2. Fockema Andrea menyatakan kata korupsi tersebut berasal dari kata asal
corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun kebanyak  bahasa  Eropa,  seperti  Inggris,  yaitu  corruption,  di  Perancis
dikenal  istilah  corruption,  dan  di  Belanda  dikenal  dengan  istilah corruptie.
11
3. Huntington menyebutkan bahwa korupsi adalah perilaku menyimpang dari
public  official  atau  para  pegawai  dari  norma-norma  yang  diterima  dan dianut  masyarakat  dengan    tujuan  memperoleh  keuntungan-keuntungan
pribadi.
12
4. Alatas  mengemukakan  pengertian  korupsi  dengan  menyebutkan  benang
merah  yang  menjelujuri  dalam  aktivitas  korupsi,  yaitu  subordinasi kepentingan  umum  dibawah  kepentingan-kepentingan  pribadi  yang
mencakup  pelanggaran  norma-norma,  tugas,  dan  kesejahteraan  umum serta    dibarengi  dengan  kerahasiaan,  penghianatan,  penipuan  dan
kemasabodohan    yang  luar  biasa  akan  akibat-akibat  yang  dirasakan masyarakat  yang  berarti    bahwa  penyalahgunaan  amanat  untuk
kepentingan pribadi.
13
5. Suyatno,  mengatakan  korupsi  merupakan  tindakan  desosialisasi  yakni
suatu    tindakan  yang  tidak  memperdulikan  hubungan-hubungan  dalam sistem  sosial.
14
11
Andi Hamzah, op.cit., hlm. 5.
12
Chairudin  dkk,  Strategi  Pencegahan  dan  Penegakan  Hukum  Tindak  Pidana  Korupsi, Bandung: Refika Aditama, 2008, hlm. 8.
13
Ibid., hlm. 9
14
Suyatno, Korupsi Kolusi Nepotisme, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005, hlm. 16.
6. Rumusan  korupsi  dari  sisi  pandang  teori  pasar  Jacob  van  Klaveren
menyatakan  bahwa  seorang  pengabdi  negara  pegawai    negeri  yang berjiwa  korup  menganggap  kantor  administrasinya  sebagai    perusahaan
dagang, dimana pendapatannya akan diusahakan semaksimal  mungkin.
15
7. L.  Bayle, perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan  yang
berkaitan  dengan  penyalahgunaan  wewenang  atau  kekuasaan  sebagai akibat    adanya  pertimbangan  dari  mereka  yang  memegang  jabatan  bagi
keuntungan  pribadi.
16
8. M.Mc  Mullan  menyatakan  bahwa,  “seorang  pejabat  pemerintahan
dikatakan  “korup”    apabila  ia  menerima  uang  sebagai  dorongan  untuk melakukan sesuatu yang  ia bisa lakukan dalam tugas jabatannya padahal
ia  selama  menjalankan    tugasnya  seharusnya    tidak  boleh  berbuat demikian. Atau  dapat  berarti   menjalankan  kebijaksanaannya  secara  sah
untuk alasan yang tidak benar  dan dapat merugikan kepentingan umum. Yang menyalahgunakan  kewenangan dan kekuasaan
”.
17
9. J.S.  Nye  menyatakan  korupsi  sebagai  perilaku  yang  menyimpang  dari
kewajiban-kewajiban  normal  suatu  peran  instansi  pemerintah,  demi mengejar  status  dan  gengsi  atau  melanggar    peraturan  dengan  jalan
melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan  pribadi.
18
10. Rumusan korupsi dengan menitikberatkan pada kepentingan umum Carl.
J.  Friedrich,  mengatakan  bahwa, “pola  korupsi  dapat  dikatakan  ada
15
Martiman  Prodjohamidjojo,  Penerapan  Pembuktian  Terbalik  dalam  Delik  Korupsi, Bandung: Mandar Maju, 2001, hlm. 8.
16
Ibid., hlm. 8.
17
Ibid., hlm. 9.
18
Ibid., hlm. 9.
apabila  seseorang  memegang  kekuasaan  yang  berwenang  untuk melakukan
hal-hal tertentu
seperti seorang
pejabat yang
bertanggungjawab melalui uang atau  semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh Undang-Undang, membujuk untuk mengambil langkah
yang  menolong  siapa  saja  yang    menyediakan  hadiah  dan  dengan demikian benar-benar membahayakan  kepentingan umum
”.
19
11. Rumusan  korupsi  di  bidang  politik  oleh  Theodore  M.  Smith,  dalam
tulisannya  “Corruption  Tradition  and  Change”  menyatakan,  “secara keseluruhan  korupsi  di  Indonesia  muncul  lebih  sering  sebagai    masalah
politik  daripada  masalah  ekonomi.  Ia  menyentuh  keabsahan  legitimasi pemerintah di mata generasi muda, kaum  elite terdidik dan pegawai pada
umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite ditingkat provinsi dan kabupaten
”.
20
12. Gunnar  Myrdal  menyatakan  bahwa  korupsi  merupakan  suatu  masalah
yang penting bagi pemerintah di Asia Selatan karena kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidakjujuran membuka jalan untuk membongkar korupsi
dan  tindakan-tindakan  penghukuman  terhadap  pelanggar.  Pemberantasan korupsi biasanya dijadikan alasan pembenar utama terhadap kup militer.
21
13. Menurut  Clive  gray,  korupsi  adalah,  “sogokan,  uang  siluman  atau
pungutan liar lain, yang merupakan harga pasar yang harus dibayar oleh konsumen yang ingin sekali membeli barang tertentu. Dan barang tertentu
itu berupa keputusan, izin, atau secara lebih tegas, tanda tangan. Secara
19
Ibid., hlm. 9.
20
Ibid., hlm. 10.
21
http:1lhamsentok.blogspot.com201209tugas-terstruktur-pendidikan.html
teoritis,  harga  pasar  tanda  tangan  akan  naik  turun  sesuai  dengan  naik turunnya  permintaan  dan  penawaran,  dan  setiap  kali  akan  terjadi  harga
keseimbangan.  Karena  dalam  model  ekonomi  pasar  juga  ada  pengertian harga  diskriminasi,  dalam  pasaran  tanda  tangan  pejabat  juga  ada
kemungkinan perbedaan harga bagi golongan ekonomi kuat dan golongan ekonomi lemah.
22
Makna  tindak  pidana  korupsi  terus  berkembang  dari  waktu  ke  waktu sebagai    pencerminan  kehidupan  bermasyarakat  dari  sisi  negatif.  Rumusan-
rumusan pengertian korupsi pada dasarnya dapat  memberi warna terhadap tindak pidana korupsi dalam hukum positif, tergantung pada tekanan atau titik beratnya
yang  diambil  oleh  pembentuk  undang-undang.  Dari    rumusan  pengertian  tindak pidana  korupsi  tersebut  tercermin  bahwa tindak  pidana  korupsi  menyangkut  segi
moral,  sifat    dan  keadaan  yang  busuk  jabatan  dalam  instansi  atau  aparatur pemerintahan,  penyelewengan kekuasaan karena pemberian, faktor ekonomi dan
politik  serta    penempatan  keluarga  maupun  golongan  ke  dalam  dinas  di  bawah jabatannya.  Jadi  dapat  ditarik  suatu  kesimpulan    bahwa  sesungguhnya  istilah
korupsi memiliki arti yang sangat luas.
