BERANGKAT KE JAKARTA DENGAN SATU TEKAD (SEPTEMBER 1956)

13. BERANGKAT KE JAKARTA DENGAN SATU TEKAD (SEPTEMBER 1956)

Pulang dari rumah pak Marjohan sudah Magrib, karena saya mampir untuk makan malam dulu, di tempat yang biasa. Waktu membayar di kasir saya baru ingat bahwa uang untuk membayar sewa hotel selama dua malam sudah tidak cukup. Bahkan untuk makan di jalan juga sudah pas-pasan. Saya lupa minta uang pada Nawi Sutan Bandaro waktu pamit sore tadi. Sampai di hotel, saya kaget melihat isi koper kecil berisikan pakaian saya sudah acak-acakan. Saya periksa isinya, tidak ada yang hilang, karena memang tidak ada barang berharga di dalamnya. Hanya saja pena parker saya yang terselip di saku baju saya yang tergantung yang hilang. Saya melapor ke kantor hotel, tentang kejadian di kamar saya, selama beberapa jam saya tinggalkan keluar. Kejadian itu disesalkan oleh yang menerima laporan dan mencatatnya, setelah itu meninjau kekamar saya. Kejadian ini akan disampaikannya kepada pimpinan, untuk diselidiki dan ditindak lanjuti, katanya. Pada kesempatan itu saya sampaikan sekalian bahwa saya akan check out besok pagi, kembali ke Bukittinggi. Saya kehabisan uang dan mohon keringanan untuk membayar sewa kamar, setelah saya sampai di Bukittinggi, akan mengirimkannya dengan pos wesel ke alamat hotel ini di Medan. Permohonan ini mereka setujui, mungkin sebagai kompensasi atas kekecewaan saya kehilangan pena di hotelnya.

Besok jam 9.00 pagi bus berangkat dari Medan menuju Bukittinggi. Dalam perjalanan selama lebih kurang 34 jam, saya hanya makan nasi ramas saja dalam perjalanan, karena keuangan hanya cukup sampai di situ. Besok sore kami sudah sampai di Bukittinggi, saya turun di jalan karena bus akan melanjutkan perjalanannya ke Padang. Besok pagi saya pergi lagi ke tempat Kari Jiun berdagang daging di pasar Teleng Bukittinggi, menagih uang jasa saya sesuai dengan janji semula kepada saya. Kebetulan waktu itu dia belum datang, saya tunggu sebentar.

Setelah dia datang saya lihat dari raut mukanya, kelihatan tidak senang dengan kedatangan saya, seakan-akan saya mengemis kepadanya. Saya katakan, bahwa saya ini datang menagih hak saya sesuai dengan kewajiban saya yang sudah berhasil mendapatkan surat izin membawa ternak dari Padang ke Bukittinggi sebanyak 40 ekor setiap minggu. Keuntungannya sudah saudara nikmati dan hak saya belum saudara berikan. Apakah saudara mau bayar apa tidak, saya mengharapkan hak saya itu dibayar dengan ikhlas supaya ada berkahnya. Saya datang tidak untuk minta-minta atau mengemis. Dia minta maaf, karena dia menghadapi kesulitan keuangan di kampung, sehingga uang untuk saya terpakai kesana, katanya. Di waktu itu dia hanya memberikan satu jumlah yang masih jauh kurang dari perhitungan saya. Sisanya dia minta direlakan, karena dia tidak sanggup lagi membayarnya. Uang itu saya ambil dan permintaannya tidak saya jawab saya langsung pergi tanpa pamit sedikit pun.

Begitu dapat uang itu saya langsung ke kantor Pos untuk mengirim pos wesel ke hotel tempat saya menginap selama dua hari di Medan. Sisa nya saya hitung, lumayan cukup untuk tiket kapal laut seorang ke Jakarta dan uang belanja untuk jajan ala kadarnya Selesai mengirim pos wesel ke Medan, saya langsung pulang ke kampung menemui ibunda, karena sudah hampir lima belas hari saya tidak mengunjungi beliau. Saya katakan mungkin saya akan ke Jakarta lagi, karena setelah saya coba hidup dan berusaha di Bukittinggi selama Begitu dapat uang itu saya langsung ke kantor Pos untuk mengirim pos wesel ke hotel tempat saya menginap selama dua hari di Medan. Sisa nya saya hitung, lumayan cukup untuk tiket kapal laut seorang ke Jakarta dan uang belanja untuk jajan ala kadarnya Selesai mengirim pos wesel ke Medan, saya langsung pulang ke kampung menemui ibunda, karena sudah hampir lima belas hari saya tidak mengunjungi beliau. Saya katakan mungkin saya akan ke Jakarta lagi, karena setelah saya coba hidup dan berusaha di Bukittinggi selama

Lama kami ber bincang-bincang, karena sudah beberapa tahun tidak bertemu. Saya ceritakan masa-masa sukses yang saya lalui dan masa-masa gagal yang saya hadapi. Saya katakan, sekarang ini saya berada pada taraf yang sangat rendah dalam hidup saya, akibat kegagalan membawa daging sapi dari Padang ke Rengat baru-baru ini. Dari pen galaman selama ini saya berkesimpulan, bahwa saya harus meninggalkan Bukittinggi, dan berangkat ke Jakarta. Sebab kalau saya teruskan cara mencari uang seperti sekarang ini, maka uang yang dicari Insya Allah akan dapat, tetapi di waktu yang bersamaan dia akan hilang kembali. Umur saya akan habis dan mutar-mutar di situ saja. Oleh karena itu saya putuskan untuk berangkat ke Jakarta mencari sesuatu yang bila telah dapat tidak akan hilang bahkan akan bertambah yaitu ilmu

