2. Fockema Andrea menyatakan kata korupsi tersebut berasal dari kata asal
corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa, seperti Inggris, yaitu corruption, di Perancis
dikenal istilah corruption, dan di Belanda dikenal dengan istilah corruptie.
11
3. Huntington menyebutkan bahwa korupsi adalah perilaku menyimpang dari
public official atau para pegawai dari norma-norma yang diterima dan dianut masyarakat dengan tujuan memperoleh keuntungan-keuntungan
pribadi.
12
4. Alatas mengemukakan pengertian korupsi dengan menyebutkan benang
merah yang menjelujuri dalam aktivitas korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum dibawah kepentingan-kepentingan pribadi yang
mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum serta dibarengi dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan dan
kemasabodohan yang luar biasa akan akibat-akibat yang dirasakan masyarakat yang berarti bahwa penyalahgunaan amanat untuk
kepentingan pribadi.
13
5. Suyatno, mengatakan korupsi merupakan tindakan desosialisasi yakni
suatu tindakan yang tidak memperdulikan hubungan-hubungan dalam sistem sosial.
14
11
Andi Hamzah, op.cit., hlm. 5.
12
Chairudin dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Refika Aditama, 2008, hlm. 8.
13
Ibid., hlm. 9
14
Suyatno, Korupsi Kolusi Nepotisme, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005, hlm. 16.
6. Rumusan korupsi dari sisi pandang teori pasar Jacob van Klaveren
menyatakan bahwa seorang pengabdi negara pegawai negeri yang berjiwa korup menganggap kantor administrasinya sebagai perusahaan
dagang, dimana pendapatannya akan diusahakan semaksimal mungkin.
15
7. L. Bayle, perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang
berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi
keuntungan pribadi.
16
8. M.Mc Mullan menyatakan bahwa, “seorang pejabat pemerintahan
dikatakan “korup” apabila ia menerima uang sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan dalam tugas jabatannya padahal
ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah
untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum. Yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan
”.
17
9. J.S. Nye menyatakan korupsi sebagai perilaku yang menyimpang dari
kewajiban-kewajiban normal suatu peran instansi pemerintah, demi mengejar status dan gengsi atau melanggar peraturan dengan jalan
melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan pribadi.
18
10. Rumusan korupsi dengan menitikberatkan pada kepentingan umum Carl.
J. Friedrich, mengatakan bahwa, “pola korupsi dapat dikatakan ada
15
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi, Bandung: Mandar Maju, 2001, hlm. 8.
16
Ibid., hlm. 8.
17
Ibid., hlm. 9.
18
Ibid., hlm. 9.
apabila seseorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan
hal-hal tertentu
seperti seorang
pejabat yang
bertanggungjawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang, membujuk untuk mengambil langkah
yang menolong siapa saja yang menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum
”.
19
11. Rumusan korupsi di bidang politik oleh Theodore M. Smith, dalam
tulisannya “Corruption Tradition and Change” menyatakan, “secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah
politik daripada masalah ekonomi. Ia menyentuh keabsahan legitimasi pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada
umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite ditingkat provinsi dan kabupaten
”.
20
12. Gunnar Myrdal menyatakan bahwa korupsi merupakan suatu masalah
yang penting bagi pemerintah di Asia Selatan karena kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidakjujuran membuka jalan untuk membongkar korupsi
dan tindakan-tindakan penghukuman terhadap pelanggar. Pemberantasan korupsi biasanya dijadikan alasan pembenar utama terhadap kup militer.
21
13. Menurut Clive gray, korupsi adalah, “sogokan, uang siluman atau
pungutan liar lain, yang merupakan harga pasar yang harus dibayar oleh konsumen yang ingin sekali membeli barang tertentu. Dan barang tertentu
itu berupa keputusan, izin, atau secara lebih tegas, tanda tangan. Secara
19
Ibid., hlm. 9.
20
Ibid., hlm. 10.
21
http:1lhamsentok.blogspot.com201209tugas-terstruktur-pendidikan.html
teoritis, harga pasar tanda tangan akan naik turun sesuai dengan naik turunnya permintaan dan penawaran, dan setiap kali akan terjadi harga
keseimbangan. Karena dalam model ekonomi pasar juga ada pengertian harga diskriminasi, dalam pasaran tanda tangan pejabat juga ada
kemungkinan perbedaan harga bagi golongan ekonomi kuat dan golongan ekonomi lemah.
22
Makna tindak pidana korupsi terus berkembang dari waktu ke waktu sebagai pencerminan kehidupan bermasyarakat dari sisi negatif. Rumusan-
rumusan pengertian korupsi pada dasarnya dapat memberi warna terhadap tindak pidana korupsi dalam hukum positif, tergantung pada tekanan atau titik beratnya
yang diambil oleh pembentuk undang-undang. Dari rumusan pengertian tindak pidana korupsi tersebut tercermin bahwa tindak pidana korupsi menyangkut segi
moral, sifat dan keadaan yang busuk jabatan dalam instansi atau aparatur pemerintahan, penyelewengan kekuasaan karena pemberian, faktor ekonomi dan
politik serta penempatan keluarga maupun golongan ke dalam dinas di bawah jabatannya. Jadi dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah
korupsi memiliki arti yang sangat luas.
