Menurut doktrin strict liability, sudah cukup untuk menyatakan seseorang itu dapat dipidana apabila orang tersebut secara nyata telah berperilaku seperti
dirumuskan di dalam suatu ketentuan pidana, tanpa perlu mempertimbangkan lagi apakah perilaku orang tersebut dapat dipersalahkan kepadanya atau tidak.
B. Pengaruh
Asas Tiada
Pidana Tanpa
Kesalahan dalam
Pertanggungjawaban Korporasi
Asas tiada pidana tanpa kesalahan, yang dalam Belanda dikenal dengan istilah “geen straf zonder schuld” atau dalam bahasa Jerman disebut dengan
istilah “keine straf ohne schuld”. Sedangkan dalam hukum pidana Inggris asas ini dikenal dalam bahasa latin yang berbunyi “actus non facit reum, nisi mens sit rea
an act does not make a person guilty, unless the mind in guilty ”.
121
Asas ini tidak tercantum didalam KUHP dan tidak tertulis, namun secara umum orang
berpendapat bahwa asas ini sangat wajar ada dalam hukum pidana. Asas tiada pidana tanpa kesalahan pada dasarnya tidak menghendaki
dipidananya seseorang yang nyata-nyata telah melakukan suatu tindak pidana, akan tetapi itu dilakukan tanpa adanya kesalahan. Sehubungan dengan tersebut, R.
Achmad. S. Soemadipraja menyatakan bahwa asas geen straf zonder schuld kini bukan asas yang berada di luar perundang-undangan, karena telah dimuat dalam
Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, sebagaimana telah diubah dalam Pasal 6 Undang-
Undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
122
121
Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 98.
122
Ibid., hlm. 99.
Adagium tiada pidana tanpa kesalahan dalam hukum pidana lazimnya dipakai dalam arti tiada pidana tanpa kesalahan subjektif atau kesalahan tanpa
dapat dicela. Akan tetapi dalam hukum pidana, orang tidak dapat berbicara tentang kesalahan tanpa adanya perbuatan yang tidak patut. Karena itu asas
kesalahan diartikan sebagai tiada pidana tanpa perbuatan tidak patut yang objektif, yang dapat dicelakan kepada pelakunya. Asas kesalahan adalah merupakan asas
yang fundamental dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran hukum pidana. Asas ini juga
diterima terhadap pelaku pelanggaran dalam Arrest Hoge Raad tanggal 14-2- 1916, N.J. 1916, 681 yang terkenal dengan Arrest Susu, meskipun Hoge Raad
mengartikan kesalahan dalam arti sempit sebagai kesengajaankealpaan.
123
Mengenai adagium tiada pidana tanpa kesalahan E.Ph.R.Sitorus menyatakan bahwa pertama-tama yang harus diperhatikan adalah kesalahan selalu
hanya mengenai perbuatan yang tidak patut, yaitu melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan dan tidak melakukan sesuatu yang seharusnya
dilakukan. Ditinjau lebih mendalam, bahwa kesalahan memandang hubungan antara perbuatan tidak patut dan pelakunya sedemikian rupa sehingga perbuatan
itu dalam arti kata yang sesungguhnya merupakan perbuatannya. Perbuatan itu tidak hanya objektif tidak patut, tetapi juga dapat dicelakan kepadanya. Dapat
dicelakan itu bukanlah merupakan inti dari pengertian kesalahan, tetapi akibat dari kesalahan. Sebab hubungan antara perbuatan dengan pelakunya itu selalu
membawa celaan, maka orang dapat menamakan sebagai dapat dicela. Sehingga
123
Ibid., hlm.100
kalau dirangkumkan akan menjadi, bahwa asas tiada pidana tanpa kesalahan mempunyai arti bahwa agar dapat menjatuhkan pidana, tidak hanya disyaratkan
bahwa seseorang telah berbuat tidak patut secara objektif, tetapi juga bahwa perbuatan tidak patut dapat dicelakan kepadanya.
124
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa asas tiada pidana tanpa kesalahan merupakan asas yang mutlak dalam hukum pidana sebagai dasar
dalam penjatuhan pidana. Yang menjadi permasalahan dalam hal ini adalah bagaimanakah pengaruh asas tiada pidana tanpa kesalahan apabila suatu korporasi
dituntut untuk suatu tindak pidana? Sebab bagaimanapun juga, korporasi tidak mempunyai jiwa dan unsur-unsur psikis yang dapat dikatakan memiliki
kesalahan.