Mendengar tekad saya demikian maka beliau bertanya. Apakah rencana ini sudah dibicarakan dengan isteri kata beliau. Saya katakan sudah dan kami sudah sepakat untuk sama-sama pergi ke Jakarta. Selanjutnya beliau berkomentar, memang tidak ada orang yang kaya karena berspekulasi seperti yang kamu kerjakan selama ini. Dengan spekulasi bisa mendapatkan uang dengan mudah tetapi dapat juga menderita kerugian dengan mudah, tidak obahnya seperti orang berjudi. Ada pepatah Inggeris yang perlu diingat kata beliau “Rolling stone gather no moss”. Saya mendukung rencana kamu pergi ke Jakarta di situlah tempat berjuang hidup yang sesungguhnya. Tempat berkumpul orang-orang pintar dan orang-orang yang ulet-ulet penuh dengan tantangan. Anggaplah ke sana itu pergi hijrah. Nabi Besar Muhammad Saw, telah memberi contoh kepada kita, bahwa beliau baru sukses setelah hijrah dari Mekah ke Madinah. Kata-kata beliau ini saya pegang teguh-teguh. Sore baru kami berpisah, dan beliau pamit, karena besok akan kembali lagi ke Pekanbaru, belum tentu kapan bisa bertemu lagi.

Sampai di rumah isteri bertanya-tanya, karena saya pulang kampung tidak memberi tahu lebih dahulu, takut ada sesuatu kejadian yang menimpa saya. Saya ceritakan bahwa saya dikecewakan oleh Kari Jiun yang tidak membayar hak saya yang saya harap-harapkan untuk ongkos kita bertiga ke Jakarta, ternyata hanya diberi sedikit seperti kita menjadi pengemis saja. Saya takut kalau saya terus menerus meminta kepadanya akan terjadi hal-hal yang tidak diingini, yang merugikan kedua belah pihak. Selesai mengirim uang pembayar sewa hotel di Medan saya terus pulang kampung memberitahu ibunda dan nenek tentang rencana kepergian kita ke Jakarta. Kebetulan ada kakanda A. Tadjuddin, kami mengobrol lama, dan beliau akan kembali lagi ke Pekanbaru besok.

Malam itu kami berunding dengan istri, karena ada perobahan rencana. Semula bila uang tagihan dari Kari Jiun berhasil semuanya kami akan berangkat bertiga beranak. Tetapi buktinya, tagihan hanya berhasil sebagian kecil sekali sehingga mampu untuk membiayai Malam itu kami berunding dengan istri, karena ada perobahan rencana. Semula bila uang tagihan dari Kari Jiun berhasil semuanya kami akan berangkat bertiga beranak. Tetapi buktinya, tagihan hanya berhasil sebagian kecil sekali sehingga mampu untuk membiayai

Pagi besok saya sampaikan kepada pak Muli dan etek Ana tempat kami menyewa rumah di Jalan Atas Ngarai, bahwa kami akan ke Jakarta beberapa hari lagi. Besok kami akan pulang ke kampung dengan membawa barang-barang sekalian. Kami lunasi uang sewa untuk bulan itu dan menyampaikan terima kasih selama ini dan maaf bila selama ini ada kelakuan kami yang tidak berkenan di hati beliau berdua. Siang itu kami pulang kampung bertiga beranak, untuk memberitahukan kepada ibu mertua dan keluarga lainnya bahwa saya akan berangkat ke Jakarta sendirian. Sedangkan isteri dan anak menunggu di kampung dulu sampai mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Setelah mendapatkan pekerjaan akan segera di jemput untuk bersama-sama merantau ke Jakarta. Mendengar ini ibu mertua kelihatannya senang karena beliau tidak segera berpisah dengan cucu pertama beliau waktu itu.

Sorenya kami kembali ke Jalan Atas Ngarai, untuk berkemas-kemas karena besok pagi akan pindah lagi ke Kampung, setelah satu setengah tahun mengungsi dari Parit Putus ke Jalan Atas Ngarai. Setelah minum pagi, isteri, saya suruh pulang duluan pakai bendi sedangkan saya menunggu datang gerobak roda tiga, menjemput barang-barang kami yang terdiri dari satu tempat tidur besi dan kasur serta perlengkapannya. Tidak ada meja maupun kursi, atau lemari pakaian dan lain-lain, karena memang tidak punya perabot yang demikian.

Malam itu saya merasa asing lagi bermalam di rumah itu, ingat kejadian satu setengah tahun lalu, sewaktu saya menendang pintu kamar itu dengan kata-kata kasar yang dihadapkan kearah bapak tiri isteri yang selalu beranti pati kepada saya. Alhamdulillah, malam itu kelihatannya bapak tiri isteri sudah banyak berobah dibanding dengan tahun-tahun lalu. Mungkin sadar atau mungkin taktik sementara, karena mengetahui, bahwa kami toch, tidak akan lama tinggal di kampung. Malam itu kami lalui dalam suasana gembira dengan banyak canda dan tawa dengan famili isteri yang berkunjung ke rumah waktu itu.

