Pengertian Korporasi Tinjauan Pustaka
merupakan masalah dalam penentuan dapat atau tidaknya suatu korporasi dimintai pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana yang telah terjadi.
Dalam ilmu hukum pidana kemampuan bertanggungjawab merupakan masalah yang menyangkut keadaan batin orang yang melakukan tindak pidana.
Roeslan Saleh menyatakan bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah mampu menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu perbuatan dan mampu menentukan
kehendaknya.
35
Van Hamel berpendapat bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadaan normalitas psikis dan kematangan atau kedewasaan,
sehingga seseorang memiliki tiga macam kemampuan, yaitu
36
: 1.
Mampu mengerti maksud perbuatannya 2.
Mampu menyadari bahwa perbuatannya tidak dapat diberikan oleh masyarakat
3. Mampu menentukan kehendak dalam melakukan perbuatannya.
Kemampuan bertanggungjawab juga diartikan sebagai kondisi batin yang normal atau sehat dan mempunyai akal dalam membeda-bedakan hal-hal yang
baik dan yang buruk. Dasar dari adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar
dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam
melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut, merupakan hal yang berkaitan
35
Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm. 185.
36
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia Strict Liability dan Vicarious Liability, Jakarta: Rajawali Pers, 1996, hlm. 84.
dengan masalah pertanggungjawaban pidana.
37
Seseorang mempunyai kesalahan bilamana melakukan tindak pidana, dilihat dari segi kemasyarakatan ia dapat
dicela oleh karena perbuatan tersebut. Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, terdapat dua pandangan
ahli yang berbeda yaitu pandangan yang monistis dan pandangan yang dualistis. Pandangan monistis diperkenalkan oleh S
imon yang merumuskan „strafbaar feit‟ sebagai berikut:
“Strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld in verband staande handeling van een torekeningvatbaar persoon suatu perbuatan yang oleh hukum
diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya”.
38
Menurut pandangan monistis unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan unsur objektif, maupun unsur pembuat unsur subjektif,
dimana unsur-unsur pertanggungjawaban pidana meliputi hal-hal dibawah ini
39
: a.
Kemampuan bertanggungjawab b.
Kesalahan dalam arti luas baik sengaja atau karena kealpaan c.
Tidak adanya alasan pemaaf. Selain pandangan monistis, ada juga pandangan dualistis yang pertama
kali diperkenalkan oleh Herman Kontorowicz pada tahun 1993 melalui bukunya yang berjudul “Tut und Schuld”. Menurut Herman, untuk adanya
“Strafvoraussetzungen” yaitu syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat
37
Mahrus Ali, op., cit., hlm. 94.
38
Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 61.
39
Ibid., hlm. 63.
diperlukan terlebih dahulu pembuktian adanya strafbare handlung perbuatan pidana kemudian harus dibuktikan pula schuld kesalahan subjektif pembuat
40
. Berdasarkan kedua pandangan diatas, dapat disimpulkan bahwa masalah
pertanggungjawaban pidana sangat erat kaitannya dengan unsur kesalahan. Seperti yang disebutkan oleh Idema bahwa membicarakan unsur kesalahan dalam hukum
pidana berarti membicarakan mengenai jantungnya hukum pidana. Bersamaan dengan hal tersebut, Sauer memberikan tiga pengertian dasar dalam hukum pidana
yaitu
41
: 1.
Sifat melawan hukum unrecht 2.
Kesalahan schuld 3.
Pidana strafe Berbeda dengan Roeslan Saleh yang memisahkan antara pengertian
perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan, sedangkan untuk dapat dipidananya
seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana tergantung pada
kesalahannya
42
. Jika orang yang melakukan perbuatan pidana mempunyai kesalahan maka dia dapat dipidana. Berhubungan dengan hal itu, Sudarto juga
menyatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan
hukum
43
. Jadi meskipun perbuatannya telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan perbuatannya tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum
40
Ibid., hlm. 64.
41
Ibid., hlm. 68.
42
Ibid., hlm. 68.
43
Ibid., hlm. 69.
memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Harus dibuktikan terlebih dahulu apakah terdapat unsur kesalahan dari perbuatan pelaku. Hal ini sejalan dengan
asas tiada pidana tanpa kesalahan. Sehubungan dengan masalah pertangungjawaban pidana, Barda Nawawi
Arief menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu mengenai siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.
44
Harus dipastikan terlebih dahulu siapa yang dapat dinyatakan sebagai pembuat dari suatu
tindak pidana. Pembuat atau subjek tindak pidana merupakan bagian dari masalah pertanggungjawaban pidana yang meliputi dua hal, yaitu siapa yang melakukan
tindak pidana dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada umumnya dalam hukum pidana, yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana
adalah pembuat, akan tetapi tidak selalu demikian. Dalam hal tindak pidana korporasi, perbuatan yang dilakukan oleh pengurus dapat dilimpahkan kepada
korporasi mengenai pertanggungjawaban pidananya. Banyak perbuatan ilegal yang dilakukan oleh korporasi yang berakibat
buruk terhadap masyarakat. Tindakan ilegal korporasi dilakukan dengan cara-cara nonfisik dan penyembunyian atau tipu muslihat untuk memperoleh uang atau
harta benda dan memperoleh manfaat perorangan dalam dunia usaha. Motivasi korporasi melakukan berbagai bentuk pelanggaran dibidang usaha adalah untuk
mencapai tujuan dan keuntungan yang menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat, negara, dan lingkungan. Pertanggungjawaban pidana korporasi pada
hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana
44
Ibid., hlm. 82.
sebagai reaksi terhadap pelanggaran yang telah dilakukannya. Maka untuk memunculkan pertanggungjawaban korporasi atas tindakan yang dilakukannya,
perlu ditingkatkan fungsi hukum pidana dengan cara menetapkan korporasi sebagai subjek tindak pidana.
Sehubungan dengan pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, terdapat tiga model pertanggungjawaban pidana korporasi yang
dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro, yaitu
45
: a.
Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab;
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab;
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
Akan tetapi menurut Sutan Remy Sjahdeini, terdapat empat kemungkinan sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Keempat
kemungkinan sistem yang dapat dibebankan itu adalah
46
: 1.
Pengurus korporasi sebagai pelaku tindak pidana, sehingga oleh karenanya penguruslah yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
2. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tetapi pengurus yang harus
memikul pertanggungjawaban pidana. 3.
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan korporasi itu sendiri yang harus memikul pertanggungjawaban pidana.
45
Dwija Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung: CV Utomo, 2004, hlm. 53.
46
Sutan Remy Sjahdeni, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2006, hlm. 58.
4. Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana, dan
keduanya pula yang harus memikul pertanggungjawaban pidana. Alasan beliau menambahkan sistem pembebanan yang keempat adalah
sebagai berikut
47
: a.
Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena
pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk memberikan keuntungan atau
menghindarkanmengurangi kerugian finansial bagi korporasi. b.
Apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedangkan pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini
akan dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi tanga
n”. Dengan kata lain pengurus akan selalu dapat berlindung di balik punggung korporasi untuk melepaskan dirinya dari tanggung jawab
dengan dalih dahwa perbuatannya itu bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi merupakan perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama korporasi
dan untuk kepentingan korporasi. c.
Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara vikarius, atau bukan langsung.
Menurut Pasal 59 KUHP, subyek hukum korporasi tidak dikenal. Apabila pengurus korporasi melakukan tindak pidana yang dilakukan dalam rangka
mewakili atau
dilakukan untuk
dan atas
nama korporasi,
maka
47
Ibid., hlm. 59.