2. Pengertian Korporasi
Secara  etimologi  kata  korporasi  berasal  dari  kata  “corporatio”  dalam bahasa  latin,  corporatio
sebagai kata benda berasal dari kata kerja  “corporare” yang  banyak  dipakai  orang  pada  abad  pertengahan  atau  sesudah  itu.  Sedangkan
kata  “corporare”  berasal  dari  kata  “corpus”  yang  artinya  badan,  memberikan
22
Ibid.,
badan,  atau  membadankan.  Oleh  karena  itu,  dapat  disimpulkan  bahwa  kata corporatio  itu  berarti  hasil  dari  pekerjaan  membadankan,  dengan  perkataan  lain,
badan  yang  dijadikan  orang,  badan  yang  diperoleh  dengan  perbuatan  manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.
23
Di  dalam  “Black’s  Law  Dictionary”  korporasi  didefinisikan  sebagai berikut:
“an artificial or legal created by or under the authority of the laws of a state  or  nation,  composed,  in  some  rare  instances,  of  a  single  person  an  his
successors, being incumbents of a particular office, but ordinarily consisting of an association  of  numerous  individuals
”,  suatu  yang  disahkantiruan  yang diciptakan  oleh  atau  dibawah  wewenang  hukum  suatu  negara  atau  bangsa,  yang
terdiri,  dalam  hal  beberapa  kejadian,  tentang  orang  tunggal  adalah  seorang pengganti,  menjadi  pejabat  kantor  tertentu,  tetapi  biasanya  terdiri  dari  suatu
asosiasi banyak individu.
24
Korporasi  merupakan  hasil  ciptaan  manusia  yang  bertujuan  untuk
mencapai  sesuatu  hal  yang  dapat  memenuhi  kepentingan  orang-orang  yang menciptakannya  ataupun  masyarakat.  Dimana  penciptaannya  dilakukan
berdasarkan  hukum,  sehingga  sering  disebut  dengan  badan  hukum,  yang mempunyai struktur fisik corpus dan kepribadian animus.
Korporasi  merupakan  sebutan  yang  lazim  dipergunakan  dalam  kalangan pakar hukum pidana untuk menyebutkan apa yang biasa digunakan dalam bidang
hukum lain, khususnya  dalam bidang hukum perdata  yang disebut dengan badan hukum  rechtspersoon,  atau  dalam  bahasa  Inggris  disebut  dengan  istilah  legal
entities  atau  corporation,  bahasa  Jerman  disebut  corporation,  dan  dalam  bahasa
23
Soetan  K.  Malikoel  Adil,  Pembaharuan  Hukum  Perdata  Kita,  Jakarta:  PT Pembangunan, 1955, hlm. 83.
24
Mahrus Ali, op.cit., hlm. 2.
Belanda  disebut  corporatie.
25
Menurut  terminologi  Hukum  Pidana,  bahwa korporasi  adalah  badan  atau  usaha  yang  mempunyai  identitas  sendiri,  kekayaan
sendiri terpisah dari kekayaan anggota. Pengertian  korporasi  juga  diatur  didalam Pasal  1  butir  1  Undang-Undang
Nomor  31  tahun  1999  sebagaimana  telah  diubah  dalam  Undang-Undang  Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu:
“Korporasi  adalah  sekumpulan  orang  dan  atau  kekayaan  yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.
Korporasi  sering  diidentikkan  dengan  badan  hukum  yang  merupakan sekumpulan dari orang-orang yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban
serta  tanggung  jawab  dalam  menjalankan  dan  mengelola  badan  hukum  tersebut. Selanjutnya  para  ahli  memberikan  definisinya  mengenai  korporasi  sebagai
berikut: a.
A.Z  Abidin  menyatakan  bahwa  korporasi  dipandang  sebagai  realitas sekumpulan  manusia  yang  diberikan  hak  sebagai  unit  hukum,  yang
diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu.
26
b. Menurut  Utrecht,  korporasi  adalah  suatu  gabungan  orang  yang  dalam
pergaulan  hukum  bertindak  bersama-sama  sebagai  suatu  subjek  hukum tersendiri  satu  personasifikasi.  Korporasi  adalah  badan  hukum  yang
beranggota, tetapi mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing.
27
25
Edi Yunara, op. cit., hlm. 25.
26
A.  Z.  Abidin,  Bunga  Rampai  Hukum  Pidana,  Jakarta:  Pradnya  Paramita,  1983, hlm.54.
27
Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1991, hlm. 64
c. Menurut  Satjipto  Rahardjo,  korporasi  adalah  Badan  hasil  ciptaan  hukum
yang  terdiri  dari  corpus,  yaitu  struktur  fisiknya  dan  kedalamnya  unsur memasukkan unsur animus yang membuat badan mempunyai kepribadian.
Oleh  karena  badan  hukum  itu  merupakan  ciptaan  hukum,  maka  oleh penciptanya kematiannya ditentukan oleh hukum.
28
d. Wirjono  Prodjodikoro  mendefinisikan  korporasi  sebagai  suatu
perkumpulan  orang,  dalam  korporasi  biasanya  yang  mempunyai kepentingan  adalah  orang-orang  manusia  yang  merupakan  anggota  dari
korporasi  itu,  anggota-anggota  mana  juga  mempunyai  kekuasaan  dalam peraturan  korporasi  berupa  rapat  anggota  sebagai  kekuasaan  tertinggi
dalam peraturan korporasi.
29
e. Menurut Chidir Ali, Hukum memberikan kemungkinan dengan memenuhi
syarat-syarat tertentu bahwa suatu perkumpulan atau badan lain dianggap sebagai  orang  yang  merupakan  pembawahan  dan  karenanya  dapat
menjalankan  hak-hak  seperti  orang  biasa  serta  dapat  dipertanggung jawabkan,  namun  demikian  badan  hukum  korporasi  bertindak  harus
dengan  perantaraan  orang  biasa.  Akan  tetapi  orang  yang  bertindak  itu tidak untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dan atas pertanggungjawaban
korporasi.
30
f. J.C Smith dan Brian Hogan mendefinisikan korporasi sebagai berikut:
“  A  corporation  is  a  legal  person  but  it  has  no  physical  existence  and cannot, therefore, act or form an intention of any kind except through its
28
Mahrus Ali, op. cit., hlm. 2.