Malam berikutnya merupakan malam terakhir bagi saya tinggal di rumah itu, karena besok siangnya saya akan berangkat ke Padang terus ke Jakarta sendirian. Sesuai dengan kesepakatan semula, isteri dan anak tinggal dulu di kampung, menunggu sampai dijemput setelah mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Tanpa sebab, isteri berobah pikiran, dia menangis mengatakan, dia tidak mau ditinggal dan akan pergi bersama dengan saya, walaupun apa yang akan terjadi di sana nanti, kita hadapi bersama katanya. Tekadnya ini saya hargai, dan berarti dia mempunyai percaya diri dan percaya kepada saya selaku suaminya bahwa dia tidak akan disia-siakan.

Untuk menenangkan istri, saya setuju kita pergi bersama-sama. Jadwal kapal masih ada beberapa hari lagi. Untuk ongkos kapal saya pinjam dulu gelang emas yang dibeli waktu pulang pergi ke Rengat dulu untuk dijual dan nanti kalau sudah ada uang kita beli lagi. Dia setuju, dan malam itu juga dia mengambil gelang emas itu dan menyerahkannya kepada Untuk menenangkan istri, saya setuju kita pergi bersama-sama. Jadwal kapal masih ada beberapa hari lagi. Untuk ongkos kapal saya pinjam dulu gelang emas yang dibeli waktu pulang pergi ke Rengat dulu untuk dijual dan nanti kalau sudah ada uang kita beli lagi. Dia setuju, dan malam itu juga dia mengambil gelang emas itu dan menyerahkannya kepada

Sebelum berangkat ke Padang besoknya, saya mampir dulu ke rumah ibunda dan nenek untuk pamit dan mohon doa semoga saya selamat dan ditunjuki Allah jalan yang diridhai Nya. Saya katakan si Lisma tidak jadi tinggal dia berangkat sekalian, tapi saya duluan ke Padang untuk membeli ticket. Beliau berpesan supaya kami suami isteri berdamai-damai saja dirantau orang, karena dalam rumah tangga yang damai, Insya Allah rezki akan datang kata beliau. Tidak lupa beliau mengatakan, nanti si Chairman kalau sudah lulus SMA saya suruh dia ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya. Doakan ibunda semoga Allah memberikan rezki kepada kami, untuk melanjutkan sekolah Chairman nanti, kata saya.

Sampai di Padang saya mulai menawar-nawarkan gelang mas yang saya bawa dari Bukittinggi. Umumnya toko emas itu menanyakan surat pembeliannya dulu. Kalau tidak dapat memperlihatkan surat pembelian mereka takut membelinya kalau-kalau gelang yang ditawarkan itu dapat curian. Ada yang berani membeli, tetapi dengan harga tawaran yang murah sekali. Saya tidak berani memutuskan untuk menjualnya, sebaiknya saya tunggu isteri datang, mudah-mudahan masih ada surat pembelian dulu. Dua hari setelah itu, isteri dan anak pun datang bersama ibunda mertua ke rumah mamanda Jurid. Saya katakan bahwa gelang emas itu hanya ditawar sekian oleh toko emas. Tetapi bila ada surat pembelian dulu dia berani menambah menjadi sekian. Istri mengatakan sudah lupa dimana surat pembelian dulu disimpan, kalau begitu terpaksa dijual saja berapa ditawar orang supaya kita bisa berangkat, katanya. Dengan keterangan itu berati isteri sudah ikhlas barang emasnya dijual untuk ongkos ke Jakarta.

Saya bawa gelang emas itu kembali ke toko emas di Padang yang pernah menawar dulu. Dalam perjalan ke toko emas itu, saya liwat Hotel Makudun. Saya pikir sekalian mampir untuk pamit dengan Datuk Makudun yang saya pernah kenal dulu di Bukittinggi dan pernah membawa Kari Jiun membeli ternak dari dia sebanyak 40 ekor tiap-tiap minggu. Begitu saya masuk ruangan kerjanya, dan melihat saya, dia langsung menyapa saya, “kemana saja Naro” katanya, “kenapa tidak pernah mampir-mampir lagi”. Saya katakan, “saya mampir kesini sekalian mau pamit dengan pak Datuk, saya mau ke Jakarta dengan keluarga, mungkin lama lagi kita bertemu”. “Rupanya mau pindah habis ini” katanya.

Sambil berbicara itu dia membuka laci mejanya, sambil menunduk-nunduk, tidak lama setelah itu ditangannya ada emplop dan mengatakan, “kalau begitu ini ada uang sedikit untuk beli air di jalan dengan anak-anak nanti, katanya”. Saya menolak sedikit berbasa-basi, walaupun dalam hati sangat butuh. Akhirnya saya terima emplop itu. Tidak lama kami berbincang-bincang, saya pamit sambil mengucapkan terima kasih dan maaf, kalau ada Sambil berbicara itu dia membuka laci mejanya, sambil menunduk-nunduk, tidak lama setelah itu ditangannya ada emplop dan mengatakan, “kalau begitu ini ada uang sedikit untuk beli air di jalan dengan anak-anak nanti, katanya”. Saya menolak sedikit berbasa-basi, walaupun dalam hati sangat butuh. Akhirnya saya terima emplop itu. Tidak lama kami berbincang-bincang, saya pamit sambil mengucapkan terima kasih dan maaf, kalau ada