2. Pengertian Korporasi
Secara etimologi kata korporasi berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa latin, corporatio
sebagai kata benda berasal dari kata kerja “corporare” yang banyak dipakai orang pada abad pertengahan atau sesudah itu. Sedangkan
kata “corporare” berasal dari kata “corpus” yang artinya badan, memberikan
22
Ibid.,
badan, atau membadankan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kata corporatio itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan perkataan lain,
badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.
23
Di dalam “Black’s Law Dictionary” korporasi didefinisikan sebagai berikut:
“an artificial or legal created by or under the authority of the laws of a state or nation, composed, in some rare instances, of a single person an his
successors, being incumbents of a particular office, but ordinarily consisting of an association of numerous individuals
”, suatu yang disahkantiruan yang diciptakan oleh atau dibawah wewenang hukum suatu negara atau bangsa, yang
terdiri, dalam hal beberapa kejadian, tentang orang tunggal adalah seorang pengganti, menjadi pejabat kantor tertentu, tetapi biasanya terdiri dari suatu
asosiasi banyak individu.
24
Korporasi merupakan hasil ciptaan manusia yang bertujuan untuk
mencapai sesuatu hal yang dapat memenuhi kepentingan orang-orang yang menciptakannya ataupun masyarakat. Dimana penciptaannya dilakukan
berdasarkan hukum, sehingga sering disebut dengan badan hukum, yang mempunyai struktur fisik corpus dan kepribadian animus.
Korporasi merupakan sebutan yang lazim dipergunakan dalam kalangan pakar hukum pidana untuk menyebutkan apa yang biasa digunakan dalam bidang
hukum lain, khususnya dalam bidang hukum perdata yang disebut dengan badan hukum rechtspersoon, atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah legal
entities atau corporation, bahasa Jerman disebut corporation, dan dalam bahasa
23
Soetan K. Malikoel Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, Jakarta: PT Pembangunan, 1955, hlm. 83.
24
Mahrus Ali, op.cit., hlm. 2.
Belanda disebut corporatie.
25
Menurut terminologi Hukum Pidana, bahwa korporasi adalah badan atau usaha yang mempunyai identitas sendiri, kekayaan
sendiri terpisah dari kekayaan anggota. Pengertian korporasi juga diatur didalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu:
“Korporasi adalah sekumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.
Korporasi sering diidentikkan dengan badan hukum yang merupakan sekumpulan dari orang-orang yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban
serta tanggung jawab dalam menjalankan dan mengelola badan hukum tersebut. Selanjutnya para ahli memberikan definisinya mengenai korporasi sebagai
berikut: a.
A.Z Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang
diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu.
26
b. Menurut Utrecht, korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam
pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri satu personasifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang
beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing.
27
25
Edi Yunara, op. cit., hlm. 25.
26
A. Z. Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983, hlm.54.
27
Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1991, hlm. 64
c. Menurut Satjipto Rahardjo, korporasi adalah Badan hasil ciptaan hukum
yang terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya unsur memasukkan unsur animus yang membuat badan mempunyai kepribadian.
Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum, maka oleh penciptanya kematiannya ditentukan oleh hukum.
28
d. Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan korporasi sebagai suatu
perkumpulan orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang manusia yang merupakan anggota dari
korporasi itu, anggota-anggota mana juga mempunyai kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai kekuasaan tertinggi
dalam peraturan korporasi.
29
e. Menurut Chidir Ali, Hukum memberikan kemungkinan dengan memenuhi
syarat-syarat tertentu bahwa suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai orang yang merupakan pembawahan dan karenanya dapat
menjalankan hak-hak seperti orang biasa serta dapat dipertanggung jawabkan, namun demikian badan hukum korporasi bertindak harus
dengan perantaraan orang biasa. Akan tetapi orang yang bertindak itu tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dan atas pertanggungjawaban
korporasi.
30
f. J.C Smith dan Brian Hogan mendefinisikan korporasi sebagai berikut:
“ A corporation is a legal person but it has no physical existence and cannot, therefore, act or form an intention of any kind except through its
28
Mahrus Ali, op. cit., hlm. 2.
29
Ibid., hlm. 4
30
Chidir Ali, op.cit., hlm. 18.
directors or servants. As each director or servant is also a legal person quite
distinct from the corporation, it follows that a corporation’s legal liabilities are all, in a sense, vicarious. This line of thinking is epitomized
in the catchphrase “corporations don’t commit crimes, people do”. korporasi adalah badan hukum yang tidak memiliki fisik dan oleh karena
itu tidak dapat bertindak atau memiliki kehendak kecuali melalui direktur atau karyawannya. Direktur atau karyawan juga merupakan entitas hukum
yang berbeda dari korporasi, karena semua bentuk pertanggungjawaban hukum korporasi adalah melalui pertanggungjawaban pengganti.
