IZIN MEMBUKA KANTOR AKUNTAN PUBLIK DARI DEPARTEMEN KEUANGAN (APRIL 1973)

16. IZIN MEMBUKA KANTOR AKUNTAN PUBLIK DARI DEPARTEMEN KEUANGAN (APRIL 1973)

Beberapa bulan sebelum saya menerima Izin Membuka Kantor Akuntan Publik dari Departemen Keuangan Republik Indonesia No. 050/1-00438, tanggal, 18 April 1973. Muchlis Adnan datang bertamu ke rumah saya di Bandung. Dia datang mengajak saya bekerja sama dalam bidang profesi akuntan publik. Dia mengetahui bahwa saya sudah selesai kuliah, dan sedang menunggu proses permohonan izin membuka kantor Akutan Publik

Kebetulan Kantor Akuntan Publik Muchlis Adnan waktu itu mendapat penugasan audit beberapa perusahaan tekstil yang ada di Bandung. Dia minta saya membantu dia selaku kepala cabang kantornya di Bandung, mencari asisten beberapa orang dan mengawasi pelaksanaan audit tersebut. Alamat kantor cabang kalau dapat di Jalan Wastukancan No.5 saja. Untuk tahap pertama selaku asisten senior akan dikirim 1 orang dari Jakarta.

Mendengar permintaan itu, saya tidak dapat mengatakan tidak, karena antara saya dan Muchlis Adnan selama ini sudah seperti saudara. Saya tidak sempat menanyakan kondisi dan lain-lain, karena saya yakin dia adalah orang yang penuh pengertian. Dia banyak membantu saya dalam menjelaskan mata pelajaran Ilmu Perhitungan Keuangan semasa kuliah jurusan akuntansi dulu. Dia lebih senior dari saya beberapa tahun sekalipun umurnya lebih muda dari saya belasan tahun.

Dia mengatakan Insya Allah, pekerjaan audit akan dimulai awal bulan depan, kalau dapat dalam bulan ini sudah ada assisten agak tiga orang dengan kwalifikasi Sarjana Muda Jurusan Akuntansi yang akan kita tempatkan di objek audit tersebut, kalau perlu di iklankan saja di koran Bandung. Sebelum diiklankan saya akan minta saran dari pak Soemita Adikoesoema terlebih dahulu, karena beliau adalah Direktur Akademi Akuntansi Bandung yang telah banyak menelorkan sarjana muda akuntansi.

Kepada pak Soemita Adikoesoema, saya katakan bahwa saya ditunjuk mejadi kepala Cabang Kantor Akuntan Publik Muchlis Adnan di Bandung, dan sekarang mencari tenaga 3 orang asisten yang sudah berpengalaman. Pak Soemita Adikoesoema senang mendengar berita itu dan beliau mengatakan, kebetulan ada dua orang bekas mahasiswa beliau yang agak menonjol, dan sering beliau ajak mengerjakan audit bila ada pekerjaan. Seorang pria dan seorang lagi wanita, nanti akan beliau suruh datang menemui saya. Saya berterima kasih kepada pak Soemita Adikoesoema yang selalu membantu saya bila saya ada kesulitan, semoga arwah beliau diterima di sisi Allah Swt dan dimaafkan segala dosanya, Amin.

Beberapa hari setelah pertemuan saya dengan pak Soemita Adikoesoema, kebetulan datang Faesal Leboe, mantan aktivis Pemuda Muhamadiah. Dia mengatakan dia mendapat informasi dari salah seorang temannya sama-sama aktivis Muhamadiah, bahwa saya sudah membuka kantor Akuntan di Bandung. Bila informasi tersebut benar, dia ingin melamar. Dia sudah berpengalaman bekerja di kantor Akuntan Publik Mustafa di Jakarta selama lebih kurang empat tahun. Dia mengundurkan diri sebulan lalu karena keluarganya tidak betah Beberapa hari setelah pertemuan saya dengan pak Soemita Adikoesoema, kebetulan datang Faesal Leboe, mantan aktivis Pemuda Muhamadiah. Dia mengatakan dia mendapat informasi dari salah seorang temannya sama-sama aktivis Muhamadiah, bahwa saya sudah membuka kantor Akuntan di Bandung. Bila informasi tersebut benar, dia ingin melamar. Dia sudah berpengalaman bekerja di kantor Akuntan Publik Mustafa di Jakarta selama lebih kurang empat tahun. Dia mengundurkan diri sebulan lalu karena keluarganya tidak betah

Dalam hati saya berkata “pucuk di cinta, ulam tiba, kata orang” mungkin ini sudah jodoh. Saya katakan, benar saya sekarang mewakili kantor Akuntan Publik Muchlis Adnan untuk di Bandung, dan memerlukan tenaga asisten yang sudah berpengalaman. Bila memang berminat bergabung dengan kami silakan buat surat lamaran supaya dapat saya bicarakan dengan pak Muchlis Adnan, mudah-mudahan disetujui dan bisa mulai bekerja awal bulan depan.

Di hari yang sama datang pula Anggiat Mangonsong, teman saya di PT Teknik Umum dulu, membawa keponakannya, yang baru beberapa hari datang dari Medan, namanya Sabam Pohan. Dia mendapat informasi dari teman-teman di Teknik Umum bahwa saya sudah membuka kantor Akuntan Publik, karena itu dia datang membawa keponakannya melamar di kantor yang saya pimpin, sambil menyerahkan surat lamaran. Setelah saya buka surat lamaran tersebut, ternyata Sabam Pohan mempunyai ijazah Tata Buku Bond A dan B dan pernah kuliah di Universitas Nomensen Sumatera Utara selama 2 tahun. Saya katakan kepada Anggiat Mangonsong, bahwa saya tidak dapat memberi keputusan segera, harus menunggu Muchlis Adnan yang akan datang pada akhir bulan ini. Saya harapakan Sabam Pohan datang lagi akhir bulan nanti.

Keesokan harinya datang dua orang yang dijanjkan oleh pak Soemita Adikoesoema menemui saya dengan membawa surat lamaran. Mereka mengatakan bahwa mereka disuruh oleh Pak Soemita Adikoesoema menemui saya. Saya berbasa basi sebentar dan mengatakan bahwa akhir bulan ini pak Muchlis Adnan akan datang ke Bandung. Saya minta mereka datang lagi akhir bulan, sambil berkenalan dengan pak Muchlis Adnan sekalian mendapatkan penjelasan, keputusan dan penugasan.

Pada hari yang ditentukan, Muchlis Adnan datang dari Jakarta bersama seorang asisten seniornya. Saya serahkan berkas para pelamar berikut orang orangnya untuk diintervew, dan dijelaskan tentang penggajian mereka, berikut tugas mereka masing-masing. Diputuskan oleh Muchlis Adnan bahwa mereka berempat diterima sebagai asisten. Hari itu juga langsung dibawa ke objek-objek pemeriksan di dua perusahaan tekstil, satu di Majalaya, dan satu lagi di Bandung, untuk diperkenalkan pada object yang akan diperiksa.

Komposisi asisten adalah dua orang di satu object, yaitu Faesal Leboe bersama dengan Sabam Pohan pada Perusahaan tekstil di Majalaya, dan Bambang bersama Wati di Perusahaan tekstil yang di kota Bandung. Asisten senior yang dari Jakarta mondar-mandir di kedua perusahaan tersebut, dengan tugas mengarahkan dan mengawasi pekerjaan para asisten dan mempersiapkan draft laporan. Alhamdulillah kesempatan ini sangat berharga buat saya menggali pengalaman bagaimana realisasi tugas Akuntan Publik dalam praktek di lapangan.

Setelah pekerjaan berjalan dua bulan, kantor Akuntan Publik Muchlis Adnan mendapat tugas audit lagi di perusahaan tekstil yang lain berloksi di Cimahi. Kebetulan waktu itu Ibrahim Sati yang sedang bekerja di PT Kasta Timbul, minta diikut sertakan sebagai asisten part time, karena tugas di PT Kasta Timbul dapat dikerjakan sebagai part time juga. Tugas Setelah pekerjaan berjalan dua bulan, kantor Akuntan Publik Muchlis Adnan mendapat tugas audit lagi di perusahaan tekstil yang lain berloksi di Cimahi. Kebetulan waktu itu Ibrahim Sati yang sedang bekerja di PT Kasta Timbul, minta diikut sertakan sebagai asisten part time, karena tugas di PT Kasta Timbul dapat dikerjakan sebagai part time juga. Tugas

Alhamdulillah, tugas audit atas nama kantor Akuntan Publik Muchlis Adnan yang ada di Bandung selesai pada waktunya. Pada saat membahas draft laporan tersebut saya diminta datang ke Jakarta dan diperkenalkan dengan salah seorang pejabat dari Bank Pembangunan Indonesia (BAPINDO) Pusat Ahmad Rivai. Bersamaan dengan itu, lamaran Muchlis Adnan ke Bank Indonesia yang diajukannya beberapa bulan lalu di terima dan diminta mulai masuk bekerja awal bulan depan. Dengan ditrimanya dia menjadi pegawai Bank Indonesia, berarti dia harus meninggalkan profesinya sebagai Akuntan Publik, karena tidak boleh merangkap jabatan.

Membuka Kantor Cabang KAP di Jakarta (1974).

Muchlis Adnan harus memilih salah satu diantara dua, yaitu tetap sebagai Akuntan Publik atau menerima tawaran sebagai pegawai Bank Indonesia. Dia memilih sebagai pegawai Bank Indonesia. Oleh karena itu, atas persetujuan Ahmad Rivai selaku pejabat Bapindo yang mengeluarkan penugasan audit, yang tadinya atas nama Kantor Akuntan Publik Muchlis Adnan, di alihkan atas nama Kantor Akuntan Publik Bustaman Rahim, baik yang ada di Jakarta maupun yang ada Bandung.

Sungguh suatu rakhmat dari Allah Swt yang luar biasa. Begitu Surat Izin membuka kantor Akuntan Publik di terima dari Departemen Keuangan, sudah mendapat client tidak kurang dari sepuluh perusahaan. Diantara perusahaan tersebut yang di Jakarta antara lain Bank Patriot, perusahaan angkutan umum PT Mayasari Bhakti, pabrik tekstil PT Lansano dan lain-lain. Karena sebagian besar dari client tersebut berada di Jakarta, maka terpaksa membuka kantor cabang Akuntan Publik Bustaman Rahim di Jakarta.

Untuk menyewa ruangan kantor belum mampu. Untuk menompang alamat saja di rumah famili atau teman yang pantas, waktu itu belum ada, kecuali rumah kakanda Nurbeiti Johar di Jalan Maraman Raya no. 48. Jakarta Pusat. Pada suatu sore saya datang menemui kakanda Nurbeity, menyampaikan maksud saya untuk menompang alamat di rumah beliau, sedangkan pelaksanaan pekerjaan bisa di kantor objek yang sedang diaudit.

Kebetulan waktu itu ada kakanda Johar dirumah dan beliau senang mendengar perkembangan pendidikan dan usaha saya, dan setuju menjadikan rumah beliau di Jalan Matraman Raya 48 alamat sementara kantor cabang Akuntan Publik Bustaman Rahim di Jakarta. Bahkan beliau menawarkan menempatkan satu atau dua buah meja kerja disitu.

Waktu itu belum ada kewajiban mendapatkan izin dari Departemen Keuangan, bila suatu kantor akuntan publik akan membuka kantor cabang di mana saja. Yang diperlukan adalah surat pemberitahuan ke Departemen Keuangan. Untuk memenuhi syarat tersebut saya buat surat ke Departemen Keuangan bahwa kantor Akuntan Publik berkantor Pusat di Bandung Waktu itu belum ada kewajiban mendapatkan izin dari Departemen Keuangan, bila suatu kantor akuntan publik akan membuka kantor cabang di mana saja. Yang diperlukan adalah surat pemberitahuan ke Departemen Keuangan. Untuk memenuhi syarat tersebut saya buat surat ke Departemen Keuangan bahwa kantor Akuntan Publik berkantor Pusat di Bandung

Karena tugas audit di Jakarta, sudah harus ditangani secara penuh, maka Ibrahim Sati memilih untuk bekerja secara full time di kantor cabang Jakarta dan meninggalkan PT Kasta Timbul, tempat beliau bekerja sebelumnya. Tenaga asisten pun mulai di rekrut sesuai dengan kebutuhan. Sejak Ibrahim Sati kembali ke Jakarta, tugas saya mulai ringan. Semua kesulitan masalah yang bersifat teknis dapat diatasi oleh Ibrahim Sati, sedangkan saya lebih banyak pada kordinator serta pembinaan client lama yang berasal kantor Akuntan Muchlis Adnan dan mendapatkan client baru.

Kira-kira 4 bulan setelah resmi membuka kantor cabang di Jakarta, dengan alamat Jalan Matraman Raya 48, ada tawaran sebuah ruangan kantor lokasi di Jalan Pintu Air Jakarta.Pusat. Luas ruangan tersebut lebih kurang 24 meter persegi di lantai dua dari sebuah kantor travel biro dengan harga sewa relatif murah. Setelah berunding dengan Ibrahaim Sati, akhirnya tawaran tersebut saya setujui. Saya beritahukan kepada kakanda Johar dan Nurbeiti, bahwa saya sudah mendapat ruangan kantor di Jalan Pintu Air. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan menggunakan alamat rumah beliau, menjadi batu loncatan kantor Cabang Akuntan Publik Bustaman Rahim di Jakarta.

Bersamaan dengan itu saya buat surat pemberitahuan ke Departemen Keuangan tentang perubahan alamat kantor. Sejak itu kami mulai melengkapi peralatan kantor seperti meja tulis berikut kursi kerja, lemari arsip, mesin ketik serta mesin hitung, dan peralatan lainnya yang diperlukan. Tenaga asisten juga mulai direkrut, sesuai dengan meningkatnya tugas audit baik di Jakarta mau pun di Bandung.

Pada suatu hari saya diperkenalkan oleh seorang teman dengan Edwardly Pamuncak. Dia adalah Direktur Utama dari Avedeco Consultant, berkantor di Jalan Nusantara. Dia mengajak saya bekerja sama dalam proyek audit, yang sebelumnya di audit oleh Kantor Akuntan Publik Johni Marsini. Karena Johni Marsini pindah ke Padang sebagai dosen Univesitas Andalas maka dia mencadangkan saya sebagai peggantinya, dengan kodisi bagi hasil. Seluruh pembaiyaan yang bersifat langsung dipikul oleh Avedeco Consultant. Dari hasil kotor dikurangi pajak-pajak yang terutang dan overhead 10% serta biaya-biaya langsung, sisanya dibagi dua, sama besar.

Karena dengan Akuntan Johni Marsini juga kondisinya seperti demikian, maka saya setuju dengan kondisi tersebut. Objek pertama yang siap untuk diaudit adalah sebuah Perusahaan Loging milik anggota Veteran Philipina lokasi di Kalimantan. Pelaksanaan audit tahun lalu di sub kan kepada salah seorang pejabat dari Direktorat Jendral Pemeriksaan Keuangan Negara (DJPKN) yang bernama Untung Margono beserta dua orang temannya. Audit tahun berjalan juga kami ikuti saja cara tersebut. Dengan demikian tugas saya hanya merevew laporan hasil audit yang dilakukan oleh Untung Margono dan menanda tangani laporan tersebut.

Di kantor Avedeco Consusltant disediakan buat saya satu meja kerja bersatu dengan ruangan Direktur Utama. Papan nama Kantor Akuntan Publik Bustaman Rahim juga di pajang dibawah papan nama Avedeco Consultant. Sejak itu di Jakarta, kami mempunyai dua kantor cabang, yang satu di Jalan Pintu Air dan satu lagi di Jalan Nusantara. Dua-duanya berlokasi di Jakarta Pusat. Yang tercatat di Departemen keuangan hanya yang di Jalan Pintu Air saja. Selama saya berada di Jakarta, kedua kantor tersebut saya datangi, kadang-kadang di Jalan Pintu air pagi sampai siang, dan siang sampai sore saya ada di Jalan Nusantara, dan sebaliknya.

Setelah kerja sama berjalan beberapa bulan, kebetulan kira-kira jam 1.00 siang saya sedang berada di kantor Jalan Nusantara. Waktu itu ada tamu bernama Hasanuddin, teman kuliah di UNPAD jurusan Akuntansi tahun lalu. Dia mampir karena melihat ada nama saya di depan. Maksudnya ialah minta bantuan saya atas masalah yang sedang dihadapinya. Dia mengatakan bahwa dia bekerja di DJPKN Pusat. Beberapa bulan yang lalu dia membantu menyusunkan laporan keuangan Proyek Peningkatan Air dan Tanah (P2AT) di bawah Direktorat Pengairan di bawah Departemen Pekerjaan Umum atas nama Kantor Akuntan Publik Azwar Nasution. Draft laporan tersebut sudah selesai, hanya saja Azwar Nasution tiba-tiba dapat serangan jantung dan meninggal dunia minggu lalu.

