Klasifikasi Pasien Hipertensi berdasarkan Tingginya Tekanan Darah Distribusi Pola Penggunaan Terapi Antihipertensi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta diabetes mellitus.Dari data hasil yang didapatkan, penyakit penyerta yang paling banyak diderita adalah stroke iskemik sebanyak 40.Berbeda halnya pada penelitian yang dilakukan di poliklinik RSUD Dr. M. Djamil yang menyebutkan bahwa penyakit penyerta terbanyak yaitu diabetes mellitus sebanyak 63 pasien, diikuti stroke dengan 13 pasien Fitrianto, dkk., 2011. Namun berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 662 pasien yang terkena stroke,terdapat 59,4 yang mempunyai riwayat hipertensi. Resiko pasien yang mempunyai riwayat hipertensi lebih besar daripada pasien yang tidak mempunyai riwayat hipertensi.Semakin tinggi tekanan darah pasien kemungkinan stroke akan semakin besar, karena hipertensi dapat mempercepat pengerasan dinding pembuluh darah arteri dan mengakibatkan penghancuran lemak pada sel otot polos sehingga mempercepat proses aterosklerosis. Hipertensi berperan dalam proses aterosklerosis melalui efek penekanan pada sel endotellapisan dalam dinding arteri yang berakibat pembentukan plak pembuluh darah semakin cepat AHA, 2000.

5.2.2 Klasifikasi Pasien Hipertensi berdasarkan Tingginya Tekanan Darah

Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingginya tekanan darah dan berdasarkan etiologinya. Berdasarkan tingginya tekanan darah, seseorang dikatakan hipertensi bila tekanan darahnya sistoliknya 140mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg. Klasifikasi tekanan darah dibagi menjadi 4 kategori, yaitu kategori normal, pre-hipertensi, hipertensi stadium 1 dan hipertensi stadium 2. Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien hipertensi stadium 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darahsetelah 6 bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien denganhipertensi stadium ≥ 2PERKI, 2015. Berdasarkan hasil penelitian, pasien hipertensi di RSUD Kota Tangerang paling banyak mengalami hipertensi stadium 2 yaitu tekanan darah sistolik ≥160 dan tekanan darah diastolik ≥100 mmHg.Tingginya tekanan darah ini dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam mengobati pasien.Tujuan utama dalam pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta morbiditas yang berhubungan dengan faktor resiko penyakit kardiovaskular.Target nilai tekanan darah pada pasien hipertensi yang direkomendasikan dalam JNC VIII berbeda-beda berdasarkan komplikasi penyakit dan ras penderita hipertensi. Pemilihan obat hipertensi tergantung pada tingginya tekanan darah dan adanya indikasi khusus. Pada kebanyakan pasien, tekanan darah diastolik yang diinginkan akan tercapai apabila tekanan darah sistolik yang diinginkan sudah tercapai. Karena kenyataannya tekanan darah sistolik berkaitan dengan resikokardiovaskular dibanding tekanan darah diastolik,maka tekanan darah sistolik harus digunakan sebagai petanda klinis utama untuk pengontrolan penyakit pada hipertensiDepkes, 2006.