Pemikiran ini berarti bahwa korporasi tidak bisa melakukan kejahatan, tapi orang-orang yang bertindak untuk danatau atas nama korporasilah yang
bisa melakukan kejahatan.
31
Dari beberapa definisi yang dikutip dari beberapa pendapat para ahli di atas jelas bahwa korporasi merupakan perkumpulan orang-orang yang melakukan
tindakan bersama-sama di dalam suatu badan yang diciptakan oleh hukum serta dijalankan menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk menjalankan aktivitas
atau kegiatan yang sah baik itu sebagai bagian dari fungsi pemerintahan maupun dalam kegiatan di bidang bisnis kemudian berakhirnya suatu badan tersebut pun
ditentukan oleh adanya undang-undang yang mengaturnya. Terbentuknya suatu pengertian korporasi didorong oleh hal bahwa manusia juga di dalam hubungan
hukum privat tidak hanya berhubungan terhadap sesama manusia saja, tetapi juga terhadap persekutuan.
Pengertian korporasi juga dapat dilihat dari segi subjek hukum, yakni apakah yang dimaksud dengan subjek hukum itu. Pengertian subjek hukum pada
pokoknya merupakan manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan
kewajiban atau yang lazim disebut sebagai badan hukum.
32
Jika korporasi disejajarkan dengan manusia sebagai subjek hukum, memberikan pengertian
31
Mahrus Ali, op.cit.,hlm. 3.
32
Ibid., hlm. 5.
bahwa korporasi juga dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti misalnya dalam hal transaksi bisnis. Akan tetapi, ada beberapa perbuatan hukum
yang tidak dapat dilakukan oleh korporasi dan hanya dapat dilakukan oleh manusia, yakni melakukan perkawinan, pewarisan, dan lain sebagainya.
Istilah badan hukum dulunya tidak dikenal dalam masyarakat yang masih primitif, karena kehidupan yang dijalankan masih sederhana dan kegiatan-
kegiatan usaha dijalankan secara individu. Namun, seiring dengan perkembangan zaman yang berimbas pada meningkatnya kebutuhan masyarakat, mengharuskan
individu-individu melakukan kerja sama untuk memenuhi kebutuhan mereka.
33
Dari situlah kemudian istilah badan hukum berkembang sampai sekarang. Istilah badan hukum cenderung dipakai dalam lingkup hukum perdata,
sedangkan dalam hukum pidana cenderung digunakan istilah korporasi yang cakupannya lebih luas daripada badan hukum.
3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Masalah pertanggungjawaban pidana pada dasarnya membahas tentang penjatuhan pidana bagi pelaku tindak pidana sebagai akibat dari perbuatannya.
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara subjektif yang memenuhi syarat untuk
dapat dipidana karena perbuatannya itu.
34
Menurut kamus besar bahasa Indonesia “Tanggung Jawab” artinya keadaan wajib menanggung segala sesuatu kalau
terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya. Dalam hal ini berarti bahwa masalah pertanggungjawaban pidana korporasi
33
Ibid., hlm. 6.
34
Ibid., hlm. 94.
merupakan masalah dalam penentuan dapat atau tidaknya suatu korporasi dimintai pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana yang telah terjadi.
Dalam ilmu hukum pidana kemampuan bertanggungjawab merupakan masalah yang menyangkut keadaan batin orang yang melakukan tindak pidana.
Roeslan Saleh menyatakan bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah mampu menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan mampu menentukan
kehendaknya.
35
Van Hamel berpendapat bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan normalitas psikis dan kematangan atau kedewasaan,
sehingga seseorang memiliki tiga macam kemampuan, yaitu
36
: 1.
Mampu mengerti maksud perbuatannya 2.
Mampu menyadari bahwa perbuatannya tidak dapat diberikan oleh masyarakat
3. Mampu menentukan kehendak dalam melakukan perbuatannya.
Kemampuan bertanggungjawab juga diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau sehat dan mempunyai akal dalam membeda-bedakan hal-hal yang
baik dan yang buruk. Dasar dari adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar
dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam
melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut, merupakan hal yang berkaitan
35
Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm. 185.
36
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia Strict Liability dan Vicarious Liability, Jakarta: Rajawali Pers, 1996, hlm. 84.
dengan masalah pertanggungjawaban pidana.
37
Seseorang mempunyai kesalahan bilamana melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat
dicela oleh karena perbuatan tersebut. Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, terdapat dua pandangan
ahli yang berbeda yaitu pandangan yang monistis dan pandangan yang dualistis. Pandangan monistis diperkenalkan oleh S
imon yang merumuskan „strafbaar feit‟ sebagai berikut:
“Strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld in verband staande handeling van een torekeningvatbaar persoon suatu perbuatan yang oleh hukum
diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya”.