29
Ibid., hlm. 4
30
Chidir Ali, op.cit., hlm. 18.
directors  or  servants.  As  each  director  or  servant  is  also  a  legal  person quite
distinct  from  the  corporation, it  follows  that  a corporation’s  legal liabilities are all, in a sense, vicarious. This line of thinking is epitomized
in  the  catchphrase  “corporations  don’t  commit  crimes,  people  do”. korporasi adalah badan hukum yang tidak memiliki fisik dan oleh karena
itu tidak dapat bertindak atau memiliki kehendak kecuali melalui direktur atau karyawannya. Direktur atau karyawan juga merupakan entitas hukum
yang  berbeda  dari  korporasi,  karena  semua  bentuk  pertanggungjawaban hukum  korporasi  adalah  melalui  pertanggungjawaban  pengganti.
Pemikiran ini berarti bahwa korporasi tidak bisa melakukan kejahatan, tapi orang-orang  yang  bertindak  untuk  danatau  atas  nama  korporasilah  yang
bisa melakukan kejahatan.
31
Dari  beberapa  definisi  yang  dikutip  dari  beberapa  pendapat  para  ahli  di atas jelas bahwa korporasi merupakan perkumpulan orang-orang yang melakukan
tindakan  bersama-sama  di  dalam  suatu  badan  yang  diciptakan  oleh  hukum  serta dijalankan  menurut  ketentuan  hukum  yang  berlaku  untuk  menjalankan  aktivitas
atau kegiatan yang sah baik  itu sebagai bagian dari fungsi pemerintahan maupun dalam  kegiatan  di  bidang  bisnis  kemudian  berakhirnya  suatu  badan  tersebut  pun
ditentukan  oleh  adanya  undang-undang  yang  mengaturnya.  Terbentuknya  suatu pengertian  korporasi  didorong  oleh  hal  bahwa  manusia  juga  di  dalam  hubungan
hukum privat tidak hanya berhubungan terhadap sesama manusia saja, tetapi juga terhadap persekutuan.
Pengertian  korporasi  juga  dapat  dilihat  dari  segi  subjek  hukum,  yakni apakah yang dimaksud dengan subjek hukum itu. Pengertian subjek hukum pada
pokoknya  merupakan  manusia  dan  segala  sesuatu  yang  berdasarkan  tuntutan kebutuhan  masyarakat  yang  oleh  hukum  diakui  sebagai  pendukung  hak  dan
kewajiban  atau  yang  lazim  disebut  sebagai  badan  hukum.
32
Jika  korporasi disejajarkan  dengan  manusia  sebagai  subjek  hukum,  memberikan  pengertian
31
Mahrus Ali, op.cit.,hlm. 3.
32
Ibid., hlm. 5.
bahwa  korporasi  juga  dapat  melakukan  perbuatan-perbuatan  hukum  seperti misalnya dalam hal transaksi bisnis. Akan tetapi, ada beberapa perbuatan hukum
yang  tidak  dapat  dilakukan  oleh  korporasi    dan  hanya  dapat  dilakukan  oleh manusia, yakni melakukan perkawinan, pewarisan, dan lain sebagainya.
Istilah badan hukum dulunya tidak dikenal dalam masyarakat yang masih primitif,  karena  kehidupan  yang  dijalankan  masih  sederhana  dan  kegiatan-
kegiatan usaha dijalankan secara individu. Namun, seiring dengan perkembangan zaman  yang  berimbas  pada  meningkatnya  kebutuhan  masyarakat,  mengharuskan
individu-individu  melakukan  kerja  sama  untuk  memenuhi  kebutuhan  mereka.
33
Dari situlah kemudian istilah badan hukum berkembang sampai sekarang. Istilah  badan  hukum  cenderung  dipakai  dalam  lingkup  hukum  perdata,
sedangkan  dalam  hukum  pidana  cenderung  digunakan  istilah  korporasi  yang cakupannya lebih luas daripada badan hukum.
3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Masalah  pertanggungjawaban  pidana  pada  dasarnya  membahas  tentang penjatuhan  pidana  bagi  pelaku  tindak  pidana  sebagai  akibat  dari  perbuatannya.
Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang  ada  pada  tindak  pidana  dan  secara  subjektif  yang  memenuhi  syarat  untuk
dapat dipidana karena perbuatannya itu.
34
Menurut kamus besar bahasa Indonesia “Tanggung  Jawab”  artinya  keadaan  wajib  menanggung  segala  sesuatu  kalau
terjadi  apa-apa  boleh  dituntut,  dipersalahkan,  diperkarakan  dan  sebagainya. Dalam  hal  ini  berarti  bahwa  masalah  pertanggungjawaban  pidana  korporasi
33
Ibid., hlm. 6.
34
Ibid., hlm. 94.
merupakan masalah dalam penentuan dapat atau tidaknya suatu korporasi dimintai pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana yang telah terjadi.
Dalam  ilmu  hukum  pidana  kemampuan  bertanggungjawab  merupakan masalah  yang  menyangkut  keadaan  batin  orang  yang  melakukan  tindak  pidana.
Roeslan Saleh menyatakan bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah mampu menginsyafi  sifat  melawan  hukumnya  suatu  perbuatan  dan  mampu  menentukan
kehendaknya.
35
Van  Hamel  berpendapat  bahwa  kemampuan  bertanggungjawab adalah  suatu  keadaan  normalitas  psikis  dan  kematangan  atau  kedewasaan,
sehingga seseorang memiliki tiga macam kemampuan, yaitu
36
: 1.
Mampu mengerti maksud perbuatannya 2.
Mampu  menyadari  bahwa  perbuatannya  tidak  dapat  diberikan  oleh masyarakat
3. Mampu menentukan kehendak dalam melakukan perbuatannya.
Kemampuan  bertanggungjawab  juga  diartikan  sebagai  kondisi  batin  yang normal  atau  sehat  dan  mempunyai  akal  dalam  membeda-bedakan  hal-hal  yang
baik dan yang buruk. Dasar  dari  adanya  tindak  pidana  adalah  asas  legalitas,  sedangkan  dasar
dapat  dipidananya  pembuat  adalah  asas  kesalahan.  Ini  berarti  bahwa  pembuat tindak  pidana  hanya  akan  dipidana  jika  ia  mempunyai  kesalahan  dalam
melakukan  tindak  pidana  tersebut.  Kapan  seseorang  dikatakan  mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut, merupakan hal yang berkaitan
35
Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm. 185.
36
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia Strict Liability dan Vicarious Liability, Jakarta: Rajawali Pers, 1996, hlm. 84.
dengan  masalah  pertanggungjawaban  pidana.
37
Seseorang  mempunyai  kesalahan bilamana  melakukan  tindak  pidana,  dilihat  dari  segi  kemasyarakatan  ia  dapat
dicela oleh karena perbuatan tersebut. Berkaitan  dengan  pertanggungjawaban  pidana,  terdapat  dua  pandangan
ahli  yang  berbeda  yaitu  pandangan  yang  monistis  dan  pandangan  yang  dualistis. Pandangan monistis diperkenalkan oleh S
imon yang merumuskan „strafbaar feit‟ sebagai berikut:
“Strafbaar  gestelde,  onrechmatige,  met  schuld  in  verband  staande handeling van een torekeningvatbaar persoon suatu perbuatan yang oleh hukum
diancam  dengan  hukuman,  bertentangan  dengan  hukum,  dilakukan  oleh  seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya”.
