Kebijakan Pembangunan SDM DINAMIKA PEMBANGUNAN SDM DI PROVINSI BANTEN

Tabel 14. Perkembangan IPM Regional Periode 2002, 2004 dan 2009 Provinsi 2002 2004 2009 IPM Rank IPM Rank IPM Rank NAD 66,0 15 68,7 18 71,3 17 Sumatera Utara 68,8 7 71,4 7 73,8 8 Sumatera Barat 67,5 8 70,5 9 73,4 9 Riau 69,1 5 72,2 5 75,6 3 Jambi 67,1 10 70,1 10 72,4 13 Sumatera Selatan 66,0 16 69,6 13 72,6 10 Bengkulu 66,2 14 69,9 11 72,5 12 Lampung 65,8 18 68,4 19 70,9 21 Bangka Belitung 65,4 20 69,6 12 72,5 11 Kepulauan Riau - - 70,8 8 74,5 6 DKI Jakarta 75,6 1 75,8 1 77,3 1 Jawa Barat 65,8 17 69,1 14 71,6 15 Jawa Tengah 66,3 13 68,9 17 72,1 14 Yogyakarta 70,8 3 72,9 3 75,2 4 Jawa Timur 64,1 25 66,8 23 71,0 18 Banten 66,6 11 67,9 20 70,0 23 Bali 67,5 9 69,1 15 71,5 16 NTB 57,8 30 60,6 33 64,6 32 NTT 60,3 28 62,7 31 66,6 31 Kalimantan Barat 62,9 27 65,4 27 68,7 28 Kalimantan Tengah 69,1 6 71,7 6 74,3 7 Kalimantan Selatan 64,3 23 66,7 24 69,3 26 Kalimantan Timur 70,0 4 72,2 4 75,1 5 Sulawesi Utara 71,3 2 73,4 2 75,6 2 Sulawesi Tengah 64,4 22 67,3 22 70,7 22 Sulawesi Selatan 65,3 21 67,8 21 70,9 20 Sulawesi Tenggara 64,1 26 66,7 25 69,5 25 Gorontalo 64,1 24 65,4 28 69,7 24 Sulawesi Barat - - 64,4 29 69,1 27 Maluku 66,5 12 69,0 16 70,9 19 Maluku Utara 65,8 19 66,4 26 68,6 29 Irian Jaya Barat - - 63,7 30 68,5 30 Papua 60,1 29 60,9 32 64,5 33 Sumber: BPS, UNDP, 2010 Gambar 18 juga memperlihatkan bahwa kemajuan IPM ternyata tidak didominasi oleh Provinsi-Provinsi di Pulau Jawa atau Indonesia bagian barat saja, tetapi relatif menyebar. IPM tertinggi setelah DKI adalah Provinsi Sulawesi Utara dan diikuti oleh Riau, hal ini dimungkinkan diluar Jawapun mulai sadar pentingnya pembangunan manusia. 55 60 65 70 75 80 DK I j ak Ri au K al tim Ka lte ng Su mb ar Babel Ja m bi jaba r N AD Ma lu ku La m pung Ban te n Su ltn ggar a S ul bar M al ut NT T P apu a provinsi ip m Gambar 18. Perkembangan Rangking IPM Provinsi se Indonesia Tahun 2009 Perkembangan IPM ditentukan oleh perkembangan indikator-indikator kompositnya. Kurun waktu sepuluh tahun umumnya indikator tersebut berkembang secara steady, kecuali indikator paritas daya beli Gambar 11. Indikator ini seperti telah dibahas sebelumnya berkaitan langsung dengan income penduduk, yang dipengaruhi oleh kinerja perekonomian. Jika iklim perekonomian kondusif, maka akan tercipta perekonomian yang prospektif. Selanjutnya, diharapkan akan terbuka kesempatan bagi penduduk untuk meningkatkan pendapatannya, dan pada gilirannya akan meningkatkan daya beli masyarakat. Kondusif tidaknya perekonomian yang dimaksud terutama ditentukan oleh perkembangan harga inflasi. Inflasi tinggi akan langsung menurunkan daya beli masyarakat. Pengendalian terhadap laju inflasi menjadi sangat penting dalam hal menjaga dan menumbuhkan purchasing power parity masyarakat. Turunnya rangking IPM Banten sebagai akibat dari faktor daya beli masyarakat. Peran nilai PPP paling rendah, tetap mengalami peningkatan namun tidak secepat komponen lainnya. Bahkan indeks pendidikan yang direpresentasi oleh adult literacy rate tingkat melek huruf dewasa dan mean years schooling rata-rata lama sekolah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Mengamati perkembangan purchasing power parity Gambar 19, sampai dengan tahun 2009 mengalami pertumbuhan, tetapi sejak tahun 2006, peningkatannya lebih rendah dibandingkan tahun lainnya. Kenaikan harga bahan bakar minyak BBM pada Oktober 2005 merupakan salah satu penyebab terjadinya inflasi tahun 2006. Tingginya inflasi berpengaruh langsung terhadap kemampuan daya beli masyarakat. Inilah yang menyebabkan mengapa purchasing power parity tahun 2006 mengalami peningkatan namun tidak sebesar tahun sebelum dan sesudahnya. - 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 90.00 Indeks AHH Indeks Pengetahuan Indeks PPP IPM 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Sumber: BPS, 2009 Gambar 19. Perkembangan Indikator-Indikator Komposit IPM Periode 2002-2009