38
Menurut pandangan monistis unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan unsur objektif, maupun unsur pembuat unsur subjektif,
dimana unsur-unsur pertanggungjawaban pidana meliputi hal-hal dibawah ini
39
: a.
Kemampuan bertanggungjawab b.
Kesalahan dalam arti luas baik sengaja atau karena kealpaan c.
Tidak adanya alasan pemaaf. Selain pandangan monistis, ada juga pandangan dualistis yang pertama
kali diperkenalkan oleh Herman Kontorowicz pada tahun 1993 melalui bukunya yang berjudul “Tut und Schuld”. Menurut Herman, untuk adanya
“Strafvoraussetzungen” yaitu syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat
37
Mahrus Ali, op., cit., hlm. 94.
38
Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 61.
39
Ibid., hlm. 63.
diperlukan terlebih dahulu pembuktian adanya strafbare handlung perbuatan pidana kemudian harus dibuktikan pula schuld kesalahan subjektif pembuat
40
. Berdasarkan kedua pandangan diatas, dapat disimpulkan bahwa masalah
pertanggungjawaban pidana sangat erat kaitannya dengan unsur kesalahan. Seperti yang disebutkan oleh Idema bahwa membicarakan unsur kesalahan dalam hukum
pidana berarti membicarakan mengenai jantungnya hukum pidana. Bersamaan dengan hal tersebut, Sauer memberikan tiga pengertian dasar dalam hukum pidana
yaitu
41
: 1.
Sifat melawan hukum unrecht 2.
Kesalahan schuld 3.
Pidana strafe Berbeda dengan Roeslan Saleh yang memisahkan antara pengertian
perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan, sedangkan untuk dapat dipidananya
seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana tergantung pada
kesalahannya
42
. Jika orang yang melakukan perbuatan pidana mempunyai kesalahan maka dia dapat dipidana. Berhubungan dengan hal itu, Sudarto juga
menyatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan
hukum
43
. Jadi meskipun perbuatannya telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan perbuatannya tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum
40
Ibid., hlm. 64.
41
Ibid., hlm. 68.
42
Ibid., hlm. 68.
43
Ibid., hlm. 69.
memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Harus dibuktikan terlebih dahulu apakah terdapat unsur kesalahan dari perbuatan pelaku. Hal ini sejalan dengan
asas tiada pidana tanpa kesalahan. Sehubungan dengan masalah pertangungjawaban pidana, Barda Nawawi
Arief menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu mengenai siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.
44
Harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dapat dinyatakan sebagai pembuat dari suatu
tindak pidana. Pembuat atau subjek tindak pidana merupakan bagian dari masalah pertanggungjawaban pidana yang meliputi dua hal, yaitu siapa yang melakukan
tindak pidana dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada umumnya dalam hukum pidana, yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana
adalah pembuat, akan tetapi tidak selalu demikian. Dalam hal tindak pidana korporasi, perbuatan yang dilakukan oleh pengurus dapat dilimpahkan kepada
korporasi mengenai pertanggungjawaban pidananya. Banyak perbuatan ilegal yang dilakukan oleh korporasi yang berakibat
buruk terhadap masyarakat. Tindakan ilegal korporasi dilakukan dengan cara-cara nonfisik dan penyembunyian atau tipu muslihat untuk memperoleh uang atau
harta benda dan memperoleh manfaat perorangan dalam dunia usaha. Motivasi korporasi melakukan berbagai bentuk pelanggaran dibidang usaha adalah untuk
mencapai tujuan dan keuntungan yang menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat, negara, dan lingkungan. Pertanggungjawaban pidana korporasi pada
hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana
44
Ibid., hlm. 82.
sebagai reaksi terhadap pelanggaran yang telah dilakukannya. Maka untuk memunculkan pertanggungjawaban korporasi atas tindakan yang dilakukannya,
perlu ditingkatkan fungsi hukum pidana dengan cara menetapkan korporasi sebagai subjek tindak pidana.
Sehubungan dengan pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, terdapat tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi yang
dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro, yaitu
45
: a.
Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab;
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
Akan tetapi menurut Sutan Remy Sjahdeini, terdapat empat kemungkinan sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Keempat
kemungkinan sistem yang dapat dibebankan itu adalah
46
: 1.
Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh karenanya penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
2. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus
memikul pertanggungjawaban pidana. 3.
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
45
Dwija Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung: CV Utomo, 2004, hlm. 53.
46
Sutan Remy Sjahdeni, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2006, hlm. 58.
4. Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan
keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana. Alasan beliau menambahkan sistem pembebanan yang keempat adalah
sebagai berikut
47
: a.
Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena
pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan atau
menghindarkanmengurangi kerugian finansial bagi korporasi. b.
Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini
akan dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi tanga
n”. Dengan kata lain pengurus akan selalu dapat berlindung di balik punggung korporasi untuk melepaskan dirinya dari tanggung jawab
dengan dalih dahwa perbuatannya itu bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi merupakan perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi
dan untuk kepentingan korporasi. c.
Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vikarius, atau bukan langsung.
