Latar Belakang Pengaturan Korporasi sebagai Subjek Hukum dalam

memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak akan mengulangi lagi tindakannya yang merugikan keuangan negara. Pengaturan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana korupsi oleh korporasi. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan formulasi kebijakan legislatif, yang di di dalamnya menyangkut tentang defenisi korporasi, latar belakang pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi, pengaturan pertanggungjawabannya, dan pengaturan model pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi. Adanya pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi diharapkan dapat mencegah korporasi dari keterlibatan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan pidana terutama undang-undang tindak pidana korupsi dan juga dapat meminimalisir terjadinya kerugian negara akibat dari adanya tindak pidana korupsi. Korporasi sering menghindar dari tanggung jawab atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya dan melimpahkannya kepada pengurus. Sehingga kerugian yang timbul tidak dapat dipulihkan dengan sempurna. Sebagai suatu keseluruhan, korporasi merupakan pihak yang juga harus bertanggung jawab atas terjadinya korupsi, karena pelanggaran hukum itu dilakukan untuk memperoleh keuntungan bagi korporasi. Perusahaan memiliki kekuatan untuk menentukan kebijakan melalui direktur dan para eksekutif dan perusahaan seharusnya bertanggung jawab atas akibat dari kebijakan mereka. Namun perusahaan tidak seperti manusia tidak dibebani oleh berbagai emosi dan perasaan sehingga dengan mudahnya dapat menutupi perilaku buruknya. Pemerintah dan aparat hukum harus mengambil tindakan yang tegas mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi. Jika hukuman dan sanksi yang dijatuhkan kepada korporasi tidak memiliki keberartian, perilaku buruk korporasi dengan melakukan aktivitas yang illegal tidak akan berubah. Korporasi diharapkan tidak lagi melarikan diri dari tanggung jawabnya, dalam hal ini tanggung jawab pidana.

BAB III SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM

TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Sistem Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana

Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwa dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia ada tiga model pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu 96 : 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung jawab 2. Korporasi sebagai pembuat, pengurus yang bertanggung jawab 3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab. Akan tetapi menurut Sutan Remy Sjahdeini, terdapat empat kemungkinan sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Keempat kemungkinan sistem yang dapat dibebankan itu adalah 97 : 1. Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh karenanya penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana. 2. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus memikul pertanggungjawaban pidana. 3. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban pidana. 96 Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 53 97 Sutan Remy Sjahdeni, op. cit., hlm. 58. 66 4. Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana Model pertanggungjawaban pertama menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pidana yang ditandai dengan usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan natuurlijk persoon, sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi di lingkungan korporasi, maka tindak pidana itu dianggap dilakukan pengurus. 98 Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab, kepada pengurus dibebankan kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi, sehingga pada model ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Dasar pemikirannya adalah bahwa korporasi itu sendiri tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan delik itu. Dan oleh karena itu, penguruslah yang diancam dan dijatuhi pidana. 99 Ketentuan yang mengatur hal tersebut di atas terdapat di dalam KUHP, seperti dalam Pasal 169, Pasal 398, dan Pasal 399 KUHP. 100 Pasal 169 KUHP berbunyi: a. Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan, atau turut serta dalam perkumpulan lainnya yang dilarang oleh aturan-aturan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun 98 Mahrus Ali, op. cit., hlm. 133. 99 Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 83. 100 Ibid., hlm. 84. b. Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan pelanggaran, diancam dengan pidana penjara plaing lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah c. Terhadap pendiri atau pengurus, pidana dapat ditambah sepertiga. Tindak pidana dalam Pasal 169 KUHP merupakan tindak pidana kejahatan terhadap ketertiban umum, yaitu turut serta dalam perkumpulan yang terlarang. Apabila dilakukan oleh pengurus atau pendiri perkumpulankorporasi tersebut, maka ada pemberatan pemidanaan. Dengan demikian, yang dapat dimintai pertanggungjawaban dan dijatuhi pidana adalah orangpengurusnya dan bukan korporasi itu sendiri. Pasal 398 KUHP berbunyi: Seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan koperasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan: 1. Jika yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar kerugian diderita oleh perseroan maskapai atau perkumpulan 2. Jika yang bersangkutan dengan maksud untuk menangguhkan kepailitan atau penyelesaian perseroan, maskapai atau perkumpulan, turut membantu atau mengizinkan peminjaman uang dengan syarat-syarat yang memberatkan, padahal diketahuinya tak dapat dicegah keadaan pailit atau penyelesaiannya 3. Jika yang bersangkutan dapat dipersalahkan tidak memenuhi kewajiban yang diterangkan dalam Pasal 6 ayat pertama Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dan Pasal 27 ayat pertama ordonansi tentang Maskapai Andil Indonesia, bahwa buku-buku dan surat-surat yang memuat catatan- catatan dan tulisan-tulisan yang menurut Pasal tadi, tidak dapat diperlihatkan dalam keadaan tak diubah. Pasal 398 KUHP tidak membebankan tanggung jawab pidana pada korporasinya, tetapi kepada pengurus atau komisarisnya, hal serupa juga terdapat dalam ketentuan Pasal 399 KUHP, yaitu merupakan tindak pidana yang menyangkut pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan perseroannya. 101 Dari ketentuan yang diatur di dalam KUHP, dapat dilihat bahwa subjek dalam hukum pidana adalah orang, hal ini telah ditegaskan di dalam Pasal 59 KUHP. Pertanggungjawaban korporasi belum dikenal, karena pengaruh yang sangat kuat dari asas universitas delinquere non potest, artinya badan hukum tidak dapat dipidana. 102 Model pertanggungjawaban yang kedua ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha korporasi, akan tetapi pertanggungjawaban untuk itu menjadi beban dari pengurus korporasi. Secara 101 Ibid., hlm. 86. 102 Ibid., hlm. 86. perlahan-lahan tanggung jawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila lalai dalam memimpin korporasi secara sungguh-sungguh. Dalam model pertanggungjawaban ini korporasi bisa menjadi pembuat tindak pidana, tetapi yang bertanggung jawab adalah para anggota pengurus, asal saja dinyatakan secara tegas dalam sebuah peraturan. 103 Dalam hal korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab, maka ditegaskan bahwa korporasi mungkin sebagai pembuat. Pengurus ditunjuk sebagai yang bertanggung jawab, yang dipandang dilakukan oleh korporasi adalah apa yang dilakukan oleh alat perlengkapan korporasi menurut wewenang berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan orang tertentu sebagai pengurus dari korporasi tersebut. Orang yang memimpin korporasi bertanggung jawab dalam hal pidana, terlepas dari apakah ia tahu atau tidak tentang dilakukannya perbuatan itu. Model pertanggungjawaban yang ketiga merupakan permulaan adanya tanggung jawab langsung dari korporasi. Dalam model ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Dengan memperhatikan perkembangan korporasi itu sendiri, ditetapkannya pengurus saja sebagai yang dapat dipidana ternyata tidak cukup. Hal-hal yang bisa dipakai sebagai dasar pembenar dan alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggung jawab adalah karena dalam 103 Mahrus Ali, op. cit., hlm. 134. berbagai delik-delik ekonomi dan fiskal keuntungan yang diperoleh korporsasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan memidana korporasi berdasarkan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati peraturan yang bersangkutan. 104 Dalam model pertanggungjawaban yang ketiga ini telah terjadi pergeseran pandangan, bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai pembuat, di samping manusia alamiah. Jadi, penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan doktrin universitas delinquere non potest sudah mengalami perubahan dengan menerima konsep pelaku fungsional. 105 Sehubungan dengan diterimanya korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan, maka berbicara mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi ada beberapa doktrin tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi antara lain : 106 1. Doktrin Identifikasi ; 2. Doktrin Pertanggungjawab Pengganti vicarious liability; 3. Doktrin Pertanggungjawaban Ketat strict liability. 104 Ibid., hlm. 134. 105 Ibid., hlm. 135. 106 http:eprints.undip.ac.id186511ORPA_GANEFO_MANUAIN.pdf

1. Doktrin Identifikasi

Dalam rangka mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana, di negara Anglo Saxon seperti di Inggris dikenal konsep direct corporate criminal liability atau Doktrin pertanggungjawaban pidana langsung. Menurut doktrin ini, perusahaan dapat melakukan sejumlah delik secara langsung melalui orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan dipandang sebagai perusahaan itu sendiri. Dalam keadaan demikian, mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi. Doktrin ini juga dikenal dengan nama “the identification doctrin ” atau doktrin identifikasi. 107 Pertanggungjawaban pidana menurut doktrin ini, asas “mens rea” tidak dikesampingkan, dimana menurut doktrin ini perbuatan atau sikap batin dari pejabat senior korporasi yang memiliki “directing mind” dapat dianggap sebagai sikap korporasi. Hal senada juga dikemukakan oleh Richard Chard, bahwa sikap batin tersebut diidentifikasikan sebagai korporasi, dan dengan demikian korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara langsung. Pertanggungjawaban ini berbeda dengan pertanggungjawaban pidana pengganti vicarious liability dan pertanggungjawaban ketat strict liability, dimana pada doktrin identifikasi ini, asas “mens rea” tidak dikesampingkan, sedangkan pada doktrin vicarious liability dan doktrin strict liability tidak disyaratkan asas mens rea, atau asas mens rea tidak berlaku mutlak. 108 107 Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 89. 108 http:eprints.undip.ac.id186511ORPA_GANEFO_MANUAIN.pdf

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Korporasi Menurut UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

2 82 117

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 61 4

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139

BAB II PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banj

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

0 0 35