Dia minta bantuan saya untuk melanjutkan tugas kantor Akuntan Publik Azwar Nasution tersebut supaya laporan tersebut bisa selesai dan feenya dapat ditagih. Fee untuk saya dapat di bicarakan nanti, katanya. Saya katakan, niat saya adalah menolong, tentang fee untuk saya, tidak saya permasalahkan. Untuk itu, sebaiknya besok kita menemui Pemimpin Proyek P2AT bagaimana caranya memindahkan Surat Perintah Kerja dari Azwar Nasution ke kantor Bustaman Rahim, sebab Laporan Keuangan akan diterbitkan atas nama Bustaman Rahim. Hasanudin setuju dengan usul saya dan besoknya jam 10.00 pagi, kami bertemu di tempat yang ditentukan di Departeman Pekerjaan Umum

Pemimpin Proyek P2AT sepakat memindahkan penugasan Penyusnan Laporan Keuangan Proyek P2AT tahun buku 1973/1974 yang semula kepada Kantor Akuntan Publik Azwar Nasution ke kantor Akuntan Publik Bustaman Rahim. Tanggal undangan tender, tanggal pemasukan penawaran dan tanggal Surat Perintah Kerja disesuaikan dengan tanggal dari Kantor Akuntan Publik Azwar Nasution. Dengan demikian draft laporan yang ada sudah dapat segera di net dan diterbitkan laporannya. Pada saat menyerahkan kwitansi penagihan saya katakan kepada Hasanudin, silahkan atur saja pembagiannya dan jika ada bagian saya, saya harap bagian saya tersebut diserahkan kepada keluarga Azwar Nasution saja, sebagai tanda ikut berduka cita saya. Saya sudah senang, dapat menolong orang dalam kesulitan, karena Allah berjanji didalam Al Qur,an S 47.7 berbunyi “Hai orang-orang beriman! Jika

kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kamu dan menguatkan

kedudukanmu” Pekerjaan ini lepas dari kerja sama dengan Avedeco, berarti saya bebas menentukan keuangannya.

Allah Swt, membuktikan janjinya. Sejak itu kantor Akuntan Publik Bustaman Rahim dipercaya oleh Pemimpin Proyek P2AT menyusun Laporan Tahun Anggaran berikutnya. Waktu itu saya baru mengetahui bahwa tiap-tiap proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana besumber dari Lembaga Keuangan International seperti IBRD, ADB, OECF dan lain- lain, wajib membuat laporan keuangan tiap akhir tahun anggaran. Laporan tahunan yang Allah Swt, membuktikan janjinya. Sejak itu kantor Akuntan Publik Bustaman Rahim dipercaya oleh Pemimpin Proyek P2AT menyusun Laporan Tahun Anggaran berikutnya. Waktu itu saya baru mengetahui bahwa tiap-tiap proyek Pemerintah yang dibiayai dengan dana besumber dari Lembaga Keuangan International seperti IBRD, ADB, OECF dan lain- lain, wajib membuat laporan keuangan tiap akhir tahun anggaran. Laporan tahunan yang

Sejak itu kantor kita mulai dikenal tidak saja di lingkungan Direktorat Pengairan, tetapi sudah meluas ke Direktorat lainnya seperti Direktorat Air Bersih, Direktorat Bina Marga dan lain-lain yang berada dibawah Departemen Pekerjaan Umum. Pekerjaan penyusunan laporan keuangan proyek ini berlanjut sampai berakhir setelah masing-masing proyek dapat menyusun laporan keuangan sendiri. Berkat Rakhmat Allah, hasil kerja dari Departemen Pekrjaan Umum tersebut sampai tahun l992 dapat dirasakan dalam bentuk investasi fisik yang saya lakukan di kampung, di Bandung, dan di Jakarta. Sedangkan dalam bentuk human investment, dapat membiayai empat orang anak belajar mengambil S1 dan S2 di Australia dan di Amerika. Subhanallah, Rahmat Allah yang luar biasa ini tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Allahu Akbar, La Haulawalaquwwatailla Billah.

Menunaikan Ibadah Haji Bersama Ibunda (1975)

Dalam tahun 1968 dan tahun 1969 sudah ada niat untuk memberangkatkan ibunda bersama ibunda Raiyah menunaikan ibadah haji. Waktu itu umat islam yang hendak menunaikan ibadah haji menggunakan sistem kuota atau jatah, karena biaya untuk melaksanakan haji sebagian di subsidi oleh Pemerintah. Tiap-tiap propinsi ditentukan jatahnya sekian prosen dari jumlah penduduk masing-masing propinsi. Untuk mendapatkan quota dari Propinsi Jawa Barat dan Sumatra Barat sangat susah karena prosentasi yang berminat di kedua propinsi itu lebih banyak dibanding dengan jatah yang tersedia. Untuk mendapatkan quoto di kedua Propinsi tersebut harus menunggu beberapa tahun.

Waktu itu kakanda A. Tadjuddin bekerja di Caltex Dumai, dan ibunda Raiyah ikut beliau tinggal di situ. Saya buat surat kepada kakanda A. Tadjuddin bahwa saya Alhamdulillah diberi Allah rezki dan berniat memberangkatkan ibunda Saeran dan ibunda Raiyah menunaikan ibadah haji, selagi beliau berdua masih sehat dan kuat. Karena untuk mendapatkan quota di Sumatra Barat atau di Jawa Barat tempat saya bermukim sulit, supaya beliau mendaftarkan di kantor agama Dumai yang relatif lebih mudah.

Sudah beliau coba mendaftarkan di sana ternyata sama saja, harus menunggu dua atau tiga tahun ke depan. Namun demikian tetap beliau daftarkan di kantor agama Dumai. Mungkin belum diizinkan Allah, ibunda berdua itu berangkat bersama, ternyata setelah pendaftarana berjalan dua tahun, kakanda A. Tadjuddin pensiun dari Caltex dan sama-sama bermukim di Bandung. Dengan demikian nama ibunda berdua yang didaftarkan di kantor agama Dumai otomatis gugur. Bersamaan dengan itu, rezki saya juga agak mundur, disamping kesehatan ibunda Raiyah tidak memungkinkan karena selama di Bandung sesak nafas beliau kambuh.

9. Bersama Ibunda tahun 1984

Alhamdulillah, sejak membuka kantor cabang di Jakarta, Allah memberi rezki dengan tidak putus-putusnya pekerjaan sepanjang tahun. Saya teringat kembali, niat untuk membawa ibunda ketanah suci. Saya buat surat kepada ibunda di kampung tentang niat tersebut, beliau bergembira mudah-mudahan di sampaikan Allah kata beliau. Bersamaan dengan balasan surat tersebut beliau mengirimkan Kartu Tanda Penduduk beliau sebagai salah satu syarat untuk mendaftarkan di Kantor Agama Bandung. Waktu itu untuk menunaikan ibadah haji tidak lagi menggunakan quota dan tidak lagi di subsidi oleh Pemerintah. Hanya saja biaya menunaikan ibadah haji jauh lebih tinggi dibanding dengan sebelumnya sewaktu menggunakan quota.

Kira-kira tiga bulan sebelum keberangkatan, saya menerima surat dari Kantor Agama di Bandung bahwa kami sudah dapat dipastikan berangkat tahun itu kira-kira akhir tahun 1975. Setelah mendapat surat tersebut saya beritahukan kepada ibunda untuk bersiap-siap datang ke Bandung, karena sebelum berangkat ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi seperti pemeriksaan kesehatan, membuat pasfoto dan mengikuti bimbingan haji yang disebut manasik haji. Alhamdulillah semua syarat-syarat itu dapat kami ikuti dengan sungguh- sungguh, karena ibadah haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup, dan kesempatan itu tidak kami sia-siakan.

Seminggu sebelum keberangkatan, semua jemaah Kotamadya Bandung yang berada dalam satu kelompok terbang di kumpulkan di aula Kotamadya Bandung. Di situ dibagikan paspor haji, gelang yang diberi nama masing-masing jemaah, dan nomor kursi di dalam bus Seminggu sebelum keberangkatan, semua jemaah Kotamadya Bandung yang berada dalam satu kelompok terbang di kumpulkan di aula Kotamadya Bandung. Di situ dibagikan paspor haji, gelang yang diberi nama masing-masing jemaah, dan nomor kursi di dalam bus

Di hari yang ditentukan seluruh jemaah disuruh berkumpul di halaman Kotamadya jam

5.00 pagi, dengan membawa barang-barang bawaannya sekalian. Setelah barang-barang bawaan diserahkan kepada petugas, jemaah disuruh mencari tempat duduk didalam bus, sesuai dengan nomor tempat duduk yang sudah dibagikan sebelumnya. Di samping isteri dan anak-anak ikut melepas keberangkatan kami Bapak Amir Syafni dan kakanda A. Tadjuddin. Tepat jam 6.00 pagi, bus berangkat meninggalkan Bandung menuju asrama haji di Tulodong, Bogor.

Di sana, kami diistirahatkan selama dua malam dua hari, menunggu hari naik pesawat terbang, menuju Jedah. Selama menunggu, kami diberi suntikan anti penyakit menular yang mungkin terbawa oleh jemaah-jemaah dari berbagai negara. Udara di Tulodong sangat segar. Pagi-pagi setelah salat Subuh ada pengajian yang diberikan oleh ustaz yang berbeda-beda. Setelah pengajian minum pagi sudah tersedia. Kebanyakan kami setelah minum pagi, berjalan-jalan sekeliling lapangan olah raga yang ada di hadapan asrama. Waktu berjalan- jalan pagi itulah saya merasakan sangat dekat dengan ibunda, banyak nasihat dan cerita yang beliau sampaikan kepada saya.

Waktu itu beliau berpesan, mudah-mudahan kamu masih di beri rezki oleh Allah sepulang dari Mekah ini. Niatkanlah membuat surau tempat anak-anak belajar mengaji, pengganti surau tinggi dulu. Pesan beliau itu saya pegang teguh dan Alhamdulillah, sepuluh tahun kemudian pesan beliau tersebut dapat saya penuhi. Di atas tanah pusaka beliau seluas lebih kurang 600 meter persegi, diwakafkan dan di bangun di atasnya musalla berlantai dua diberi nama Baitul Rahim. Sekarang dijadikan Taman Pengajian Anak-anak (TPA) di Parit Putus

Setelah dua hari dua malam kami di asrama haji, sudah ada pemberi tahuan bahwa besok pagi setelah salat Subuh dan minum pagi, kami diberangkatkan ke air-port Halim Perdana Kusuma untuk diterbangkan langsung ke Jedah. Malam itu barang-barang bawaan sudah diserahkan kepada petugas haji untuk dibawa dengan truk terpisah ke Halim Perdana Kusuma, dan langsung dimasukkan ke dalam pesawat. Kami berangkat dari asrama haji Tulodong kira-kira jam 7.00 pagi dan sampai di Halim Perdana Kusumah kira-kira jam 9.15. Sesampai di air-port, kami disuruh berbaris untuk pemeriksaan ticket dan pasport, dan langsung naik pesawat.

Sampai di Jedah hari masih siang. Untuk pengambilan barang, pemeriksaan imigrasi dan pabean disana, memakan waktu kira-kira 3 jam. Setelah itu kami dibawa beristirahat semalam diasrama haji di Jedah yang lokasinya tidak terlalu jauh dari airport. Besok pagi kami diberangkatkan ke Medinah. Setelah sampai di Medinah kami dibawa oleh wakil syekh ke asrama yang sudah disediakan. Umumnya asrama waktu itu tidak memuaskan. Udaranya pengap dan tidak ada fsilitas dapur dan air juga serba kurang. Jalan menuju asrama tersebut meliwati kandang-kandang kambing dan mendaki. Regu kami sepakat untuk mencari tempat lain yang memadai dengan biaya tambahan. Waktu itu belum ada Ongkos Naik Haji Plus seperti sekarang.

Udara di Medinah waktu itu sangat dingin menurut ukuran kita dari Indonesia. Suhu berkisar dibawah 20 derajat celsius, dengan udara yang menghisap air. Kalau kita mencuci anduk tanpa di jemur diluar ruangan pun, sorenya akan kering di hisap oleh udara yang dingin tersebut. Banyak jemaah yang sampai keluar darah dari hidungnya, karena tidak tahan dingin. Ibunda mulai sakit-sakitan dan beberapa hari tidak kuat pergi ke mesjid Nabawi untuk salat berjamaah.

Berkat bantuan pegawai hotel Haramain, kami mendapatkan sebuah flat yang tidak begitu jauh dari Mesjid Nabawi. Setelah kami meninjau flat tersebut terdiri beberapa kamar dengan fasilitas cukup. Di dalamnya lengkap dengan perabot rumah tangga, air cukup dan dapurnya pun terpelihara rapi. Akhirnya kami setujui menyewanya, walau pun sedikit mahal. Kami sepakat untuk menjadikan flat tersebut seperti rumah tangga sendiri, yaitu ibu-ibu masak bergiliran sedangkan bapak-bapak bertugas mempersiapkan yang akan dimasak juga secara bergiliran. Seluruh biaya dipikul bersama sebanding dengan jumlah keluarga masing- masing, dihitung beban per kapita.

Pada satu kesempatan Bapak Oemar Bakry bertemu dengan Bapak Emil Salim, Bapak Harun Zein dan Bapak Sutami di Mesjid Nabawi. Rupanya beliau sudah lama tidak bertemu, dan sekaligus mengundang makan siang besok bersama isteri di flat kami. Undangan tersebut diterima oleh beliau-beliau itu, dan sepulang kami salat Lohor di mesjid Nabawi, kami mampir dulu ke pasar membeli bahan-bahan yang akan dimasak oleh ibu-ibu besoknya. Alhamdulillah, besoknya selesai salat Lohor di mesjid Nabawi kami bersama-sama pulang ke flat beserta tamu. Masakan Padang disiapkan oleh isteri Bapak Oemar Bakry dan masakan Sunda disiapkan oleh isteri Bapak Abdul Fatah. Selesai makan Bapak Harun Zein mengatakan bahwa sudah beberapa hari beliau tidak bertemu dengan masakan Padang. Makan disini berkilat perut karena kekenyangan,sekalian melepaskan rindu, kata beliau. Selesai makan siang dan mengobrol sebentar, kami kembali lagi ke mesjid Nabawi untuk salat Asar berjamaah.

Setelah kami menunaikan salat fardu berjemaah di mesjid Nabawi sebanyak 40 kali dan mengunjungi tempat-tempat bersejarah, kami siap-siap berangkat ke Mekah. Kami berangkat ke Mekah jam 11.00 pagi. Naik bus baru dan bagus, sama barunya dengan bus yang kami tompangi dari Jedah ke Medinah tempo hari. Alhamdulillah kesehatan ibunda sudah agak lumayan. Jarak Medinah ke Mekah lebih kurang 500 kilometer. Kami berhenti dulu di Miqat Bir Ali untuk melaksanakan mandi dan salat sunat. Mengganti pakain biasa dengan pakaian ihram, karena kita akan memasuki tanah suci. Sejak itu berlaku hukum ihram dengan segala macam larangan dan bermacam-macam anjuran yang patut dilakukan.

Saya antarkan ibunda terlebih dahulu untuk mandi dan salat sunat dua rakaat, setelah beliau selesai saya antarkan beliau kembali ke bus yang kami tompangi. Setelah itu baru saya mempersiapkan diri untuk mandi dan salat sunat dan berpakaian ihram. Ada kira-kira satu jam bus yang kami tompangi itu berhenti di Bir Ali, setelah itu melanjutkan perjalanan ke Mekah. Sopir bus banyak berhenti di jalan dengan alasan capek dan mengantuk, padahal yang sesungguhnya dia meminta bakhsis atau tip sebagai tambahan penghasilan. Setelah terkumpul beberapa puluh real dia berangkat lagi. Ada beberapa dia berlaku demikian. Jika tidak dikasi bakhsis, dia hanya duduk-duduk saja di kedai kopi yang banyak terdapat di pinggir jalan.

Kami sampai di Mekah besok paginya. Sebelum pergi ke asrama kami menunaikan tawaf selamat datang terlebih dahulu. Setelah selesai tawaf, sa`i dan tahlul, baru kami di antarkan ke asrama yang sudah disediakan oleh syekh. Sama seperti di Medinah asrama yang disediakan jauh dibawah kondisi yang memadai. Regu kami ditempatkan di lantai empat, Sama seperti di Medinah jalan menuju asrama tersebut melalui tempat pemeliharaan biri-biri. Kamar-kamarnya pengap dan tidak mempunyai fasilitas lainnya seperti dapur dan kamar mandi hanya ada satu untuk berpuluh-puluh orang. Bangunan tersebut hanya di tempati sekali setahun yaitu hanya dimusim haji saja.

Bapak Oemar Bakry berusaha mencari tempat lain untuk kami tempati selama berada di Mekah. Akhirnya kami menyewa rumah syekh yang mengurus kami. Syekh ini berasal dari Malaysia yang sudah menjadi warga negara Arab. Jadi kami berkomunikasi dengan bahasa Melayu. Rumahnya agak jauh dari Mesjidil Haram dengan harga sewa termasuk menyediakn mobil metro mini untuk antar jemput dari rumah ke Mesjidil Haram dua kali sehari semalam. Yaitu waktu subuh mengantarkan pulang pergi, sedangkan untuk Lohor hanya mengantarkan saja dan dijemput nanti setelah salat Isya Setelah sepakat dengan syarat tersebut maka regu kami pindah dari asrama ke rumah syekh yang berjarak lebih kurang 3 kilometer dari Mesjidil Haram.

Sayang, kesepakatan yang disetujui bersama tidak sesuai dengan realisasinya. Setelah uang sewa diterima oleh syekh, pada awal-awal masih konsisten dengan janji itu, setelah dua minggu kemudian bermacam-macam alasan shekh untuk tidak memenuhi janji semula. Menghadapi kondisi demikian kami hanya bersabar, agar nilai ibadah haji kami tidak rusak karenanya..

Udara di di Mekah agak lumayan, jika dibanding dengan di Medinah. Namun demikian ibunda masih sering sakit. Mula-mula selama masih ada mobil mengantar dan menjemput sesuai dengan kewajiban syekh, beliau sering pergi ke Mesjidil Haram. Tetapi setelah tidak ada mobil mengantar dan menjemput beliau jarang pergi salat berjemaah dan tawaf, ke Mesjidil Haram karena tidak kuat berjalan dan berdesak-desakan. Bahkan selama beliau sakit, saya sempat berbakti kepada beliau dengan mencuci pakaian beliau dan memijit-mijit tangan dan kaki beliau. Semoga nilai ibadah beliau tidak bekurang, Amin!.