V. FAKTOR -FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBANGUNAN SDM DI PROVINSI BANTEN

Penelitian ini menggunakan model regresi data panel untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap IPM, yang berarti pula mempengaruhi pembangunan manusia. Model ini menggunakan data sekunder dari BPS dan Departemen Keuangan dan UNDP. Data yang dianalisis meliputi 6 wilayah KabupatenKota di Provinsi Banten selama tahun 2002-2009. Terdapat keterbatasan data pada kota baru hasil pemekaran Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan, masih bergabung dengan kabupaten induknya. Hasil uji Hausman Tabel 15, menghasilkan nilai Hausman-hitung 17,66. Dibandingkan dengan nilai X 2 Tabel maka H o diterima atau menolak H 1 . Artinya, model yang tepat digunakan untuk menganalisis data pada penelitian ini adalah FEM. Sehingga FEM merupakan model yang lebih baik dibandingkan dengan metode Pooled Ordinary Least Square Pooled OLS ataupun REM.

5.1. Hasil Uji Model

Pengujian ada tidaknya autokorelasi pada model terpilih FEM dilakukan dengan Wooldridge Test for Serial Correlation in Panel Data Models Drukker, 2003. Persamaan menunjukkan nilai peluang yang sama, yaitu 0,0000 yang berarti menolak hipotesis tidak terdapat autokorelasi pada order pertama. Hal ini berarti bahwa FEM yang terpilih sebagai model terbaik di persamaan melanggar asumsi terbebas dari autokoreasi. Demikian juga dengan uji heteroskedastisitas di model terpilih dengan menggunakan Modified Wald Statistic Greene, 2002. Nilai peluang sebesar 0,0000 di persamaan berarti menolak hipotesis adanya varian yang sama antar individu homoskedastisitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model FEM yang terpilih sebagai model terbaik untuk persamaan tersebut melanggar asumsi homoskedastisitas atau dengan kata lain model FEM tersebut mengandung heteroskedastisitas. Permasalahan heteroskedastisitas dan autokorelasi pada model mempengaruhi perkiraan nilai parameter yang tidak akan memenuhi sifat BLUE Best Linear Unbiased Estimate. Oleh karena itu, agar nilai parameter dari model terpilih memenuhi sifat BLUE, maka dilakukan modifikasi model dengan menggunakan pendekatan Panel-Corrected Standard Error PCSE Greene, 2002 dan Hardin, 1995. Berdasarkan model PCSE ini berarti telah dilakukan koreksi atas permasalahan heteroskedastisitas, contemporaneously correlated across panel, and first order autokorelasi ar1. Hasil perkiraan model dengan PCSE dari persamaan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IPM Variabel Persamaan Koefisian P-value PDRB Perkapita INC 0,00014 0,000 Indeks Gini Rasio GR -2,29 0,480 Pengeluaran pemerintah Sektor Pendidikan dan kesehatan GOV 0,03 0,012 Persentase KRT berpendidikan SMPsederajat Keatas EDU 16,71 0,000 Angka Kesakitan HLTH 4,76 0,000 F-Test 474,47 0,000 R-Square 0,98 Hausman Test 17,66 0,001 Berdasarkan hasil perkiraan regresi data panel pada Tabel 15, semua indikator berpengaruh terhadap IPM, yang berarti pula semua faktor berpengaruh terhadap pembangunan manusia. Walaupun tidak semua faktor berpengaruh secara signifikan terhadap IPM, akan tetapi tanda pada koefisien dapat menunjukkan arah hubungannya terhadap IPM. Peningkatan PDRB perkapita, pengeluaran pemerintah bidang pendidikan dan kesehatan, KRT berpendidikan SMPsederajat keatas dan angka kesakitan pada persamaan berpengaruh positif terhadap peningkatan IPM. Demikian juga dengan Indeks gini yang memiliki tanda koefisien negatif, namun tidak signifikan. 5.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembangunan SDM 5.2.1. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah terhadap Pembangunan SDM Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan memiliki kontribusi dalam memajukan pendidikan melalui penyediaan infrastruktur maupun operasionalnya. Dalam penelitian ini pengeluaran pemerintah untuk sektor pendidikan dan kesehatan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan IPM. Nilai koefisien