Di tempat yang agak sepi dan jauh dari Hotel Makudun saya buka emplop itu dan hitung uang yang ada di dalamnya. Allaahu Akbar, ternyata isinya lebih besar dari nilai gelang emas yang ditawar toko emas beberapa hari yang lalu. Memang rezki, kalau sudah ditentukan Allah tidak kemana. Kalau bukan rezki sekalipun sudah dijanjikan oleh Kari Jiun untuk memberikan uang jasa buat saya, tenyata dia berbelit-belit untuk ingkar janji. Sedangkan dengan Datuk Makudun tidak pernah dia berjanji tetapi dia sisihkan juga rezki buat saya akibat transaksinya dengan Kari Jiun yang saya perkenalkan beberapa bulan yang lalu.

Setelah mengetahui isi emplop itu saya tidak jadi pergi ke toko emas untuk menjual gelang isteri, tapi langsung ke Teluk Bayur membeli tiga buah ticket ke Jakarta yang akan berangkat dua hari lagi. Setelah ticket dibeli, ternyata uang sisanya masih cukup untuk membeli susu anak dan keperluan dapur beberapa hari di Jakarta. Setelah sampai di rumah saya ceritakan kepada isteri, tentang Rachmat Allah yang diberikan Nya kepada kami sambil mengembalikan gelang emasnya, kelihatan berkaca-kaca matanya tanda bersyukur kepada Allah Swt, yang telah melepaskan kami dari satu kesulitan yang rumit itu.

Bekerja di PT Tritunggal (Distributor Ban Goodyear)

Dengan membaca Bismillaahirahmaanirrahiim, kami berangkat ke Jakarta tiga beranak. Beban yang kami bawa adalah sebuah kasur bujang ukuran kecil, sebuah koper besi kecil berisi pakaian kami bertiga, dan sebuah tentengan berisi pakaian anak yang masih berumur 9 bulan. Kasur dan koper besi kecil menjadi beban saya sedangkan beban isteri adalah menggendong anak beserta satu tentengan. Alhamdulillah, setelah berlayar selama tiga malam dan tiga hari, kami selamat sampai di Tanjung Priok. Kebetulan isteri tidak mabuk- mabuk dan sikecil pun tidak cengeng di atas kapal,. walupun itu baru pertama kali mereka berlayar.

Waktu turun kapal kami pilih belakangan menunggu orang sepi dulu, karena jika turun buru-buru orang berdesak-desakan sedangkan kami membawa bayi dan beban yang dipikul sendiri. Tidak terpikirkan untuk mengupahkan membawa barang-barang itu kepada kuli angkut yang banyak berdatangan ke atas kapal. Setelah sepi penumpang turun, kami mulai berjalan pelahan-lahan menuruni tangga kapal yang agak goyang itu.

Sampai di bawah tangga, kebetulan saya bertemu dengan seorang teman, orang kecamatan kita juga, dengan kunci mobil di tangannya sedang menunggu orang tuanya dari kampung. Rupanya orang tuanya tidak jadi datang, dan permisi duluan pulang ke Jakarta katanya. Saya tadinya berpikiran dan berharap dia menawarkan kepada kami, yang sedang repot membawa barang-barang beserta seorang bayi untuk ikut mobilnya dan mengantarkan ke alamat yang kami tuju. Ternyata tidak, dan sayapun tidak berkeinginan pula meminta bantuan kepada orang yang kurang berbudi demikian. Allah Swt memperlihatkan kebesarannya. Berpuluh tahun kemudian orang itu datang kepada saya minta tolong agar anaknya, seorang gadis diterima bekerja di Kantor Akuntan yang saya pimpin. Tanpa pikir panjang dengan senang hati dia saya terima bekerja sampai dia mengudurkan diri, karena Sampai di bawah tangga, kebetulan saya bertemu dengan seorang teman, orang kecamatan kita juga, dengan kunci mobil di tangannya sedang menunggu orang tuanya dari kampung. Rupanya orang tuanya tidak jadi datang, dan permisi duluan pulang ke Jakarta katanya. Saya tadinya berpikiran dan berharap dia menawarkan kepada kami, yang sedang repot membawa barang-barang beserta seorang bayi untuk ikut mobilnya dan mengantarkan ke alamat yang kami tuju. Ternyata tidak, dan sayapun tidak berkeinginan pula meminta bantuan kepada orang yang kurang berbudi demikian. Allah Swt memperlihatkan kebesarannya. Berpuluh tahun kemudian orang itu datang kepada saya minta tolong agar anaknya, seorang gadis diterima bekerja di Kantor Akuntan yang saya pimpin. Tanpa pikir panjang dengan senang hati dia saya terima bekerja sampai dia mengudurkan diri, karena

Di dalam pelabuhan tidak ada kendaraan umum, kecuali taksi dan bus-bus instansi yang sedang menunggu anggotanya, seperti bus Angkatan Laut, bus Angkatan Darat dan lain-lain. Terpaksa kami berjalan kaki menuju kendaraan umum yang jaraknya kira-kira 2 kilo meter dari pelabuhan tempat kami turun tadi. Alhamdulillah, setelah berjalan kira-kira 5 menit ada truk berhenti dekat kami. Sopirnya menawarkan kepada kami, agar isteri dan anak beserta kasur dan koper dititipkan saja di atas truknya, sedangkan saya sendiri berjalan kaki. Nanti saya turunkan isteri bapak dan barang-barang di hadapan stasiun Tanjung Priok katanya. Kasihan anak kecil, nanti sakit kalau diajak jalan kaki di panas panas begini katanya. Sampai sekarang, di umur senja begini saya masih ingat budi baik seorang sopir truk, yang tidak mempunyai pendidikan yang lumayan. Semoga Allah menerima amal baiknya dan membalasnya berlipat ganda khusus kepada kami beberapa puluh tahun lalu. Amin!