Ada satu keanehan yang saya rasakan selama berada di Mesjid Nabawi dan di Mesjidil Haram di Mekah. Sewaktu saya duduk berzikir setelah salat Lohor menunggu waktu Asar tiba, terasa di bahu saya ada orang yang mencuil seakan-akan ada teman di belakang. Setelah saya menoleh ke belakang, ternyata tidak ada siapa-siapa. Kejadian ini ada beberapa kali di

Medinah maupun di Mekah. Hal ini tidak lagi saya rasakan sewaktu saya menunaikan ibadah haji tahun1980 maupun tahun l993.

Pada satu hari, saya bertanya kepada syekh berasal dari Malaysia itu, tentang Jabbal Noor. Beliau mengatakan Jabbal Noor dekat dari sini, cukup dengan naik bus dan bayar satu real, sudah sampai disana. Saya katakan bahwa saya ingin sekali melihat gua tempat ayat pertama diturunkan kepada Rasulullah Saw. Saya coba mengajak Marwan untuk pergi ke sana sebab yang mungkin mau ikut adalah dia, mengingat umurnya masih muda dibanding dengan anggota kami yang lainnya. Ternyata dia berhalangan karena akan membawa ibundanya berobat. Saya putuskan untuk pergi sendiri, dan malamnya saya minta izin kepada ibunda untuk pergi ke Jabbal Noor melihat gua tempat ayat pertama diturunkan Allah melalui Jibril kepada nabi Muhammad Saw. Kata beliau pergilah, hati-hati di jalan dan cepat pulang. Kepada anggota lainnya saya beritahukan bahwa saya besok akan pergi ke Jabbal Noor sendirian. Selesai salat Subuh di Mesjidil Haram, saya langsung pergi kesana menumpang bis umum.

Besok pagi-pagi, sebagaimana biasa, saya bangun setelah azan pertama di kumandangkan. Di Mekah ada dua kali azan. Azan pertama kira-kira satu jam sebelum waktu subuh datang, sedangkan azan kedua adalah azan untuk memangggil Salat Subuh. Di pagi kelam itu sudah banyak orang berjalan kaki menuju Mesjidil Haram, baik jemaah dai luar Arab maupun jemaah lokal. Rasanya di Mekah dan di Medinah tidak pernah sepi selama 24 jam dari orang-orang berjalan kaki menuju Mesjid maupun yang pulang. Sampai di Mesjidil Haram, masih ada waktu untuk salat sunat tahyatul mesjid dan tahjud sebelum waktu subuh datang.

Selesai salat Subuh saya tunggu sebentar sampai hari sedikit terang, baru saya pergi ke tempat pemberhentian bus.. Saya tanyakan kepada salah seorang knek yang ada disitu, mana bus yang akan berangkat menuju Jabal Noor. Dia menujukkan bus yang akan berangkat kesana. Saya naiki bus tersebut, ternyata diatas bus sudah ada beberapa orang penumpang duduk diatas bus. Saya pilih tempat duduk yang berdekatan dengan orang yang berkulit sawo matang seperti saya, supaya dapat berkomunikasi dalam perjalanan.

Kira-kira setengah jam perjalanan kami sampai di kaki bukit Jabbal Noor. Sudah banyak orang dari berbagai bangsa di situ yang akan berangkat ke atas. Saya bergabung dengan mereka, karena kami mempunyai maksud yang sama. Dalam perjalanan saya berpikir bagaimana kesulitan yang dialami oleh Nabi Muhammad Saw dizaman itu menaiki bukit yang begitu terjal dan sepi seorang diri.

Kalau bukanlah bimbingan dari Allah Swt, rasanya tidak ada orang mau dan berani berjalan kesana. Di tahun 1975 saja, itu sudah banyak tempat yang di perbaiki oleh Pemerintah Arab Saudi untuk mempermudah bagi umat yang akan berziarah kesana sudah sulit mencapai gua, apalagi dizaman itu. Di beberapa tempat demikian curamnya sehingga orang seperti memanjat tangga untuk sampai ke gua tersebut Jarak antara kaki gua dengan gua ada kira-kira 3 kilometer.

Yang aneh adalah di dalam perjalanan kira-kira 1 kilometer lagi akan sampai ke gua, di situ ada seekor onta yang sedang makan rumput dijaga oleh seorang pengembala. Ada beberapa menit saya terpaku melihat onta tersebut. Dalam hati saya bertanya bagaimana dia bisa naik sampai ke tempat itu dan untuk apa dia disitu. Setelah saya tanyakan dengan bahasa isyarat kepada pengembala, rupanya onta dibawa kesitu melalui bukit dari arah sebelah yang lebih landai. Maksudnya adalah, jika ada penziarah yang sakit atau takut menurun di jalan semula bisa menyewa ontanya untuk dibawa turun melalui jalan yang lebih landai dan lebih jauh.

Alhamdulillah, akhirnya saya sampai juga di gua yang bersejarah itu. Di pintu gua sudah ada beberapa orang sedang antri yang akan memasuki gua. Gua itu tidak begitu besar, hanya muat dua orang didalam. Setelah dua orang di dalam salat sunat dua rakaat, dia keluar dan masuk lagi dua orang yang sedang antri. Demikian selanjutnya. Setelah saya sampai di dalam gua saya melihat keluar di arah kiblat ada seperti jendela selebar lebih kuang 40 senti meter persegi, bersudut-sudut seperti pecahan batu. Saya arahkan pandangan saya ke arah kiblat ternyata padangan langsung ke arah kaabah tanpa ada sesuatu yang menghambat. Bila kita melihat ke bawah ternyata curam. Tidak mungkin ada orang berdiri atau duduk di hadapan jendela, atau ada tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di hadapannya. Subhanallah, ada seorang manusia berada di dalam gua yang seram dan sulit itu sendirian, menunggu wahyu dari Allah Swt, yaitu Nabi Muhammad Saw.

Selesai saya salat sunat dua rakaat, saya keluar dari gua memberi kesempatan pada penziarah lainya masuk ke dalam gua. Saya keluar tidak langsung pulang, tetapi saya mencari tempat duduk di samping gua dan melihat ke arah kaabah, sambil merenung akan kebesaran Allah Swt, dan mengingat beratnya perjuangan nabi Muhammad Saw, menghimbau umat kepada tauhid. Ada kira-kira setengah jam saya duduk di situ, hanyut dengan bermacam-macam pikiran untuk mendekatkan diri kepada Nya.

Setelah itu saya langsung pulang dengan menggunakan bus umum. Sampai di pemberhentian bus yang dekat tempat tinggal, saya turun dengan rasa puas yang tidak mungkin saya ulangi lagi. Di rumah saya ceritakan kepada anggota regu yang lain, pengalaman saya ziarah ke Jabbal Noor sendirian.

Akhirnya, hari yang di tunggu-tunggu oleh seluruh jemaah haji tiba, yaitu hari arafah. Alhamdulillah, kesehatan ibunda sudah agak lumayan, sehingga beliau tidak perlu di bawa dengan ambulans atau dipapah. Beliau kuat berjalan walaupun agak pelan-pelan. Rombongan kami berangkat ke Arafah satu hari sebelumnya. Jalan-jalan raya belum begitu macet. Sesampai kami di Padang Arafah, masuk ke dalam tenda masing-masing. Saya dan Bapak Oemar Bakry pergi ziarah ke Jabbal Rahmah tempat Nabi Adam dengan Siti Hawa dipertemukan kembali oleh Allah Swt setelah terpisah sejak di turunkan dari Sorga ke Alam Dunia. Sekembali dari Jabbal Rahmah, sambil pulang, kami sempat berjalan-jalan ke atas bukit-bukit batu yang ada disekitar padang Arafah.

Wukuf di Arafah adalah termasuk salah satu rukun haji. Tidak syah haji seseorang bila tidak wukuf di Arafah. Semua jemaah dibawa ke Arafah, sekalipun sakit dibawa dengan ambulans atau di atas tandu. Pada hari wukuf di Arafah warga Arab yang bermukim dikota- kota lain sekitar Mekah banyak yang datang dengan mobil sendiri. Membawa isteri dan anak- Wukuf di Arafah adalah termasuk salah satu rukun haji. Tidak syah haji seseorang bila tidak wukuf di Arafah. Semua jemaah dibawa ke Arafah, sekalipun sakit dibawa dengan ambulans atau di atas tandu. Pada hari wukuf di Arafah warga Arab yang bermukim dikota- kota lain sekitar Mekah banyak yang datang dengan mobil sendiri. Membawa isteri dan anak-

Keluar dari padang Arafah sesudah salat Magrib, menuju Mina dan mampir mabid di Muzdalifah untuk mengambil batu pelempar syaitan di Mina besoknya. Perjalanan dari Arafah sampai ke Mina itu betul-betul menghendaki kesabaran yang mendalam, karena macetnya. Bayangkan, mobil dan manusia datang ke Arafah berangsur-angsur selama dua atau sehari sebelum hari Arafah, sekarang mereka keluar dari Arafah di detik dan jam yang bersamaan. Bagi jemaah yang masih kuat fisiknya lebih memilih berjalan kaki daripada naik bus, akan lebih cepat sampai di Muzdalifah. dan Mina. Resikonya ialah dia tidak akan bertemu lagi dengan bus atau mobil yang ditompanginya semula.

Alhamdulillah sampai di Muzdalifah ibunda kuat turun mencari batu, yang akan digunakan untuk melempar syaitan di Mina nanti. Selesai mencari batu, kami naik bus kembali. Setelah seluruh jemaah lengkap naik ke atas bus, maka bus pun berjalan pelan-pelan karena macet. Tidak lama setelah itu kami sampai di Mina dan diantarkan oleh sopir bus ke tenda yang disiapkan untk rombongan kami, berdekatan dengan tempat penyembelihan qorban, tetapi jauh dari tempat melempar Jumrah.

Di Mina kami tinggal selama tiga hari tetap dalam keadaan ihram, sampai selesai melempar jumrah. Melempar jumrah kami memilih waktu petang hari, karena di waktu petang orang tidak begitu padat dibanding dengan di pagi hari. Setelah itu baru kami ke Mekah untuk tawaf ifadah, sa,i dan tahlul.

Di hari kedua kami di Mina terjadi kebakaran besar yang tidak jauh dari tenda kami. Kabarnya kebakaran terjadi berasal dari sebuah kompor meledak langsung menyambar tenda jemaah. Karena angin kencang maka api tersebut menjalar kemana-mana. Untuk memadamkan api, tidak mungkin menggunakan brand wir, karena tenda sangat rapat. Kerajaan Arab Saudi menggunakan beberapa helikopter di udara dengan menyemprotkan bahan kimia ke api yang sedang manyala. Rombongan kami pun panik dan bersiap-siap dengan barang bawaannya untuk mencari tempat yang lebih aman.

Tapi maksud terebut di halangi oleh Bapak Oemar Bakry. Beliau sangat tenang menghadapi kejadian itu. Bahkan beliau membawa foto tustel untuk memotret kejadian disekeliling. Tidak ada rasa cemas dan panik sedikitkan dalam pikiran beliau menghadapi situasi yang demikian. Ada kira-kira dua jam api berkobar, setelah itu mulai mengecil. Tidak lama setelah itu turun hujan lebat, sehingga tenda kami kebanjiran. Untuk mempercepat kering terpaksa kain terpal yang dijadikan untuk alas tidur, kami robek-robek dengan pisau supaya air cepat turun ke pasir dibawah terpal.

Kondisi fisik ibunda tidak mungkin beliau melempar jumrah yang berdesak-desakan di tiga tempat. Tugas melempar jumrah dapat diwakilkan kepada siapa saja. Tetapi karena anak Kondisi fisik ibunda tidak mungkin beliau melempar jumrah yang berdesak-desakan di tiga tempat. Tugas melempar jumrah dapat diwakilkan kepada siapa saja. Tetapi karena anak

Selesai tawaf ifadah, berarti seluruh rukun haji sudah kami kerjakan, kecuali tawaf wada atau tawaf perpisahan. Kami tinggal menunggu hari pulang ke tanah air. Sambil menunggu hari kepulangan, saya dan ibunda pergunakan waktu mencari sedikit oleh-oleh untuk dibawa pulang. Ibunda membeli beberapa lembar karpet pajangan di dinding dan saya membeli karpet panjang untuk salat, cukup untuk 8 orang. Selain itu kami juga membeli gambar mesjidil Haram dan Mesjid Nabawi serta beberapa barang kecil lainnya.

Beberapa hari setelah melaksakan tawaf ifadah, sudah ada pemberitahuan, bahwa besok pagi secara berombongan melaksanakan tawaf wada. Seluruh jemaah diminta mempersiapkan barang-barang bawaannya, untuk dimassukkan kedalam bus. Selesai tawaf wada, jemaah langsung naik ke dalam bus terus berangkat ke Jedah dan tidak boleh lagi kembali ke Mesjidil Haram atau melihat ke Kabah. Waktu melaksanakan tawaf wada tersebut tidak ada jemaah yang tidak mengeluarkan air mata sedih, bahkan menangis tersedu- sedu. Kami menangis karena akan berpisah dengan Kaabah, tempat semua umat islam diseluruh dunia menghadapkan mukanya diwaktu salat. Entah sempat lagi bertemu dimasa datang entah tidak. Semoga ibadah haji kami semua di terima sebagai haji yang mabrur, Amin !.

Selesai tawaf wada kami di anjurkan untuk keluar dari Mesjidil Haram dengan jalan mundur ke belakang, karena tawaf wada adalah salah satu rukun haji, bila melihat kembali ke Kaabah maka tawaf wadanya batal. Bus yang akan kami tompangi diparkir dekat dengan Masjidil Haram, sedangkan barang bawaan kami sudah ada di dalamnya. Setelah rombongan kami lengkap berada didalam bus, maka bus pun bergerak menuju kota Jedah.

Di Jedah kami di tampung dalam asrama haji untuk semalam. Kota Jedah adalah kota internasional dengan segala macam godaan duniawi. Nyata sekali bedanya, jika dibanding dengan kota Medinah dan kota Mekah, cermin dari dua kota haram yang disebut Haramain. Sudah nampak di jalan-jalan orang asing dengan pakaian yang memperlihatkan aurat, menjadi pandangan lumrah. Pandangan itu tidak pernah kita temukan di kedua kota terakhir

Malam itu ada pengumuman supaya seluruh jemaah yang termasuk dalam kelompok terbang kami bersiap-siap jam 6.00 pagi untuk kembali ke tanah air. Pengumuman itu memberikan kegembiraan tersendiri. Memang setelah selesai tawaf wada, pikiran sudah ingin cepat-cepat pulang ke tanah air, rindu dengan anak-anak dan tugas yang tertinggal selama menunaikan ibadah haji.

Besok pagi jam 5.00 bus yang akan mengangkut kami ke air-port sudah datang. Bagi yang sudah siap, di persilahkan memasukkan barang-barangnya ke dalam bus berikut orangnya untuk dibawa ke air-port secara mencicil. Kebijakan ini adalah untuk mempersingkat waktu menunggu di air-port. Biasanya penyelesaian bagasi memakan waktu berjam-jam, karena waktu datang, mungkin tidak sebanyak itu barang yang dibawa.

Sedangkan pulangnya barang bawaan bertambah dengan oleh-oleh dan tanda mata, sehingga melebihi berat yang diizinkan (over weight).

Lama kami menunggu di air port. Penyelesaian imigrasi dan doane memakan waktu hampir empat jam. Kami baru bisa naik ke pesawat sudah hampir jam 10.00 pagi, Dan 10,30 baru pesawat take off. Diatas pesawat pikiran seakan-akan sudah sampai di Bandung. Pikiran menerawang kemana-mana. Rencana kerja jangka pendek dan jangka panjang sudah tersusun dalam benak saya. Kadang-kadang sudah sampai kepada yang disebut angan-angan. Rencana jangka pedek, adalah bila sampai di Bandung beristirahat agak dua hari sambil meng inventarisir pekerjaan yang ada di Bandung. Setelah itu ke Jakarta me inventarisir pekerjaan di Jakarta, bila tidak ada hal-hal yang urgent diselesaikan pergi ke Padang mengantarkan ibunda pulang kampung.

Membuka Kantor Cabang KAP di Padang (1978)

Alhamdulillah, kami selamat sampai di Halim Perdana Kusumah malam hari,setelah menempuh perjalanan selama 11 jam tanpa stop over. Di air port sudah menunggu anak-anak menggunakan mobil kesayangan kami “Bell Air” buatan tahun lima puluhan. Mereka menungu kami kira-kira 1 jam untuk penyelesaian pabean dan imigrasi. Setelah selesai memasukkan barang bawaan kami ke dalam mobil, dan langsung berangkat menuju Bandung. Hampir subuh kami baru sampai di Bandung. Selesai salat Subuh kami tidur sebentar, karena hampir dua malam tidak tidur dengan baik.

Jam 8.00 saya terbangun, Amir Syafni bersama isteri sudah ada dirumah. Maksudnya menjenguk orang yang baru pulang dari Mekah. Sudah menjadi tradisi, bahwa bila ada keluarga atau teman dekat pulang atau pergi dari/ ke Mekah di jenguk dan mengucapkan selamat mudah-mudahan menjadi haji yang mabrur. Hidangan yang lazim adalah air zam- zam dan buah korma. Tidak lama kemudian kakanda A.Tadjuddin bersama kakanda Jaraniah juga datang dengan maksud yang sama.

Besoknya saya mulai membicarakan pekerjaan dengan Faesal Leboe, sebagai asisten senior saya untuk pekerjaan yang ada di Bandung. Dua hari setelah itu saya pergi ke Jakarta dengan maksud yang sama. Alhamdulillah tidak ada pekerjaan yang mendesak yang perlu saya selesaikan. Karena saya merencanakn akan ke Bukittingi mengantarkan ibunda pulang, maka saya berniat akan menemui Akuntan Johny Marsini yang sudah bermukim di Padang. Johny Marsini adalah partner Avedeco consultant sebelum saya. Maksudnya adalah untuk berkenalan dan berbasa basi bahwa clientnya di Avedeco selama ini saya yang melanjutkan Saya minta alamatnya di Padang kepada Edwardly Pamuncak Direkur Utama Avedeco. Setelah mendapat alamatnya saya pesan ticket pesawat untuk dua orang ke Padang 3 hari kemudian.