5.2.3 Distribusi Pola Penggunaan Terapi Antihipertensi

Distribusi pola penggunaan obat bertujuan untuk mengetahui obat apa saja yang digunakan oleh pasien hipertensi di RSUD Kota Tangerang. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukan bahwa pasien lebih banyak mendapatkan terapi antihipertensi lebih dari satu obat yaitu terapi kombinasi antihipertensi sebanyak 78. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pada pasien dengan hipertensi stadium 2 disarankan menggunakan terapi kombinasi 2 obat atau lebih Depkes, 2006. Dalam pemilihan obat antihipertensi perlu dipertimbangkan selain untuk menurunkan tekanan darah juga dapat mempertahankan tekanan darah secara optimal.Hal ini dapat dilakukan dengan pemilihan pengobatan dengan monoterapi atau terapi kombinasi.Antihipertensi terbanyak yang digunakan sebagai monoterapi oleh subjek penelitian ini adalah CCB.Sedangkan untuk terapi kombinasi yang paling banyak digunakan adalah terapi kombinasi dengan 2 obat antihipertensi yaitu golongan CCB + ACEI. Menurut JNC VIII, monoterapi dapat diberikan sebagai terapi inisial untuk hipertensi stadium 1 dengan faktor risiko total kardiovaskuler rendah atau moderatsedang, dimulai dengan dosis awal kemudian dapat dinaikkan sampai dosis maksimal jika target tekanan darah belum tercapai. Selanjutnya, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta jika target tekanan darah belum juga tercapai dapat diganti dengan obat yang mempunyai mekanisme kerja berbeda, dimulai dengan dosis rendah kemudian dosis dinaikkan sampai dosis maksimal. Bila masih belum tercapai target yang diinginkan dapat ditambah 2 sampai 3 macam obat.Terapi kombinasi 2 obat dosis rendah diberikan untuk terapi inisial pada hipertensi stadium 2 dengan faktor risiko tinggi atau sangat tinggi, bila dengan 2 macam obat target tekanan darah tidak tercapai dapat diberikan 3 macam obat anti hipertensi. 5.2.4 Profil Penggunaan Antihipertensi 5.2.4.1 Evaluasi Kuantitas Penggunaan Antihipertensi Dalam Unit DDD Dari data rekam medik pasien, didapatkan data meliputi nomor rekam medik, lama hari rawat pasien, jenis kelamin, umur pasien, dan penggunaan antihipertensi yang terdiri dari nama dagang dan nama generik, rute pemberian, kekuatandosis, frekuensi, jumlah hari penggunaan, dan jumlah penggunaan antihipertensi. Bentuk sediaan pada antihipertensi antara sedian per oral maupun sedian parenteral mempunyai nilai Defined Daily Dose DDD yang sama. Selama tahun 2015, terdapat 14 jenis obat antihipertensi dari 6 golongan antihipertensi yang digunakan pada pasien yaitu obat antihipertensi golongan ACE Inhibitor, CCB, Diuretik, ARB, Beta blocker, dan Central 2 Agonis. Dari data-data yang telah diperoleh, kemudian dihitungkuantitas penggunaan antihipertensi dengan mengikuti aturan-aturan perhitungan yang telah ditetapkan oleh WHO Collaborating Centre 2011. Antihipertensi dikelompokkan sesuai dengan kode ATC dan golongannya, kemudian bentuk sediaan disesuaikan dengan satuan DDD definitif masing-masing antihipertensi. Satuan DDD definitif menggunakan satuan miligram, maka satuan dosis antihipertensi harus dikonversikan ke dalam satuan miligram terlebih dahulu WHO, 2011. Nilai DDD diperoleh dengan menghitung total penggunaan antihipertensi dibagi dengan nilai DDD definitif yang ditetapkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta WHOCollaborating Centre berdasarkan masing-masing jenis antihipertensi. DDD definitif bermakna satu kekuatan per pasien. Dari DDD definitif diperoleh DDD penggunaan dengan cara membagi total penggunaan suatu antihipertensi dalam satuan milligram dengan DDD definitif mgpasien. Setelah didapatkan DDD penggunaan, dihitung DDD100 patient-days. DDD100 patient-days dihitung dengan cara membagi total DDD penggunaan dengan jumlah total hari rawat pasien rawat inap selama satu tahun yang sebelumnya telah dibagi 100 patient-days. DDD merupakan unit pengukuran yang tidak tergantung pada harga dan formulasi