Ada kira-kira setengah jam saya berjalan kaki menuju stasiun Tanjungpriok, dari jauh sudah kelihatan isteri dan anak sedang menunggu. Di hadapan stasiun Tanjungpriok sudah banyak kendaraan umum, seperti beca, delman dan lain-lain. Kami naik delman menuju Jalan Geneng ke rumah mamanda Yubhar. Rumah mamanda Yubhar, selalu terbuka menerima tumpangan orang-orang dari kampung, tidak saja dari Parit Putus bahkan dari kampung lain sekalipun. Apalagi Lisma adalah anak dari kakak beliau Ginam yang tidak mungkin beliau tolak.

Sampai d irumah, mamanda Yubhar belum pulang dari kantor. Isteri beliau etek Jalisah menyediakan kamar untuk kami.Waktu kami sedang minum teh, etek Jalisah mengatakan, beberapa hari yang lalu ada tamu datang mencari saya kerumah ini namanya Syarif Johan. Dia berpesan kalau Bustaman sudah datang supaya menghubungi dia di PT Tritunggal Jalan Cikini Raya dekat pintu masuk Dewan Kesenian sekarang. Besok pagi saya pergi menemui pak Syarif Johan dengan menompang kereta api listrik, turun di perhentian Gondangdia. Berjalan kaki agak satu kilometer, kira-kira duapuluh menit sudah sampai di kantor pak Syarif Johan. Alhamdulilah beliau ada, dan gembira saya sudah datang. Berbasa basi sebentar, langsung beliau mengatakan bahwa di kantor itu ada lowongan untuk di bagian pembukuan dan lain-lain. Beliau tidak menyebut gaji, kalau mau besok boleh mulai bekerja kata beliau. Pucuk dicinta ulam tiba, kata orang. Saya katakan, memang saya ke Jakarta untuk mencari kerja, kalau bisa sore mau belajar lagi. Saya senang sekali kembali menjadi pembantu pak Syarif Johan, karena sudah berpengalaman selama lebih kurang satu tahun di PT Nusantara Bukittinggi. Insya Allah, mulai besok saya sudah menjadi pegawai PT Tritunggal.

Selesai bertemu dengan pak Syarif Johan saya mampir dulu ke toko dan hotel kakanda Nurbeiti yaitu di Jalan Cikini Raya No. 31 Pojok antara Jalan Cikini Raya dengan Jalan Raden Saleh. Beliau beri nama toko dan hotel itu Toko Ende dan Hotel Ende, mungkin kependekan dari Nurbeiti Djohar, Allah aklam. Yang ada di toko waktu itu kakanda Nurbeiti sedangkan kakanda Johar sedang ke luar. Beliau senang mendengar bahwa kami sudah kembali ke Jakarta dan sudah dapat pekerjaan. Beliau minta supaya sering-sering mampir ke toko beliau, dan kebetulan berdekatan.

Sudah makan siang di situ, saya pamit untuk kembali lagi ke Tanjung Priok. Sebelum pulang ke rumah, saya mampir dulu di toko pecah belah membeli satu kotak-kotak untuk pembawa nasi ke kantor, persiapan makan siang. Sesampai dirumah, mamanda Yubhar juga baru datang dari kantor beliau di Jalan Gunung Sari. Saya ceritakan bahwa saya disuruh datang oleh pak Syarif Johan bekas atasan saya dulu di Bukittinggi, dan kebetulan di kantornya yang sekarang ada lowongan kerja, dan saya diterima bekerja di situ.

Akhir bulan saya dipanggil oleh pak Syarif Johan ke meja beliau. Dengan sedih beliau mengatakan, bahwa direksi hanya menyetujui gaji saya sekian, sedangkan yang saya ajukan adalah sekian, kata beliau, sambil menyerahkan uang tersebut kepada saya. Saya katakan tidak apa-apa pak, siapa tahu bulan depan beliau bersedia menaikkan, kata saya. Namun demikan pak Syarif Johan menyuruh saya mencari pekerjaan di tempat lain, karena beliau tidak rela saya mendapat gaji sebesar itu.