38
Menurut  pandangan  monistis  unsur-unsur  strafbaar  feit  itu  meliputi  baik unsur  perbuatan  unsur  objektif,  maupun  unsur  pembuat  unsur  subjektif,
dimana unsur-unsur pertanggungjawaban pidana meliputi hal-hal dibawah ini
39
: a.
Kemampuan bertanggungjawab b.
Kesalahan dalam arti luas baik sengaja atau karena kealpaan c.
Tidak adanya alasan pemaaf. Selain  pandangan  monistis,  ada  juga  pandangan  dualistis  yang  pertama
kali  diperkenalkan  oleh  Herman  Kontorowicz  pada  tahun  1993  melalui  bukunya yang  berjudul  “Tut  und  Schuld”.  Menurut  Herman,  untuk  adanya
“Strafvoraussetzungen”  yaitu  syarat-syarat  penjatuhan  pidana  terhadap  pembuat
37
Mahrus Ali, op., cit., hlm. 94.
38
Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 61.
39
Ibid., hlm. 63.
diperlukan  terlebih  dahulu  pembuktian  adanya  strafbare  handlung  perbuatan pidana kemudian harus dibuktikan pula schuld kesalahan subjektif pembuat
40
. Berdasarkan  kedua  pandangan  diatas,  dapat  disimpulkan  bahwa  masalah
pertanggungjawaban pidana sangat erat kaitannya dengan unsur kesalahan. Seperti yang disebutkan oleh Idema bahwa membicarakan unsur kesalahan dalam hukum
pidana  berarti  membicarakan  mengenai  jantungnya  hukum  pidana.  Bersamaan dengan hal tersebut, Sauer memberikan tiga pengertian dasar dalam hukum pidana
yaitu
41
: 1.
Sifat melawan hukum unrecht 2.
Kesalahan schuld 3.
Pidana strafe Berbeda  dengan  Roeslan  Saleh  yang  memisahkan  antara  pengertian
perbuatan  pidana  dengan  pertanggungjawaban  pidana.  Perbuatan  pidana  hanya menunjuk  pada  dilarangnya  perbuatan,  sedangkan  untuk  dapat  dipidananya
seseorang yang  telah  melakukan  perbuatan  pidana  tergantung  pada
kesalahannya
42
.  Jika  orang  yang  melakukan  perbuatan  pidana  mempunyai kesalahan  maka  dia  dapat  dipidana.  Berhubungan  dengan  hal  itu,  Sudarto  juga
menyatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan  perbuatan  yang  bertentangan  dengan  hukum  atau  bersifat  melawan
hukum
43
.  Jadi  meskipun  perbuatannya  telah  memenuhi  rumusan  delik  dalam undang-undang  dan  perbuatannya  tidak  dibenarkan,  namun  hal  tersebut  belum
40
Ibid., hlm. 64.
41
Ibid., hlm. 68.
42
Ibid., hlm. 68.
43
Ibid., hlm. 69.
memenuhi  syarat  untuk  penjatuhan  pidana.  Harus  dibuktikan  terlebih  dahulu apakah  terdapat  unsur  kesalahan  dari  perbuatan  pelaku.  Hal  ini  sejalan  dengan
asas tiada pidana tanpa kesalahan. Sehubungan  dengan  masalah  pertangungjawaban  pidana,  Barda  Nawawi
Arief  menyatakan  bahwa  untuk  adanya  pertanggungjawaban  pidana  harus  jelas terlebih  dahulu  mengenai  siapa  yang  dapat  dipertanggungjawabkan.
44
Harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dapat dinyatakan sebagai pembuat dari suatu
tindak pidana. Pembuat atau subjek tindak pidana merupakan bagian dari masalah pertanggungjawaban  pidana  yang  meliputi  dua  hal,  yaitu  siapa  yang  melakukan
tindak  pidana  dan  siapa  yang  dapat  dipertanggungjawabkan.  Pada  umumnya dalam hukum pidana, yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana
adalah  pembuat,  akan  tetapi  tidak  selalu  demikian.  Dalam  hal  tindak  pidana korporasi,  perbuatan  yang  dilakukan  oleh  pengurus  dapat  dilimpahkan  kepada
korporasi mengenai pertanggungjawaban pidananya. Banyak  perbuatan  ilegal  yang  dilakukan  oleh  korporasi  yang  berakibat
buruk terhadap masyarakat. Tindakan ilegal korporasi dilakukan dengan cara-cara nonfisik  dan  penyembunyian  atau  tipu  muslihat  untuk  memperoleh  uang  atau
harta  benda  dan  memperoleh  manfaat  perorangan  dalam  dunia  usaha.  Motivasi korporasi  melakukan  berbagai  bentuk  pelanggaran  dibidang  usaha  adalah  untuk
mencapai  tujuan  dan  keuntungan  yang  menimbulkan  kerugian  bagi  warga masyarakat,  negara,  dan lingkungan.  Pertanggungjawaban  pidana  korporasi  pada
hakikatnya  merupakan  suatu  mekanisme  yang  dibangun  oleh  hukum  pidana
44
Ibid., hlm. 82.
sebagai  reaksi  terhadap  pelanggaran  yang  telah  dilakukannya.  Maka  untuk memunculkan  pertanggungjawaban  korporasi  atas  tindakan  yang  dilakukannya,
perlu  ditingkatkan  fungsi  hukum  pidana  dengan  cara  menetapkan  korporasi sebagai subjek tindak pidana.
Sehubungan  dengan  pembebanan  pertanggungjawaban  pidana  terhadap korporasi,  terdapat  tiga  model  pertanggungjawaban  pidana  korporasi  yang
dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro, yaitu
45
: a.
Pengurus  korporasi  sebagai  pembuat  dan  penguruslah  yang bertanggungjawab;
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab;
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
Akan tetapi menurut Sutan Remy Sjahdeini, terdapat empat kemungkinan sistem  pembebanan  pertanggungjawaban  pidana  kepada  korporasi.  Keempat
kemungkinan sistem yang dapat dibebankan itu adalah
46
: 1.
Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh karenanya penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
2. Korporasi  sebagai  pelaku  tindak  pidana,  tetapi  pengurus  yang  harus
memikul pertanggungjawaban pidana. 3.
Korporasi  sebagai  pelaku  tindak  pidana  dan  korporasi  itu  sendiri  yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
45
Dwija  Priyatno,  Kebijakan  Legislasi  tentang  Sistem  Pertanggungjawaban  Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung: CV Utomo, 2004, hlm. 53.
46
Sutan  Remy  Sjahdeni,  Pertanggungjawaban  Pidana  Korporasi,  Jakarta:  Grafiti  Pers, 2006, hlm. 58.
