Dalam perkara pidana ada beberapa syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan pidana dengan pertanggungjawaban pengganti, syarat
tersebut adalah :
114
a. Harus terdapat suatu hubungan pekerjaan, seperti hubungan antara
majikan dan pegawaipekerja; b.
Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja tersebut berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.
c. Adanya pendelegasian the delegation principle wewenang dari majikan
kepada pegawaipekerja d.
Prinsip perbuatan buruh merupakan perbuatan majikan the servant’s act is the mater’s act in law.
Penerapan doktrin ini hanya dapat dilakukan setelah dapat dibuktikan bahwa memang terdapat hubungan subordinasi antara pemberi kerja employer
dengan orang yang melakukan tindak pidana tersebut. Luasnya otonomi dari seorang pegawai profesional, perwakilan, atau kuasa dari korporasi tersebut, dapat
menimbulkan keragu-raguan mengenai hubungan subordinasi tersebut, yaitu untuk dapat mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan oleh
bawahannya itu kepada pemberi kerjanya. Lebih lanjut, harus dapat dipastikan apakah seorang pegawai atau kuasa dari korporasi yang bukan merupakan
pegawai dalam arti yang sebenarnya, dalam melakukan tindak pidana itu telah bertindak dalam rangka tugasnya apabila korporasi itu memang harus memikul
tanggung jawab atas perbuatannya. Sementara itu, tidak selalu dapat diketahui
114
Edi Yunara, op. cit., hlm. 60.
dengan jelas apakah perbuatan pelaku tindak pidana memang telah dilakukan dalam rangka tugasnya.
115
3. Doktrin Pertanggungjawaban ketat Strict Liability
Doktrin “strict liability” pertanggungjawaban yang ketat, adalah
pertanggungjawaban dimana seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan
Mens rea. Secara singkat strict liability diartikan sebagai “liability without fault”
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan.
116
Romli Atmasasmita menyatakan bahwa hukum pidana Inggris selain menganut asas “actus non facit reum nisi mens sit rea” a harmful act without a
blame worthy mental state is not punishable, juga menganut prinsip pertanggungjawaban mutlak tanpa harus membuktikan ada atau tidak adanya
unsur kesalahan pada si pelaku tindak pidana. Prinsip pertanggungjawab tersebut dikenal sebagai strict liability crimes.
117
Prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak ini menurut Hukum Pidana Inggris hanya diberlakukan terhadap perkara
pelanggaran ringan yaitu pelanggaran terhadap ketertiban umum atau kesejahteraan umum. Termasuk ke dalam kategori ini pelanggaran-pelanggaran
tersebut di atas ialah
118
: a.
Contempt of court atau pelanggaran terhadap tata tertib pengadilan; b.
Criminal libel atau defamation atau pencemaran nama baik seseorang; dan
115
Mahrus Ali, op.cit., hlm. 121.
116
Ibid., hlm. 112.
117
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2000, hlm. 76.
118
Mahrus Ali, op. cit., hlm. 117.
c. Public nuissance atau mengganggu ketertiban masyarakat umum.
Di Inggris, prinsip pertanggungjawaban mutlak atau “strict liability
crimes ” berlaku hanya terhadap perbuatan yang bersifat pelanggaran ringan dan
tidak terhadap pelanggaran yang bersifat berat. Pertanggungjawaban pidana ketat ini dapat juga semata berdasarkan undang-undang, yaitu dalam hal korporasi
melanggar atau tidak memenuhi kewajibankondisisituasi tertentu yang ditentukan oleh undang-undang.
Sefullah Wiradipraja menyatakan bahwa prinsip tanggungjawab liability without fault
di dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan “absolute liability
” atau “strict liability”. Dengan prinsip tanggungjawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya unsur kesalahan atau dengan perkataan lain, suatu
prinsip tanggung jawab yang memandang “kesalahan” sebagai suatu yang tidak
relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataan ada atau tidak.
119
Dianutnya strict Liabillity dalam hukum pidana didasarkan pada tiga premis, ketiga premis tersebut menurut L.B. Curzon adalah sebagai berikut
120
: a.
Sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat;
b. Pembuktian adanya unsur mens rea akan menjadi lebih sulit dalam
pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat; c.
Tingginga tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang dilakukan.
119
Dwija Priyatno, op. cit., hlm 107.
120
Mahrus Ali, op. cit., hlm. 113.
Menurut doktrin strict liability, sudah cukup untuk menyatakan seseorang itu dapat dipidana apabila orang tersebut secara nyata telah berperilaku seperti
dirumuskan di dalam suatu ketentuan pidana, tanpa perlu mempertimbangkan lagi apakah perilaku orang tersebut dapat dipersalahkan kepadanya atau tidak.
B. Pengaruh
Asas Tiada
Pidana Tanpa
Kesalahan dalam
Pertanggungjawaban Korporasi
Asas tiada pidana tanpa kesalahan, yang dalam Belanda dikenal dengan istilah “geen straf zonder schuld” atau dalam bahasa Jerman disebut dengan
istilah “keine straf ohne schuld”. Sedangkan dalam hukum pidana Inggris asas ini dikenal dalam bahasa latin yang berbunyi “actus non facit reum, nisi mens sit rea
an act does not make a person guilty, unless the mind in guilty ”.
121
Asas ini tidak tercantum didalam KUHP dan tidak tertulis, namun secara umum orang
berpendapat bahwa asas ini sangat wajar ada dalam hukum pidana. Asas tiada pidana tanpa kesalahan pada dasarnya tidak menghendaki
dipidananya seseorang yang nyata-nyata telah melakukan suatu tindak pidana, akan tetapi itu dilakukan tanpa adanya kesalahan. Sehubungan dengan tersebut, R.
Achmad. S. Soemadipraja menyatakan bahwa asas geen straf zonder schuld kini bukan asas yang berada di luar perundang-undangan, karena telah dimuat dalam
Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, sebagaimana telah diubah dalam Pasal 6 Undang-
Undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
122
121
Muladi dan Dwija Priyatno, op. cit., hlm. 98.
122
Ibid., hlm. 99.