Wacana Islam Sebagai Ideologi Dalam Politik Indonesia Kontemporer.

diatas juga memiliki makna yang jelas untuk memberikan kebebasan terhadap penganut agama lain menjalankan agamanya. Pemaksaan sangatlah mempunyai efek yang sangat riskan ketika agama sebagai pedoaman hidup, sebab itu yang diperlukan adalah keyakinan yang kuat dengan melakukan secara ikhlas. Sebenarnya banyak nilai-nilai ajaran agama Islam yang belum dipaparkan dan dijelaskan secara mendalam, dapat dilihat bersama begitu banyaknya persamaan nilai yang dituntun dalam Islam dengan falsafah atau kebiasaan bangsa Indonesia. Tidak mengherankan itu terjadi dikarenakan Islam merupakan ajaran yang cukup banyak dipakai masyarakat Indonesia yang latar belakang seorang hamba Allah. Jadi, tidak mengherankan kalau ajaran Islam dijadikan sebagai ideologi negara Indonesia, yang telah berurat dan berakar di dalam qalbu masyarakatnya.

3.3. Wacana Islam Sebagai Ideologi Dalam Politik Indonesia Kontemporer.

Perdebatan wacana keagamaan di tanah air, mengalami suatu perkembangan yang cukup pesat terutama secara kuantitatif, kalaupun belum dapat disebut maju secara kualitatif. Secara kuantitatif disebut berkembang pesat, karena tingginya intensitas wacana dan perdebatan yang muncul. Selain itu, juga oleh sebab banyaknya literatur pemikiran keagamaan yang menjadi trend bacaan. Kita menyaksikan, adanya lonjakan mood luar biasa di kalangan terpelajar Islam di Indonesia untuk membuka akses lebih luas lagi demi penyebaran wacana keagamaan, dan itu dikontestasikan secara massif dan lebih terbuka. Semaraknya perdebatan itu, tentu saja menemukan berbagai corak, bentuk, dan warna warni respon. Di kalangan pemikir dan peminat wacana keagamaan, ada keyakinan kuat bahwa kondisi ini harus diteruskan mengingat usaha Universitas Sumatera Utara pembaruan pemikiran keagamaan ibarat rantai yang sambung menyambung dan kerja tidak kenal henti, mengingat masih banyaknya “peer” yang belum dituntaskan mungkin tak akan pernah tuntas. Kira-kira, arus demokratisasi yang sedang berjalan, ikut memberikan kesempatan memadai bagi terjadinya proses dialog keagamaan yang sempat mengalami stagnasi di masa-masa Orde Baru. Tokoh Islam seperti M.Natsir, Abul A’la Al-Maududi, Sayyid Qutb dan Imam Khomaini, dapat disebut sebagai para ideolog Islamisme. Para tokoh tersebut mengusung ide Islam sebagai suatu faham atau keyakinan yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan sosial politik Secara sosiologis, selain dipicu meningkatnya kesadaran keberagamaan, perkembangan Islamisme juga tidak lepas dari faktor krisis yang sedang dialami bangsa Indonesia. Sudah pasti banyak faktor lain yang perlu diteliti lebih lanjut ihwal mengapa terjadi lonjakan mood Islamisme, kini dan di sini. Banyak kalangan yakin, bahwa meningkatnya gaung Islamisme juga merupakan sebentuk reaksi atas kegagalan banyak rezim “sekuler” di dunia muslim. Kalau dihubungkan dengan gerak sejarah revivalisme Islam, Islamisme belakangan ini juga bisa dilihat sebagai “kesadaran tahap kedua” umat Islam. Kesadaran itu tersimpulkan dalam pandangan bahwa agama perlu memainkan peran atau misi-misi sosial yang lebih kuat dan dominan Tahap pertama kesadaran adalah fase ketercengangan atau kebangunan akan realitas objektif dunia muslim yang menyedihkan sampai-sampai banyak orang malu menjadi muslim. Sementara tahap kedua ditandai dengan menguatnya kesadaran akan perlunya mengukuhkan identitas keislaman, sembari tidak lagi terlalu terkesima dengan peradaban Barat yang jauh lebih maju. Universitas Sumatera Utara Agaknya kesadaran tahap kedua inilah yang menuntun umat Islam di banyak negara untuk kembali bangkit melakukan aksi-aksi ke arah aktualisasi agama dan pemikiran keagamaan secara lebih mendalam. Bentuk-bentuk manifestasi dari itu sangat beragam di Indonesia, mulai dari majlis taklim dan majlis zikir kelas menengah-atas di kota-kota besar, tabligh di tingkat grassroot, sampai diskusi dan dakwah kampus di kalangan terpelajar di universitas- universitas “sekuler”. Sebatas aksi-aksi tersebut berlangsung secara kultural, nampaknya tak terjadi banyak masalah. Persoalan muncul manakala bentuk kesadaran tersebut didengungkan dengan kuat oleh kelompok-kelompok yang mengusung slogan “Islam adalah solusi”, sembari menebar implikasi strukturalnya pada tingkat kenegaraan atau pemerintah. Jika dilihat relevansi pemikiran Natsir dengan wacana yang berkembang saat ini memiliki pola kesamaan dalam methode perjuangan, dan ada juga persamaan dengan perjuangan untuk dasar negara. Partai Keadilan Sejahtera yang selanjutnya disebut PKS dalam memperjuangkan kepentingan umat dengan perjuangan di legislatif dengan tujuan merebut kekuasaaan secara total. Methode parlemen yang digunakan PKS tersebut memiliki kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh Natsir, dia melakukan perjuangan dengan Masyumi untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam meskipun akhirnya tidak terwujud. Sementara penguatan wacana Islam sebagai ideologi negara lebih ditonjolkan oleh gerakan diluar sistem yang dilakukan Hizbut Tahir Indonesia selanjutnya disebut HTI. HTI menanggapi krisis secara multidimensional, menyeluruh sejak dari krisis ekonomi, identitas, moral, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Tidak ada tatanan yang masih bisa dibenarkan menurut perspektif Universitas Sumatera Utara HTI, oleh sebab itu mereka mengajukan solusi yang fundamental dan integral: menegakkan kembali seluruh tatanan kehidupan masyarakat dengan syariat Islam. Penegakan syariat Islam yang diwacanakan HTI dengan menjadikannya sebagai ideologi negara merupakan gerakan yang pernah dibangun Natsir dengan memperjuangkannya di dewan konstituante. Kajian dalam methode dan perjuangan dalam menggolkan Islam sebagai ideologi negara layaknya Natsir memang tidak ada kesamaan persis. Tapi kelayakan PKS dan HTI dalam memperjuangkan kepentingan umat merupakan garis yang sama dengan Natsir bersama Masyumi, Natsir memang telah tiada Masyumi juga telah bubar. Keinginan manusia sebagai hamba yang beriman tentu ingin mewujudkan tagaknya syariat Islam pasti ada dibenak setiap umat Islam, tinggal bagaimana mewujudkannya apakah secara formal atau substansinya saja. Dialektika seperti ini tidak akan berakhir selama umur dunia ini juga masih ada, akan tetapi pada suatu masa kejayaan hukum-hukum Allah pasti tegak kembali itu janji Allah. Universitas Sumatera Utara

BAB IV KESIMPULAN