 Tahun
29 18
86 – 90 Tahun 14
19 91 – 95 Tahun
3 20
96 Tahun 1
Pada umumnya penduduk Negeri Allang sudah menduduki jenjang pendidikan formal mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga Perguruaan
Tinggi, seperti disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Uraian
Jumlah
1 Pendidikan Anak Usia Dini PAUD
50 2
TK 83
3 SD
1459 4
SLTP 538
5 SMA
818 6
D1 16
7 D2
18 8
D3 17
9 S1
39 10
S2 1
4.1.5. Sarana dan Prasarana
4.1.5.1.Fasilitas Pendidikan
Untuk menunjang pendidikan anak di Negeri Allang terdapat beberapa sarana pendidikan diantaranya dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Sarana Pendidikan
No Fasilitas Pendidikan
Jumlah Unit
1 Taman Kanak-Kanak
1 2
Sekolah Dasar 4
3 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
1 Jumlah
6 Sumber : Data statistik Negeri Allang Tahun 2011
4.1.5.2 .Fasilitas Umum
Negeri Allang terdapat fasilitas penunjang lain seperti rumah pintar 1 unit, perpustakaan negeri 1 unit, gedung gereja 2 unit, rumah adat Baeleo 1 unit,
Kantor negeri 1 unit. Untuk menunjang perekonomian di Negeri Allang terdapat Koperasi Unit Desa KUD 1 unit, Warung Serba Ada Waserda sebanyak 4 unit.
Selain itu terdapat juga beberapa fasilitas olahraga diantaranya lapangan bola kaki 1 unit, lapangan bola volly 1 unit, lapangan bulu tangkis 3 unit. Di bidang
kesehatan terdapat 1 unit Rumah Sakit Pembantu dan 8 unit Posyandu.
4.2 Asal Usul Masyarakat dan Latar Belakang Sejarah Pemerintahan
Masyarakat Negeri Allang adalah merupakan campuran dari penduduk asli dan penduduk pendatang yang sudah mendiami Negeri Allang sekitar abad XIV
1452. Penduduk pendatang itu bermigrasi dari kepulauan Maluku Utara yaitu Tidore, Bacan, Ternate, Obi dan Halmahera Sabandar 1999. Penduduk
pendatang pertama berasal dari Pulau Bacan di Maluku Utara, yang diprakarsai oleh 5 lima kelompok marga keluarga yaitu, terdiri dari marga Huwae, Patty,
Kaya, Mauwa dan Lopumeten, dan setelah itu berdatangan lagi dari Pulau Ternate, Pulau Tidore dan Halmahera yang terdiri dari 4 empat kelompok marga
yaitu antara lain: Marga Sabandar, Siwalette, Sohilait dan Sapakoly. Kesembilan marga ini melakukan perjalanan untuk mencari pemukiman yang baru dan mereka
tiba di suatu pulau yaitu Pulau Ambon Negeri Allang, di daerah ini sudah ditempati oleh penduduk asli yang terdiri dari 3 tiga kelompok marga yaitu,
marga Manuhua, Ralahalu, dan Sipahelut.
Keluarga pendatang keluarga sembilansembilan marga awalnya membangun pemukiman mereka di daerah pinggiran pantai. Mereka selalu
mendapat gangguan dari penduduk asli, terutama sewaktu membuka areal hutan untuk bercocok tanam, akhirnya keluarga sembilan mengadakan musyawarah
dengan penduduk asli untuk mencari solusi agar tidak terjadi konflik dengan penduduk asli. Musyawarah dilakukan pada tahun 1492 oleh kedua belah pihak
pihak penduduk asli dan pihak pendatang, dari musyawarah itu menghasilkan kesepakatan bahwa penduduk asli bersedia bergabung dengan penduduk
pendatang, maka bergabunglah 3 tiga kelompok marga penduduk asli yang tadinya bermukim di pegunungan turun dan bergabung ke daerah pinggiran
pantai, dengan demikian jumlah marga atau fam penduduk Negeri Allang pada saat itu berjumlah 12 marga keluarga.