obat, akan tetapi merupakan suatu unit pengukuran independen yang mencerminkan dosis global tidak terpengaruh dengan variasi genetik, sehingga memungkinkan untuk menilai tingkat konsumsi obat dan membandingkan antar kelompok populasi atau sistem pelayanan kesehatan. DDD diasumsikan sebagai dosis rata-rata pemeliharaan per hari untuk obat yang digunakan orang dewasa. Perlu ditekankan bahwa DDD adalah unit pengukuran dan tidak selalu sesuai dengan dosis harian yang direkomendasikan atau ditentukan Prescribed Daily Dose. Salah satu komponen dalam DDD ini yaitu persentase dan perbandingan statistika konsumsi obat di tingkat nasional dan lainnya. Dengan membandingkan tingkat konsumsi obat di suatu unit pelayanan kesehatan dengan yang lainnya, dapat ditentukan apakah penggunaan satu macamkelompok obat berlebihan, sedang, atau kurang WHO, 2012. Selama periode Januari-Desember 2015, diperoleh total hari rawat inap Length of Stay dari 100 pasien adalah 630 hari yang ditunjukan pada tabel 5.3. Total LOS yang digunakan pada penelitian ini digunakan pada perhitungan DDD sebagai pembagi dengan nilai standar DDD dari WHO. Berdasarkan rumusan dari metode DDD, nilai LOS berbanding terbalik dengan hasil nilai DDD yang akan didapat. Nilai DDD yang didapat akan semakin kecil apabila nilai total LOS semakin besar. Akan tetapi besarnya nilai LOS tidak selalu berarti nilai DDD akan lebih kecil dan sesuai dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta standar Hadi et al., 2008. Pada dasarnya, DDD adalah metode untuk mengkonversi dan menstandarisasi data kuantitas produk menjadi estimasi kasar penggunaan obat dalam klinik dan tidak menggambarkan penggunaan obat sesungguhnya WHO, 2012. Kuantitas penggunaan antihipertensi di RSUD Kota Tangerang dalam satuan DDD100 patient-days ditunjukkan pada tabel 5.4. Kuantitas penggunaan antihipertensi yang memiliki jumlah tertinggi pada tahun 2015 adalah amlodipin. Perhitungan DDD untuk amlodipin pada tahun 2015 mencapai 89,36 DDD100 patient-days. Artinya, ada 89 pasien dari seluruh subjek penelitian yang mengkonsumsi 1 DDD amlodipine sebesar 5 mg setiap harinya. Amlodipin merupakan golongan CCB dihidropiridin. Obat CCB digunakan pada pasien hipertensi sistolik lanjut usia Dipiro, et.al., 2008. Systolic Hypertension –Europe melakukan uji coba pada placebo terkontrol yang menunjukkan bahwa CCB dihydropyridine long-acting mengurangi risiko kejadian kardiovaskular secara bermakna pada hipertensi sistolik. Berdasarkan hasil sistematika review terhadap 13 guidelines untuk terapi pengobatan hipertensi, JNC 8 masuk ke dalam guidelines yang dapat dipercaya untuk mengobati hipertensi. Dalam JNC 8 dijelaskan bahwa untuk mengatasi hipertensi pada pasien yang lanjut usia, terapi lini pertamanya adalah CCB dihydropyridine long-acting. CCB menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan voltage sensitive, sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Relaksasi otot vaskular menyebabkan vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi tekanan darah Dipiro, et al., 2008 Terdapat 2 kelas CCB yaitu dihidropiridin amlodipine dan nifedipin dan non-dihidropiridin verapamil, diltiazem.Non-dihidropiridin bekerja dengam cara memblok kanal kalsium baik di jantung maupun vaskular, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga konduksi pada atrioventikular diperlambat dan menyebabkan takiaritmia supraventrikular. Diltiazem non-dihidropiridin digunakan pada pasien dengan komplikasi penyakit jantung dan angina.Sedangkan dihidropiridin bekerja dengan cara menstimulasi baroreseptor sehingga menimbulkan refleks takikardia karena mempunyai efek vasodilatasi perifer yang kuat. Dihidropiridin tidak merubah konduksi melalui nodus atrioventrikular sehingga tidak menyebabkan takiaritmia supraventrikuler. Dihidropiridin memiliki afinitas yang lebih besar pada kanal kalsium vaskular daripada kanal kalsium dalam jantung. Kanal tersebut relatif lebih terdepolarisasi