Pengaturan Korporasi Sebagai Subjek Hukum dalam Tindak Pidana

10.Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang tindak pidana informasi dan transaksi elektronik Berdasarkan hal-hal di atas jelas bahwa dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sistem pertanggungjawaban pidana korporasi sudah sampai pada tahap ketiga yaitu korporasi dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan. Perumusan tindak pidana dalam Bab II Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jika dihubungkan dengan subjek hukum yang dikenal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berakibat bahwa tidak semua tindak pidana tersebut dapat dilakukan oleh korporasi, karena selain korporasi sebagai subjek hukum, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengenal subjek hukum berupa orang dan pegawai negeri. Adapun tindak pidana korupsi yang dapat dilakukan oleh korporasi adalah tindak pidana korupsi yang dirumuskan di dalam Undang- Undang No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001 adalah: a. Pasal 2 ayat 1, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah.” b. Pasal 3, “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu milyar rupiah.” c. Pasal 5 ayat 1, Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 5 lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 dua ratus lima puluh juta rupiah: 1. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya 2. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena tau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya d. Pasal 6 ayat 1, Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 seratus lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp. 750.000.000 tujuh ratus lima puluh juta rupiah setiap orang yang: 1. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. 2. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. e. Pasal 7, 1 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling lama 7 tujuh tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 seratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 tiga ratus lima puluh juta rupiah : a. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang b. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja dengan membiarkan perbuatan curang c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang d. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang 2 Bagi orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang f. Pasal 13, “Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 seratus lima puluh juta rupiah.” g. Pasal 15 “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, sampai dengan Pasal 14.” h. Pasal 16 “Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dengan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pas al 14.” Dengan adanya pengaturan tentang korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi di dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, maka konsekuensinya korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban dan dapat dijatuhi pidana atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya.