Bekerja di PT Teknik Umum di Bagian Pembukuan

Kebetulan waktu itu baru kira-kira jam 11.00 siang. Saya ingat PT Teknik Umum tempat pak Ibrahim Sati bekerja, di Jalan Asem Lama. Saya permisi sebentar kepada pak Syarif Johan untuk pergi ke luar, dan beliau izinkan. Saya naik beca ke Jalan Asemlama yang tidak begitu jauh dari Jalan Cikini Raya. Sebetulnya yang ingin saya temui di situ adalah Ibrahim Sati, orang Pasir satu kecamatan dengan kita. Tidak disengaja bertemu juga dengan Hasan Sukardi yang menjadi atasan Ibrahim Sati di Bagian Pembukuan. Hasan Sukardi adalah teman lama waktu kursus tata-buku A dengan Amran Bustam dulu tahun 1952. Dia menawarkan bekerja di PT Teknik Umum dengan gaji hampir tiga kali lipat dari gaji yang diberikan di PT Tritunggal. Kalau mau, sekarang mari kita pergi menemui kepala Pembukuan dan Keuangan pak Darono katanya. Lagi-lagi Allah memperlihatkan kebesaran Nya, kata saya di dalam hati. Tentu saja tawaran emas ini saya terima, dan kami menemui pak Darono yang baru saja kembali dari istirahat makan siang. Hasan Sukardi memperkenalkan saya kepada pak Darono, bahwa saya teman kursusnya dulu di Amran Bustam, sekarang bekerja di PT Tritunggal. Saya ajak dia bekerja disini dan dia mau. Makanya dia saya perkenalkan kepada Bapak.

Pak Darono tidak banyak tanya, hanya mengatakan, memang kita memerlukan beberapa orang juru buku yang akan di tempatkan di kantor–kantor cabang PT Teknik Umum. Kalau memang mau, nanti bekerja disini satu atau dua bulan setelah itu dipindahkan ke cabang Bandung atau cabang Surabaya. Gaji disini menggunakan sistem angka index yang diadakan penyesuaian sekali tiap enam bulan, di luar kenaikan berkala yang diadakan setahun sekali. Standar gaji permulaan untuk juru buku adalah sekian, sama dengan jumlah yang dikatakan Hasan Sukardi kepada saya sebelumnya. Kalau bersedia, besok bisa mulai bekerja dan bawa lamaran sekalian. Saya katakan, saya terima pak dan saya berterima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya, mudah-mudahan saya tidak mengecewakan Bapak, setelah itu saya pamit. Hasan Sukardi masih berbicara dengan pak Darono di kamar nya.

Saya menunggu Hasan Sukardi di luar sambil mengobrol dengan Ibrahim Sati yang sudah lama tidak bertemu. Tidak lama Hasan Sukardi ke luar ruangan pak Darono dan saya pamit kepadanya, mengatakan saya besok pagi datang membawa lamaran sekalian. Dari situ Saya menunggu Hasan Sukardi di luar sambil mengobrol dengan Ibrahim Sati yang sudah lama tidak bertemu. Tidak lama Hasan Sukardi ke luar ruangan pak Darono dan saya pamit kepadanya, mengatakan saya besok pagi datang membawa lamaran sekalian. Dari situ

Pindah ke Cabang PT Teknik Umum Bandung di Bagian Pembukuan

PT Teknik Umum adalah salah satu perusahaan Nasional Pribumi yang terbesar di waktu itu. Pemiliknya terdiri dari beberapa orang tokoh, dan pengusaha berasal dari Jawa Barat dan seorang dari Sumatra Barat. Diantara tokoh tokoh dari Jabar Barat, seperti pak Ir, Ukar Bratakusumah mantan Rektor Institut Teknologi Bandung tahun enampuluhan, dan pak Dr Ateng, anggota Dewan Konsituante dalam tahun limapuluhan. Sedangkan dari pihak pengusaha seperti, pak Eddy Kowara, mantan besan pak Harto, dan pak Harlan Bekti mantan ketua International Labour Organisation di tahun enam puluhan. Pak Suwarma pengusaha terkenal di Jawa Barat dan pemegang keagenan tunggal mobil merk Mersedez waktu itu, dan pak Agus satu-satunya pengusaha yang berasal dari Sumatera Barat.

Bidang usaha PT Teknik Umum yang utama adalah instalatur listrik, air, lift. air con dition, dan lain-lain. Tiap-tiap ada bangunan yang besar-besar dan bertingkat di situ terlihat papan nama betuliskan, “Instalatur listrik, air, dan lift oleh PT Teknik Umum” Selain bidang instalatur, PT Teknik Umum juga agen tunggal Pabrik Siemens dari Jerman Barat untuk alat-alat listrik arus kuat dan alat-alat kedokteran. Bidang Perdagangan PT Teknik Umum juga aktif dalam importir maupun untuk barang-barang yang diperdagangkan sendiri, maupun melakukan import untuk kepentingan pesanan pihak ketiga.

PT Teknik Umum telah mempunyai cabang di kota-kota besar di dalam negeri dan mempunyai perwakilan di Jerman Barat. Kantor Cabang yang ada waktu itu adalah di Bandung, Surabaya, Jogyakarta, Banjarmasin, Palembang dan Medan.

Tanggal 1 Nopember 1956, saya mulai bekerja di PT Teknik Umum Pusat, yang berkantor di Jalan Asemlama No. 76 Jakarta Pusat. Sesuai dengan pesan pak Darono, kepala Pembukuan dan Keuangan Pusat, bahwa saya akan dipersiapkan untuk di tempatkan di PT Teknik Umum Cabang Bandung. Dengan demikian, saya di kantor Pusat adalah untuk magang dan menguasai system pembukuan yang telah dirancang di kantor Pusat untuk nanti diseragamkan dengan kantor-kantor Cabang yang tersebar diseluruh Indonesia. Hasan Sukardi minta kepada Ibrahim Sati, untuk melatih saya dan memberi petunjuk-petunjuk pelaksanaan pembukuan dengan menggunakan kode rekening (rekening stelsel) berikut buku-buku pembantunya. Ibrahim Sati waktu itu telah mempunyai ijazah Tata Buku B dari Bond dan sedang mengambil kursus APM di Koster Jalan Cikini Raya. Setelah dua bulan saya magang di kantor Pusat, saya ditugaskan oleh pak Darono bersama Ibrahim Sati meninjau pelaksanaan pembukuan di Cabang Bandung, sekalian memperkenalkan saya dengan Kepala Cabang dan Kepala Pembukuan disitu.