4. Pengurus  dan  korporasi  keduanya  sebagai  pelaku  tindak  pidana,  dan
keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana. Alasan  beliau  menambahkan  sistem  pembebanan  yang  keempat  adalah
sebagai berikut
47
: a.
Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat  yang  telah menderita kerugian karena
pengurus  dalam melakukan  perbuatannya  itu  adalah  untuk  dan  atas  nama korporasi  serta  dimaksudkan  untuk  memberikan  keuntungan  atau
menghindarkanmengurangi kerugian finansial bagi korporasi. b.
Apabila  yang  dibebani  pertanggungjawaban  pidana  hanya  korporasi sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini
akan  dapat  memungkinkan  pengurus  bersikap  “lempar  batu  sembunyi tanga
n”. Dengan kata lain pengurus akan selalu dapat berlindung di balik punggung  korporasi  untuk  melepaskan  dirinya  dari  tanggung  jawab
dengan  dalih  dahwa  perbuatannya  itu  bukan  untuk  kepentingan  pribadi, tetapi merupakan perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi
dan untuk kepentingan korporasi. c.
Pembebanan  pertanggungjawaban  pidana  kepada  korporasi  hanya mungkin dilakukan secara vikarius, atau bukan langsung.
Menurut Pasal 59 KUHP, subyek hukum korporasi tidak  dikenal. Apabila pengurus  korporasi  melakukan  tindak  pidana  yang  dilakukan  dalam  rangka
mewakili atau
dilakukan untuk
dan atas
nama korporasi,
maka
47
Ibid., hlm. 59.
pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya kepada pengurus yang melakukan tindak pidana itu. Bunyi lengkap Pasal 59 KUHP adalah sebagai berikut :
“Dalam hal menentukan hukuman karena pelanggaran, terhadap pengurus, anggota salah satu pengurus atau komisaris, maka hukuman tidak dijatuhkan atas
pengurus  atau  komisaris  jika  nyata  bahwa  pelanggaran  itu  telah  terjadi  diluar tanggungannya”.
Dari isi Pasal 59  KUHP maka dapat diketahui bahwa tindak pidana tidak pernah  dilakukan  oleh  korporasi  tetapi  dilakukan  oleh  pengurusnya.  Sebagai
konsekuensinya,  maka  pengurus  itu  pula  yang  dibebani  pertanggungjawaban pidana  sekalipun  pengurus  dalam  melakukan  perbuatan  itu  dilakukan  untuk  dan
atas  nama  korporasi  atau  untuk  kepentingan  korporasi,  atau  bertujuan  untuk memberikan manfaat bagi korporasi dan bukan bagi pribadi pengurus.
Alasan  KUHP  tidak  mengenal  adanya  tanggung  jawab  pidana  oleh korporasi dipengaruhi oleh dua azas, yaitu azas
“societas delinquere non potest” dan
“actus  non  facit  reum,  nisi  mens  sit  rea”.  Azas  “societas  delinquere  non potest”  atau  “universitas  delinquere  non  potest”  berarti  bahwa  badan-badan
hukum tidak bisa melakukan tindak pidana. Azas ini merupakan contoh yang khas dari  pemikiran  dogmatis  dari  abad  ke-19,  dimana  kesalahan  menurut  hukum
pidana  selalu  diisyaratkan  sebagai  kesalahan  manusia.
48
Sehingga  kesalahan korporasi  tidak  diakui  dalam  hukum  pidana.  Para  pembuat  KUHP  berpendapat
bahwa  hanya  manusia  yang  dapat  dibebani  dengan  pertanggungjawaban  pidana berdasarkan azas
“actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau
“nulla poena sine
48
Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 53.
culpa”.  Azas  ini  berarti  bahwa  “an  act  does  not  make  a  man  guilty  of  crime, unless  his  mind  be  also  guilty”.  Atau  dalam  bahasa  Belanda  dikenal  dengan
ungkapan “Geen  straf  zonder  schuld”.  Jika  diterjemahkan  kedalam  bahasa
Indonesia adalah “Tiada pidana tanpa kesalahan”.
49
Yang  dimaksud  dari azas  ini adalah  untuk  membuktikan  bahwa  benar  seseorang  telah  bersalah  karena
melakukan  suatu  perbuatan  yang  diberikan  sanksi  pidana maka  harus  dibuktikan terlebih  dahulu  kesalahannya  baik  dalam  perilaku  maupun  pikirannya.  Azas  ini
mengandung  arti  bahwa  seseorang  tidak  dapat  dibebani  pertanggungjawaban pidana  karena  telah  melakukan  suatu  tindak  pidana  apabila  dalam  melakukan
perbuatan  yang  menurut  undang-undang  pidana  merupakan  tindak  pidana,  telah melakukan  perbuatan  tersebut  dengan  tidak  sengaja  dan  bukan  karena
kelalaiannya. Berkaitan  dengan  azas  tersebut  di  atas,  terdapat  dua  syarat  yang  harus
dipenuhi untuk dapat memidana seseorang,  yaitu adanya perbuatan lahiriah yang terlarangtindak pidana yang disebut actus reus dan sikap batin jahattercela yang
disebut mens rea.
50
Actus reus tidak hanya memandang pada suatu perbuatan dalam arti biasa, tetapi juga mengandung arti yang lebih luas, yaitu meliputi:
51
1. Perbuatan dari si terdakwa the conduct of the accused person.Perbuatan
ini  dapat  dibagi  menjadi  dua  macam,  yaitu;  komisi  commisions  dan omisi omissions.
2. Hasil atau akibat dari perbuatannya itu its resultconsequences; dan
49
Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 98.
50
Mahrus Ali, op. cit., hlm. 93.
51
http:en.wikipedia.orgwikiActus Reus
3. Keadaan-keadaan  yang  tercantum  dalam  perumusan  tindak  pidana
surrounding  circumstances  which  are  inclided  ini  the  definition  of  the offence.
Mens rea berasal dari bahasa latin yang artinya adalah sikap kalbu  guilty mind. Sikap kalbu seseorang  yang termasuk  mens rea dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu:
52
a. Intention kesengajaan
b. Recklessness  kesembronoan,  atau  sering  disebut  juga  dengan  istilah
willful  blindness.  Dikatakan  terdapat  recklessness  jika  seseorang mengambil dengan sengaja suatu risiko yang tidak dibenarkan.
c. Criminal negligence kealpaankekurang hati-hatian.
Dalam  hukum  pidana  Indonesia  mens  rea  hanya  terbagi  menjadi  dua bagian,  yaitu  kesengajaan  atau  dolus  dan  kealpaan  atau  culpa.  Jika  seseorang
hanya  memiliki  sikap  batin  yang  jahat  tetapi  tidak  pernah  melaksanakan  sikap batinnya  itu  dalam  wujud  suatu  perilaku,  baik  yang  terlihat  sebagai  melakukan
perbuatan tertentu atau sebagai tidak berbuat sesuatu, tidak dapat dikatakan orang tersebut telah melakukan suatu tindak pidana.