Menurut Pasal 59 KUHP, subyek hukum korporasi tidak dikenal. Apabila pengurus korporasi melakukan tindak pidana yang dilakukan dalam rangka
mewakili atau
dilakukan untuk
dan atas
nama korporasi,
maka
47
Ibid., hlm. 59.
pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya kepada pengurus yang melakukan tindak pidana itu. Bunyi lengkap Pasal 59 KUHP adalah sebagai berikut :
“Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran, terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus atau komisaris, maka hukuman tidak dijatuhkan atas
pengurus atau komisaris jika nyata bahwa pelanggaran itu telah terjadi diluar tanggungannya”.
Dari isi Pasal 59 KUHP maka dapat diketahui bahwa tindak pidana tidak pernah dilakukan oleh korporasi tetapi dilakukan oleh pengurusnya. Sebagai
konsekuensinya, maka pengurus itu pula yang dibebani pertanggungjawaban pidana sekalipun pengurus dalam melakukan perbuatan itu dilakukan untuk dan
atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, atau bertujuan untuk memberikan manfaat bagi korporasi dan bukan bagi pribadi pengurus.
Alasan KUHP tidak mengenal adanya tanggung jawab pidana oleh korporasi dipengaruhi oleh dua azas, yaitu azas
“societas delinquere non potest” dan
“actus non facit reum, nisi mens sit rea”. Azas “societas delinquere non potest” atau “universitas delinquere non potest” berarti bahwa badan-badan
hukum tidak bisa melakukan tindak pidana. Azas ini merupakan contoh yang khas dari pemikiran dogmatis dari abad ke-19, dimana kesalahan menurut hukum
pidana selalu diisyaratkan sebagai kesalahan manusia.
48
Sehingga kesalahan korporasi tidak diakui dalam hukum pidana. Para pembuat KUHP berpendapat
bahwa hanya manusia yang dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana berdasarkan azas
“actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau
“nulla poena sine
48
Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 53.
culpa”. Azas ini berarti bahwa “an act does not make a man guilty of crime, unless his mind be also guilty”. Atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan
ungkapan “Geen straf zonder schuld”. Jika diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia adalah “Tiada pidana tanpa kesalahan”.
49
Yang dimaksud dari azas ini adalah untuk membuktikan bahwa benar seseorang telah bersalah karena
melakukan suatu perbuatan yang diberikan sanksi pidana maka harus dibuktikan terlebih dahulu kesalahannya baik dalam perilaku maupun pikirannya. Azas ini
mengandung arti bahwa seseorang tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana karena telah melakukan suatu tindak pidana apabila dalam melakukan
perbuatan yang menurut undang-undang pidana merupakan tindak pidana, telah melakukan perbuatan tersebut dengan tidak sengaja dan bukan karena
kelalaiannya. Berkaitan dengan azas tersebut di atas, terdapat dua syarat yang harus
dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu adanya perbuatan lahiriah yang terlarangtindak pidana yang disebut actus reus dan sikap batin jahattercela yang
disebut mens rea.
50
Actus reus tidak hanya memandang pada suatu perbuatan dalam arti biasa, tetapi juga mengandung arti yang lebih luas, yaitu meliputi:
51
1. Perbuatan dari si terdakwa the conduct of the accused person.Perbuatan
ini dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu; komisi commisions dan omisi omissions.
2. Hasil atau akibat dari perbuatannya itu its resultconsequences; dan
49
Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 98.
50
Mahrus Ali, op. cit., hlm. 93.
51
http:en.wikipedia.orgwikiActus Reus
3. Keadaan-keadaan yang tercantum dalam perumusan tindak pidana
surrounding circumstances which are inclided ini the definition of the offence.
Mens rea berasal dari bahasa latin yang artinya adalah sikap kalbu guilty mind. Sikap kalbu seseorang yang termasuk mens rea dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu:
52
a. Intention kesengajaan
b. Recklessness kesembronoan, atau sering disebut juga dengan istilah
willful blindness. Dikatakan terdapat recklessness jika seseorang mengambil dengan sengaja suatu risiko yang tidak dibenarkan.
c. Criminal negligence kealpaankekurang hati-hatian.
Dalam hukum pidana Indonesia mens rea hanya terbagi menjadi dua bagian, yaitu kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa. Jika seseorang
hanya memiliki sikap batin yang jahat tetapi tidak pernah melaksanakan sikap batinnya itu dalam wujud suatu perilaku, baik yang terlihat sebagai melakukan
perbuatan tertentu atau sebagai tidak berbuat sesuatu, tidak dapat dikatakan orang tersebut telah melakukan suatu tindak pidana.
Bagi korporasi, unsur kesalahan sangat sulit diterapkan karena korporasi bukanlah manusia. Korporasi tidak memiliki batin dan karena itu sulit untuk
mengetahui niatnya. Namun, apabila korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hanya karena sulitnya membuktikan kesalahan, maka akan
52
http:en.wikipedia.orgwikiMens Rea
terjadi kekebalan hukum terhadap korporasi, padahal korporasi juga banyak melakukan tindak pidana.
