Latar Komunikatif Dalam Berbahasa Indonesia Kelas 12 Nani Darmayanti 2008

13 Kreativitas

4. Penokohan

Penokohan merupakan cara pengarang menggambarkan dan me- ngembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita. Untuk menggambarkan karakter tokoh-tokohnya, pengarang dapat menggunakan teknik berikut. a. Teknik analitik, karakter tokoh diceritakan secara langsung oleh pengarang. b. Teknik dramatik, karakter tokoh dikemukakan melalui: 1 penggambaran fisik dan perilaku tokoh; 2 penggambaran lingkungan kehidupan tokoh; 3 penggambaran bahasa yang digunakan para tokoh; 4 pengungkapan jalan pikiran tokoh; dan 5 penggambaran oleh tokoh lain.

5. Point of View atau Sudut Pandang

Sudut pandang adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita. Posisi pengarang ini terdiri atas dua macam, yaitu: a. Berperan langsung sebagai orang pertama, sebagai tokoh yang terlibat dalam cerita yang bersangkutan. Biasanya, tokoh tersebut menggunakan kata ganti aku. b. Hanya sebagai orang ketiga yang berperan sebagai pengamat.

6. Amanat

Amanat merupakan ajaran moral atau pesan yang hendak di- sampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Amanat disimpan rapi dan disembunyikan pengarang dalam keseluruhan isi cerita. Oleh karena itu, untuk menemukan amanat, tidak cukup dengan membaca dua atau tiga paragraf, tetapi harus membaca keseluruhan cerita sampai tuntas.

7. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis pe- makai bahasa. Keraf, 1991: 113. Ruang lingkup gaya bahasa meliputi penggunaan kalimat, pemilihan diksi, penggunaan majas, dan penghematan kata. Berikut terdapat sebuah cerpen. Mintalah salah seorang teman Anda untuk membaca cerpen ini, sedangkan teman-teman yang lain menyimak dengan baik. Pada awalnya, Bu Kristin enggan menerima tawaran Neni. Sudah cukup matang rasanya ia me- mikirkan cara pemasaran baju-bajunya. Apalagi, Bu Kristin membuat sedemikian rupa sehingga model- model baju buatannya pas benar dengan selera pasar. Buat apa lagi diorderkan ke orang lain? Malah berat di ongkos, pikirnya. Tapi bukan Neni namanya kalau menyerah pada tolakan pertama. Mulutnya sangat bo- ros mengubar. Isi kepalanya sibuk menghitung-hitung laba. Kalau saya dapat komisi 10 persen saja sudah lumayan. Yah, itung-itung buat nambah kebutuhan dapur, begitu pikirnya. Karena itulah, begitu gigihnya Neni menawarkan jasa baiknya kepada Bu Kristin. Coba hitung saja kalau Anda menggaji seorang karyawan khusus pemasaran, berapa gajinya se- bulan. Usaha konveksi Bu Kristin kan masih kecil- kecilan, apa iya perlu tenaga pemasaran khusus. Belum lagi fasilitas yang dimintanya. Sudahlah Bu, serahkan saja kepada saya. Nanti Anda tinggal memikirkan model-model yang sedang berkembang. Enak, kan, Bu? begitu cara Neni meyakinkan Bu Kristin. Bukan itu saja, Neni lantas membeberkan ke- berhasilannya dalam bisnis jual-beli berlian. Men- ceritakan luasnya pergaulan dan banyaknya kenalan di mana-mana. Kalau sehari saya bisa menjual 5 potong, dalam sebulan sudah 125 potong. Ya, kan, Bu? Dipotong komisi buat saya 10, Bu Kristin masih mendapat untung banyak. Perputaran uang cepat, Bu Kristin tidak perlu bercapai-capai memikirkan pemasaran. Pokoknya, Bu Kristin mikir produksi saja, soal pemasaran tahunya beres. Gede Mulut 14 Komunikatif dalam Berbahasa Indonesia untuk Tingkat Unggul Kelas XII Begitu menggiurkan bujukan Neni, Bu Kristin akhirnya menyerah. Apalagi, ia memang sudah men- dengar keberhasilan Neni menjual berlian. Bahkan, dalam pikirannya, Neni akan membuat baju-baju produksinya menjadi bonus untuk berliannya. Harga berlian dinaikkan sedikit, nanti dalam tawar-menawar baju-baju itu sebagai bonus. Pintar memang Neni itu, begitu pikir Bu Kristin. Sehari kemudian, Neni sudah memboyong puluhan baju dari rumah Bu Kristin. Aduh, Bu, masa baru seminggu sudah tanya- tanya. Sabar sedikit dong, ini, kan, masih masa promosi. Biarkan konsumen mengenal dulu baju- baju buatan Bu Kristin. Untuk sementara, harganya saya diskon sampai 60. Yang penting nyebar dulu. Ya, kan, Bu? Bu Kristin hanya manggut-manggut. Dipikir- pikir, memang, benar harus pakai promosi. Sebetul- nya, agak rugi mendiskon sampai 60. Belum lagi dipotong fee 10 untuk Neni. Tapi namanya dagang, kan, harus ada promosi. Ketika dua minggu kemudian Neni datang lagi, hati Bu Kristin sedikit berbunga-bunga. Sudah laku semua, kan? Neni mau bawa berapa lagi seka- rang? Oalah, Bu Kristin itu gimana sih Sabar dulu, dong. Begini, biar kelasnya sedikit naik, harus ma- suk juga ke outlet dan mal. Tapi, biasanya, pengelo- lanya minta diskon 60 persen. Kalau menurut saya, sih, biar saja. Ya, hitung-hitung biaya promosi. Kan, nggak terlalu rugi. Kalau Bu Kristin mau, biar saya yang ngurus. Untuk yang begini komisi buat saya cukup 5 saja. Gimana Bu, setuju, kan? Nah, be- gitu. Bu Kristin masih manggut-manggut. Tapi hati- nya menolak saran-saran Neni itu. Bu, sebetulnya banyak yang tertarik dengan baju-baju buatan Bu Kristin. Tapi gimana, ya, harga- nya terlalu mahal. Kalau mau laris, harus di bawah harga outlet atau mal.. Ya, habis, Bu Kristin kasih harga terlalu tinggi. Sulit saya menjualnya. Bu Kristin manggut-manggut, tapi kali ini sambil terus berpikir. Mengapa di kompleks dan di kantor- nya baju buatannya laku? Sudah seminggu ini Neni tidak menghubungi- nya. Terakhir mereka bicara di telefon. Biasa, selalu saja ada yang dicela. Modelnya kurang up to date, sih.. Atau, Mestinya Bu Kristin jangan membuat model span begitu. Atau, Bu Kristin nggak nurut omongan saya, sih. Kan, saya sudah bilang, yang sedang laku itu stelan rok mini dengan blazer. Atau, Saya minta dimasukkan ke outlet atau mal, Ibu nggak percaya. Saya, kan, jadi susah menjual- nya. Pokoknya, kalau dari Neni hanya celaan melulu yang datang. Yang paling menyebalkan adalah ketika Neni mengatakan, Saya jadi malas jualan. Karena Ibu terlalu banyak tanya. Sudah laku berapa, sudah laku berapa. Kan, konsentrasi saya jadi buyar. Tiba-tiba Bu Kristin kembali berpikir, apa iya Neni pandai jualan? Lo, yang lain nggak banyak cakap saja laku, kok. Begini Neni, kata Bu Kristin suatu sore. Saya, kan, tidak pernah minta Anda menjualkan baju-baju saya. Sejak awal saya sudah mau jualan sendiri, eh, Anda memaksa. Mana janji lima potong sehari? Saya sudah rugi banyak, lo. Untuk yang katanya promosi, atau diskon 60 yang buat outlet atau mal. Itu belum termasuk potongan 10 untuk sampeyan. Lalu, saya dapat apa? Kali ini Neni tidak banyak cakap. Apa iya harganya terlalu tinggi, modelnya kuno, sasarannya nggak jelas? Neni, asal tahu saja, dalam dua bulan ini, di kantor, saya sudah laku 50 potong, di kantor suami saya laku 20 potong, belum di kompleks saya sendiri. Terus, Bu Farika, Bu Surindah, Dik Narti, dan beberapa ibu yang lain setiap minggu datang ke sini untuk menukar baju sambil tambah jatah. Mere- ka selalu tambah, lo, Nen. Padahal, saya hanya mengenakan diskon 40 dan komisi buat mereka diambil dari diskon itu. Kali ini Neni tutup mulut. Mereka nggak pernah mencela, baik harga maupun modelnya, lo. Tiba-tiba roman rnuka Neni berubah. Bu Kristin, saya memang goblok, saya memang nggak bisa memasarkan baju buatan Bu Kristin. Kalau Bu Kristin sudah nggak percaya lagi, ya, sudah. Silakan urus sendiri, termasuk tagihan- tagihannya, kata Neni ketus. Kali ini, Bu Kristin tidak manggut-manggut, tetapi mengelus dada. Sumber: Kilau Sebuah Cincin, Edi Warsidi Dalam prosa fiksi, pengarang juga sering memanfaatkan ungkapan, peribahasa, atau majas untuk membangun cerita. Semua itu digunakan untuk menciptakan efek tertentu dalam sebuah cerita. Dengan kata lain, ungkapan, peribahasa, dan majas digunakan untuk menimbulkan kesan imajinatif pada penyimak atau pembacanya. Sumber: Dokumentasi Pribadi