Saya jemput ibunda ke Bandung dan pada hari yang ditentukan kami berangkat ke Bukittinggi mengantarkan ibunda pulang kampung setelah menunaikan ibadah haji. Hari berikutnya saya ke Padang menemui Johny Marsini yang waktu itu menjadi Keuangan di Pabrik Semen Indarung. Dia senang saya kunjungi, bahkan dia menganjurkan supaya saya membuka kantor cabang di Padang dan melanjutkan client-clientnya yang ada di Sumatra

Barat. Dia menyerahkan clietnya itu, karena sebagai seorang Direktur Keuangan pada suata perusahaan Negara tidak boleh rangkap jabatan di luar, kecuali sebagai dosen.

Sebagai kompensasinya dia menitipkan temannya, beberapa orang dosen dari Universitas Andalas (UNAND) dilibatkan dalam pemeriksaan pada objek-objek yang diaudit. Anjurannya itu saya sambut dengan gembira dan ucapan terima kasih atas kepercayaannya kepada saya, sekalipun baru berkenalan. Untuk konkritnya dia minta saya datang lagi besok untuk diperkenalkan dengan teman-temanya di Lembaga Manajemen Unand yang kantornya berada di dalam kampus Unand. Ada 5 buah clientnya yang akan di alihkan ke saya, antara lain Bank Nasional di Bukittinggi, Bank Pembangunan Daerah Sumatra Barat (BPD), PT Pembangunan Sumatra Barat dan ada dua buah lagi anak perusahaan BPD Sumbar.

Johny Marsini adalah orang yang merintis pembukaan jurusan Akuntansi di Unand yang sebelumnya belum ada jurusan Akuntansi dengan berafiliasi dengan Universitas Indonesia di Jakarta sampai sekarang. Saya juga ditawari untuk menjadi dosen terbang di Unand. Tawaran tersebut saya tolak dengan halus, dengan alasan saya ingin berkonsentrasi dalam profesi akuntan. Di Lembaga Manajemen UNAND saya di perkenalkan dengan Drs. Chairil Anwar MBA selaku direktur lembaga, Drs. Syiar Isin selaku wakil Direktur dan Agus Saan selaku sekretaris. Kami sepakat bekerja sama dengan pribadi-pribadi, bukan dengan Lembaga Manajemen UNAND.

Karena kerja sama sudah konkrit, maka saya harus menyiapkan kantor dengan kelengkapannya, disamping orang yang akan duduk sebagai kepala cabang sebagai kordinator untuk daerah Sumatera Barat. Pertama-tama saya cari dulu orang yang akan dijadikan kepala Cabang, karena kalau sudah dapat orang yang akan menjadi kepala cabang, berarti sudah ada teman untuk mencari kantor dan lain-lain. Alhamdulillah, dalam waktu semiggu saya dapat menuntaskan pembentukan cabang Padang dengan Taswir Yusi selaku Kepala Cabang, dan berkantor di salah satu paviliun rumah teman Taswir Yusi di pinggir jalan raya Padang-Bukittinggi.

Setelah lengkap semua, saya bawa Taswir Yusi berkenalan dengan teman-teman di Lembaga Manajemen UNAND, supaya di follow up kesepakatan yang sudah di capai. Disamping itu, karena waktu audit di Bank Nasional sudah siap untuk di mulai, berarti asisten di lapangan sudah harus di persiapkan. Untuk pertama kali perlu mengirim Ibrahim Sati ke Padang sambil mencari orang yang akan dilatih untuk melanjutkannya di belakang hari. Kebetulan ada pelamar baru bernama Aldini Arifin, yang baru saja berhenti dari Bank Negara Indonesia. Pada saat audit di Bank Nasional dimulai Aldini Airifin sudah mulai dilibatkan sebagi calon asisten senior di Sumatra Barat dibelakang hari, disamping dosen UNAND selaku part timer.

Di luar dugaan saya, bahwa perkenalan saya dengan Johny Marsini akan berlanjut dengan kerjasama yang saling menguntungkan. Semula direncanakan saya di kampung hanya dua atau tiga hari, ternyata molor menjadi sepuluh hari. Alhamdulillah, maha benar janji Allah, bahwa biaya untuk ibadah haji akan di ganti oleh Allah dalam bentuk lain.

Menunaikan Ibadah Haji Bersama Isteri (1980)

Saya kembali lagi ke Jakarta sendirian dan ibunda saya tinggalkan di kampung, karena sudah lebih tiga bulan beliau meninggalkan kampung. Belum pernah beliau meninggalkan kampung selama itu. Pesan beliau untuk membuat musalla tidak pernah lupa dari ingatan saya. Mungkin beliau terus berdoa. Saya merasakan bahwa sekembali saya dari ibadah haji membawa ibunda, pekerjaan terus mengalir, terutama dari Direktorat Jenderal Pengairan dan Diektorat Air Bersih.

Dengan demikian sepanjang tahun tidak ada waktu yang kosong. Biasanya pekerjaan audit untuk perusahaan swasta sibuknya hanya dari bulan Nopember sampai bulan April tahun berikutnya Karena tahun buku perusahaan adalah dari Januari sampai dengan Desember. Umumnya mereka minta laporan audit sudah dapat mereka terima bulan February dan Maret untuk kepentingan Bank pemberi dana dan untuk kepentingan pajak mengisi Surat Pemberitahuan Pajak (SPT).

Sedangkan tahun anggaran proyek pemerintah adalah dari bulan April sampai dengan bulan Maret tahun berikutnya. Umumnya pemimpin proyek mengharapkan penyusunan laporan keuangan proyek sudah dapat mereka terima antara bulan Mei sampai dengan Oktober, untuk memberi kesempatan kepada BPKP melaksanakan audit. Hasil audit dari BPKP mereka kirimkan kepada Bank dunia yang ikut membiayai proyek tersebut.

Saya bersyukur kepada Allah Swt, bahwa kerja keras dan doa dari ibunda tersebut ada berkahnya dalam bentuk investasi fisik seperti; membuat rumah untuk ibunda, bersama adinda Chairman dalam tahun 1976. Membuat rumah untuk anak-anak di kampung Januari 1977. Membeli tanah dan rumah di Jalan Kramat VI No. 39 Desember 1979. Kecuali itu sebagai insentif kepada assisten yang sudah bekerja selama 5 tahun, memberangkatkan mereka menunaikan ibadah haji dengan biaya dari kantor akuntan sebesar Ongkos Naik Haji (ONH). Bila yang bersangkutan belum mempunyai rumah, atau asisten yang bersangkutan non muslim uang senilai ONH tersebut dapat diambil kontan untuk uang muka perumahan

Yang sempat memanfaatkan fasilitas bonus tersebut untuk naik haji adalah Ibrahim Sati dan Faesal Leboe, sedangkan yang memanfaatkan untuk perumahan adalah Sabam Pohan. dan Herry Guswara. Rekrutmen tenaga waktu itu asal ada dasar pembukuan saja sudah cukup. Banyak anak-anak tamatan SMEA yang diterima dengan catatan mereka setelah bekerja dua tahun, mereka aktif mencari kerja ditempat lain dengan janji kantor Akuntan akan mengeluarkan surat keterangan pengalaman seakan-akan mereka telah bekerja melebihi yang sesungguhnya. Tidak aneh bila di kantor Bandung dan di Jakarta jumlah asisten waktu itu selalu diatas 10 orang dan kebanyakan dari mereka adalah numpang mencari pengalaman, beberapa tahun setelah itu pergi mencari pekerjaan di perusahaan lain.

Pada suatu hari, waktu saya berkaca sambil menyisir rambut, saya perhatikan rambut saya sudah banyak yang putih. Saya ingat bahwa masih ada satu kewajiban lagi kepada isteri saya, yang belum saya laksanakan, yaitu memberangkatkan dia menunaikan ibadah haji sebagai rukun islam yang ke lima. Beban itu terletak di pundak saya selaku suami. Sedangkan Allah telah memberi rezki cukup untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Saya Pada suatu hari, waktu saya berkaca sambil menyisir rambut, saya perhatikan rambut saya sudah banyak yang putih. Saya ingat bahwa masih ada satu kewajiban lagi kepada isteri saya, yang belum saya laksanakan, yaitu memberangkatkan dia menunaikan ibadah haji sebagai rukun islam yang ke lima. Beban itu terletak di pundak saya selaku suami. Sedangkan Allah telah memberi rezki cukup untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Saya

Saya waktu sudah berumur 52 tahun. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi terhadap diri kita besok, bulan depan, atau tahun depan. Oleh karena itu mumpung badan masih sehat rezki ada, alangkah baiknya kewajiban itu ditunaikan sekarang saja. Anak yang sulung waktu itu berumur 24 tahun diharapkan sudah bisa mengawasi adik-adiknya.

Saya sampaikan niat ini kepada isteri dengan menjelaskan bahwa sekaranglah waktu yang terbaik kita menunaikan ibadah haji selagi badan sehat dan rezki ada. Sedangkan untuk menjaga anak-anak kita minta tolong ibunda Samsiar datang ke Bandung. Kebetulan Syarifuddin beserta isterinya juga berangkat ke tanah suci tahun itu juga. Alhamdulillah ternyata isteri setuju dan mulailah saya dan Syarifuddin mempersiapkan bersama, seperti mendaftar ke kantor Agama Bndung, mengikuti manasik dan lain-lain bersama-sama. Rencana menunaikan ibadah haji ini kami sampaikan kepada ibunda Samsiar di kampung, supaya beliau siap-siap datang ke Bandung pada waktunya nanti.

10. Santai dengan Istri tahun 1979

Alhamdulillah, segala sesuatu berjalan lancar, datanglah waktunya akan berangkat. Saya tetap di tunjuk sebagai ketua kelompok yang membawahi 15 orang jemaah, dan Syarifuddin sebagai sekretaris. Jemaah yang berasal dari Kotamdya Bandung, tetap berkumpul di halaman Kotamadya supaya berombongan memakai bus berangkat ke asrama haji dekat taman mini Jakarta. Waktu itu asrama haji sudah khusus untuk menampung jemaah yang akan berangkat, sedangkan sebelumnya asrama haji di Tulodong, meminjam asrama Mobil Brigade. Dalam rombongan kami yang 15 orang ada salah seorang sebaya dengan kami yang berangkat sendirian tanpa disertai oleh isterinya. Dia berasal dari Pariaman, orangnya kocak dan suka membuat lelucon. Segala sesuatu yang dilihatnya dapat dijadikan bahan tertawa.

Kami tidak begitu senang dengan kelakuan orang ini, menyebabkan kepergian kita untuk beribadah yang menghendaki kekhusyukan .Oleh karena itu kami selalu berusaha berjauhan dengan orang tersebut.

Sama seperti jemaah haji tahun 1975, kita di tampung di asrama haji selama dua hari dan dua malam untuk pemeriksan kesehatan dan mendapatkan suntikan anti penyakit menular. Di asrama haji itu juga kita diberi bekal uang real dan gelang dari besi putih dengan nama masing-masing jemaah, sebagai tanda pengenal bila terjadi apa-apa pada jemaah yang bersangkutan dalam perjalanan.

Kami diberangkatkan di malam hari menggunakan pesawat charter dari Arab yang besar dan berlantai dua. Pilotnya orang Arab hanya pramugarinya orang Indonesia. Pesawat terbang langsung ke Jedah dan memakana waktu 9 jam. Di Jedah kami menunggu semalam dan besoknya baru diberangkatkan ke Medinah. Di Medinah kami ditampung di asrama yang baru selesai di bangun. Fasilitasnya lebih baik dibanding dengan asrama kami tahun 1975 dulu. Kami kebagian di lantai empat

Di Medinah kami di beri tikar yang ada busa tipis untuk tidur, beras, minyak goreng, dan lain lain serba sedikit. Sejak itu kami beli kompor gas untuk masak, seklian untuk oleh-oleh pulang. Waktu itu seluruh jemaah haji adalah jemaah reguler, belum ada jemaah plus. Jemaah yang berangkat dengan keluarga terpaksa masak sendiri atau makan di restoran yang banyak ditemui di dalam perjalan ke Mesjid Nabawi maupun ke Mesjidil Haram.

Dalam rombongan kami ada bapak Adnan bersama isteri. Beliau orang Solok dan pensiunan Telkom, Beliau pernah kena stroke ringan, sehingga jalan beliau belum begitu sempurna. Untuk merukuk mengambil sendal saja beliau kesulitan Saya lah yang membawa dan menyimpan sendal beliau bila akan masuk dan keluar dari Mesjid Nabawi. Kelihatan ini pekerjaan hina jika dilihat dari kaca mata normal. Isteri beliau tidak dapat melakukan itu karena tempat salat laki-laki dan perempuan di Mesjid Nabawi berpisah jauh. Tetapi saya bersyukur dapat mendampingi beliau pergi dan pulang Mesjid Nabawi, karena saya yakin betul bahwa bila kita meringankan orang dalam kesusahan maka Allah akan meringankan kita dalam kesusahan.

Sembilan hari kami di Medinah untuk mendapatkan arba,in, yaitu salat fardu berjamaah tanpa putus di Mesjid Nabawi selama 40 kali mendapat ganjaran yang lebih besar disisi Allah, menurut sebuah hadis. Ada juga ulama yang memperdebatkan ke sahihan hadis ini. Dihari-hari tertentu rombongan kami dibawa syekh pergi ziarah ke tempat-tempat bersejarah, seperti ke mesjid kiblatain, bukit uhud dan lain-lain. Setelah itu rombongan kami berangkat menuju Mekah Mukarramah dan mampir di Bir Ali untuk berganti pakaian dari pakaian biasa dengan pakaian ihram.

Di Mekah, kami ditempatkan juga di asrama yang tidak begitu jauh dari Mesjidil Haram. Kebetulan kami kebagian di lantai 3 diantara 5 lantai seluruhnya. Waktu itu belum ada lift, jadi harus dinaiki melalui tangga dengan jalan kaki. Fasilitas di asrama cukup memadai seperti halnya asrama di Medinah. Keperluan akan air Alhamdulillah tidak berkurang walupun tidak berlebih-lebihan. Kami selalu satu ruangan dengan Syarifuddin dan isteri, pak Adnan dan isteri, hanya kami masak sendiri-sendiri.

Cuaca di Medinah dan di Mekah Mukarramah, tidak jauh beda dengan cuaca di Indonesia waktu itu, hanya angin saja yang kencang. Kadang-kadang angin tersebut membawa pasir-pasir halus. Umumnya kami menderita penyakit batuk-batuk. Syarifuddin sering sakit dan sering tidak pergi ke Mesjidil Haram untuk salat berjamaah. Berbeda dengan kami. Walaupun batuk-batuk tetap pergi dan berusaha sedapat mungkin ikut salat berjemaah di Mesjidil Haram, karena pahalanya yang sangat besar. Belum tentu kapan lagi dapat berkunjung kesana.

Saya merasakan sekali perbedaan nilai ibadah saya yang kedua kali ini, dibanding dengan keberangkatan saya yang pertama kali dulu bersama dengan ibunda. Pada keberangkatan pertama dulu, dari segi fisik dulu lebih manja dibanding sekarang. Dulu tinggal di flat di lantai dua yang lebih bagus dari sekarang, yang tinggal di asrama dengan manaiki bangunan berlantai tiga atau empat dengan menaiki tangga berjalan kaki. Dulu dari rumah sewaan ke Mesjidil Haram sering menggunakan mobil, sekarang selalu berjalan kaki. Dulu tidak pernah pergi umrah sendiri di luar rombongan, sekarang boleh dikatakan pergi umrah ke Tan Im sendirian satu sampai tiga kali sehari. Menurut perhitungan manusia kepergian saya yang kedua ini lebih baik, dibanding dengan yang pertama. Mungkin yang pertama dulu sebagai penjajakan sedangkan yang kedua ini sebagai pengamalan.

Alhamdulillah semua rukun haji dapat kami selesaikan sesuai dengan petunjuk dalam manasik, bahkan isteri saya dapat melaksanakan melempar jumrah sendirian, di Mina. Hanya saja beberapa orang dari rombongan kami mendapat musibah mendapat penyakit diare waktu pulang dari Padang Arafah. Selama di Arafah kami diberi makan oleh syekh yang mengurus perjalanan kami. Mungkin dalam makanan tersebut ada yang kurang cocok atau kurang bersih sehingga beberapa orang mendapat penyakit diare. Saya termasuk salah seorang yang kena penyakit diare terebut.

Perasaan mulas sudah mulai terasa sejak meninggalkan Padang Arafah menuju Mina. Setelah mabid di Muzdalifah, rasa mulas bertambah-tambah, dan tidak tertahankan lagi untuk pergi mencari toilet. Kebetulan bus berjalan sangat pelan sehingga dapat turun dan mencari tempat yang mungkin digunakan untuk buang hajat. Untuk menemui toilet tidak mungkin ada, karena jalan itu hanya ditempuh orang atau mobil, hanya sekali setahun di musim haji saja.

Tidak ada jalan lain, kecuali saya nekad turun dari bus dan buang hajat di pinggir jalan di tempat yang gelap. Resikonya ialah saya berpisah dengan bus yang saya tompangi semula. Saya coba mengejar dengan berjalan kaki cepat-cepat, tetap tidak bertemu lagi. Saya berpisah dengan isteri dan rombongan. Saya baru bertemu dengan air sudah sampai di Mina untuk beristinjak secara sempurna, dan sekalian salat subuh.