daripada otot vaskular jantung, efek amlodipin lebih kepada vasodilatasi pembuluh darah. Hasil uji coba Syst-Eur pada plasebo terkontrol yang diberikan dengan terapi CCB dihidropiridin long-acting menunjukan bahwa 42 efektif pada stroke,26 efektifpada penyakit jantung koroner, dan 29 efektif pada gagal jantung. Percobaan yang samadilakukan pada populasi Cina yang terdiagnosa hipertensi sistolik. Hasil penelitian menunjukan adanya penurunan dalam morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada pasien lansia dengan hipertensi sistolik, dengan menggunakan diuretik thiazide dan CCB dihidropiridin long-acting Wang, 2000 Antihipertensi dengan presentase penggunaan terbesar kedua adalah ramipril dengan 63,41 DDD100 patient-days. Ramipril adalah obat golongan ACE inhibitor yang bekerja dengan cara menghambat angiotensin converting enzymeACE yang dalam keadaan normal bertugas mengaktifkan angiotensin I menjadi angiotensin II. Dimana,angiotensin II merupakan zat vasokontriktor kuat yang selanjutnya dapat menstimulasi sekresi aldosterone. ACE inhibitor juga menghambat degradasi bradikinin dan menstimulasi sintesis zat vasodilator lain seperti prostaglandin E2 dan prostasiklin. Peningkatan bradikinin dapat meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari ACE inhibitor tetapi juga menyebabkan efek samping batuk kering Dipiro, et.al., 2008. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Terdapat 3 ACE inhibitor yang biasa digunakan di RSUD Kota Tangerang, yaitu ramipril, captopril dan lisinopril. Penggunaan ramipril merupakan yang paling tertinggi dibanding captopril dan lisinopril.Perbedaan ini didasari alasan pemilihan ketiga jenis obat tersebut tergantung kondisi klinis pasien. Berdasarkan hasil penelitian dalam skala besar untuk menilai keefektifan dan keamanan dari golongan ACE inhibitor, dilakukan perbandingan terhadap lima jenis antihipertensi yang mempunyai efikasi dan keamanana dalam jangka panjang. Adapun kelima jenis antihipertensi golongan ACE inhibitor tersebut adalah captopril, enalapril, lisinopril, ramipril dan trandopril. Dari kelima antihipertensi tersebut, ramipril dengan dosis 10 mghari dapat menunjukan penuruan mortalitas pada pasien kardiovaskular tanpa disfungsi ventrikel kiri, dan juga pada pasien yang beresiko tinggi diabetes Curt et.al., 2001. Penggunaan antihipertensi terbanyak selanjutnya adalah irbesartan sebanyak 20 DDD100 patient-days. Irbesartan merupakan obat golongan ARB yang bekerja dengan caramemblok reseptor angiotensin II tipe 1 AT1 yang dapat menyebabkan vasokonstriksi, pelepasan aldosterone,aktivasi simpatetik, pelepasan hormone antidiuretik, dan konstriksi dan konstriksi arteriol eferen dari glomerulus Dipiro et al., 2008. Penelitian ini merupakan penelitian pertama kali yang dilakukan di RSUD Kota Tangerang. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Puput D.A tentang penggunaan antihipertensi pada pasien hipertensi di RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2010 dan 2011, dalam hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa penggunaan antihipertensi paling banyakyaitu captopril 59,85 DDD100 pasien-hari; furosemid 47,64 DDD100 pasien-hari dan klonidin 16,70 DDD100 pasien- hari. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan tingkat konsumsi obat antihipertensi di RSUD Kota Tangerang dengan rumah sakit lain yang setara sehingga nantinya dapat ditentukan apakah penggunaan obat antihipertensi dari hasil penelitian ini berlebihan, sedang, atau kurang. Dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta demikian terapi antihipertensi diharapkan dapat memberikan hasil yang optimal. Dengan adanya perhitungan sistem DDD100 patient-days diharapkan penggunaan antihipertensi diinstalasi atau bangsal tertentu dapat dibandingkan dengan instalasilain, bahkan antar rumah sakit atau antar negara sekalipun dapat dibandingkan sehingga dapat meningkatkan kualitas penggunaan antihipertensi.

