BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1.
Jika  dilihat  dalam  undang-undang  tindak  pidana  korupsi,  bahwa  yang menjadi  subjeknya  bukan  hanya  orang  tetapi  juga  termasuk  korporasi,
sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat 3 jo. Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 3 jo. Pasal 20 undang-undang No 31 tahun 1999 jo. undang-undang No. 20
tahun  2001  tentang  pemberantasan  tindak  pidana  korupsi.  Korporasi sebagai  subjek  hukum  pidana  di  Indonesia  hanya  ditemukan  dalam
perundang-undangan  khusus  diluar  KUHP,  karena  KUHP  sendiri  hanya mengakui  manusia  sebagai  subjek  hukum  pidana.  Pada  umumnya  secara
garis  besar  perkembangan  korporasi  sebagai  subjek  hukum  pidana  dapat dibedakan dalam beberapa tahap
Pengaturan  korporasi  sebagai  pelaku  tindak  pidana  korupsi bertujuan  untuk  mencegah  dan  menanggulangi  terjadinya  tindak  pidana
korupsi oleh korporasi. 2.
Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum dalam tindak pidana korupsi,  maka  korporasi  dapat  dimintai  pertanggungjawaban  pidana  atas
tindak pidana
korupsi yang
dilakukannya. Ada
tiga model
pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu: a.
Pengurus  korporasi  sebagai  pembuat,  maka  penguruslah  yang bertanggung jawab
125
b. Korporasi sebagai pembuat, pengurus yang bertanggung jawab
c. Korporasi sebagai pembuat danyang bertanggung jawab.
Dalam model pertanggungjawaban yang ketiga ini telah terjadi pergeseran pandangan,  bahwa  korporasi  dapat  dimintai  pertanggungjawaban  sebagai
pembuat, di
samping manusia
alamiah. Berbicara
mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi ada beberapa doktrin tentang sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi antara lain : a.
Doktrin Identifikasi; b.
Doktrin Pertanggungjawab Pengganti vicarious liability; c.
Doktrin  Pertanggungjawaban  Yang  Ketat  Menurut  Undang-Undang strict liability.
Jika melihat Pasal 20 ayat 7 di atas, maka pidana yang dapat dijatuhkan kepada  korporasi  hanyalah  pidana  pokok  berupa  pidana  denda  dengan
ketentuan  maksimum  pidana  ditambah  13  satu  pertiga.  Disamping pidana  denda,  sebenarnya  telah  diatur  beberapa  jenis  pidana  tambahan
dalam Pasal 18 ayat 1 UU No 31 Tahun 1999. 3.
Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh penulis terhadap kasus dimana PT Giri Jaladhi Wana sebagai pelakunya, dapat disimpulkan bahwa tindak
pidana  korupsi  dapat  dilakukan  oleh  korporasi.  Tindak  pidana  korupsi yang  dilakukan  oleh  PT  Giri  Jaladhi  Wana  tersebut  telah  menyebabkan
kerugian  negara  atau  perekonomian  negara.  Semua  unsur-unsur  yang terdapat di dalam Pasal yang didakwakan terhadap terdakwa telah terbukti
secara  sah  dan  meyakinkan.  Terdakwa  PT  Giri  Jaladhi  Wana  dijatuhi