Setelah salat Subuh saya baru berusaha mencari isteri dan rombongan dengan cara bertanya-tanya, kepada orang-orang Indonesia yang berjumpa. Akhirnya saya bertemu dengan salah seorang panitia haji orang Indonesia dan kami cari berdua. Kira-kira jam 9.00 pagi baru bertemu. Masing-masing kami sudah cemas, takut sudah terjadi apa-apa. Kebetulan di situ sudah ada tim kesehatan dan saya minta obat diare sekalian.

Saya dan Syarifuddin beserta keluarga tetap tinggal di Mina selama tiga hari untuk menyelesaikan pelemparan jumrah Setelah itu baru pergi ke Mesjidil Haram untuk melakukan tawaf ifadah, sa,i dan tahlul. Di Mina jalan-jalan tidak penuh lagi dengan kendaraan mau pun jemaah haji, karena di hari pertama banyak jemaah langsung ke Mekkah melakukan tawaf ifadah. Jalan-jalan sudah agak sepi. Kami sempat jalan-jalan melihat orang melakukan qurban menyembelih domba, sapi dan ada juga onta.

Bangkai–bangkai binatang qurban tersebut menggunung sampai membusuk. Tidak banyak diambil orang, kecuali ada beberapa orang Nigeria menjemur dan membuat daging tersebut.menjadi dendeng. Sepintas lalu kelihatan seperti melakukan sesuatu yang mubazir, sedangkan pekerjaan mubazir dilarang oleh Allah, di golongkan sebagai saudara dari Syaitan. Semoga Allah menunjuki umatnya jalan keluar, dan tidak menjadikan daging-daging korban itu menjadi mubazir, karena di sebelah bumi lainnya masih banyak umat islam yang serba kekurangan, dan kelaparan.

Setelah tiga hari kami melempar jumrah di Mina, kami berangkat ke Mesjdil Haram untuk melakukan tawaf ifadah, sa,i dan tahlul. Selesai tawaf ifadah, kami kembali ke asrama semula. Rasanya seluruh rukun haji telah kami selesaikan, sekarang menunggu pemberitahuan untuk melakukan tawaf wada, atau tawaf perpisahan. Setelah itu langsung berangkat ke Jedah, untuk berangkat kembali ke tanah air. Alhamdulillah, Syarifuddin waktu itu sudah sehat, dan banyak keluar sambil membawa foto tustel, memotret objek objek yang penting sambil membeli banyak oleh-oleh untuk dibawa pulang. Kami juga membeli oleh- oleh untuk anak-anak dan ibunda mertua sekadarnya.

Mendirikan PT. Cipta Daya Guna Mandiri bergerak dalam bidang Konsultan(1984)

Akhirnya kami selamat sampai di tanah air, semoga ibadah haji kami diterima oleh Allah Swt, sebagai haji yang mabrur, Amin ! Kami sampai di Halim Perdanakusumah, anak-anak sudah menunggu di luar. Dari Halim Perdanakusumah kami mampir sebentar ke Jalan Kramat VI, setelah itu langsung berangkat ke Bandung, karena sudah 44 hari anak-anak ditinggalkan. Dalam perjalanan pekerjaan yang sudah lama ditinggalkan terbayang lagi di hadapan.

Lebih dari lima hari saya istirahat di rumah, mencoba menghilangkan batuk yang saya bawa dari Medinah belum juga sembuh-sembuh. Kebetulan Dr. Agusni mampir ke rumah, beliau menyarankan supaya saya segera pergi ke dokter spesialis tuberclos, takut-takut ada kelainan di paru-paru saya, seperti pernah saya derita dulu dalam tahun 1955. Alhamdulillah setelah saya pergi ke Dr. Rivai di Jalan Merdeka, ternyata paru-paru saya bersih, tidak ada apa-apa. Saya diberi resep obat untuk di beli. Alhamdulillah beberapa hari kemudian batuk saya sembuh, dan saya mulai beraktivitas kembali sebagai mana biasa.

Waktu itu kantor Jakarta sudah pindah ke Jalan Kramat VI No. 39 Jakarta Pusat, bekas rumah kakanda Anwar Suleiman. Maha benar Allah, dengan firman Nya di dalam Al-quran, bahwa beliau “melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan membatasi rezki kepada siapa yang Dia kehendaki”. Rumah yang di Jala Kramat VI No. 39 itu seakan-akan hadiah dari kakanda Anwar Suleiman, ceritanya adalah begini.

Kakanda Anwar Suleiman adalah orang Bengkulu, kakak ipar dari Nuraini tempat saya kos di Gang I, Jalan Sentiong, dulu tahun 1952. Hubungan antara saya dengan keluarga Nuraini sudah seperti keluarga sendiri. Waktu saya pindah ke Bandung juga, tinggal di rumah keluarga mereka, di Jalan Astana Anyar, di rumah Syarifah, sampai tahun 1954.

Sejak saya menikah, tidak pernah lagi bertemu dengan keluarga Nuraini, baik yang ada di Jakarta maupun dengan yang di Bandung. Semenjak kantor cabang akuntan dibuka di Jakarta saya menginap di Hotel Famili, Jalan Kramat Raya No. 101. Sebetulnya tempat itu tidak cocok di beri nama Hotel, karena kelasnya adalah kelas penginapan biasa. Kalau pergi Jumat, saya pergi ke Mesjid Dewan Dakwah yang bersebelahan dengan kantor Astra, dekat bioskop Rivoli, Jalan Kramat Raya.

Pada satu ketika, di pertengahan tahun 1979 saya bertemu dengan kakanda Anwar Suleiman sesama pulang dari Jumat. Sebagaimana biasa orang yang sudah lama tidak bertemu, saya menanyakan keadaan isteri beliau kakanda Fatimah. Saya tidak menanyakan anak-anak beliau, karena saya tahu bahwa beliau tidak diberi Allah seorang anak pun. Beliau mengatakan sudah beberapa tahun lalu meninggal. Saya kaget sambil menyebut Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raajiuun. Beliau terus bercerita bahwa beliau sudah menikah lagi, dengan orang Bengkulu. Beliau menyuruh saya datang ke rumah nanti jam 5.00 sore ada yang mau dibicarakan, kata nya.

Sore itu saya datang, sekalian kangen-kangenan dengan keluarga yang baik hati itu, dan sudah lama tidak bertemu, seakan-akan saya melupakan jasa baik mereka selama ini. Saya lihat rumah itu tidak berobah setelah sekian tahun saya tidak kesana. Bahkan kelihatan suram dan berkesan kurang terurus.Terakhir saya ke sana sewaktu memasukkan Chairman bekerja di Departemen Perhubungan. Sewaktu itu beliau adalah Sekretaris Jenderal di Direktorat Jenderal Pariwisata, sekitar tahun 1960.

Setelah bercerita bermacam-macam hal, selama tidak bertemu. Saya katakan bahwa selama tidak bertemu, saya gunakan banyak waktu saya untuk kuliah. Terakhir saya berhasil lulus akuntan dari UNPAD Bandung. Sekarang membuka kantor akuntan di Bandung dan Jakarta. Beliau menceritakan bahwa terakhir sebelum pensiun diangkat menjadi kepala perwakilan Pariwisata di Perancis.

Akhirnya beliau mengatakan, bahwa beliau bermaksud menjual rumah itu, dan bermaksud membeli rumah kecil di Depok. Rumah ini sudah ditawar orang Cina dari Semarang senilai Rp. 25 juta kontan. Sekarang kamu saja yang membeli rumah ini dari pada lepas ke orang lain. Ini merupakan hadiah dari saya. Tentang pembayarannya tidak perlu segera, boleh diangsur seberapa ada uang, kata beliau.

Mendengar itu terenyuh hati saya, orang yang saya hormati dan saya kagumi selama ini sebagai orang besar, jujur, berbudi, dan baik hati, akan pindah ke rumah kecil di Depok, seakan-akan mau mengucilkan diri. Beberapa menit saya termenung, dan saya katakan, saya belum bisa menjawab sekarang karena belum nampak gambaran dari mana uang sebanyak itu akan di kumpulkan. Saya berjanji akan memberi kabar dalam tempo seminggu.

Beliau mengatakan yang perlu segera, adalah untuk membeli rumah di Depok sebesar Rp. 5 juta, setelah itu di musim haji nanti sebesar ONH untuk dua orang, sisanya boleh kapan saja. Mendengar itu benar-benar beliau ingin menghadiahkan rumah tersebut kepada saya dengan harga yang relatif murah dan syarat pembayaran yang sangat ringan. Saya katakan, Insya Allah, kesempatan yang kakanda berikan kepada saya ini, mudah-mudah Allah menunjuki saya jalan keluarnya yang terbaik. Minggu depan saya beri kabar dan.saya pun pamit kembali ke hotel tempat saya bermalam.

Malam itu pikiran saya melayang keman-mana. Terutama, kepada kakanda Anwar Suleiman, bagaimana meringankan beban beliau dan bagimana kesempatan baik itu dapat saya raih. Terlintas dalam pikiran bahwa, kredit yang saya peroleh dua tahun lalu dari Bank Rakyat Indonesia Bukittingi untuk membuat rumah di Parit Putus sudah hampir lunas. Bila sisa utang tersebut dilunasi, mungkin bisa mendapatkan kredit baru sebesar Rp 5.juta, sedangkan untuk melunasi sisa kredit tersebut uang cukup.

Besoknya saya telepon adinda Bujang Raswin di BRI bukittinggi, menyampaikan maksud saya tersebut. Alangkah gembiranya saya mendengar jawabannya yang sangat positif. Dia mengatakan bahwa kami termasuk salah seorang nasabah yang tidak pernah menunggak dan punya nama baik di BRI Bukittingi. Biarlah kakanda Lisma pulang kampung untuk mengurusnya,. Insya Allah dalam tempo seminggu bisa keluar, katanya. Saya sampaikan terima kasih saya, dan besok pagi saya transfer uang untuk melunasi sisa kredit lama dan Insya Allah, Lisma pulang minggu depan untuk mengurus kredit baru.

Jika Allah akan memberi tidak sesuatu pun yang dapat menolak, sebaliknya jika Allah tidak akan memberi tidak sesuatu pun yang dapat memaksa. Besoknya saya pulang ke Bandung dan menceritakan semua ini kepada isteri. Dia setuju bahkan sudah merencanakan akan pulang kampung minggu depan, mengurus kredit tersebut. Alhamdulillah, setelah itu segala sesuatu berjalan lancar, bahkan jadwal pembayaran yang di kemukakan oleh kakanda Anwar Suleiman dapat terpenuhi, bahkan dalam tempo belum satu tahun rumah tersebut dapat dilunasi. Begitulah keadaannya bila Allah akan memberi rezki umatnya.

Hubungan kerja dengan Direktorat Jenderal Pengairan dan Direktorat Air Bersih berjalan lancar bahkan bertambah intim dan dipercaya, sampai minta kepada kita menyediakan Terms Of Reference untuk beberapa penugasan yang akan di berikan kepada kita. Karena sudah demikian dekatnya, saya melihat ada peluang lain yang bisa di peroleh atas nama jasa konsultan teknik. Untuk itu diperlukan wadahnya. Timbullah ide untuk mendirikan PT Cipta Daya Guna Mandiri, yang pemegang sahamnya pertama kali adalah semua staf inti kantor Akuntan. Karena sulitnya mendapatkan sarjana bidang Teknik Penyehatan, maka perusahaan konsultan tersebut tidak pernah mendapat penugasan perencanaan teknik dari Direktorat Air Bersih.

Allah menentukan lain, tidak semua yang kita rencanakan itu di kabulkan oleh Allah Swt. Buktinya antara lain, PT Cipta Daya Guna Mandiri direncanakan akan menjadi konsultan teknik dalam bidang teknik penyehatan, ternyata menyasar ke jasa pengukuran geodesi dari Departemen Transmigrasi, dengan bekerja sama dengan orang yang dekat dengan Departemen tersebut. Terakhir yang agak mantap dan memberi keuntungan yang Allah menentukan lain, tidak semua yang kita rencanakan itu di kabulkan oleh Allah Swt. Buktinya antara lain, PT Cipta Daya Guna Mandiri direncanakan akan menjadi konsultan teknik dalam bidang teknik penyehatan, ternyata menyasar ke jasa pengukuran geodesi dari Departemen Transmigrasi, dengan bekerja sama dengan orang yang dekat dengan Departemen tersebut. Terakhir yang agak mantap dan memberi keuntungan yang

Mendirikan Mushola di Kampung yang dipakai TPA (Taman Pengajian Al Qur’an - 1985)

Pesan ibunda sewaktu akan berangkat ke Mekah tahun 1975, yang berbunyi “bila nanti kamu diberi Allah rezki, dirikanlah sebuah surau untuk tempat orang tua dan anak-anak mengaji, pengganti surau bapak kamu yang di robohkan dulu.” Pesan ini tidak pernah lupa dari ingatan saya. Hasil pekerjaan sampai dengan tahun 1983 sudah di invest di beberapa asset dan terakhir untuk bangunan yang sekarang disewa oleh Interlink dan rumah di Wastukancana No. 5. belakang yang ditempati sekarang.

Awal tahun 1984 rasa berdosa timbul dalam pikiran saya, karena lebih mengutamakan yang lain terlebih dahulu dibanding dengan melaksanakan pesan ibunda. Sejak itu saya bertekad untuk mengabulkan pesan ibunda itu sebelum ajal menjemput. Saya bertekad, mudah-mudahan Allah Swt. memberi rezki lagi, pesan ibunda itu akan saya utamakan, sesudah itu baru yang lain-lain.

Alhamdulillah, tidak lama setelah saya sadar dari kesalahan saya, kebetulan Yan Syahrial seorang arsitek tamatan Universitas Parahiyangan datang ke rumah. Dia yang membuat gambar rencana rumah, tempat tinggal kita di kampung tahun 1977. Saya langsung meminta bantuan dia untuk membuat gambar rencana, sebuah mushalla dua lantai di atas tanah lebih kurang 600 meter persegi. Lantai bawah bisa berfungsi untuk orang-orang tua dan anak-anak belajar mengaji dan lantai atas tempat berkumpul anak-anak sekolah dan mahasiswa belajar, berdisikusi sekalian ada kamar untuk tempat tidur. Di belakang disediakan kamar tidur untuk ustaz yang membina pengajian tersebut, dilengkapi dengan fasilitas dapur, kamar mandi, dan lain-lain.

11. Kliping penyerahan Mushala tahun 1986

Dua minggu setelah itu, dia datang lagi dengan membawa gambar skets sementara, untuk minta persetujuan saya. Setelah kami diskusikan dan menerima saran-saran dari Yan Syahrial akhirnya kami setuju dengan beberapa perbaikan. Sambil menunggu Yan Syahrial mempersiapkan gambar detail dan anggaran biayanya, saya mulai konsentrasi melakukan penagihan dari pekerjaan yang sudah jatuh tempo dan patut ditagih.

Pada kesempatan saya berkunjung ke kantor Cabang Padang saya sudah mulai mensosialisasikan kepada masyarakat dan pemuka-pemuka di kampung. Saya katakan, bahwa ibunda berniat untuk mendirikan musalla pengganti surau tinggi yang dibongkar beberapa tahun yang lalu. Musalla itu akan dibangun diatas tanah pusaka orang tua kami dekat mesjid sekarang.

Karena saya tidak mungkin mengawasi pekerjaan tersebut dan membeli bahan-bahan yang di butuhkan, maka saya minta bantuan sahabat lama saya, sama-sama almamater surau tinggi dulu. Kami sekolah di STOPIO dulu, dan saya minta tolong sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing. Kepada Nazaruddin pensiunan dari pegawai Pekerjaan Umum di Batu Sangkar saya minta bantuan sebagai pengawas teknik dan mencari tukang. Kepada Agusman pensiunan dari Jawatan Penerangan Sumatra Barat saya minta bantuan sebagai logistik dan pemegang kas untuk pembayar upah tukang dan membayar bahan-bahan yang dipesan.

Awal bulan Maret 1985, Yan Syahrial menyerahkan gambar detail dari musalla tersebut berikut dengan anggaran biayanya. Pada saat bersamaan, uang pun sudah terkumpul ala kadarnya, cukup untuk memulai pekerjaan. Proyek-proyek kami yang sedang berjalan masih ada, cukup untuk membayar tukang dan bahan sesuai dengan perkembangan fisik musalla nantinya. Secara cash flow Insya Allah pembangunan musalla tidak terganggu. Sebagai ancang-ancang bila terjadi hal-hal yang diluar dugaan nantinya, sehingga pekerjaan tersebut macet, masih ada usaha lain yaitu dengan menggunakan kredit dari Bank Rakyat Indonesia, yang masih terbuka.

Atas pertimbangan tersebut, saya katakan kepada ibunda, bahwa pesan beliau sepuluh tahun lalu, untuk mendirikan musalla, pengganti surau tiggi yang sudah tidak ada. Insya Allah sudah dapat dimulai. Allah telah memberi rezki untuk itu, saya mohon doa ibunda, semoga pekerjaan tersebut lancar. Saya katakan kepada beliau bahwa untuk membangun ini saya minta bantuan Nazaruddin dan Agusman, Beliau setuju, karena teman-teman itu adalah sahabat saya sejak kecil.

Untuk mengkonkritkan pembicaraan ini saya minta bantuan Nazaruddin mengajak tukang yang akan mengerjakan musalla tersebut untuk merundingkan biayanya, dan cara pembayarannya supaya Agusman mempuyai pegangan sepeninggal saya ke Jakarta nanti dalam mempersiapkan dananya. Besoknya Nazaruddin membawa kepala tukang dari Batu Sangkar.