5.2.4.2 Profil Penggunaan Antihipertensi pada Tahun 2015 Berdasarkan Profil DU 90

Drug Utilization DU 90 diperoleh dengan cara membagi jumlah DDD100 patient-daysdari antihipertensi dengan total DDD100 patient- daysdari semua antihipertensi yang digunakan kemudian dikali 100. Persentase penggunaan antihipertensi selanjutnya dikumulatifkan dan diurutkan dari persentase tertinggi ke persentase terendah. Obat yang masuk dalam segmen DU 90 adalah obat yang masuk dalam akumulasi 90 penggunaan. Profil DU 90 penggunaan antihipertensi berdasarkan jenis antihipertensi di RSUD Kota Tangerang tahun 2015 dapat dilihat di tabel 5.5. Dari data pada tabel 5.5 menunjukkan bahwa obat antihipertensi yang masuk segmen DU 90 terdiri dari golongan CCB amlodipin 40,27, golongan ACE Inhibitor ramipril 28,57, captopril 7,89, golongan ARB irbesartan 9,01. Sedangkan yang masuk dalam segmen DU10 adalah furosemid 5,65, candesartan 2,65, bisoprolol 1,72, lisinopril 1,70, nifedipin 1,12, clonidin 0,67, spironolakton 0,43, valsartan 0,22, nimodipin 0,09, dan nicardipin 0,03. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ivonia, dkk., 2015 yang menunjukkan bahwa obat antihipertensi yang digunakan pada pasien geriatri 60 tahun ke atas di RSUD Karanganyar selama tahun 2011 adalah captopril 60,69, furosemid 11,26, amlodipin 8,17, nifedipin 9,45, hidroklorotiazid 5,94, lisinopril 3,44, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bisoprolol 1,05, dan obat yang masuk dalam segmen DU 90 adalah captopril, furosemid, dan amlodipine. Hal ini dikarenakan formularium yang digunakan oleh masing-masing rumah sakit berbeda. Formularium adalah daftar obat yang digunakan oleh rumah sakit, yang disusun oleh Panitia Farmasi dan Terapi yang terdiri dari beberapa dokter dan apoteker. Formularium RS akan membuat pengelolaan RS lebih efektif, karena pengadaan obat menjadi jelas, mengingat bahwa selain memiliki sisi aspek medis juga memiliki sisi ekonomis sehingga formularium dijadikan sebagai panduan oleh dokter dalam memberikan terapi obat-obat sesuai dengan yang tersedia di rumah sakit. Menurut pedoman tatalakasana hipertensi yang disusun oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kardioaskuler Indonesia PERKI menyatakan bahwa terapi lini pertama pada pasien hipertensi dewasa ≥18 tahun dengan tekanan darah ≥14090 mmHg adalah modifikasi gaya hidup untuk mengontrol tekanan darahnya. Jika target tekanan darah belum tercapai, mulai diberikan terapi farmakologi terutama pada pasien hipertensi stadium 2 dan pasien yang mempunyai penyakit komplikasi. Pada pasien stadium 1 pemilihan terapi dibedakan kembali berdasarkan usia, jika pasien berusia 60 tahun terapi lini pertama yang diberikan adalah ACEI atau ARB dan jika pasien berusia ≥60 tahun maka terapi lini pertamanya adalah CCB atau Tiazid. Sedangkan pada pasien stadium 2, sebaiknya dimulai dengan terapi kombinasi dua obat. Terapi kombinasi yang dapat diberikan adalah CCB atau Tiazid kombinasi dengan ACEI atau ARB.Algoritma PERKI ini telah dilaksanakan dalam pengobatan pasien hipertensi di RSUD Kota Tangerang, yang dapat dilihat pada tabel 5.2 dan tabel 5.1 dimana pasien paling banyak mengalami hipertensi stadium 2 dan menggunakan terapi kombinasi 2 obat. Kombinasi dua obat terbanyak digunakan adalah CCB + ACEI.Setelah itu, terapi kombinasi kedua terbanyak yang digunakan adalah ACEI + diuretik. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

5.3 Kesesuaian Penggunaan Obat Antihipertensi dengan Formularium Rumah Sakit di RSUD Kota Tangerang