Bagi  korporasi,  unsur  kesalahan  sangat  sulit  diterapkan  karena  korporasi bukanlah  manusia.  Korporasi  tidak  memiliki  batin  dan  karena  itu  sulit  untuk
mengetahui  niatnya.  Namun,  apabila  korporasi  tidak  dapat  dimintai pertanggungjawaban  hanya  karena  sulitnya  membuktikan  kesalahan,  maka  akan
52
http:en.wikipedia.orgwikiMens Rea
terjadi  kekebalan  hukum  terhadap  korporasi,  padahal  korporasi  juga  banyak melakukan tindak pidana.
Tindak  pidana  korupsi  yang  dirumuskan  dalam  Undang-undang pemberantasan  tindak  pidana  korupsi  adalah  tindak  pidana  formil,  dengan
demikian  apabila  perbuatan  pelaku  tindak  pidana  korupsi  tersebut  sudah memenuhi  rumusan  unsur-unsur  pasal  tindak  pidana  korupsi  maka  sudah  dapat
disangka  sebagai  pelaku  tindak  pidana  korupsi.  Penjelasan  Pasal  2  ayat  1 Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999  sebagaimana  telah  diubah  dalam
Undang-Undang  Nomor  20  tahun  2001  tentang  pemberantasan  tindak  pidana korupsi  menyatakan  bahwa  tindak  pidana  korupsi  merupakan  delik  formil,  yaitu
adanya  tindak  pidana  korupsi  cukup  dengan  dipenuhinya  unsur-unsur  perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Pasal  20  Undang-Undang  Nomor  31  Tahun  1999  sebagaimana  telah diubah  dalam  Undang-Undang  Nomor  20  tahun  2001  tentang  pemberantasan
tindak pidana korupsi telah mengatur pertanggungjawaban pidana suatu korporasi. Dengan  diterimanya  korporasi  sebagai  subjek  tindak  pidana  maka  tidak  dapat
dilepaskan dari persoalan pertanggungjawaban pidana.
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian:
1. Jenis Penelitian
Penelitian  ini  menggunakan  metode  penelitian  yuridis  normatif  yaitu dengan  melakukan  analisis  terhadap  asas-asas  hukum  dengan  mengacu  pada
norma-norma  hukum  yang  terdapat  dalam  peraturan  perundang-undangan  yang tentunya mempunyai hubungan dengan judul karya ilmiah.
Penelitian  yuridis  normatif  merupakan  penelitian  yang  dilakukan  dengan cara meneliti bahan pustaka. Penelitian ini mencakup
53
: a.
Penelitian inventarisasi hukum positif b.
Penelitian terhadap asas-asas hukum c.
Penelitian hukum klinis d.
Penelitian  hukum  yang  mengkaji  sistematika  peraturan  perundang- undangan
e. Penelitian  yang  ingin  menelaah  sinkronisasi  suatu  peraturan
perundang-undangan f.
Penelitian perbandingan hukum g.
Penelitian sejarah hukum
2. Sumber Data
Data  yang  digunakan  dalam  penelitian  skripsi  ini  adalah  data  sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksudkan adalah sebagai berikut
54
: a.
Bahan hukum primer,  yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan  ditetapkan  oleh  pihak  yang  berwenang,  yakni  berupa  Undang-
undang, Peraturan Pemerintahan. b.
Bahan  hukum  sekunder,  yaitu  semua  dokumen  yang  merupakan informasi  atau  hasil  kajian  tentang  tindak  pidana  korupsi  yang
dilakukan  oleh  korporasi  seperti  seminar  hukum,  majalah,  karya  tulis
53
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 29.
54
Ibid., hlm. 31.
ilmiah  yang  berkaitan  dengan  tindak  pidana  korupsi  yang  dilakukan oleh  korporasi  dan  beberapa  sumber  dari  situs  internet  yang  berkaitan
dengan persoalan diatas. c.
Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep yang  mendukung  bahan  hukum  primer  dan  sekunder,  seperti  kamus,
ensiklopedia, biografi dan lain-lain.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini, maka metode yang digunakan adalah metode kepustakaan library research. Yakni metode yang menggunakan data sekunder
yang  tertulis  sebagai  pedoman.  Dan  selain  buku  ilmiah,  maka  penulis  juga mengumpulkan  data-data  dari  bahan-bahan  referensi  yang  berasal  dari  mass
media, seperti surat kabar dan juga bahan-bahan dari internet.
4. Analisis Data
Data  sekunder  yang  telah  diperoleh  kemudian  dianalisa  secara  kualitatif yaitu  semaksimal  mungkin  memakai  bahan-bahan  yang  ada  yang  berdasarkan
asas-asas,  pengertian  serta  sumber-sumber  hukum  yang  ada  dan  menarik kesimpulan dari bahan yang ada tersebut.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan  Karya  ilmiah  ini  secara  garis  besar  terdiri  dari  V  lima  Bab, dimana masing-masing berisikan tentang :
BAB  I  :  Membicarakan  tentang  latar  belakang,  rumusan  masalah,keaslian penulisan,  manfaat,  dan  tujuan  penelitian,  tinjauan  pustaka  yang
terdiri dari
pengertian tindak
pidana, pengertian
pertanggungjawaban,  pengertian  korupsi,  pengertian  korporasi, pengertian  pertanggungjawaban  korporasi,  metode  penelitian  dan
sistematika penulisan. BAB II
: Membahas mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
tahun  1999  Jo.  Undang-Undang  Nomor  20  tahun  2001  tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang mana dalam Bab ini akan
dibahas  lebih  rinci  mengenai  bentuk-bentuk  tindak  pidana  korupsi dan bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
tindak pidana korupsi. BAB III
:  Pembahasan  tentang  sistem  pertanggungjawaban  pidana  korporasi dalam hukum pidana terutama dalam tindak pidana korupsi
BAB IV :  Berisi  posisi  kasus  dan  analisis  putusan  Pengadilan  Tinggi
Banjarmasin No. 04 Pid.Sus 2011 PT BJM. BAB V
: Berisi mengenai kesimpulan dari permasalahan yang dibahas serta saran-saran  yang  dapat  dijadikan  acuan  dalam  penyelesain  terhadap
permasalahan yang timbul.
BAB II PENGATURAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI A.
Sejarah Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana
Asal  mula  adanya  korporasi  sampai  sekarang  masih  menjadi  persoalan, akan tetapi pada masyarakat yang primitif dengan karakteristik hidup dalam suatu
kelompok, sebenarnya sudah dikenal perbedaan individu yang terlepas dari suatu kelompok  masyarakat.  Pada  zaman  dahulu  perkembangan  korporasi  terlihat
dengan  adanya  pembentukan  kelompok  yang  terjadi  seperti  dalam  masyarakat Asia  Kecil,  Yunani,  dan  masyarakat  Romawi.  Dalam  perkembangannya,
kelompok-kelompok  tersebut  di  Romawi  membentuk  suatu  organisasi  yang fungsinya mirip dengan korporasi pada zaman sekarang ini.