Kami berunding upah kerja bertiga dan tawar menawar, sehingga dapat kata sepakat dengan nilai yang pantas. Saya sudah mendapat anggaran terendah yang diberikan oleh Yan Syahrial, dan ini kebetulan lebih rendah dari itu. Setelah dapat kata sepakat, kami tentukan Kami berunding upah kerja bertiga dan tawar menawar, sehingga dapat kata sepakat dengan nilai yang pantas. Saya sudah mendapat anggaran terendah yang diberikan oleh Yan Syahrial, dan ini kebetulan lebih rendah dari itu. Setelah dapat kata sepakat, kami tentukan

Pada saat pekerjaan sudah mencapai 75% selesai, ada teman baik saya Nini Karim SH (Almarhumah), seorang pengacara di Bandung. Kami sama-sama anggota Legiun Veteran Kemerdekaan Republik Indonesia. Dia bertanya kepada saya bahwa dia berniat akan berzakat sebesr Rp.500 ribu, kemana yang bagus katanya. Saya katakan bahwa saya sedang membangun musalla di kampung untuk tempat mengaji ibu-ibu dan anak anak.dengan anggaran lebih kurang Rp.40 juta. Kalau mau berzakat kesitu saya akan terima dengan senang hati, kata saya. Dia bilang Pak Bus beramal kok diam-diam saja. Kalau saya tahu dari dulu mungkin lebih banyak dari itu, katanya. Saya terima uang zakat itu dan saya masukkan kedalam anggaran pembangunan. Alhamdulillah, semoga zakatnya dari Almarhumah Nini Karim SH itu diterima oleh Allah sebagai amal saleh.

Alhamdulillah berkat doa ibunda, musalla tersebut selesai pada waktunya dan diresmikan pada bulan Januari l986. Pada saat meresmikan hadir ninik mamak, cerdik pandai, dan alim ulama di kampung kita. dan dari kampung sekitarnya. Kebetulan waktu itu sebagian besar perantau orang Parit Putus dari Jakarta dan Bandung sedang pulang basamo sehingga peresmian cukup meriah.

Kira-kira satu tahun sesudah diresmikan, kebetulan almarhumah Nini Karim SH pulang ke Bukittiggi dan kebetulan saya sedang di Bukittinggi pula. Dia menelpon saya dan mengajak saya melihat musalla tersebut. Dengan senang hati saya jemput dia ke Jalan Atas Ngarai tempat dia menginap, bersama temannya yang punya rumah tempat dia menginap itu ke Parit Putus melihat musalla tersebut. Kami berkeliling melihat-lihat lantai bawah dan lantai atas sebentar, setelah itu kami sempat makan malam bersama, di rumah ibunda, yang kebetulan berdekatan dengan musalla.

12. Mushala siap pakai

Menunggu Ibunda Sakit Sampai Melepas Beliau Berpulang ke Rahmatullah di Bukittinggi (22 April 1992)

Bulan Januari 1992, saya berbicara dengan pak Zen yang tinggal di Kramat VI di pojok ke Kramat VII. Dia biasa mengirim Tenaga Kerja Indonesia ke Arab Saudi. Saya katakan bahwa saya ingin pergi umrah dalam bulan puasa tahun ini, tetapi saya tidak mau pergi ikut dengan travel karena waktunya sangat terbatas. Kalau bisa saya ingin disana paling sedikit sebulan selama puasa, atau kalau bisa sampai selesai ibadah haji. Dia mengatakan, Pemerintah Arab Saudi hanya dapat memberikan visa paling lama 30 hari. Bila ingin bermukim melebihi tiga puluh hari, harus dengan special request melalui Departemen Luar Negeri Indonesia, dan proses nya cukup sulit.

Tetapi kalau mau katanya kepada saya, nanti akan di beri alamat temannya di Mekah dan temannya itu yang akan mengatur, sehingga saya sekeluarga bisa tinggal di sana sampai selesai musim haji. Saya setuju dengan sarannya tersebut, dan di hitung-hitung biaya ticket pulang pergi, pengurusan visa dan lain lain lebih kurang US $ 1.000.00 per orang. Saya setuju dengan biaya tersebut, Insya Allah dekat-dekat bulan puasa, saya siapkan uangnya, sementara itu saya akan mengurus paspor dulu.

Dalam salah satu pertemuan keluarga Ikatan Keluarga Parit Putus di Jakarta (IKPJ) saya ceritakan rencana saya tersebut. Ternyata Syukbar dan isterinya, kakanda Nurbeiti juga ingin ikut bersama, sedangkan Wijayanti dan Upik Sumarni akan menyusul. Saya katakan, Bila akan ikut bersama, mulai sekarang sudah harus siap-siap dengan paspor. Demikian juga dengan uangnya sebesar US $ 1.000.00 per orang sudah harus siap sepuluh hari sebelum mulai hari puasa.

Kami sudah berketetapan hati untuk pergi umrah bersama, mudah-mudah bisa sampai haji sekalian. Setelah itu masing-masing kami sering komunikasi melalui untuk mengecek Kami sudah berketetapan hati untuk pergi umrah bersama, mudah-mudah bisa sampai haji sekalian. Setelah itu masing-masing kami sering komunikasi melalui untuk mengecek

Sedapat berita itu, saya menemui pak Zen, mengatakan bahwa saya akan melihat orang tua yang sakit ke Bukittinggi dulu. Bila keadaan beliau tidak begitu berat dan bisa saya tinggalkan kami tetap akan berangkat umrah, tapi bila keadan beliau tidak mungkin untuk ditinggalkan, mungkin kami berangkat tahun depan saja. Bersamaan dengan itu, saya beritahukan juga kepada Syukbar dan kakanda Nurbeiti. Kebetulan beliau dapat mengerti bahwa mengunjungi ibunda yang sedang sakit lebih utama dari pada pergi umrah yang memakan waktu berhari-hari.

Besok pagi saya dan isteri pulang bersama dengan pesawat pagi. Sampai di Tabing kami langsung naik taksi ke Bukittinggi. Sampai di kampung sudah siang menjelang Zuhur. Saya dapati beliau sedang tertidur, dan kelihatan lemah. Saya tanyakan kepada adinda Nurjalis, sudah berapa hari beliau sakit ?. Katanya yang tertidur ini baru kemarin sampai sekarang. Saya pergi salat Zuhur dulu, dan setelah itu duduk disamping beliau menunggu beliau terbangun. Kira-kira setengah jam setelah itu mata beliau terbuka dan memandangi saya. Beliau bertanya bila datang, apa sama si Lis?. Saya jawab, baru saja dan bersama si Lis, sambil saya bertanya penyakit apa yang beliau rasakan ?.

13. Sambutan Ibunda Saeran pada Peresmian Mushala

Beliau mengatakan, tidak tentu apa yang sakit, yang terasa hanya lemah dan tidak mau makan dan minum sejak kemarin. Asal dicoba minum atau makan keluar lagi. Saya tanyakan apakah sudah ke dokter ?, beliau mengatakan belum, untuk sementara saya panggil dokter Hery yang menyewa rumah kita di simpang Parit Putus. Setelah diperiksa dan diberi resep, saya tanyakan apa sakit beliau ?. Kata Dokter Hery sakit beliau adalah sakit tua, dan sebaiknya dirawat saja di rumah sakit, dan disarankan di rumah sakit Yarsi di Belakang Balok, untuk itu diberi surat pengantar.

Malam itu untuk menghibur dan mnyenangkan hati beliau, saya bercerita tentang perjalanan haji kami ke Mekah 17 tahun lalu. Sambil bercerita itu saya urut-urut kaki beliau. Tiba-tiba beliau menolak tangan saya yang sedang mengurut kaki beliau tersebut dengan kata-kata, “ tidak usahlah diurut-urut juga kaki saya, nanti kamu urut-urut sebentar sesudah itu kamu pergi lagi meninggalkan saya” Mendengar itu saya katakan kepada beliau, tidak, saya tidak akan pergi lagi, dan akan selalu di samping ibunda.

Setelah saya mengatakan itu saya keluar dari kamar beliau dan menangis sejadi-jadinya. Saya baru mengetahui dan merasa berdosa, bahwa saya merantau untuk merobah nasib selama ini, meninggalkan beliau, rupanya tidak beliau senangi. Sikap dan kata-kata beliau itu sangat bekesan dalam hati saya. Bila kata-kata beliau itu teringat oleh saya selalu keluar air mata saya, bahkan sewaktu saya mengetik ini pun sambil menangis. Semoga Allah mengampuni dosa saya, kepada ibunda.

Besok pagi saya pergi ke rumah sakit Yarsi untuk mengurus kamar untuk beliau terlebih dahulu, kalau dapat diruang VIP. setelah mendapat kepastian dapat kamar, baru saya bawa beliau ke rumah sakit, karena tidak setiap saat kamar perawatan tersedia. Alhamdulillah, kebetulan ada sebuah kamar yang dapat ditempati, karena pasien di kamar itu baru pagi itu diizinkan pulang. Saya langsung book kamar tersebut dengan membayar deposit, sebagaimana biasa, walaupun waktu itu tidak diminta oleh administratur Yarsi.

Saya naik taxi dan langsung menjemput ibunda ke kampung, membawa beliau masuk ke kamar yang sudah disediakan. Tidak lama setelah itu dokter spesialis penyakit dalam datang memeriksa beliau. Menurut Dokter beliau terpaksa di bantu dengan memberi makanan cair yang dimasukkan dengan slang melalui kerongkogan. Beliau tidak boleh banyak bergerak, sehingga untuk buang air kecil beliau menggunakan kateter, dan buang air besar ditampung. Sejak malam itu saya dan isteri selalu menjaga beliau di rumah sakit Yarsi. Waktu itu sudah mulai masuk bulan puasa. Pagi-pagi kami pulang mandi, selesai mandi saya kembali ke rumah sakit, sedangkan isteri tinggal di rumah masak untuk buka puasa dan membawa rantang sekali untuk makan saur. di rumah sakit.

Setelah kira-kira 20 hari beliau di rumah sakit, adinda Chairman beserta isteri pulang dari Tokyo Jepang. Dia mendapat cuti dari tugasnya sebagai perwakilan Departemen Pariwisata di Jepang dan Korea Selatan. Sejak beberapa tahun terakhir dia ditugaskan di sana, dan karena mendengar ibunda dirawat di rumah sakit, dia minta izin cuti pulang. Habis masa cutinya beberapa hari, dia kembali lagi ke Tokyo. Sebelum dia kembali ke Tokyo dia menyarankan kepada saya, bagaimana kalau ibunda dibawa ke Jakarta dan di rawat di

Jakarta. Saran ini saya smpaikan kepada ibunda, beliau menjawab, tidak usahlah mungkin ini sudah datang waktunya kita berpisah kata beliau.

Kebetulan hari raya Iedul Fitri tiba. Pada kesempatan salat Iedul Fitri yang diadakan di lapangan bola Parit Putus pagi itu, kepada panitia saya minta di beritahukan bahwa ibunda Hj Saeran sekarang sedang sakit dan dirawat di rumah sakit Yarsi Bukittinggi. Anak beliau mohon doa kepada jemaah semoga beliau lekas sembuh, dan minta maaf atas segala kesalahan beliau disengaja maupun yang tidak disengaja, yang akan memberati beliau di akhirat nanti.

Setelah adinda Chairman kembali ke Tokyo penyakit beliau tetap tidak ada perobahan, bahkan beliau bertambah lemah. Makanan yang tadinya masih bisa masuk melalui kerongkongan dengan slang, waktu itu sudah mulai serat masuknya, Dokter spesialis penyakit dalam yang merawat beliau pun frekwensi kunjungannya sudah agak sering, dan langsung meraba-raba kaki beliau. Dalam hati saya, mungkin Dokter sudah punya firasat, bahwa umur beliau tidak berapa lama lagi. Sejak itu saya pun tidak beranjak lagi berada di samping tempat tidur beliau disebelah kepala, dengan sekali-sekali menyebut kalimat Laa Ila Ha Illallah.

Di salah satu subuh, kalau tidak salah di hari Kemis, sedang mu`azin mengumandangkan azan Subuh, dengan lafaz “Hai ya `Alassalaah” di mesjid Yarsi, beliau menghembuskan nafas terakhir dengan tenang. Dibawah pandangan mata saya, dengan diiringi ucapan La Ila Ha Illallah, beliau melengah sekali ke kiri dan sekali ke kanan, langsung beliau tenang. Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raajiun. “Ya Allah, terimalah arwah beliau di sisi Mu, maafkanlah segala kesalahan beliau, dan terimalah segala amal saleh beliau. Sayangilah beliau sebagaimana beliau menyayangi kami sewaktu kami kecil Amin !”. perawat jaga memanggil dokter jaga dan dokter jaga membenarkan bahwa beliau sudah tia ada lagi. Saya ciumi beliau setelah itu saya menutup mata beliau, serta meletakkan tangan beliau diatas dada, seperti orang sedang salat. Si Lis, waktu kejadian itu sedang tertidur, setelah dia tahu bahwa ibunda sudah tidak ada dan dia langsung menangis.

Saya pergi salat Subuh dahulu, setelah itu baru pergi ke kantor telepon memberitahukan adinda Chairman di Tokyo bahwa ibunda telah mendahului kita, jam 5,15 pagi tadi. Setelah itu memberitahukan kepada adinda Nurjalis, dan mamanda Anwar Sutan Marajo di kampung, bahwa ibunda telah tiada dan kemungkinan jenazah beliau akan dibawa pulang dengan ambulans nanti kira-kira jam 9.00 pagi. Insya Allah bila mungkin hari ini juga akan di makamkan. Saya minta tolng beliau meyuruh kemanakan-kemanakan supaya memberitahukan orang kampung, sanak keluarga yang jauh dan yang dekat, tentang musibah ini.

Jenazah ibunda sampai di rumah, kira-kira jam 9.00 pagi. Orang-orang pelayat sudah banyak datang. Sudah menjadi tradisi di kampung kita, bila ada seseorang meninggal dunia kerabat-kerabat dekat yang mampu membawa perlengkapan jenazah seperti kain kafan, kapur barus, sabun dan lain-lain. Bahkan persatuan kematian yang beliau pimpin sudah lengkap menyediakan peralatan yang akan beliau bawa. Kaum ibu pun sudah siap dengan peralatan mandi berikut dengan orang-orang yang akan memandikan, selain anak-anak dan keluarga dekat almarhumah.

Di pekuburan, karib-karib dekat yang laki-laki sudah bergotong royong menggali pekuburan di tempat yang saya tunjukkan. Beliau dikuburkan di pekuburan keluarga suku koto. Di pekuburan tersebut jenazah-jenazah sebelumnya di makamkan tidak beraturan dan tidak tertib susunnya. Karena itu khusus untuk ibunda dan kami anak-beranak bertiga, saya sediakan satu pojok yang bila kami meninggal di kampung di situlah tempat kami di makamkan.

Setelah kira-kira dua jam jenazah ibunda di baringkan di tengah rumah, datanglah inisiatif dari mamanda Anwar Sutan Marajo bermusyawarah dengan para pelayat. Mungkin sudah waktunya untuk memandikan alamarhumah, dan mengkafani, takut-takut kalau terlalu sore memakamkan jangan-jangan nanti hari hujan. Setelah semua pelayat sepakat, maka mulailah jenazah beliau di gotong ke paviliun disebelah rumah untuk di mandikan.

Disitu sudah tersedia, slang air, tempat tidur yang khusus disediakan oleh masyarakat untuk memandikan jenazah, terbuat dari besi pelat tipis, dengan saluran untuk membuang keluar air bekas pemandian dengan selang.Saya ikut memandikan jenazah ibunda, setelah selesai di uduk kan, langsung di kafani. Tandu sudah siap untuk membawa beliau ke Mesjid yang berada dekat rumah untuk di salatkan. Alhamdulillah saya sempat menjadi imam salat jenazah ibunda dengan dimakmumi banyak orang dibelakang saya,ada kira-kira 25 orang yang ikut mensalatkan beliau.

Selesai salat jenazah terus digotong ke kuburan keluarga, untuk dimakamkan di pekuburan keluarga. Sampai di sisi pekuburan, saya orang yang pertama turun ke bawah untuk menyambut jenzaha beliau di bagia kepala, diikuti oleh Bujang Raswin, sekarang menjadi besan saya dan disusul oleh Taufik, kerabat sepesukuan kami. Ada kira-kira 30 menit proses pemakaman sampai menutup kembali tetapi belum sempurna. Kepada para pengantar diberitahukan, sambil mengundang 7 hari lagi untuk mandakikan pasaro yang berarti menyempurnakan kuburan dalam bentuk yang lazim.

Bermukim di Mekah Selama 101 Hari Bersama Istri dan Bako (Awal Puasa sampai selesai ibadah Haji – 1993)

Setelah saya melepas ibunda berangkat ke Rahamtullah dan seminggu setelah itu, saya dan isteri kembali ke Jakarta dengan rasa hampa. Jika sebelumnya saya meninggalkan kampung, masih ada sesuatu yang ditinggalkan sebagai daya tarik kembali untuk di sayangi dan dikunjungi. Tapi sekarang rasanya sudah hampa, kehilangan daya tarik untuk dikunjungi dan tidak punya lagi daya tarik, kecuali sejarah.

Sampai di Jakarta, orang yang pertama yang saya kunjungi memberi tahukan musibah yang menimpa saya dan minta maaf adalah tetangga sendiri yaitu pak Zen. Beliau adalah orang yang tadinya akan menolong kami mengurus visa umrah bulan puasa itu, yang tertunda.

Saya sudah berpengalaman melepas beberapa orang meninggal. Sebelumnya waktu saya masih berusia belia pernah melepas adinda perempuan di bawah adinda Chairman dua orang Saya sudah berpengalaman melepas beberapa orang meninggal. Sebelumnya waktu saya masih berusia belia pernah melepas adinda perempuan di bawah adinda Chairman dua orang

Dalam kesempatan melepas ibunda berpulang ke Rahmatullah ini, membawa kesan yang mendalam. Mungkin juga pengaruh umur, karena waktu itu umur saya sudah mencapai 64 tahun. Jadi, cara bepikir saya sudah berbeda dari sebelumnya. Di umur yang sedemikian, wajar kalau sudah waktunya untuk memikirkan hidup setelah hidup yang sekarang ini. Alhamdulillah, mudah-mudahan saya belum terlambat, tidak saja memikirkan, tetapi yang penting adalah mempersiapkan hidup di kemudian hari tersebut..