Tindak pidana korupsi yang dirumuskan dalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah tindak pidana formil, dengan
demikian apabila perbuatan pelaku tindak pidana korupsi tersebut sudah memenuhi rumusan unsur-unsur pasal tindak pidana korupsi maka sudah dapat
disangka sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menyatakan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu
adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi telah mengatur pertanggungjawaban pidana suatu korporasi. Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana maka tidak dapat
dilepaskan dari persoalan pertanggungjawaban pidana.
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap asas-asas hukum dengan mengacu pada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang tentunya mempunyai hubungan dengan judul karya ilmiah.
Penelitian yuridis normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka. Penelitian ini mencakup
53
: a.
Penelitian inventarisasi hukum positif b.
Penelitian terhadap asas-asas hukum c.
Penelitian hukum klinis d.
Penelitian hukum yang mengkaji sistematika peraturan perundang- undangan
e. Penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan
perundang-undangan f.
Penelitian perbandingan hukum g.
Penelitian sejarah hukum
2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksudkan adalah sebagai berikut
54
: a.
Bahan hukum primer, yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang, yakni berupa Undang-
undang, Peraturan Pemerintahan. b.
Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh korporasi seperti seminar hukum, majalah, karya tulis
53
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 29.
54
Ibid., hlm. 31.
ilmiah yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi dan beberapa sumber dari situs internet yang berkaitan
dengan persoalan diatas. c.
Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep yang mendukung bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,
ensiklopedia, biografi dan lain-lain.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, maka metode yang digunakan adalah metode kepustakaan library research. Yakni metode yang menggunakan data sekunder
yang tertulis sebagai pedoman. Dan selain buku ilmiah, maka penulis juga mengumpulkan data-data dari bahan-bahan referensi yang berasal dari mass
media, seperti surat kabar dan juga bahan-bahan dari internet.
4. Analisis Data
Data sekunder yang telah diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu semaksimal mungkin memakai bahan-bahan yang ada yang berdasarkan
asas-asas, pengertian serta sumber-sumber hukum yang ada dan menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan Karya ilmiah ini secara garis besar terdiri dari V lima Bab, dimana masing-masing berisikan tentang :
BAB I : Membicarakan tentang latar belakang, rumusan masalah,keaslian penulisan, manfaat, dan tujuan penelitian, tinjauan pustaka yang
terdiri dari
pengertian tindak
pidana, pengertian
pertanggungjawaban, pengertian korupsi, pengertian korporasi, pengertian pertanggungjawaban korporasi, metode penelitian dan
sistematika penulisan. BAB II
: Membahas mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang mana dalam Bab ini akan
dibahas lebih rinci mengenai bentuk-bentuk tindak pidana korupsi dan bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
tindak pidana korupsi. BAB III
: Pembahasan tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana terutama dalam tindak pidana korupsi
BAB IV : Berisi posisi kasus dan analisis putusan Pengadilan Tinggi
Banjarmasin No. 04 Pid.Sus 2011 PT BJM. BAB V
: Berisi mengenai kesimpulan dari permasalahan yang dibahas serta saran-saran yang dapat dijadikan acuan dalam penyelesain terhadap
permasalahan yang timbul.
BAB II PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI A.
Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana
Asal mula adanya korporasi sampai sekarang masih menjadi persoalan, akan tetapi pada masyarakat yang primitif dengan karakteristik hidup dalam suatu
kelompok, sebenarnya sudah dikenal perbedaan individu yang terlepas dari suatu kelompok masyarakat. Pada zaman dahulu perkembangan korporasi terlihat
dengan adanya pembentukan kelompok yang terjadi seperti dalam masyarakat Asia Kecil, Yunani, dan masyarakat Romawi. Dalam perkembangannya,
kelompok-kelompok tersebut di Romawi membentuk suatu organisasi yang fungsinya mirip dengan korporasi pada zaman sekarang ini.
55
Perkembangan korporasi pada permulaan zaman modern dipengaruhi oleh bisnis perdagangan yang sifatnya semakin kompleks pada negara-negara Eropa
misalnya di negara Inggris.
56
Pengakuan korporasi sebagai subjek delik dalam hukum pidana sudah berlangsung sejak tahun 1635, ketika sistem hukum Inggris
mengakui bahwa korporasi dapat bertanggungjawab secara pidana atas tindak pidana ringan. Sedangkan Amerika baru mengakuinya pada tahun 1909 melalui
putusan pengadilan. Setelah itu banyak negara-negara yang mengakui korporasi sebagai pelaku tindak pidana seperti Belanda, Italia, Prancis, Kanada, Australia,
Swiss, dan beberapa negara di Eropa.
57
55
Muladi dan Dwija Priyatno, op.cit.,hlm. 35.
56
Ibid., hlm. 36
57
Mahrus Ali, op. cit., hlm. 98.
