Setiap orang termasuk korporasi.
yang terungkap di persidangan berikut hal-hal yang memberatkan dan meringankan hakim dalam menjatuhkan pidana melebihi tuntutan pidana. Hakim
diberi kewenangan dari minimum ancaman pidana sampai dengan maksimum ancaman pidana. Dalam kasus ini, Hakim menjatuhkan pidana denda sebesar Rp.
1. 317. 782. 129,00 kepada terdakwa PT Giri Jaladhi Wana karena masih ada kekuranganselisih kehilangan uang hasil dari pengelolaan Pasar Sentra Antasari
dengan uang pengganti yang telah dijatuhkan kepada Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana yaitu ST. Widagdo. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri
Banjarmasin No. 908Pid. BPN. Bjm pada tanggal 18 Desember 2008 jo. Putusan Pengadilan Tinggi No. 02Pid. Sus2009PT. Bjm tanggal 25 Februari 2009 jo.
Putusan Mahkamah Agung No. 936 KPid.Sus2009 tanggal 25 Mei 2009, ST. Widagdo telah dijatuhi hukuman penjara selama 6 enam tahun dan harus
membayar uang pengganti sebesar Rp 6. 332. 361. 516, 00 enam milyar tiga ratus tiga puluh dua juta tiga ratus enam puluh satu ribu lima ratus enam belas rupiah.
Dalam kasus ini, pemerintah kota Banjarmasin mengalami kerugian sebesar Rp. 7. 650. 143. 645, 00 tujuh milyar enam ratus lima puluh juta seratus empat puluh
tiga ribu enam ratus empat puluh lima rupiah atas pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari, yang seharusnya masuk ke kas daerah. Dengan demikian
masih ada kekurangan sebesar Rp. 1. 317. 728. 129, 00 satu milyar tiga ratus tujuh belas juta tujuh ratus dua puluh delapan ribu seratus dua puluh sembilan
rupiah, sehingga Majelis Hakim membebankan tanggung jawab untuk membayar kekurangan tersebut kepada terdakwa PT Giri Jaladhi Wana.
Tindak pidana korupsi yang diakukan oleh korporasi merupakan kejahatan luar biasa extra ordinary crime sehingga perlu untuk menjatuhkan pidana
kepada korporasi untuk memberikan efek jera. Perbuatan terdakwa telah menyebabkan kerugian perekonomian negara dalam hal ini secara khusus
Pemerintah kota Banjarmasin, sehingga majelis hakim berdasarkan beberapa pertimbangan telah menjatuhkan pidana yang sesuai dengan perbuatan yang telah
dilakukan oleh terdakwa PT Giri Jaladhi Wana. Dengan menggunakan doktrin vicarious liability atau pertanggungjawaban pengganti yang artinya tindak pidana
yang dilakukan oleh bawahannya dapat dimintai pertanggungjawabannya kepada atasannya selama tindak pidana itu dilakukan memberikan manfaat dan
keuntungan bagi korporasi, maka korporasi dapat dijatuhi pidana. Dalam kasus ini, tindak pidana dilakukan oleh Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana, namun
pertanggungjawaban pidananya juga dibebankan kepada PT Giri Jaladhi Wana. Majelis hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa PT Giri
Jaladhi Wana, mempertimbangkan keterangan yang diberikan oleh saksi ahli dalam kasus ini yaitu Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeni. Saksi ahli mengatakan
bahwa jika yang diajukan sebagai pelaku tindak pidana adalah korporasi maka yang bertanggungjawab adalah korporasi dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh personil
korporasi maupun di dalam struktur organisasi korporasi, yang memiliki posisi sebgai directing mind dari korporasi
b. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan
korporasi
c. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atas perintah pemberi perintah dalam
rangka tugasnya dalam korporasi d.
Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi
e. Pelaku atau pemberi perintah tidak mempunyai alasan pembenar atau
alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana. Saksi ahli juga mengatakan jika kegiatan tersebut merupakan kegiatan
yang sesuai dengan maksud dan tujuan korporasi sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasarnya, maka perbuatan pengurus tersebut dapat dibebankan kepada
korporasi. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa, perjanjian kerja sama
pembangunan Pasar Sentra Antasari yang ditandatangani oleh Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana yaitu ST. Widagdo merupakan perbuatan dalam rangka
pemenuhan maksud dan tujuan korporasi dan untuk memberikan manfaat bagi korporasi. Sehingga pertanggungjawaban pidana dapat juga dibebankan kepada
korporasi. Berdasarkan hal tersebut, Hukum indonesia telah berani menjerat tindakan
korporasi sebagai suatu tindak pidana, dalam hal ini tindak pidana korupsi.