Point of View atau Sudut Pandang

14 Komunikatif dalam Berbahasa Indonesia untuk Tingkat Unggul Kelas XII Begitu menggiurkan bujukan Neni, Bu Kristin akhirnya menyerah. Apalagi, ia memang sudah men- dengar keberhasilan Neni menjual berlian. Bahkan, dalam pikirannya, Neni akan membuat baju-baju produksinya menjadi bonus untuk berliannya. Harga berlian dinaikkan sedikit, nanti dalam tawar-menawar baju-baju itu sebagai bonus. Pintar memang Neni itu, begitu pikir Bu Kristin. Sehari kemudian, Neni sudah memboyong puluhan baju dari rumah Bu Kristin. Aduh, Bu, masa baru seminggu sudah tanya- tanya. Sabar sedikit dong, ini, kan, masih masa promosi. Biarkan konsumen mengenal dulu baju- baju buatan Bu Kristin. Untuk sementara, harganya saya diskon sampai 60. Yang penting nyebar dulu. Ya, kan, Bu? Bu Kristin hanya manggut-manggut. Dipikir- pikir, memang, benar harus pakai promosi. Sebetul- nya, agak rugi mendiskon sampai 60. Belum lagi dipotong fee 10 untuk Neni. Tapi namanya dagang, kan, harus ada promosi. Ketika dua minggu kemudian Neni datang lagi, hati Bu Kristin sedikit berbunga-bunga. Sudah laku semua, kan? Neni mau bawa berapa lagi seka- rang? Oalah, Bu Kristin itu gimana sih Sabar dulu, dong. Begini, biar kelasnya sedikit naik, harus ma- suk juga ke outlet dan mal. Tapi, biasanya, pengelo- lanya minta diskon 60 persen. Kalau menurut saya, sih, biar saja. Ya, hitung-hitung biaya promosi. Kan, nggak terlalu rugi. Kalau Bu Kristin mau, biar saya yang ngurus. Untuk yang begini komisi buat saya cukup 5 saja. Gimana Bu, setuju, kan? Nah, be- gitu. Bu Kristin masih manggut-manggut. Tapi hati- nya menolak saran-saran Neni itu. Bu, sebetulnya banyak yang tertarik dengan baju-baju buatan Bu Kristin. Tapi gimana, ya, harga- nya terlalu mahal. Kalau mau laris, harus di bawah harga outlet atau mal.. Ya, habis, Bu Kristin kasih harga terlalu tinggi. Sulit saya menjualnya. Bu Kristin manggut-manggut, tapi kali ini sambil terus berpikir. Mengapa di kompleks dan di kantor- nya baju buatannya laku? Sudah seminggu ini Neni tidak menghubungi- nya. Terakhir mereka bicara di telefon. Biasa, selalu saja ada yang dicela. Modelnya kurang up to date, sih.. Atau, Mestinya Bu Kristin jangan membuat model span begitu. Atau, Bu Kristin nggak nurut omongan saya, sih. Kan, saya sudah bilang, yang sedang laku itu stelan rok mini dengan blazer. Atau, Saya minta dimasukkan ke outlet atau mal, Ibu nggak percaya. Saya, kan, jadi susah menjual- nya. Pokoknya, kalau dari Neni hanya celaan melulu yang datang. Yang paling menyebalkan adalah ketika Neni mengatakan, Saya jadi malas jualan. Karena Ibu terlalu banyak tanya. Sudah laku berapa, sudah laku berapa. Kan, konsentrasi saya jadi buyar. Tiba-tiba Bu Kristin kembali berpikir, apa iya Neni pandai jualan? Lo, yang lain nggak banyak cakap saja laku, kok. Begini Neni, kata Bu Kristin suatu sore. Saya, kan, tidak pernah minta Anda menjualkan baju-baju saya. Sejak awal saya sudah mau jualan sendiri, eh, Anda memaksa. Mana janji lima potong sehari? Saya sudah rugi banyak, lo. Untuk yang katanya promosi, atau diskon 60 yang buat outlet atau mal. Itu belum termasuk potongan 10 untuk sampeyan. Lalu, saya dapat apa? Kali ini Neni tidak banyak cakap. Apa iya harganya terlalu tinggi, modelnya kuno, sasarannya nggak jelas? Neni, asal tahu saja, dalam dua bulan ini, di kantor, saya sudah laku 50 potong, di kantor suami saya laku 20 potong, belum di kompleks saya sendiri. Terus, Bu Farika, Bu Surindah, Dik Narti, dan beberapa ibu yang lain setiap minggu datang ke sini untuk menukar baju sambil tambah jatah. Mere- ka selalu tambah, lo, Nen. Padahal, saya hanya mengenakan diskon 40 dan komisi buat mereka diambil dari diskon itu. Kali ini Neni tutup mulut. Mereka nggak pernah mencela, baik harga maupun modelnya, lo. Tiba-tiba roman rnuka Neni berubah. Bu Kristin, saya memang goblok, saya memang nggak bisa memasarkan baju buatan Bu Kristin. Kalau Bu Kristin sudah nggak percaya lagi, ya, sudah. Silakan urus sendiri, termasuk tagihan- tagihannya, kata Neni ketus. Kali ini, Bu Kristin tidak manggut-manggut, tetapi mengelus dada. Sumber: Kilau Sebuah Cincin, Edi Warsidi Dalam prosa fiksi, pengarang juga sering memanfaatkan ungkapan, peribahasa, atau majas untuk membangun cerita. Semua itu digunakan untuk menciptakan efek tertentu dalam sebuah cerita. Dengan kata lain, ungkapan, peribahasa, dan majas digunakan untuk menimbulkan kesan imajinatif pada penyimak atau pembacanya. Sumber: Dokumentasi Pribadi