55
Perkembangan korporasi pada permulaan zaman modern dipengaruhi oleh bisnis  perdagangan  yang  sifatnya  semakin  kompleks  pada  negara-negara  Eropa
misalnya  di  negara  Inggris.
56
Pengakuan  korporasi  sebagai  subjek  delik  dalam hukum pidana sudah berlangsung sejak tahun 1635, ketika sistem hukum Inggris
mengakui  bahwa  korporasi  dapat  bertanggungjawab  secara  pidana  atas  tindak pidana  ringan.  Sedangkan  Amerika  baru  mengakuinya  pada  tahun  1909  melalui
putusan  pengadilan.  Setelah  itu  banyak  negara-negara  yang  mengakui  korporasi sebagai  pelaku  tindak  pidana  seperti  Belanda,  Italia,  Prancis,  Kanada,  Australia,
Swiss, dan beberapa negara di Eropa.
57
55
Muladi dan Dwija Priyatno, op.cit.,hlm. 35.
56
Ibid., hlm. 36
57
Mahrus Ali, op. cit., hlm. 98.
36
Dalam  perkembangannya  korporasi  ternyata  tidak  hanya  bergerak  di bidang  kegiatan  ekonomi  saja,  akan  tetapi  sekarang  ini  ruang  lingkupnya  sudah
semakin  luas  karena  dapat  mencakup  bidang  pendidikan,  kesehatan,  riset, pemerintahan,  sosial,  budaya,  dan  agama.
58
Perkembangan  dan  pertumbuhan korporasi  dapat  menimbulkan  efek  negatif,  sehingga  kedudukannya  mulai
bergeser menjadi subjek hukum pidana. Dalam kongres PBB VII pada tahun 1985 telah  dibicarakan  tentang  jenis  kejahatan  dalam  tema  “dimensi  baru  kejahatan
dalam  konteks  pembangunan”,  dengan  melihat  gejala  kriminalitas  merupakan suatu  kelanjutan  dari  kegiatan  dan  pertumbuhan  ekonomi  dimana  korporasi
banyak  berperan  di  dalamnya  seperti  terjadinya  penipuan  pajak,  kerusakan lingkungan  hidup,  penipuan  asuransi,  pemalsuan  invoice  yang  dampaknya  dapat
merusak sendi-sendi
perekonomian suatu
negara. Sebelumnya
pertanggungjawaban  korporasi  secara  kolektif  telah  dikenal  dalam  hukum  adat Indonesia.
59
Menurut J. E. Sahetapy dalam penelitiannya pada tahun 1988 tentang permasalahan denda dalam hukum adat Indonesia menyatakan bahwa, di beberapa
daerah di Kepulauan Indonesia sering kali terjadi bahwa kampung si penjahat atau kampung terjadinya suatu pembunuhan atau kerugian kepada golongan familinya
orang  yang  dibunuh,  ada  kewajiban  mambayar  denda  atau  kerugian  kepada golongan famili orang yang dibunuh atau yang kecurian
60
. Hal  tersebut  didukung  pula  oleh  Zainal  Abidin  yang  menyatakan  bahwa
disebagian  daerah  di  Indonesia  dahulu  kala  dikenal  hukum  pidana  adat  yang mengancam  pidana  bagi  keluarga  atau  kampung  seseorang  yang  dipersalahkan
58
Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 41.
59
Ibid., hlm. 41.
60
Ibid., hlm. 42.
melakukan  kejahatan.
61
Jadi,  hukum  pidana  adat  Indonesia  sudah  mengenal pertanggungjawaban  kolektif  yang  mirip  dengan  pertanggungjawaban  korporasi
pada zaman sekarang ini. Pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana muncul tidak melalui
penelitian  yang  mendalam  dari  para  ahli,  tetapi  merupakan  akibat  dari kecenderungan
formalisme hukum
legal formalism.
Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi telah berkembang tanpa adanya teori yang
membenarkannya. Penerimaan korporasi sebagai subjek hukum layaknya manusia hanya  melalui  peran  pengadilan.  Hakim  di  dalam  sistem  hukum  common  law
melakukan  suatu  analogi  atas  subjek  hukum  manusia,  sehingga  korporasi  juga memiliki  identitas  hukum  dan  penguasaan  kekayaan  dari  pengurus  yang
menciptakannya.
62
Para  hakim  yang  pada  waktu  itu  tidak  memiliki  banyak  teori  untuk membebankan tindakan para pengurus kepada korporasi, berusaha untuk menjerat
korporasi  dengan  mengajukan  pertanyaan  apakah  suatu  korporasi  dengan  entitas hukum  tanpa  memiliki  bentuk  psikis  yang  jelas  dapat  juga  dipersyaratkan
memiliki kondisikeadaan psikologis untuk adanya suatu penuntutan sebagaimana halnya  kejahatan-kejahatan  lain  yang  mensyaratkan  adanya  hal  itu.  Berdasarkan
pemikiran ini, akhirnya disepakati bahwa korporasi juga dianggap sebagai subjek hukum  yang  bertanggung  jawab  hanya  pada  kejahatan-kejahatan  ringan.  Konsep
ini  bertahan  hingga  akhir  abad  ke-19.  Pada  abad  ke-19  berkembang  suatu
61
A. Z. Abidin, op. cit., hlm. 50.
62
Mahrus Ali, op. cit., hlm. 99.
pemikiran  tentang  pertanggungjawaban  korporasi,  bahwa  korporasi  juga bertanggungjawab atas tindakan-tindakan para pengurus.
63
Setelah munculnya pemikiran tentang pertanggungjawaban korporasi atas tindakan pengurus, para ahli mencari dasar pembenar perlunya korporasi dibebani
pertanggungjawaban  dalam  hukum  pidana.  Hal  ini  didasari  alasan  yang sedemikian  rupa  misalnya  karena  korporasi  merupakan  pelaku  utama  dalam
perekonomian dunia, sehingga kehadiran hukum pidana dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk mempengaruhi tindakan-tindakan pengurus korporasi.
64
Selain  itu,  keuntungan  yang  diperoleh  korporasi  dan  kerugian  yang  diderita masyarakat  dapat  demikian  besarnya,  sehingga  tidak  akan  mungkin  seimbang
bilaman  korporasi  hanya  dijatuhi  sanksi  keperdataan.  Sanksi  pidana  diperlukan dalam  hal  ini.  Tindakan  korporasi  melalui  pengurus-pengurusnya  pada  satu  sisi
sering  kali  menimbulkan  kerugian  yang  sangat  besar  bagi  masyarakat,  sehingga kehadiran  sanksi  pidana  diharapkan  mampu  mencegahnya  dari  pengulangan
tindakannya tersebut.