125
Pada mulanya orang tidak menerima pertanggungjawaban korporasi dalam perkara pidana. Hal ini karena korporasi tidak mempunyai perasaan seperti
manusia sehingga tidak mungkin melakukan kesalahan. Namun, karena adanya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan korporasi terhadap kesejahteraan
umum, timbul juga pemikiran untuk mempertanggungjawabkan korporasi dalam perkara pidana. Sekarang ini, korporasi atau badan-badan usaha dapat diminta
pertanggungjawaban pidananya secara luas atau tindakan kriminal yang dilakukan agen-agen korporasi yang bertindak atas nama korporasi tersebut.
Suprapto mengatakan bahwa korporasi dapat dipersalahkan, yaitu apabila kesengajaan atau kealpaan terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alat
perlengkapannya. Kesalahan itu bukan bersifat individual, akan tetapi kolektif
124
Ibid., hlm. 100.
125
Ibid., hlm. 101.
karena korporasi menerima keuntungan. Dapatlah kiranya kesalahan itu disebut kesalahan kolektif, yang dapat dibebankan kepada pengurusnya. Selain daripada
itu cukup alasan untuk menganggap korporasi mempunyai kesalahan dan karena itu harus menanggungnya dengan kekayaannya, karena ia menerima keuntungan
yang terlarang. Van Bemmelen dan Remmelink menyatakan bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan
badan hukum itu, jika mungkin sebagai kesengajaan bersyarat dan kesalahan ringan dari setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu jika dikumpulkan akan
dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi itu sendiri.
126
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa korporasi dapat mempunyai kesalahan, dimana kesalahan tersebut diambil dari para pengurus atau
anggota direksi. Dengan demikian, asas tiada pidana tanpa kesalahan tetap berlaku sepanjang dilakukan oleh pengurus, sehingga jika suatu tindak pidana benar-benar
dilakukan oleh korporasi maka asas ini tidak berlaku. Oleh karena korporasi sebagai subjek tindak pidana tidak mempunyai sifat
kejiwaan kerohanian seperti halnya manusia alamiah natuurlijk persoon, maka persoalan tersebut dapat diatasi apabila kita menerima konsep keperlakuan
fungsional functioneel daderschaap. Menurut Wolter, konsep keperlakuan fungsional adalah karya interpretasi kehakiman. Hakim menginterpretasi tindak
pidana itu sedemikian rupa sehingga pemidanaannya memenuhi persyaratan dari masyarakat.
127
126
Ibid., hlm. 101.
127
Edi Yunara, op.cit., hlm. 78.
Apabila kita menerima konsep functioneel daderschaap, kemampuan bertanggungjawab masih berlaku dalam mempertanggungjawabkan korporasi
dalam hukum pidana. Sebab keberadaan korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian suatu tujuan, korporasi tersebut selalu diwujudkan
melalui perbuatan manusia alamiah. Oleh karena itu, kemampuan bertanggung jawab orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi dialihkan menjadi
kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subjek tindak pidana.
128
Negara-negara Anglo
Saxon berpendapat
bahwa dalam
hal pertanggungjawaban pidana ada keharusan pemenuhan syarat kesalahan, yang
dikenal dengan asas mens rea. Namun demikian, doktrin tersebut di beberapa negara dikecualikan untuk tindak pidana tertentu, yaitu apa yang dikenal dengan
strict liability dan vicarious liability. Sehubungan dengan asas kesalahan pada korporasi, khususnya
menyangkut pertanggungjawaban korporasi, asas kesalahan masih tetap dipertahankan, tetapi dalam perkembangan di bidang hukum khususnya hukum
pidana yang menyangkut pertanggungjawaban pidana, asas tiada pidana tanpa kesalahan tidak mutlak berlaku. Pada pandangan ini, cukuplah fakta yang
menderitakan sikorban dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban pidana pada si pelaku sesuai dengan adagium “res ipsa loquitur”, fakta sudah
berbicara sendiri.
129
Akan tetapi, bagaimanapun juga asas kesalahan merupakan asas yang fundamental sebagai jaminan adanya hak asasi manusia yang harus
dilindungi, sehingga perlu dipertanyakan sampai sejauh mana pandangan baru
128
Ibid., hlm. 78.
129
Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 106.