Pertemuan antara kedua kelompok penduduk asli dan pendatang itu, maka terciptalah suatu interaksi sosial budaya yang pada akhirnya terwujud harmonisasi
kehidupan diantara dua kelompok penduduk. Sejalan dengan itu, untuk tetap menjaga keharmonisan maka disepakati untuk mengangkat seorang pemimpin,
yang pada saat itu dikenal “Kapitang” maka dilakukan musyawarah bersama dan hasilnya disepakati dan sebagai suatu “penghormatan” diberikan kepada
penduduk asli untuk menjadi pemimpin, maka diangkat seorang pemimpin Kapitang yang bernama Soldier Patileli Ralahalu dan pada akhirnya disepakati
itu adalah sebagai pemimpin pertama di Negeri Allang. Pada tahun 1530, seiring dengan semakin bertambahnya penduduk dan
selain juga masih berdatangan lagi marga-marga keluarga-keluarga yang lain untuk bergabung dengan warga masyarakat yang sudah ada di Allang. Untuk
mencegah terjadinya konflik, pemekaran Negeri Allang dilakukan dengan pembagian marga-marga keluarga-keluarga ke wilayah-wilayah dalam bentuk
soa dan ditunjuk kepala soanya pemimpin marga sebagai pembantu Kapitang saat itu untuk mewakili setiap marga. Soa-soa wilayah-wilayah pada saat itu
dibagi berdasarkan marga-marga yang pertama kali datang ke Negeri Allang Sabandar 1999.
Perkembangan selanjutnya, pada abad ke-17 tepatnya tahun 1719 VOC dengan konsep pemerintah Hindia Belanda berperan dalam sistem pemerintahan
di Maluku. Hal ini mengakibatkan negeri-negeri harus mempunyai “Raja” untuk mengendalikan pemerintahan. Atas dasar itu, penyesuaian juga terjadi pada
sistem pemerintahan negeri Allang yang sudah dibentuk menjadi 8 delapan soa sebagai wilayah administratif dalam negeri, yang dibagi berdasarkan marga untuk
menjalankan pemerintahan, dengan kesepakatan yaitu: 1.
Soa Palya dengan Kepala Soanya bermarga Pelasula 2.
Soa Kolya dengan Kepala Soanya bermarga Huwae 3.
Soa Tapela dengan Kepala Soanya bermarga Sohilait 4.
Soa Acamami dengan Kepala Soanya bermarga Siwalette 5.
Soa Baru dengan Kepala Soanya bermarga Nussy 6.
Soa Urubasa dengan Kepala Soanya bermarga Kaya 7.
Soa Wara dengan Kepala Soanya bermarga Ralahalu 8.
Soa Kampung Baru dengan Kepala Soanya bermarga Lalihatu Kondisi pemerintahan negeri hasil ciptaan VOC tersebut tetap
dipertahankan setelah Hindia Belanda diambil alih oleh pemerintahan kerajaan Belanda bersamaan dengan bubarnya VOC pada tanggal 31 Desember 1799. Pada
tahun 1818, pemerintahan kolonial Belanda mengeluarkan peraturan pemerintah yang mengukuhkan Raja sebagai gelar penguasa negeri serta Kepala Soa sebagai
gelar penguasa soa, sehingga terjadi peraturan yang disempurnakan dengan Staatsblad 19-an tahun 1824 yang mengatur pengangkatan dan pemberhentian
penguasa negeri serta pengakuan dan pengesahan saniri negeri. Pada waktu peraturan yang dikeluarkan saat itu membawa dampak tersendiri bagi masyarakat
Allang dimana Raja yang semula dipegang oleh penduduk asli Marga Ralahalu yang lebihnya merupakan penduduk asli beralih ke margagaris keturunan Patty,
hal ini dengan alasan bahwa Marga Patty pada saat itu hanya dapat dipercaya oleh Belanda untuk menjalankan pemerintahan.
Dampak dari kebijakan pemerintah Belanda pada waktu itu mengakibatkan kepemimpinan di negeri Allang hingga pada abad XIX dengan sistem
pemerintahan “Raja” tetap dipertahankan dan disepakati oleh seluruh masyarakat berlandaskan adat dan kekerabatan yang merupakan unsur-unsur pokok dalam
tradisi yang diwarisi secara turun-temurun, sehingga masyarakat tetap mempertahankan kepemimpinan di desa Allang harus berdasarkan garis
keturunanhubungan darah descent dan patuh pada kebiasaan-kebiasaan dan adat istiadat yang sudah berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Atas dasar itu
pelaksanaan pemerintahan Negeri Allang diperintah oleh sebuah dewan negeri yang disebut Badan saniri negeri atau secara singkat biasanya disebut saniri.
4.3 Pola Pemukiman dan Ikatan Sosial