65
Penempatan  korporasi  sebagai  subjek  dalam  hukum  pidana  tidak  terlepas dari  modernisasi  sosial.  Menurut  Satjipto  Rahardjo,  modernisasi  sosial
dampaknya  pertama  harsu  diakui  bahwa  semakin  modern  masyarakat  itu  akan semakin kompleks sistem sosial, ekonomi, dan politiknya, maka kebutuhan akan
sistem  pengendalian  kehidupan  yang  formal  akan  menjadi  semakin  besar  pula. Kehidupan  sosial  tidak  dapat  lagi  diserahkan  kepada  pola  aturan  yang  santai,
melainkan dikehendaki adanya pengaturan yang semakin terorganisasi, jelas, dan
63
Ibid., hlm. 99.
64
Ibid., hlm. 100.
65
Ibid., hlm. 100.
terperinci.  Sekalipun  cara-cara  seperti  itu  mungkin  memenuhi  kebutuhan kehidupan  masyarakat  yang  semakin  berkembang  dengan  disertai  persoalan-
persoalan yang banyak pula.
66
Selanjutnya,  dikemukakan  oleh  A.  Z.  Abidin  yang  mendukung  korporasi sebagai subjek hukum pidana, yaitu:
“pembuat  delik  yang  merupakan  korporasi  itu  oleh  Roling  dimasukkan functioneel  daderschaap,  oleh  karena  korporasi  dalam  dunia  modern  mempunyai
peranan  penting  dalam  kehidupan  ekonomi  yang  mempunyai  banyak  fungsi, pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa, dan lain-
lain.”
67
Selanjutnya  dalam  hukum  positif  diberbagai  negara  mencantumkan korporasi sebagai subjek hukum pidana seperti di negara Belanda yang tercantum
dalam  Pasal  15  ayat  1  Wet  Economic  Delicten  1950,  yang  kemudian  dalam perkembangannya dicantumkan dalam Undang-Undang tanggal 23 Juni 1976 Stb.
377,  yang  disahkan  tanggal  1  September  1976,  yang  kemudian  diubah  isinya dalam  Pasal  51  W.v.S.  sehingga  korporasi  di  negara  Belanda  merupakan  subjek
hukum pidana umum, dengan menghapus Pasal 15 ayat 1 Wet Economic Delicten 1950.
68
Di  Amerika  Serikat,  korporasi  dipandang  sebagai  realitas  sekumpulan manusia  yang  diberikan  hak  sebagai  unit  hukum,  yang  diberikan  pribadi  hukum
untuk tujuan tertentu. Tujuan pemidanaan korporasi bagi Amerika Serikat adalah “to  deter  the  corporation  from  permitting  wrongfull  acts”.  Pada  tahun  1909,
Amerika  Serikat    menempatkan  korporasi  sebagai  subjek  yang  dapat  dimintai
66
Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 43.
67
A. Z. Abidin, op. cit., hlm. 51.
68
Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 44.
pertanggungjawaban  pidana  melalui  putusan  Supreme  Courts  dalam  kasus  New York Cental and Hudson Riwer R.R.v. United States.
69
Di Indonesia, korporasi sebagai subjek hukum pidana  dikenal sejak tahun 1951  yang  dicantumkan  dalam  Undang-Undang  penimbunan  barang-barang.
Akan  tetapi  mulai  dikenal  lebih  luas  dalam  Undang-Undang  Tindak  Pidana Ekonomi yaitu Pasal 15 ayat 1 UU No. 7 Drt. Tahun 1955, juga dalam Pasal 17
ayat 1 UU No.11 PNPS tahun 1963 tentang tindak pidana subversi, dan Pasal 49 Undnag-Undang  No.  9  tahun  1976,  kemudian  dalam  Undang-Undang  tindak
pidana  narkotika,  Undang-Undang  lingkungan  hidup,  Undang-Undang  tentang psikotropika, Undang-Undang tindak pidana korupsi dan Undang-Undang tindak
pidana  pencucian  uang.
70
Dengan  demikian,  korporasi  sebagai  subjek  hukum pidana  di  Indonesia  hanya  ditemukan  dalam  perundang-undangan  khusus  diluar
KUHP,  karena  KUHP  sendiri  hanya  mengakui  manusia  sebagai  subjek  hukum pidana.
Pada  awalnya,  pertanggungjawaban  korporasi  didasarkan  pada  doktrin respondeat superior, yaitu suatu doktrin yang menyatakan bahwa korporasi sendiri
tidak  dapat  melakukan  tindak  pidana  dan  memiliki  kesalahan.  Oleh  karena  itu, pertanggungjawaban
suatu korporasi
merupakan suatu
bentuk pertanggungjawaban  atas  tindakan  orang  lainpengurus  vicarious  liability,
dimana ia bertanggung jawab atas tindak pidana dan kesalahan yang dimiliki oleh para pengurus. Doktrin ini diambil dari hukum perdata yang kemudian diterapkan
dalam  hukum  pidana.  Vicarious  liability  biasanya  berlaku  dalam  hukum  perdata
69
Ibid., hlm. 45.
70
Ibid., hlm. 45.
tentang  perbuatan  melawan  hukum  berdasarkan  doktrin  respondeat  superior. Dalam  hal  ini  ada  tiga  syarat  yang  harus  dipenuhi  untuk  adanya
pertanggungjawaban korporasi, yaitu:
71
1. Pengurus melakukan suatu tindak pidana commits a crime
2. Tindak  pidana  yang  dilakukan  itu  masih  dalam  ruang  lingkup
pekerjaannya within a scope of employement 3.
Dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan korporasi with intent to benefit corporation
Pengakuan  korporasi  sebagai  subjek  hukum  dalam  hukum  pidana  penuh dengan  hambatan-hambatan  teoritis,  tidak  seperti  pengakuan  sebagai  subjek
hukum  pidana  pada  manusia.  Terdapat  dua  alasan  mengapa  kondisi  tersebut terjadi.
Pertama,  begitu  kuatnya  pengaruh  teori  fiksi  fiction  theory  yang dicetuskan  oleh  Von  Savigny,  yakni  kepribadian  hukum  sebagai  kesatuan-
kesatuan  dari  manusia  merupakan  hasil  suatu  khayalan.  Kepribadian  sebenarnya hanya  ada  pada  manusia.  Negara-negara,  lembaga-lembaga,  tidak  dapat  menjadi
subjek  hak  dan  perseorangan,  tetapi  diperlakukan  seolah-olah  badan-badan  itu manusia. Semua hukum ada demi kemerdekaan yang melekat pada tiap individu.
Oleh karena itu, konsepsi asli kepribadian harus sesuai dengan cita-cita manusia.
72
Kedua,  masih  dominannya  asas  universitas  delinguere  non  potest  yang berarti  bahwa  badan-badan  hukum  tidak  dapat  melakukan  tindak  pidana  dalam
sistem hukum pidana di banyak negara. Asas ini merupakan hasil pemikiran dari
71
Mahrus Ali, op. cit., hlm. 100.
72
Ibid., hlm. 64.