Perumusan Masalah Pembatasan Masalah Tinjauan Pustaka

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalahnya ”Bagaimanakah Pandangan Mohammad Natsir mengenai, wacana tentang Islam sebagai ideologi negara?”

1.3. Pembatasan Masalah

Masalah penelitian ini akan dibatasi pada salah satu bidang pemikiran Natsir yaitu: ”Pandangan Mohammad Natsir mengenai Islam sebagai ideologi negara”

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Di sini dijelaskan tujuan penelitian yang merupakan sasaran progmatisnya bukan kegunaan menurut isi,taraf kemajuan dan kebaruan yang ingin dicapai dengan penelitian tersebut.

1.4.1. Tujuan penelitian

a. Ingin mempelajari karya pemikiran Natsir lebih mendalam tentang hubungan Islam sebagai agama dalam bernegara dan menjelaskan pandangan yang dikemukakan oleh Natsir tentang masalah-masalah yang diusungnya secara terperinci dan alternatif pilihan jalan yang dituangkannya dalam aksi-aksi politiknya b. Mengkritisi secara objektif terhadap pemikiran tokoh, ketepatan dan kesalahannya dengan kondisi realitas masyarakat saat ini dan menggali sejarah perkembangan pemikiran politik di Indonesia pada awal kemerdekaan. Universitas Sumatera Utara

1.4.2. Manfaat Penelitan

a. Menjadikan salah satu acuan dalam menjalankan kehidupan bernegara bagi masyarakat khususnya umat Islam. b. Memperkaya wawasan tentang pemikir-pemikir Islam yang jarang dibahas secara teoritis baik dikampus atau di forum-forum resmi. c. Menjadi bahan rujukan bagi almamater, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik. d. Memahami bagaimana Natsir medudukkan Islam sebagai ideologi dalam kehidupan bernegara dan mengetahui pertarungan pemikiran antara golongan pada awal kemerdekaan dalam penentuan ideologi negara.