Besoknya kami berangkat ke Bandung dengan kereta api. Dalam perjalanan, Ibrahim Sati menasehati saya, nanti kalau sudah tetap di Bandung, usahakan untuk mengambil kursus tata-buku B dan ikut ujian Bond. Walaupun bagaimana ijazah Bond B itu sangat perlu untuk mendukung karir kita, tidak saja di PT Teknik Umum, tetapi juga di perusahan-perusahaan lain nanti. Beliau memberi contoh, ibarat orang berpakaian, kalau kita hanya mempunyai satu stel pakaian, kalau yang satu stel itu kotor, tentu kita tunggu dulu kering baru kita bisa berpakaian lagi. Tetapi kalau kita mempunyai dua atau tiga stel pakaian, bila yang satu di cuci, masih ada pakaian lain yang bisa dipakai. Demikian juga ilmu, bila kita mempunyai beberapa keterampilan, bila yang satu tidak diperlukan orang mungkin yang lain diperlukan orang, jadi kita masih bisa bekerja dengan ilmu yang lain..

Kami sampai di Bandung sudah sore, dan kami naik beca ke Alun-alun dan menginap di hotel Indra. Kami pilih hotel Indra karena lokasinya di pusat keramaian Kota Bandung, dekat tempat makan dan pertokoan. Besoknya kami naik beca ke Kantor Cabang PT Teknik Umum Bandung di Jalan Dr. Otten. Kantor Cabang Bandung termasuk salah satu kantor cabang yang terbesar, dan dipimpin oleh seorang Direktur, dan seorang Kepala Cabang. Sedangkan di cabang-cabang lain hanya dipimpin oleh seorang Kepala Cabang saja.

Sampai di kantor saya dikenalkan dengan pak Agus, salah seorang Direktur di PT Teknik Umum. Pak Agus berasal dari Matur, Sumatera Barat dan beristerikan, orang dari Jawa Barat. Dengan pak Agus kami bicara-bicara sebentar, beliau menanyakan kampung saya dan lain-lain. Beliau memperhatikan pakaian saya dari atas sampai ke bawah yang masih lusuh dan kurang rapi dibanding dengan pegawai-pegawai lain. Maklum, karena masih belum mampu dan belum sempat untuk memperbaiki diri, setelah menderita kegagalan di Bukittinggi. Penilaian ini dapat saya baca dari cara beliau memandang saya sejak mulai dari berkenalan sampai pamit untuk berkenalan dengan Kepala Cabang. Dari ruangan pak Agus kami menuju ruangan pak Handiamihardja yang menjadi kepala Cabang Bandung waktu itu. Di ruangan pak Handiamiharja ini kami dikenalkan dengan Husein Yusuf yang menjadi Kepala Bagian Pembukuan dan Keuangan Cabang Bandung.

Rupanya tentang kepindahan saya ke Cabang Bandung ini sudah dibicarakan tingkat pimpinan di Bandung, karena HuseinYusuf langsung saja menanyakan kepada saya, kapan akan mulai bertugas di Bandung katanya. Rumah untuk ditempati sudah disediakan, yaitu bekas rumah pribadi pak Handiamihardja di Cigereleng, atau Mohamad Toha sekarang, kira- kira 3 kilometer dari kantor. Besok kita sama-sama melihat rumah itu katanya. Kami mengharapkan dapat segera pindah ke Bandung, karena sedang mempersiapkan penutupan tahun buku l956 katanya. Saya katakan bahwa saya akan melaporkan hasil kunjungan ini ke pak Darono di Jakarta, dan terserah pada putusan beliau. Saya sendiri sudah siap kapan saja ditugaskan, saya berangkat, kata saya. Selesai berkenalan dan berbasa basi sebentar di kamar pak Handiamiharja, saya diajak ke tempat kerja Husein Yusuf, dia menjelaskan pekerjaan yang akan diserahkan kepada saya nanti, bila sudah berada di Bandung. Kami perhatikan satu persatu bersama dengan Ibrahim Sati. Dari hasil peninjauan tersebut kami sudah mengambil kesimpulan bahwa banyak pekerjaan selama ini yang ditunda-tunda, sehingga menumpuk, karena kurangnya tenaga di bagian Pembukuan. Ibrahim Sati ikut ke Bandung bukan hanya untuk memperkenalkan saya tetapi ada tugas khusus, yaitu mencocokkan angka-angka rekening koran antara Cabang Bandung dengan Kantor Pusat.