C. Latar Belakang Pengaturan Korporasi sebagai Subjek Hukum dalam

Tindak Pidana Korupsi Perubahan sosial, pembangunan, dan modernisasi saling berkaitan erat satu sama lain. Dikatakan demikian, karena pembangunan dan modernisasi yang dijalankan oleh suatu bangsa membawa serta perubahan sosial. Mengingat pembangunan di Indonesia saat ini diarahkan untuk meningkatkan proses industrialisasi, maka mudah dipahami bahwa Indonesia saat ini berada dalam tarikan kemajuan dunia usaha yang diikuti oleh peranan korporasi yang sangat besar. Akan tetapi, korporasi tidak hanya berhak dalam pencapaian tujuannya juga mempunyai kewajiban memenuhi peraturan tertentu di bidang ekonomi yang digunakan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. 88 Sisi lain yang menjadi pusat perhatian dalam perkembangan dan perubahan dibidang kegiatan sosial ekonomi adalah penyimpangan perilakuk korporasi yang bersifat merugikan dan membahyakan masyarakat dalam berbagai bentuk yang berskala luas. Keinginan korporasi untuk terus meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan terjadinya tindakan pelanggaran hukum. Korporasi sebagai suatu badan hukum, memiliki kekuasaan yang besar dalam menjalankan aktivitasnya sehingga sering melakukan aktivitas yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, bahkan selalu merugikan berbagai pihak. 89 Dengan diterimanya korporasi sebagai salah satu subjek hukum disamping subjek hukum manusia alamiah natuurlijke persoon, maka kajian tentang hal ini menjadi semakin menarik oleh karena kejahatan yang dilakukan korporasi berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat kurang mengenalnya atau sekaligus kurang menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh kejahatan ini. Akar ketidaktahuan masyarakat ini adalah karena ketidaknampakan kejahatan korporasi yang disebabkan oleh kompleksnya kecanggihan perencanaan dan pelaksanaannya, oleh tidak adanya atau lemahnya penegakan dan pelaksanaan hukum, dan oleh lenturnya sanksi hukum dan sanksi sosial. Ketidaktahuan ini bukan saja dialami oleh masyarakat awam, bahkan aparat penegak hukum pun mengalami hal yang sama, 88 Hamzah Hatrik, op. cit., hlm. 24. 89 Ibid., hlm. 28. sebagaimana dikemukakan dalam hasil penelitian Muladi dan Dwidja Priyatno di Kota Madya Bandung terhadap aparat penegak hukum yaitu: Hakim, Jaksa, Polisi dan pengacara berjumlah 42 empat puluh dua orang, dimana 42 responden tersebut tidak pernah menangani kasus pidana yang korporasi sebagai subjek tindak pidana. Banyak korporasi yang lolos dari kejaran hukum sehingga tindakan kejahatan korporasi semakin meluas dan tidak dapat dikendalikan. Sementara itu, tuntutan hukum terhadap perilaku buruk korporasi tersebut selalu terabaikan karena tidak ada ketegasan dalam menghadapi masalah ini. Padahal dalam hukum pidana positif yang tersebar di luar KUHP sudah mengenal korporasi sebagai subjek hukum pidana sejak tahun 1955 Undang-Undang No.7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi yang disusul dengan peraturan- peraturan lainnya yang mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana. 90 Menurut Gobert dan Punch, hal paling utama untuk mencegah terjadinya kejahatan korporasi adalah dengan adanya pengendalian diri dan tanggung jawab sosial dan moral terhadap lingkungan dan masyarakat di mana tanggung jawab tersebut berasal dari korporasi itu sendiri maupun individu-individu di dalamnya. 91 Kejahatan korporasi yang lazimnya berbentuk kejahatan kerah putih white collar crime, biasanya dilakukan oleh suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak dalam bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang melanggar hukum pidana. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara maju seperti yang diajukan oleh Sheley dan Sutherland, dapat dikemukakan bahwa identifikasi kejahatan- 90 http:eprints.undip.ac.id186511ORPA_GANEFO_MANUAIN.pdf 91 Ibid., kejahatan korporasi dapat mencakup tindak pidana seperti pelanggaran undang- undang anti monopoli, penipuan melalui komputer, pembayaran pajak dan cukai, pelanggaran ketentuan harga, produksi barang yang membahayakan kesehatan, korupsi, penyuapan, pelanggaran administrasi, perburuhan, dan pencemaran lingkungan hidup. 92 Kejahatan korporasi tidak hanya dilakukan oleh satu korporasi saja, tetapi dapat dilakukan oleh dua atau lebih korporasi secara bersama-sama. Apabila perbuatan yang dilakukan korporasi, dikaitkan dengan peraturan perundang- undangan di bidang hukum pidana yang merumuskan korporasi sebagai subjek tindak pidana, maka korporasi tersebut jelas dapat dipidana. Bercermin dari bentuk-bentuk tindak pidana di bidang ekonomi yang dilakukan oleh korporasi dalam menjalankan aktivitas bisnis, jika dikaitkan dengan proses pembangunan, maka kita dihadapkan kepada suatu konsekuensi meningkatnya tindak pidana korporasi yang mengancam dan membahayakan berbagai segi kehidupan di masyarakat. 93 Salah satunya yaitu tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi selalu memberikan dampak yang luas bagi masyarakat, bahkan dapat mengacaukan perekonomian negara. Keterbatasan penafsiran antara pengurus dan korporasi telah membuat adanya celah hukum dan dapat berakibat seseorang termasuk korporasi lepas dari jerat hukum sebagai yang melakukan korupsi dengan berlindung dibalik korporasi untuk melakukan korupsi. keadaan ini telah membuat kasus-kasus potensial 92 Hamzah Hattri, op. cit., hlm. 43. 