36
Dalam perkembangannya korporasi ternyata tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja, akan tetapi sekarang ini ruang lingkupnya sudah
semakin luas karena dapat mencakup bidang pendidikan, kesehatan, riset, pemerintahan, sosial, budaya, dan agama.
58
Perkembangan dan pertumbuhan korporasi dapat menimbulkan efek negatif, sehingga kedudukannya mulai
bergeser menjadi subjek hukum pidana. Dalam kongres PBB VII pada tahun 1985 telah dibicarakan tentang jenis kejahatan dalam tema “dimensi baru kejahatan
dalam konteks pembangunan”, dengan melihat gejala kriminalitas merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dimana korporasi
banyak berperan di dalamnya seperti terjadinya penipuan pajak, kerusakan lingkungan hidup, penipuan asuransi, pemalsuan invoice yang dampaknya dapat
merusak sendi-sendi
perekonomian suatu
negara. Sebelumnya
pertanggungjawaban korporasi secara kolektif telah dikenal dalam hukum adat Indonesia.
59
Menurut J. E. Sahetapy dalam penelitiannya pada tahun 1988 tentang permasalahan denda dalam hukum adat Indonesia menyatakan bahwa, di beberapa
daerah di Kepulauan Indonesia sering kali terjadi bahwa kampung si penjahat atau kampung terjadinya suatu pembunuhan atau kerugian kepada golongan familinya
orang yang dibunuh, ada kewajiban mambayar denda atau kerugian kepada golongan famili orang yang dibunuh atau yang kecurian
60
. Hal tersebut didukung pula oleh Zainal Abidin yang menyatakan bahwa
disebagian daerah di Indonesia dahulu kala dikenal hukum pidana adat yang mengancam pidana bagi keluarga atau kampung seseorang yang dipersalahkan
58
Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 41.
59
Ibid., hlm. 41.
60
Ibid., hlm. 42.
melakukan kejahatan.
61
Jadi, hukum pidana adat Indonesia sudah mengenal pertanggungjawaban kolektif yang mirip dengan pertanggungjawaban korporasi
pada zaman sekarang ini. Pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana muncul tidak melalui
penelitian yang mendalam dari para ahli, tetapi merupakan akibat dari kecenderungan
formalisme hukum
legal formalism.
Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi telah berkembang tanpa adanya teori yang
membenarkannya. Penerimaan korporasi sebagai subjek hukum layaknya manusia hanya melalui peran pengadilan. Hakim di dalam sistem hukum common law
melakukan suatu analogi atas subjek hukum manusia, sehingga korporasi juga memiliki identitas hukum dan penguasaan kekayaan dari pengurus yang
menciptakannya.
62
Para hakim yang pada waktu itu tidak memiliki banyak teori untuk membebankan tindakan para pengurus kepada korporasi, berusaha untuk menjerat
korporasi dengan mengajukan pertanyaan apakah suatu korporasi dengan entitas hukum tanpa memiliki bentuk psikis yang jelas dapat juga dipersyaratkan
memiliki kondisikeadaan psikologis untuk adanya suatu penuntutan sebagaimana halnya kejahatan-kejahatan lain yang mensyaratkan adanya hal itu. Berdasarkan
pemikiran ini, akhirnya disepakati bahwa korporasi juga dianggap sebagai subjek hukum yang bertanggung jawab hanya pada kejahatan-kejahatan ringan. Konsep
ini bertahan hingga akhir abad ke-19. Pada abad ke-19 berkembang suatu
61
A. Z. Abidin, op. cit., hlm. 50.
62
Mahrus Ali, op. cit., hlm. 99.
pemikiran tentang pertanggungjawaban korporasi, bahwa korporasi juga bertanggungjawab atas tindakan-tindakan para pengurus.
63
Setelah munculnya pemikiran tentang pertanggungjawaban korporasi atas tindakan pengurus, para ahli mencari dasar pembenar perlunya korporasi dibebani
pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Hal ini didasari alasan yang sedemikian rupa misalnya karena korporasi merupakan pelaku utama dalam
perekonomian dunia, sehingga kehadiran hukum pidana dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pengurus korporasi.
64
Selain itu, keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang
bilaman korporasi hanya dijatuhi sanksi keperdataan. Sanksi pidana diperlukan dalam hal ini. Tindakan korporasi melalui pengurus-pengurusnya pada satu sisi
sering kali menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat, sehingga kehadiran sanksi pidana diharapkan mampu mencegahnya dari pengulangan
tindakannya tersebut.
65
Penempatan korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana tidak terlepas dari modernisasi sosial. Menurut Satjipto Rahardjo, modernisasi sosial
dampaknya pertama harsu diakui bahwa semakin modern masyarakat itu akan semakin kompleks sistem sosial, ekonomi, dan politiknya, maka kebutuhan akan
sistem pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin besar pula. Kehidupan sosial tidak dapat lagi diserahkan kepada pola aturan yang santai,
melainkan dikehendaki adanya pengaturan yang semakin terorganisasi, jelas, dan
63
Ibid., hlm. 99.
64
Ibid., hlm. 100.