Alhamdulillah, dalam umur yang sudah melebihi umur Nabi Muhammad Saw. tersebut. Allah telah banyak memberikan Rahmat dan Taufik Nya kepada kami sekeluarga, baik materi maupun non materi yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Salah satunya yang sangat saya syukuri adalah, Allah memberi umur panjang, badan sehat, anak-anak pun tidak ada yang salah arah, mudah-mudahan tidak selamanya. Rasa syukur tidak cukup hanya dengan ucapan tetapi harus dalam bentuk usaha mendekatkan diri kepada Allah Maha Pencipta.

Sejak itu saya mengingat kembali amal-amal saleh beliau, satu persatu saya mulai mengamalkan. Beliau selalu melakukan puasa sunat Senin dan Kemis, sejak itu saya amalkan juga puasa sunat Senin dan Kemis, sampai sekarang. Beliau selalu memanfaatkan waktu senggang beliau dengan membaca Al Qur`an, sejak itu saya pun berusaha membiasakan diri membaca Al Qur`an, hanya mungkin tidak se intensif beliau. Beliau senang bekerja amal untuk kepentingan umat ditingkat kampung kita, saya pun sejak itu menyediakan diri dan menyempatkan waktu dan biaya untuk bekerja kepentingan masyarakat di perantauan dalam Ikatan Keluarga Ampek Angkek Candung di Bandung. Terakhir saya menerima kepercayaan dari perantau Bandung dan Jakarta mendirikan Bank Perkreditan Rakyat Syariah Ampek Angkek Candung di kampung.

Mungkin renungan-renungan yang demikian itu yang dikatakan orang dengan keinsafan dan kesadaran atau petunjuk dari Allah Swt yang sudah datang. Mudah-mudahan demikian. Yang jelas rencana kami semula untuk menunaikan ibadah umrah bulan puasa mendatang kami intensifkan kembali. Sambil menunggu waktunya datang kehidupan saya sehari-hari saya jalani sebagaimana biasa, tetapi tidak se intensifkan seperti sebelumnya. Semangat kerja saya menurun secara signifikan. Banyak tugas-tugas yang selama ini saya sendiri yang mengerjakannya, tetapi sejak itu sudah banyak mendelegasikan kepada Hermen atau kepada asisten lainnya.

Tanpa disadari, waktu berjalan terus, bulan Syaaban pun sudah datang, berarti bulan Ramadan akan menyusul. Saya sampaikan kepada rombongan yang berminat akan pergi umrah selama bulan puasa, supaya memantapkan tekatnya kembali, karena kita akan berusaha menunggu sampai selesai bulan haji. Bila masih teguh hatinya akan berangkat supaya bersiap-siap dengan pasport dan lain-lain, mumpung masih ada waktu kira-kira sebulan lagi.

Yang sudah mantap akan berangkat waktu itu ada berlima orang yaitu, Syukbar dan isteri, saya dan isteri dan kakanda Nurbeiti sedirian. Saya mulai mengumpulkan paspor mereka untuk diserahkan kepada pak Zen untuk keperluan permohonan visa di kedutaan Arab Saudi. Setelah lengkap lima buah paspor dan uang pengurusan visa sebesar US$ 100.00 per orang, saya serahkan kepada pak Zen sebagai down payment dari seluruh biaya.. Sisanya sebesar US$ 900.00 setelah visa diterima dan siap untuk pembelian ticket. Saya harapkan visa dan ticket dapat segera diterima sehingga awal bulan puasa bisa berangkat.

Beberapa hari setelah proses pengurusan visa diserahkan kepada pak Zen, ada telepon dari kakanda Nurbeiti Beliau mengatakan bahwa ada teman baik beliau sama-sama mengaji di mesjid Al Azhar Kebayoran Jakarta, namanya sebut saja Bunga, ingin ikut pergi bersama kita, kalau masih sempat tolong diusahakan bisa berangkat bersama kita, kata beliau. Besoknya Bunga datang menemui saya dengan membawa uang, saya bawa dia ke rumah pak Zen, supaya dia mendengar sendiri langsung dari pak Zen apakah masih bisa atau tidak. Alhamdulillah, ternyata masih bisa digabungkan dengan rombongan kami.

Beberapa hari sebelum berangkat saya sudah memberitahukan kepada anggota rombongan agar membawa barang seperlunya saja. Maksudnya tidak berlebihan sekedar untuk dipakai sehari-hari, dan sebatas terbawa oleh anggota rombongan tanpa menggunakan jasa kuli atau khadam untuk membawanya.

Untuk menjadi tepatan disana, Wijayanti telah berusaha menghubungi almarhum Alhanif agar memperkenalkan kami dengan perwakilannya di Arab Saudi, sebut saja namanya Roem. Alhanif adalah teman almarhum ayahnya Djohar, mempunyai perusahaan travel yang mengurus haji plus. Alhanif langsung menilpon perwakilannya di Jedah tersebut, memberitahukan kedatangan kami, supaya di tunggu di air port Jedah. Saya juga mencatat nomor telepon Roem perwakilannya di Jedah tersebut.

Pada hari keberangkatan, pagi-pagi rombongan yang akan berangkat, berkumpul di Jalan Kramat VI No. 39. Mereka datang dengan diantar oleh beberapa pengantar yang akan ikut melepas ke air port Sukarno Hatta. Dari pihak kakanda Nurbeiti ikut mengantar Krishna Dahlan dan isteri, Wijayanti dan Upik Sumarni, sedangkan dari pihak Bunga ikut mengantar anaknya seorang Insinyur jurusan Tekstil di Bandung, dan Bustmam Ibrahim, bekas mahasiswa di Medina beberapa tahun lalu.

Kira-kira jam 8.30 pagi kami berangkat menuju pelabuhan Sukarno Hatta, karena pesawat akan take off jam 1.00 siang. Di pelabuhan pak Zen sudah kelihatan menunggu kami. Kecuali kami mungkin ada juga tenaga kerja yang akan beliau berangkatkan bersama kami. Para pengantar membantu membawa barang-barang bawaan sampai ke pintu masuk. Sejak dari situ meliwati pemeriksan barang melalui sinar, sampai ke check in counter, sudah menjadi beban saya, Syukbar dan dibantu oleh pak Zen.

Diantara barang bawaan isteri saya, ada satu tas kain kecil, di dalamnya berisi rendang di letakkan di dalam waskom dan ditutup dengan tutup waskom saja, seperti orang yang akan Diantara barang bawaan isteri saya, ada satu tas kain kecil, di dalamnya berisi rendang di letakkan di dalam waskom dan ditutup dengan tutup waskom saja, seperti orang yang akan

Sambil berdiri bulu roma saya, kalau sangkaan saya tersebut benar, ini bisa menimbulkan masalah serius dengan pramugari, karena merusak sarana pesawat, mungkin akan di claim dalam jumlah yang besar. Sambil menunggu pemberitahuan lampu penumpang bisa melepas seat belt, berdebar-debar jantung saya sambil berdoa semoga apa yang saya takutkan itu tidak menjadi kenyataan.

Setelah lampu penumpang boleh melepas seat belt hidup, saya berdiri mengambil tas tersebut dan sambil meraba-raba tas tersebut apakah basah dengan minyak rendangnya atau tidak. Alhamdulillah ternyata tas kain tersebut masih kering. Setelah saya ambil tas tersebut saya letakkan dekat kaki saya supaya selalu dibawah kontrol saya, sehingga tidak menimbulkan masalah, demi selera..

Di dalam pesawat Arab Air Line itu sebelum menyajikan makanan, pramugari memberi kami hear phone, semacam alat untuk mendengar sajian-musik yang disajikan didalam pesawat. Setelah cokenya di masukkan di lobang yang tersedia di samping kursi kita phonenya di lekatkan di telinga, terdengarlah nyanyian Arab yang merdu dan bisa memilih lagu yang kita inginkan. Kebetulan menu makanan yang disajikan adalah menu Indonesia, bukan menu Arab. Jadi kami cukup menikmati perjalanan yang memakan waktu lebih kurang sembilan jam tersebut, dan bisa tidur karena sudah terlalu mengantuk.

Kira-kira setengah jam lagi pesawat akan landing, penumpang diberitahu supaya mendirikan tempat duduk, memasang seat belt kembali. Disamping itu pramugari sibuk mengumpulkan kembali hear phone yang dibagikan sewaktu mula-mula berangkat. Daniar yang duduk disamping isteri saya, memasukkan hear phone tersebut ke dalam tasnya. Pengambilan hear phone tersebut di ikuti juga oleh isteri saya. Pada saat bersamaan pramugari yang akan memungut kembali hear phone tadi melihat bahwa hear phone tersebut dimasukkan ke dalam tas masing-masing. Dia bilang no, no sambil meminta kembali hear phone tersebut kepada isteri saya dan Bunga. Malu-maluin aje. .

Alhamdulillah, tidak lama setelah itu pesawat pun landing. Waktu turun dan selanjutnya tas berisi rendang tadi tidak saya lepaskan lagi dari tangan saya. Kebetulan kami semua meliwati pemeriksaan imigrasi dan bea cukai. Untuk tidak menimbulkan masalah, dengan berbagai pertanyaan, saya letakkan tas kain terebut di lantai. Saya gerakkan tas tersebut dengan menggunakan kaki, sesuai dengan gerak jalan pemeriksaan yang saya liwati. Habis pemeriksaan, tas tersebut saya jinjing kembali, bebaslah saya dari pertanyaan yang tidak perlu.

Waktu itu belum ada hand phone. Jadi kalau kita akan menelpon, terpaksa kita mencari telepon umum yang banyak tersedia di air port Jedah. Selesai pemeriksaan, saya berusaha menelpon Roem, perwakilan Alhanif di Jedah. Dari seberang saya mendapat jawaban bahwa

Roem sedang ke luar. Saya titip pesan kepada ibu-ibu yang menerima telepon disana bahwa saudara Alhanif yang dari Jakarta sudah sampai di air port Jedah dan menunggu kedatangan pak Roem.Lama kami menunggu dan mencari-cari Roem di air port Jedah, tetap tidak ada.

Benar kata oang bijak, “ Segelap-gelap hari namun bintang satu mesti ada ”. Dalam keadaan yang sulit tersebut bantuan Allah datang. Melihat kami sudah menunggu lama dan air port sudah sepi dari penumpang, ada seseorang menghampiri kami, sambil menanyakan, “menunggu siapa pak” katanya, Saya bilang, menunggu pak Roem. Dia bilang saya kenal pak Roem, kami sekampung sama-sama dari Palembang katanya.

Dia memberikan kartu namanya kepada kami. Dia bilang lebih baik tunggu di rumah saya saja, disana kita telepon dia. Bila belum pulang besok pagi saja kita hubungi lagi. Malam ini menginap di rumah saya saja, karena hari sudah larut malam katanya. Mungkin dia kasihan melihat kami melihat ibu-ibu tua seperti terlantar di negeri orang. Kami ikuti ajakan yang simpatik dan jujur ini. Di rumahnya disediakan makanan, di situlah keluar rendang yang hampir menjadi masalah di atas pesawat tadi.

Selesai makan malam Bapak yang baik hati tadi mencoba menelpon pak Roem, ternyata dia sudah pulang. Bapak yang baik hati itu mengatakan bahwa dirumah beliau ada tamu bernama Bustaman Rahim, bersama lima orang lainnya. Katanya dia saudara dari pak Alhanif di Jakarta, maksudnya mau umrah. Pak Roem mengatakan, oh ya, kebetulan kemarin malam saya ada hal yang mendadak di kantor, sehingga tidak sempat menuggu di air port. Biarlah besok pagi kira-kira jam 8.00 saya datang dengan taksi yang akan membawa beliau- beliau itu ke Medinah ke alamat yang saya tunjuk disana untuk bermukim selama sembilan hari. Selesai mereka berbicara, telepon diserahkan kepada saya, kami berbicara di telepon sebentar untuk berkenalan.

Mendengar itu tenanglah hati kami. Pada saat kami saling memperkenalkan diri masing- masing, ternyata Bapak yang baik hati itu adalah penyiar di Radio Arab Saudi bagian Bahasa Indonesia. Beliau tamatan dari Al Azhar di Mesir beberapa tahun lalu, dan beristerikan orang Mesir, dan bermukim di Jedah. Beliau, isteri dan anak-anak sudah menjadi warga negara Arab, sudah meninggalkan kewarga negaraan Indonesia maupun kewarga negaraan Mesir.

Tidak dapat kami membalas jasa orang sebaik itu, Allah Swt lah yang akan membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda. Pagi besok datang pak Roem dengan sebuah taxi yang bisa memuat enam orang. Kami bicara-bicara sebentar, pak Roem memberikan surat kepada temannya di Medinah bernama Muksin tinggal berdekatan dengan Perwakilan Pemerintah Republik Indonesia di Jedah. Pak Roem mengatakan untuk biaya pemondokan kami harus membayar sekian real, dengan catatan kita memasak sendiri.

Sebelum berpisah saya tanyakan berbisik kepada pak Roem, bagaimana baiknya antara kami dengan Bapak yang baik hati itu, yang sudah menampung kami semalam berikut menyediakan makanan. Pak Roem mengatakan itu adalah sadakah beliau, karena beliau bukan berbisnis disitu. Setelah itu, dengan ucapan terima kasih yang mendalam kami pamit dengan Bapak yang baik hati itu sambil memberikan kartu nama saya dan minta kartu nama Sebelum berpisah saya tanyakan berbisik kepada pak Roem, bagaimana baiknya antara kami dengan Bapak yang baik hati itu, yang sudah menampung kami semalam berikut menyediakan makanan. Pak Roem mengatakan itu adalah sadakah beliau, karena beliau bukan berbisnis disitu. Setelah itu, dengan ucapan terima kasih yang mendalam kami pamit dengan Bapak yang baik hati itu sambil memberikan kartu nama saya dan minta kartu nama

Tiga belas tahun saya tidak kesana Rupanya jalan raya Jedah Medinah telah menggunakan jalan tol yang lebar. Jalan tol itu di rancang sedemikian rupa sehingga sayup- sayup mata memandang lurus dan diusahakan tidak terlalu banyak mendaki dan menurun, sekalipun itu di samping pegunungan. Dalam tahun 1980 perjalanan Jedah Medinah memakan waktu lebih dari 10 jam. Tetapi dalam tahun 1993, sudah bisa ditempuh dalam enam jam saja. Kemajuan yang membanggakan dengan biaya yang tidak sedikikt, demi kenyamanan para jemaah Haji dan Umrah, selaku tamu Allah.

Kami sampai di sana sudah sore. Memang alamat pak Muksin yang diberikan tidak begitu jauh dari Mesjid Nabawi. Pak Muksin tinggal di lantai dua. Untuk kami disediakan satu kamar tidur besar, satu ruang tengah, kamar mandi dan dapur dipakai bersama. Pak Muksin sudah dua tahun tinggal di situ, beserta isteri yang bekerja di rumah sakit Medinah sebagai perawat, sedangkan pak Muksin bekerja di kontraktor yang sedang merenovasi mesjid Nabawi.

Kami tinggal disitu sembilan hari, yaitu untuk mencapai 40 salat fardu terus menerus tanpa terputus sekalipun di Mesjid Nabawi. Ada pendapat bahwa bila itu tercapai, maka Allah akan memberikan ganjaran yang besar sekali. Ada juga yang berpendapat bahwa hadis tersebut tidak kuat. Biarkanlah perbedaan itu tetap berbeda karena yang jelas, Mesjid Nabawai pasti tidak sama dengan mesjid-mesjid dimanapun di dunia ini, kecuali Mesjidil Haram di Mekah Mukarramah. Selama disana semuanya berjalan lancar, kami pun masih tetap kompak dalam segala hal, baik dalam beribadah, berbelanja untuk dapur, bergilir memasak dan lain-lain.

Sehari sebelum hari terakhir kami di Medinah saya dan pak Muksin menghubungi pak Roem di Jedah, untuk mendapat petunjuk alamat siapa yang harus kami datangi di Mekah Mukaramah. Kalau dapat seperi halnya kami diperkenalkan dengan pak Muksin di Medinah. Beliau memberi alamat salah seorang temannya yang bekerja di salah satu hotel di Mekah. Sebaiknya tuju saja hotel itu, dan menginap semalam disitu sampai bertemu dengan temannya itu. Temannya itu nanti akan mencarikan pemondokan yang permanen sampai akhir ibadah haji.

Tanpa ragu kami minta pak Muksin mencarikan taxi yang akan membawa kami pada hari dan jam ditentukan ke hotel yang ditunjukkan oleh pak Roem di Mekah Mukarramah.Alhamulillah taxi tersebut sudah dapat dengan biaya yang hampir sama dengan biaya tempo hari dari Jedah ke Medinah. Setelah saya berunding dengan anggota rombongan lainnya semuanya setuju.

