1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Praktek pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat melalui sistem pengelolaan membentuk agroforestry yang merupakan sistem budidaya
tradisional dalam pengelolaan hutan yang telah lama membudaya di masyarakat. Sistem-sistem pengetahuan lokal
tersebut walaupun berbeda satu sama lain sesuai dengan kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem masyarakat setempat, namun
secara umum sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal ini selalu tumbuh dan berkembang terus-menerus secara turun-temurun di Maluku yang
meliputi: Pulau Ambon, Pulau Seram, dan Pulau-pulau Lease. Teknik-teknik penanaman tersebut sudah merupakan tradisi pengelolaan hutan yang dikenal
masyarakat dengan istilah dusun. Dusun merupakan sebuah istilah yang biasanya digunakan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan dengan teknik
penanaman yang bervariasi, serta memiliki tingkat keragaman yang tinggi Ajawaila, 1996.
Keragaman dusun menurut Wattimena 2007, meliputi tanaman campuran strata bawah rerumputan, tanaman rempah-rempah dan obat-obatan, kusu-kusu
padi atau Andropogonamboinensis, untuk makanan ternak. Tanaman campuran strata menengah seperti buah-buahan durian, kelapa, langsat, manggis, duku,
gandaria, jambu, tanaman palawija cengkeh, pala, coklat, kenari dan petai, dan kombinasi tanaman berkayu strata atas seperti sengon, jabon, jenis ficus dan lain-
lain. Sistem dusun secara umum dalam prakteknya, masyarakat memiliki
perangkat hukum yakni berupa aturan-aturan adat yang sangat baik dalam mengatur status kepemilikan lahan, maupun mengelola hasil-hasil tanaman yang
telah diusahakan. Kepemilikan lahan hutan secara adat telah diatur berdasarkan kelompok-kelompok marga atau yang disebut dengan matarumahrumah tau
yakni suatu kesatuan kekerabatan masyarakat yang terdiri dari beberapa rumah tangga dengan memakai nama keluarga berupa marga yang sama di dalam suatu
negeri. Sedangkan untuk pemanenan hasil hutan maupun tanaman, terdapat pula aturan pengelolaan yang sudah menyatu dengan masyarakat sejak dulu, yaitu
berupa larangan yang mengatur akses masyarakat dalam mengambil hasil hutan
dan tanaman pada jangka waktu tertentu dengan maksud agar pemanenan dilakukan pada waktu yang tepat.
Sebagai salah satu bentuk tradisi masyarakat secara tradisional dalam menata tata karma kehidupan bermasyarakat, termasuk upaya untuk mengatur
pemerataan pembagian atau pendapatan hasil dari pada sumberdaya alam sekitar kepada seluruh wargapenduduk setempat, sistem dusun dengan aturan-aturan adat
yang dimiliki masyarakat, sejauhmana telah dipraktekan oleh masyarakat merupakan hal yang perlu dikaji dan diangkat sebagai bagian dari kearifan
masyarakat dalam upaya membangun pengelolaan sumberdaya dusun yang berkelanjutan.
Latar belakang berdirinya hukum adat dilandasi oleh dua faktor yaitu Pertama, adanya masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Masyarakat adat
adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur secara turun temurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi,
ekonomi, politik, budaya dan wilayah sendiri. Pemahaman tentang masyarakat dalam hukum adat sangat dibutuhkan untuk melihat peran serta masyarakat dalam
penerapan aturan hukum adat, serta mengetahui apakah peraturan yang dibuat oleh hukum adat dapat diterima seluruh masyarakat atau hanya sekelompok orang
yang mengatasnamakan seluruh masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Keterlibatan masyarakat dalam hukum adat sangat dibutuhkan untuk menjaga
keberlangsungan hukum adat agar tetap eksis dalam pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu, keberadaan masyarakat dapat menjadi salah satu kekuatan bagi
hukum adat untuk menerapkan peraturan serta sanksi yang tegas kepada masyarakat yang melanggar. Kedua, adanya pengakuan dari Pemerintah terhadap
kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya hutan secara tradisional. Perubahan paradigma pembangunan didorong oleh kenyataan bahwa masyarakat masih
melakukan pengelolaan sumberdaya alam termasuk sumberdaya dusun. Saat ini masih ditemukan berbagai pengelolaan sumberdaya dusun berbasis
masyarakat dan terbukti masih dapat menyelamatkan dusun dari ancaman kepunahan. Hal ini karena pola hubungan antara masyarakat dengan sumberdaya
hutan masih dilakukan menurut kaidah lingkungan yang lebih mengutamakan keselarasan dan keseimbangan alami dibandingkan kepentingan ekonomi semata.
1.2. Rumusan Masalah