93 Ibid., hlm. 44. sebagai kasus korupsi yang berkaitan dengan korporasi tidak bisa diungkap ke permukaan 94 Korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi, dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya, jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh atau untuk korporasi maka hukuman dan sanksi dapat dijatuhkan kepada korporasi dan atau individu di dalamnya. Namun demikian perlu diadakan indentifikasi pada individu korporasi misalnya pada direktur, manajer dan karyawan agar tidak terjadi kesalahan dalam penjatuhan hukuman secara individual. Tidak bekerjanya hukum dengan efektif untuk menjerat kejahatan korporasi, selain karena keberadaan suatu korporasi dianggap penting dalam menunjang pertumbuhan atau stabilitas perekonomian nasional, sering kali juga disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam melihat kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih dianggap merupakan kesalahan yang hanya bersifat administratif daripada suatu kejahatan yang serius. Sebagian besar masyarakat belum dapat memandang kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang nyata walaupun akibat dari kejahatan korporasi lebih merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat dibandingkan dengan kejahatan jalanan. Akibat dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi lebih membahayakan dibandingkan dengan kejahatan yang diperbuat seseorang, karena dampak kejahatan yang ditimbulkan oleh korporasi sangat besar. Korbannya bisa berjumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang. Selain itu, korporasi dengan 94 Edi Yunara, op. cit., hlm. 123. kekuatan finansial serta para ahli yang dimiliki, dapat menghilangkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan. Bahkan, dengan dana yang dimiliki, korporasi dapat pula mempengaruhi opini serta wacana di masyarakat, sehingga seolah-olah mereka tidak melakukan suatu kejahatan. Edelhertz mengatakan bahwa tindakan ilegal korporasi dilakukan dengan cara-cara non fisik dan penyembunyian dan tipu muslihat untuk memperoleh uang atau harta benda dan memperoleh manfaat perorangan dalam dunia usaha. Dengan demikian, motivasi korporasi melakukan berbagai bentuk pelanggaran di bidang ekonomi adlah untuk mencapai tujuan dan keuntungan yang menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat, negara, dan lingkungan. 95 Perkembangan yang terjadi berkaitan dengan tindak pidana korupsi di Indonesia adalah adanya keterlibatan korporasi di dalamnya. Korporasi yang memperoleh dana dari pemerintah negara, seringkali menggunakan dana tersebut untuk menguntungkan korporasi itu sendiri yang menyebabkan kerugian pada keuangan negara. Sebelum dirumuskannya undang-undang No. 31 tahun 1999, korporasi tidak dilibatkan dalam tanggung jawab pidana atas tindak pidana korupsi yang terjadi. Dalam beberapa tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi, pidana dijatuhkan hanya kepada pengurus dan pidana yang dijatuhkan terkadang tidak sebanding dengan keuntungan besar yang telah diperoleh korporasi dan kerugian yang dialami negara maupun masyarakat. Selain itu, dipidananya pengurus tidak 95 Hamzah Hatrik, op. cit., hlm. 10. memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak akan mengulangi lagi tindakannya yang merugikan keuangan negara. Pengaturan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya tindak pidana korupsi oleh korporasi. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan formulasi kebijakan legislatif, yang di di dalamnya menyangkut tentang defenisi korporasi, latar belakang pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi, pengaturan pertanggungjawabannya, dan pengaturan model pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana korupsi. Adanya pengaturan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi diharapkan dapat mencegah korporasi dari keterlibatan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan pidana terutama undang-undang tindak pidana korupsi dan juga dapat meminimalisir terjadinya kerugian negara akibat dari adanya tindak pidana korupsi. Korporasi sering menghindar dari tanggung jawab atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya dan melimpahkannya kepada pengurus. Sehingga kerugian yang timbul tidak dapat dipulihkan dengan sempurna. Sebagai suatu keseluruhan, korporasi merupakan pihak yang juga harus bertanggung jawab atas terjadinya korupsi, karena pelanggaran hukum itu dilakukan untuk memperoleh keuntungan bagi korporasi. Perusahaan memiliki kekuatan untuk menentukan kebijakan melalui direktur dan para eksekutif dan perusahaan seharusnya bertanggung jawab atas akibat dari kebijakan mereka. Namun perusahaan tidak seperti manusia tidak

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

1 140 155

Tindak Pidana Pencucian Uang Yang Dilakukan Oleh Korporasi Menurut UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

2 82 117

Eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Pemberantasan Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Di Semarang)

0 34 179

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi

0 61 4

Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Pejabat Negara (Studi Putusan Nomor : 01/Pid.Sus.K/2011/PN.Mdn)

2 43 164

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

3 98 139

BAB II PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banj

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

0 0 35