65
Ibid., hlm. 100.
terperinci. Sekalipun cara-cara seperti itu mungkin memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat yang semakin berkembang dengan disertai persoalan-
persoalan yang banyak pula.
66
Selanjutnya, dikemukakan oleh A. Z. Abidin yang mendukung korporasi sebagai subjek hukum pidana, yaitu:
“pembuat delik yang merupakan korporasi itu oleh Roling dimasukkan functioneel daderschaap, oleh karena korporasi dalam dunia modern mempunyai
peranan penting dalam kehidupan ekonomi yang mempunyai banyak fungsi, pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa, dan lain-
lain.”
67
Selanjutnya dalam hukum positif diberbagai negara mencantumkan korporasi sebagai subjek hukum pidana seperti di negara Belanda yang tercantum
dalam Pasal 15 ayat 1 Wet Economic Delicten 1950, yang kemudian dalam perkembangannya dicantumkan dalam Undang-Undang tanggal 23 Juni 1976 Stb.
377, yang disahkan tanggal 1 September 1976, yang kemudian diubah isinya dalam Pasal 51 W.v.S. sehingga korporasi di negara Belanda merupakan subjek
hukum pidana umum, dengan menghapus Pasal 15 ayat 1 Wet Economic Delicten 1950.
68
Di Amerika Serikat, korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum
untuk tujuan tertentu. Tujuan pemidanaan korporasi bagi Amerika Serikat adalah “to deter the corporation from permitting wrongfull acts”. Pada tahun 1909,
Amerika Serikat menempatkan korporasi sebagai subjek yang dapat dimintai
66
Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 43.
67
A. Z. Abidin, op. cit., hlm. 51.
68
Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 44.
pertanggungjawaban pidana melalui putusan Supreme Courts dalam kasus New York Cental and Hudson Riwer R.R.v. United States.
69
Di Indonesia, korporasi sebagai subjek hukum pidana dikenal sejak tahun 1951 yang dicantumkan dalam Undang-Undang penimbunan barang-barang.
Akan tetapi mulai dikenal lebih luas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi yaitu Pasal 15 ayat 1 UU No. 7 Drt. Tahun 1955, juga dalam Pasal 17
ayat 1 UU No.11 PNPS tahun 1963 tentang tindak pidana subversi, dan Pasal 49 Undnag-Undang No. 9 tahun 1976, kemudian dalam Undang-Undang tindak
pidana narkotika, Undang-Undang lingkungan hidup, Undang-Undang tentang psikotropika, Undang-Undang tindak pidana korupsi dan Undang-Undang tindak
pidana pencucian uang.
70
Dengan demikian, korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia hanya ditemukan dalam perundang-undangan khusus diluar
KUHP, karena KUHP sendiri hanya mengakui manusia sebagai subjek hukum pidana.
Pada awalnya, pertanggungjawaban korporasi didasarkan pada doktrin respondeat superior, yaitu suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri
tidak dapat melakukan tindak pidana dan memiliki kesalahan. Oleh karena itu, pertanggungjawaban
suatu korporasi
merupakan suatu
bentuk pertanggungjawaban atas tindakan orang lainpengurus vicarious liability,
dimana ia bertanggung jawab atas tindak pidana dan kesalahan yang dimiliki oleh para pengurus. Doktrin ini diambil dari hukum perdata yang kemudian diterapkan
dalam hukum pidana. Vicarious liability biasanya berlaku dalam hukum perdata
69
Ibid., hlm. 45.
70
Ibid., hlm. 45.
tentang perbuatan melawan hukum berdasarkan doktrin respondeat superior. Dalam hal ini ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk adanya
pertanggungjawaban korporasi, yaitu:
71
1. Pengurus melakukan suatu tindak pidana commits a crime
2. Tindak pidana yang dilakukan itu masih dalam ruang lingkup
pekerjaannya within a scope of employement 3.
Dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan korporasi with intent to benefit corporation
Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana penuh dengan hambatan-hambatan teoritis, tidak seperti pengakuan sebagai subjek
hukum pidana pada manusia. Terdapat dua alasan mengapa kondisi tersebut terjadi.
Pertama, begitu kuatnya pengaruh teori fiksi fiction theory yang dicetuskan oleh Von Savigny, yakni kepribadian hukum sebagai kesatuan-
kesatuan dari manusia merupakan hasil suatu khayalan. Kepribadian sebenarnya hanya ada pada manusia. Negara-negara, lembaga-lembaga, tidak dapat menjadi
subjek hak dan perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah badan-badan itu manusia. Semua hukum ada demi kemerdekaan yang melekat pada tiap individu.
Oleh karena itu, konsepsi asli kepribadian harus sesuai dengan cita-cita manusia.
72
Kedua, masih dominannya asas universitas delinguere non potest yang berarti bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana dalam
sistem hukum pidana di banyak negara. Asas ini merupakan hasil pemikiran dari
71
Mahrus Ali, op. cit., hlm. 100.
72
Ibid., hlm. 64.