1.5. Tinjauan Pustaka

Menurut Yusril Ihza Mahendra agama yang diterjemahkan Natsir cenderung penafsiran doktrin sosial politik Islam secara elastis dan fleksibel, karena doktirn memberikan pemahaman yang bersifat umum dan tidak secara terperinci maka ijtihad harus digalakkan. Setiap zaman berbeda maka ijtihad ulama dahulu dapat diperbaharui sesuai tuntutan zaman, Natsir menyimpulkan bahwa Islam merupakan aliran pemikiran Theistic Democracy yaitu demokrasi yang berlandaskan ketuhanan dimana keputusan mayoritas rakyat harus berdasarkan nilai-nilai ketuhanan. 17 17 Yusril Ihza Mahendra “Mohammad Natsir dan Sayyid Abul A’ala Maududi, Telaah Tentang Dinamik Islam dan Transformasinya ke Dalam Ideologi Sosial Politik”. Anwar Harjono, et. al., Op.cit., hal., 63-74. Universitas Sumatera Utara Taufik Abdullah berpendapat bahwa sosok Natsir seorang idealis dalam arti bukan pemimpi, akan tetapi idealis dalam pengertian filosofis, yakin dalam kesadaran iman dan tauhid. Karena itu dia mengatakan peneguhan iman, aqidah dan lainnya, penguatan inilah yang menjadi dasar masyarakat dalam kehidupan bernegara. 18 Menurut penggiat Masyumi Zainal Abidin Ahmad, Natsir memandang keterlibatannya secara langsung dalam kekuasaan negara sebagai salah satu jalan untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Melalui cara demikian hukum-hukum Allah tidak hanya keluar dari mulut para alim ulama di mimbar mesjid, akan tetapi juga keluar dari pegawai pemerintahan dalam bentuk undang-undang. 19 Tarmizi Taher juga menyatakan bahwa Natsir merupakan sedikit diantara manusia Indonesia yang multi dimensional dan begitu kompleks. Natsir muslim yang mampu secara intelektual memiliki warisan pemikir Islam, dia mampu mengamalkan nilai-nilai ke-Islamannya dan memadukan dengan wacana pemikiran timur dan barat. Meskipun secara politis Natsir kalah dalam memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara secara konstitusional, dia menerimanya dengan lapang dada dan sebaliknya dengan ikhlas menerima Pancasila sebagai ideologi. Disini Natsir nampaknya sampai kesimpulan, tidak ada pertentangan antara Islam dengan Pancasila, sila-sila yang ada didalamnya selaras. Karena itu tidak perlu dipertentangkan lagi, kegigihan Natsir membela dan menjelaskan Pancasila kepada masyarakat Internasional disetiap kunjungan mancanegaranya merupakan bukti nyatanya. 20 18 Taufik Abdullah. “Diskusi Tentang Agama dan Kebangsaan”, ibid, hal., 45. 19 Ahmad Zainal Abidin, Masjoemi: Partji Politiek Islam Indonesia, Pematang Siantar, 1946, hal 15-16. 20 Tarmizi Taher. “Pemikiran dan Perjuangan Natsir”, Op. cit., hal., 14. Universitas Sumatera Utara Sedangkan menurut Miriam Budiardjo tentang pola hubungan agama dan negara juga sangat penting sebab apapun pendapat para ilmuwan Islam atau ulama mengenai hubungan sistem ketatanegaraan dengan Islam, apakah dalam Islam diajarkan atau dituntut agar mendirikan negara atau tidak, pada kenyataannya uamat Islam membutuhkan sebuah sistem ketatanegaraan yang Islami. Untuk mengamankan suatu kebijaksanaan dipertukan suatu kekuatan institusi politik, dalam menegakkan keadilan dan memelihara perdamaian misalnya, diperlukan suatu kekuasaan apakah itu organisasi politik atau negara. Jika kebijaksanaan itu mengacu pada penegakan ajaran Islam maka perangakat pengaturannya keamanannya seharusnya yang Islami pula, alangkah kurang tepatnya jika dalam menegakkan prinsip-prinsip Islam tetapi menggunakan sistem non-islami. 21 Berbeda dengan Ahmad Wahid yang mengatakan aturan itu bukan mutlak adanya, yang pokoknya dalam Islam adalah bagaimana seorang muslim bisa menjadikan Islam sebagai nafas pribadinya. Kumpulan pribadi ini nantinya akan menjadi suatu kelompok yang membawa ideologi dan meluaskannya sampai batas agama. 22 Penerjemahan dalam melakukan tujuan perjuangan tidaklah sesempit terciptanya negara Islam, terciptanya negara Islam tanpa adanya internalisasi nilai-nilai Islam itu sendiri menjadikan suatu kontradiksi dalam menjalankan kehidupan sosial. Internalisasi nilai inilah yang terpenting daripada terbentuknya suatu negara, internalisasi nilai sering dimaknai dengan iman yaitu diucapkan dengan kata-kata, dipahami secara jelas adalam diri, dan dilakukan dengan perbuatan. 21 Miriam Budiardjo, Dasar- dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1983. 