Malam terakhir setelah salat Isya berjamaah di Mesjid Nabawi, kami makan bersama dengan pak Muksin dan isteri, yang jarang kami lakukan sbelumnya. Malam itu kami saling .tukar alamat, dengan harapan bila mereka ada kesempatan ke Indonesia sempat mampir ke salah seorang dari kami. Malam itu kami pun siap-siap dengan pakaian ihram masing- Malam terakhir setelah salat Isya berjamaah di Mesjid Nabawi, kami makan bersama dengan pak Muksin dan isteri, yang jarang kami lakukan sbelumnya. Malam itu kami saling .tukar alamat, dengan harapan bila mereka ada kesempatan ke Indonesia sempat mampir ke salah seorang dari kami. Malam itu kami pun siap-siap dengan pakaian ihram masing-

Besoknya, sebelum pak Muksin dan isteri pergi kerja kami sudah pamit, kami menunggu taxi datang di luar rumah, karena taxi berjanji akan datang jam 8.00 pagi. Tidak lama setelah itu, taxi pun datang dan kami pun naik untuk segera berangkat. Karena kami saling tidak tahu bahasa masing-masing, maka kami berkomunikasi dengan sopir taxi tersebut dengan bahasa Inggeris yang sepotong-sepotong, sesuai dengan kemampuannya berbahasa Inggeris.

Dengan membaca Bismillahirrahmaanirrahim berama-sama kami berangkat meninggalkan Medinah kota Nabi Muhamad Saw, dengan harapan semoga satu ketika Allah mengizinkan kami dapat datang kembali berziarah ke makam penghulu semua umat dan kecintaan Allah ini, nabi yang pertama dan terakhir.

Sampai di Bir Ali, sopir taxi tanpa di komando sudah otomatis dia berhenti, karena di sana tempat sopir-sopir taxi atau bus berhenti untuk istirahat makan. Bagi peziarah umrah atau haji di sana adalah tempat mengganti pakaian biasa dengan pakaian ihram, berikut segala rukun dan sunatnya. Saya dan Syukbar terus menuju ke tempat laki-laki sedangkan ibu-ibu menuju ke tempat perempuan. Sebelum berpisah kami berjanji untuk bertemu lagi nanti di tempat berpisah itu, dan saling menunggu bila sudah selesai, supaya tidak susah saling cari mencari nanti.

Setelah kami selesai dengan pakaian ihram, kami mampir makan dulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Mekah Mukarramah. Setelah itu taxi langsung berangkat tanpa berhenti lagi, bila tidak ada gangguan dalam perjalanan. Setelah kami makan, kami kembali ke taxi, untuk melanjutkan perjalanan yang masih berjarak sekitar empatratus kilo meter lagi, untuk sampai ke Mekah Mukarramah. Alhamdulillah sore kami selamat sampai di hotel yang ditunjuk oleh Roem.

Saya langsung ke receptionist, menanyakan kamar kosong, dan kebetulan ada, karena waktu itu jemaah masih longgar. Setelah barang-barang kami masukkan ke kamar, kami pergi tawaf, sa`i dan tahlul, supaya bisa melepas pakaian ihram. Sesudah itu baru dapat melakukan segala kegiatan lainnya tanpa ada larangan Selesai tawaf dan lain-lain, kami kembali ke hotel, untuk tukar pakaian ihram dengan pakaian biasa. Saya tanyakan kepada room boy nama seseorang yang diberikan oleh Roem, apakah dia kenal ?.ya dia bilang benar nama itu adalah pegawai di sini. Dia tugas besok pagi sampai sore. Besok jam 7.00 sudah sampai disini, nanti saya kasi beritahu katanya.

Besok pagi orang tersebut datang kekamar kami. Dia bertanya, bapak yang bernama bapak Bustaman Rahim. Saya bilang ya. Dia bilang, bahwa dia mendapat telepon dari pak Roem dari Jedah minta mencarikan pondokan yang akan disewa sampai selesai musim haji.Apakah itu untuk bapak sekeluarga, tanyanya. Saya bilang, ya, untuk kami ber enam orang, apakah sudah ada, dan berapa sewanya ?.Dia bilang ada dua tempat sebagai cadangan, sebaiknya kita lihat dulu ke sana nanti sore, mana yang lebih cocok dan bisa langsung tawar menawar katanya.

Sore itu saya dan Syukbar pergi bersama orang tersebut melihat rumah yang akan kami sewa sampai selesai ibadah haji. Yang pertama adalah di kampug Gararah, letaknya dekat sekali dengan Mesjidil Haram. Bila kita tempuh jalan pintas hanya berjarak tidak sampai 200 meter, sudah sampai di tangga Mesjidil Haram. Rumah tersebut masih rumah tua terdiri dari beberapa lantai, sedangkan yang ditawarkan untuk kami adalah dilantai empat terdiri dari satu rungan tengah, kamar mandi dan dapur kecil. Disini air cukup. Rumah tersebut kepunyaan orang Banjarmasin yang sudah lama bermukim di situ. Beliau tinggal di lantai enam di rumah tersebut. Kami langsung diperkenalkan dengan pemilik dan sekaligus menanyakan harga sewa yang pasti.

Setelah itu kami pergi melihat rumah yang ke dua. Tempatnya agak jauh dari Mesjdil Haram, Cuma rumahnya lebih bagus dari yang pertama. Di situ ada dua ruangan agak besar, satu utuk ruangan tidur dan satu lagi untuk ruangan makan, ditambah dapur dan kamar mandi. air juga cukup. Harga sewa praktis dua kali dari sewa rumah yang pertama.

Kami tidak dapat memutuskan mana diantara ke dua pilihan tersebut, nanti akan kami rundingkan dulu dengan anggota rombongan lainnya. Kami kembali ke hotel, dan menyampaikan hasil kunjungan kami ke dua rumah tersebut, dan mana yang kita pilih. Saya katakan, kalau saya pribadi lebih baik memilih yang dekat dengan mesjid, walaupun dengan serba kekurangannya. Alasan saya adalah, karena kita berangkat jauh-jauh dengan biaya yang besar hanya untuk ibadah semata, semoga di terima oleh Allah Swt, sesuai dengan niat kita. Kalau mau bersenang-senang nanti di Indonesia kita bisa bersenang–senang sepuas- puasnya.

Mendengar penjelasan saya tersebut, yang lain setuju dan kita sepakat besok kita pindah ke sana, cukuplah hanya dua malam itu saja kita tinggal di hotel, perjalanan kita masih panjang, lebih kurang 90 hari lagi. Setelah dapat kata sepakat tersebut saya segera menelpon Roem menyampaikan bahwa kami sudah mendapat tempat di Gararah, kepunyaan orang Banjarmasin. Mendengar itu Roem senang, dan berjanji satu hari bila dia pergi ke Mekah Mukarramah akan mampir, melihat kami, katanya.

Besok pagi kami pindah ke sana dengan harapan, ada waktu ber bersih-bersih, sehingga sempat mempersiapkan perkakas masak, bahan-bahan mentah untuk di masak dan memasak sendiri untuk makan siang. Tidak lagi makan di restoran yang harganya di luar anggaran kami. Alhamdulillah target tersebut tercapai, sehingga kami sempat salat Zuhur berjamaah di Mesjidil Haram.

Sejak itu kami lebih senang berada di dalam Mesjidil Haram dari pada di rumah, karena tinggal di rumah situasinya juga tidak nyaman. Kadang-kadang kami mandi dan mencuci pakaian di kamar mandi di Mesjidil Haram. Sebagai orang Parit Putus kami anggap seperti orang pergi mandi ke lurah saja di kampung zaman dulu. Mungkin itu juga yang mendorong dan membantu saya, sehingga selama umrah sempat menamatkan 21 kali khatam Al Qur`an. Terhitung sejak saya menginjakkan kaki di Jedah sampai saya angkat kaki meninggalkan Jedah, kembali ke tanah air yang seluruhnya berjumlah 101 hari.

Keberangkatan kami semula mulus, kompak, bersaudara, saling pengertian, tiba-tiba cacat oleh sikap yang mungkin tidak disengaja yang di perlihatkan oleh Bunga. Di hari kedua kami tinggal di Gararah, kebetulan kami pulang salat Subuh dari Mejidil Haram tidak bersama. Syukbar dan isteri serta saya bersama isteri pulang lebih dahulu, sedangkan kakanda Nurbeiti dan Bunga pulang belakangan dan melalui jalur lain. Beliau sampai di rumah sudah jam 9.00 pagi, sambil membawa daging kambing bercampur dengan tulangnya. Bunga dengan bangga mengatakan bahwa dia pulang bertemu dengan orang yang sedang membagi-bagikan daging kambing. Ini saya bawa dan masaklah, katanya.

Kami waktu itu sedang beristirahat sambil tidur-tiduran dan berguyon diatas tikar masing-masing. Mendengar kata-kata itu, kami tersentak, tidak menyangka orang yang datang minta diikutkan dalam rombongan kami mengeluarkan perintah yang tidak sewajarnya itu. Tetapi tidak ada satu orang pun yang berani menjawab terang-terangan karena dia adalah sahabat kakanda Nurbeiti.

Tidak seorang pun yang menyinggung daging kambing tersebut apalagi untuk memasaknya. Isteri Syukbar mengatakan, memang kita ke sini untuk memasak kambing, biar saja dia masak sendiri dan makan sendiri daging kambing dengan tulang-tulangnya. Sejak itu posisi saya cukup sulit, karena antara rombongan terdapat perang dingin. Sebelumnya kami kalau masak bersama dan bergilir seperti di Medinah dan makan bersama-sama. Segala perbelanjaan dibagi sesuai dengan beban per kapita. Tidak ada yang mengomel, beribadah juga tenang dan khusuk.

Sejak pindah ke Gararah di Mekah Mukarramah itu boleh dikatakan tidak bertemu lagi suasana seperti di Medinah beberapa hari yang lalu. Apalagi setelah Bunga membawa daging kambing kerumah pagi itu. Memasak juga sudah menjadi dua kelopok. Yaitu isteri Syukbar dan isteri saya satu kelompok, kakanda Nurbeiti dan Bunga satu kelompok juga. Alhamdulillah situasi ini tidak berlangsung lama, berobah setelah Wijayanti dan Upik Sumarni datang dan bergabung dengan rombongan kami. Merekalah yang mengambil alih tugas memasak sebagai orang-orang muda diantara kami. Waktu itu Syukbar dan isterinya sudah pulang ke Indonesia, mereka tidak sampai menunggu selesai ibadah haji, karena jadwal isterinya mengajar sudah tiba.

Tidak sampai sebulan kami menyewa rumah di Gararah lantai empat, datanglah rombongan jemaah umrah dari Malaysia menyewa lantai tiga. Begitu mereka masuk, langsung bertandang kekamar kami, memperkenalkan diri. Mungkin mereka menyadari bahwa rombongan mereka jauh lebih muda dari rombongan kami yang semuanya sudah berumur diatas enam puluh tahun.

Dalam perkenalan tersebut diketahui bahwa rombongan mereka berasal dari Pulau Penang. Setelah mereka mengetahui bahwa saya dulu di zaman penjajahan Inggeris bersekolah di Johore Bahru, hubungan kami agak intim. Ketua rombongan itu mengenal keluarga Datuk Anwar Ibrahim. Hubungan lebih intim lagi setelah Hermen mengirimkan fotonya bersama dengan Dato Anwar dan isteri sewaktu dia berkunjung ke Kuala Lumpur tahun 1993. Waktu itu Datok Anwar Ibarhim masih menjabat Timbalan Perdana Menteri Malaysia.

14. Hermen bersama datuk Anwar Ibrahim

Waktu berjalan terus, saya pun tidak mau membuang-buang waktu yang sangat berharga di tanah suci. Waktu saya isi dengan pergi umrah sendirian dengan pergi ke Tan,im pulang, tawaf sampai selesai. Dirumah atau dimesjid selalu dengan Al Qur`an ditangan demi mencapai target antara 3 atau 4 hari khatam Al Qur`an sekali. Pada satu ketika kami mendapat informasi bahwa pemeriksaan jemaah umrah yang melebihi masa kunjungan diintensifkan. Bila bertemu, mereka akan ditangkap dan di deportasi ke negara masing- masing.

Untuk mengelabui lasykar pemeriksa, saya membeli pakaian gamis dua buah sedangkan ibu-ibu membeli pakaian hitam-hitam yang biasa di pakai oleh perempuan Iran. Karena takut akan tertangkap, waktu kami lebih banyak kami habiskan di dalam mesjid. Caranya kakanda Nurbeiti beribadah, selama di Mekah Mukarramah, saya perhatikan diluar dugaan. Sering beliau pergi sendirian ke Mesjidil Haram ditengah-tengah malam kira-kira jam 12.00 atau jam 1.00 malam, beliau menunggu di Mesjid sampai subuh, setelah salat Subuh beliau baru pulang kerumah. Memang jalan dari rumah tempat kami tinggal ke mesjid selalu terang benderang. Di tengah malam itu tukang pembersih jalan sudah mulai bekerja, demikian juga jemaah sudah banyak dijalan, toko-toko juga sebagian buka 24 jam.

Pada satu hari, rombongan umrah dari Malaysia yang menyewa di lantai tiga mampir ke tempat kami. Dia menceritakan bahwa sebentar lagi hari Arafah akan tiba, dia akan pergi mengurus penyewaan tenda untuk di Arafah dan di Mina, apakah kita akan bergabung ?. katanya. Setelah saya rundingkan dengan anggota yang lain, umumnya mereka menolak, dengan alasan biayanya cukup tinggi. Akhirnya kami putuskan untuk usaha sendiri, bagaimana orang lain, begitu kita berbuat. Melihat tekat kami tersebut mereka juga mengikuti kami dan kita akan bersama-sama katanya.

Sehari sebelum hari Arafah tiba, kami sudah berangkat ke Arafah dengan mencharter sebuah mobil yang memuat kami 14 orang , yaitu kami 6 orang dan rombongan dari Malaysia 8 orang. Disana kami mencari tempat yang kira-kira strategis dengan peralatan Sehari sebelum hari Arafah tiba, kami sudah berangkat ke Arafah dengan mencharter sebuah mobil yang memuat kami 14 orang , yaitu kami 6 orang dan rombongan dari Malaysia 8 orang. Disana kami mencari tempat yang kira-kira strategis dengan peralatan

Padang Arafah tahun 1993, sudah dipenuhi dengan tanaman-tanaman setinggi 5 sampai

10 meter. Berjarak tiap-tiap 40 meter ada pipa setinggi 3 meter yang sewaktu-waktu mampu menyemprotkan air ke sekelilingnya, mampu menjangkau diameter 20 meter. Terbayang oleh saya alangkah besarnya biaya yang dikeluarkan oleh Kerajaan Arab Saudi untuk menanam dan menghidupkan pohon di Padang Arafah. Disana air tawar tak akan di perdapat dengan menggali tanah, yang akan keluar bukan air tetapi minyak.

Air tawar di Arab Saudi adalah barang lux, sama mahalnya dengan harga mas. Air tawar di peroleh melalui sulingan air laut dengan proses dan instalasi yang rumit disamping biaya yang sangat tinggi. Air tawar dengan biaya tinggi tersebut yang mereka buang-buang untuk menyiram dan menyuburkan tanaman di Padang Arafah dan tempat-tempat lainnya. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk memberi ke sejukan bagi para tamu-tamu Allah dalam melaksanakan ibadah Haji. Ditilik dari segi itu, ber bahagialah kita bangsa Indonesia di beri Allah Swt, tanah yang subur, air tawar yang melimpah limpah, musim yang seimbang antara musim hujan dan musim panas. Subhanallah, Walhamdulillaah, Allahu Akbar.

Kami pilih tempat di pinggir tembok bangunan yang kebetulan dipinggirnya ada beberapa batang pohon. Dari dahan ke dahan pohon itulah kami bentangkan kain panjang dan kain ihram sebagai atap penahan panas selama di Padang Arafah. Di tempat-tempat tertentu kami perkukuh dengan menggunakan tali. Selesai wukuf di Arafah setelah Magrib kami berangkat ke Mina. Pada saat berangkat ke Mina, kami terpaksa ikut mobil tompangan dengan bersempit-sempit, bahkan yang laki-laki sampai naik diatas atap mobil untuk sampai di Mina dengan mampir di Muzdalifah. Itu adalah perjalanan yang sangat padat selama musim haji, berjalan kaki jauh lebih cepat dari pada naik mobil.

Di Mina kami memilih tempat di bawah jembatan yang aman berdekatan dengan tempat jumrah. Waktu itu pelaksanaan dam dan korban, sudah ada fatwa bahwa dam dan korban dapat dilakukan dengan menyetor uang kontan ke salah satu Bank nanti Bank itu yang akan melaksanakan dam dan korban tersebut di negara-negara miskin. Tidak seperti sebelumnya, dimana daging dam dan korban itu menggunung dan membusuk terbuang menjadi makanan burung-burung buas.

Kami tinggal di Mina selama tiga hari, menyelesaikan melempar jumrah dalam keadaan masih ber ihram. Waktu itu rombongan kami dan rombongan Malaysia sudah pisah. Mereka lebih dulu pergi ke Mekah, sedangkan kami belakangan. Kami berangkat ke Mekah untuk melaksanakan tawaf ifadah menggunakan kendaraan umum. Karena sekitar Mesjidil Haram masih penuh dengan umat, maka kendaraan umum terpaksa berhenti jauh dari Mesjidil Haram. Berarti kami harus berjalan kaki agak jauh juga untuk sampai ke Gararah tempat kami tinggal. Setelah kami tinggalkan barang bawaan kami di rumah, baru kami pergi tawaf ifadah hingga selesai.

Selesai tawaf ifadah, saya telepon Roem di Jedah memberitahukan bahwa semua rukun haji kami sudah selesai semuanya, dan mohon bantuan untuk booking pada kesempatan pertama ke Jakarta untuk 6 orang. Yaitu kakanda Nurbeiti bersama Upik Sumarni, Wijayhanti dan Bunga, ditambah saya dan isteri.. Dia bilang akan diusahakan, dan akan memberitahukan per telepon, supaya kami bersiap-siap melakukan tawaf wada dan langsung berangkat ke Jedah. Alhamadulillah tidak lama setelah itu kami berangkat pulang dengan membawa kenang-kenangan yang disebut nekat. Semoga ibadah umrah dan haji kami diterima sebagai umrah dan haji mabrur. Amin !...