22 Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES, 1981, hal., 79. Universitas Sumatera Utara Apakah dan bagaimanakah ide seorang muslim itu? Amat luas dan lebar keterangannya kalau ingin dijabarkan. Tetapi dapat disimpulkan dalam satu kalimah dalam Al-Quran yang artinya: ”tidaklah aku jadikan jin dan manusia, hanyalah untuk mengabdi kepadaku”. 23 23 QS. Addazarijat 51: 56 Jadi, seorang hidup di dunia ini adalah dengan menjadi hamba Allah dengan yang arti yang sepenuhnya, mencapai kejayaan di dunia dan di akherat. Dunia dan akhirat ini sekali-kali tidak mungkin di pisahkan oleh seorang muslim dari ideologinya. Perbedaan antara konsep negara Islam dan konsep tatanan masyarakat Islam adalah jika dalam konsep negara Islam, politik dan agama adalah bagian- bagian dari suatu totalitas Islam. Sedangkan dalam konsep tatanan masyarakat Islam, politik hanyalah pengungkapan sampingan daripada semangat Islam. Jadi konsep negara Islam lebih Islami dibanding konsep tatanan masyarakat Islam. Natsir lebih menyukai negara Islam, karena menurutnya untuk menyusun suatu tatanan masyarakat dibutuhkan suatu negara. Disebut apa kepala negara Islam itu tidaklah menjadi persoalan, yang lebih penting adalah adanya hak rakyat untuk mendaulatnya, bahkan dengan kekerasan bila memang diperlukan. Kepala Negara harus bermusyawarah dengan ’mereka yang patut diajak bermusyawarah’. Bagaimana bentuk sistem permusyawaratannya, itu urusan rakyat yang bersangkutan. Bisa saja permusyawaratan itu dengan segala orang atau dengan suatu parlemen yang terdiri dari wakil-wakil partai. Walaupun begitu, Natsir merasa bahwa sistem parlemen barat tidaklah cocok untuk negara-negara yang bukan barat. Universitas Sumatera Utara Dia bertanya ’Apakah Islam itu demokrasi?’, dijawabnya sendiri, ’Islam bukan seratus persen demokrasi, dan Islam bukan pula seratus persen otokrasi. Islam adalah Islam. Sebuah negara Islam akan melarang semua yang dilarang oleh Al-Quran: minuman keras, perjudian, pencurian, pelacuran, tahyul dan syirik. 24 Dengan demikian Islam menjadi tujuan dan negara adalah alat untuk mewujudkan ajaran Islam. Natsir berkeyakinan, negara sebagai kekuatan eksekutif mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk menjalankan hukum-hukum dan menjamin terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan yang dicita-citakan Islam. Di sini negara berfungsi sebagai alat untuk menerapkan hukum- hukum yang telah ada. Tanpa adanya negara sulit diharapkan adanya ketaatan pada hukum-hukum itu. Dengan demikian pendekatan Natsir terhadap pelaksanaan syariat atau hukum-hukum Islam dalam masyarakat menekankan pada pendekatan legal formal. Artinya ia menganggap perlu adanya kekuasaan pemaksa yang sah dan diakui keberadaannya yang diperlukan untuk, dalam batas- batas tertentu, memaksa individu untuk patuh dan taat pada hukum-hukum yang telah ditetapkan. 25 Masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari banyak menggunakan otoritas ketuhanan yang diturunkan dalam agama melalui al-qur’an dan hadis. Orang melakukan pencurian misalnya bukan takut kepada hukum-hukum pidana, Islam menanamkan nilai-nilai kebaikan sampai membentuk suatu akar yang kuat dari keseluruhan ajarannya bersumber kepada tauhid. Tauhid yang memiliki makna keyakinan terhadap Tuhanlah yang memiliki otoritas kedaulatan yang dominan diatas kedaulatan-kedaulatan lainnya. 24 G. H. Jansen, Op.cit., hal., 250-252. 25 Mardias Gufron, Op.cit., www.al-islam.com. Universitas Sumatera Utara karena jelas masyarakat banyak yang tidak paham akan hukum pidana tersebut. Ketakutan mereka untuk tidak melakukan itu dikarenakan ketauhidan yang mereka miliki dimana ketika itu dilakukan maka akan melanggar hukum-hukum Allah. Inilah mengapa Natsir bersikeras mengemukakan Islam sebagai Ideologi, jika tidak ada yang membatasi secara jelas mana haram dan halal mungkin suatu negara akan hancur secara perlahan-lahan. Batasan wilayah yang besar, jumlah penduduk yang beragam akan memperumit aparat pemerintah dalam menegakkan hukum-hukum yang ada. Sedangkan dengan ketauhidan masyarakat akan tersadarkan sendiri dalam pola tingkah laku kesehariannya, berdampak pada keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga pada titik ketauhidan yang tinggi tidak perlu adanya negara, sementara dalam mengawali perjuangan mencapainya peran negara sebagai lembaga formal masih diperlukan. Atas landasan inilah Natsir melakukan perjuangan politik secara kelembagaan dengan memakai nilai-nilai ketauhidan. 26

1.6. Metodologi Penelitian