Kami ada di kantor sampai jam 2.30 siang, dan pulang ke hotel dengan diantar dengan mobil kantor, bersamaan dengan pegawai-pegawai lainnya. Besok pagi kami disuruh menunggu saja di hotel, karena akan dijemput dengan mobil kantor, setelah mengantarkan pegawai-pegawai kira-kira jam 8.30 pagi. Secara umum, ada sedikit perbedaan suasana antara kantor Cabang Bandung dengan kantor Pusat Jakarta adalah dalam segi bahasa. Umumnya komunikasi antara pegawai, biasanya dilakukan dengan menggunakan bahasa Belanda, karena kebanyakan pegawai di kantor Bandung berasal dari Indo Belanda, sedangkan yang bukan Indo Belanda mereka menggunakan bahasa Sunda. Bagi saya, kedua bahasa tersebut masih pasif. Mengenai masalah ini saya jadikan tantangan untuk memicu diri supaya bisa aktif dalam beberapa tahun mendatang.

Besoknya kami sampai di kantor. Ibrahim Sati melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai. Sedangkan saya pergi dengan Husein Yusuf melihat rumah yang sudah disediakan untuk saya tempati, bila jadi dipindahkan ke Bandung nanti. Rumah itu, rumah panggung, terbuat dari kayu dan papan, mempunyai dua kamar tidur, satu ruangan tengah dan ruangan tamu, serta dapur dengan air dari sumur. Halaman cukup luas, kanan dan kiri rumah. Untuk kami, keluarga kecil cukup memuaskan, sekalipun terletak didalam gang, kira-kira 60 meter masuk dari Jalan Cigereleng, sebelum Gardu Induk PLN. Sekembali dari melihat rumah itu saya langsung menghadap pak Handiamiharja, mengatakan bahwa kami sudah pergi melihat rumah di Jalan Cigereleng itu, dan saya akan sampaikan kepada pak Darono bahwa kepala cabang Bandung sudah menyiapkan rumah untuk kami tempati. Bersamaan dengan itu, Ibrahim Sati sudah selesai dengan tugasnya, berarti kami sudah bisa pamit untuk kembali ke Jakarta siang itu.

Sampai di Jakarta, saya melapor kepada pak Darono, bahwa sudah disediakan rumah untuk saya. Kepala cabang Bandung mengharapkan saya dapat bertugas di Bandung dalam waktu pendek, karena untuk menghadapi penutupan tahun buku l956. Sebelum beliau menjawab laporan saya, beliau memanggil Hasan Sukardi, menanyakan bagaimana pandangan Hasan Sukardi terhadap kesiapan saya untuk dipindahkan ke Bandung dari segi teknis pekerjaan. Kalau belum siap nanti di sana akan menghadapi kesulitan. Hasan Sukardi menilai saya sudah siap, melihat dari keseriusan saya selama dua bulan di kantor Pusat. Pak Darono menyuruh Hasan Sukardi menyiapkan Surat Keputusan kepindahan saya ke cabang Bandung terhitung tanggal 5 hari kedepan, karena saya diberi waktu 5 hari untuk meneyelesaikan segala sesuatu di Jakarta. Kesempatan itu saya gunakan untuk mengunjungi orang-orang yang patut saya temui, memberitahukan tentang kepindahan saya ini, khusus kepada kakanda Nurbeiti di Cikini Raya 31. Selama 5 hari itu saya tetap datang ke kantor, hanya saja tidak sampai sore, sambil menunggu surat Keputusan saya terima.

Waktu itu Chairman, baru saja mulai kuliah di Unversitas Indonesia jurusan Sastra Inggeris. Selama kuliah Chairman mendapat tugas, pulang kuliah setiap hari mampir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, mengambil susu untuk anak yang waktu itu dianggap kekurangan gizi. Satu ketika Chairman saya suruh mengirim uang ke Koperasi di Kampung untuk melunasi utang kami yang masih bersisa. Ternyata, mungkin sedang sial, uang yang akan dikirim itu dicopet orang di atas bus, jadi dia pulang hanya membawa sebotol susu saja dari Rumah Sakit. Setelah Chairman tahu bahwa saya akan pindah ke Bandung, maka Waktu itu Chairman, baru saja mulai kuliah di Unversitas Indonesia jurusan Sastra Inggeris. Selama kuliah Chairman mendapat tugas, pulang kuliah setiap hari mampir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, mengambil susu untuk anak yang waktu itu dianggap kekurangan gizi. Satu ketika Chairman saya suruh mengirim uang ke Koperasi di Kampung untuk melunasi utang kami yang masih bersisa. Ternyata, mungkin sedang sial, uang yang akan dikirim itu dicopet orang di atas bus, jadi dia pulang hanya membawa sebotol susu saja dari Rumah Sakit. Setelah Chairman tahu bahwa saya akan pindah ke Bandung, maka

Mengikuti Kursus Tata Buku B dan Lulus Ujian Bond

Sampai di Bandung, kami langsung ke rumah yang sudah disediakan untuk kami, di Jalan Cigereleng. Kunci rumah dititipkan di rumah pak Pakih yang juga pegawai PT Teknik Umum di bagian instalasi, yang bersebelahan dengan rumah yang akan kami tempati. Selesai masuk ke rumah, saya keluar dulu untuk membeli beberapa lembar tikar dan beberapa buah bantal untuk tempat duduk dan untuk tidur sampai akhir bulan. Besoknya isteri pergi membeli perlengkapan dapur ala kadarnya. Akhir bulan, baru mampu membeli kursi tamu dari rotan, dan beberapa buah kasur untuk kami bertiga.

Besoknya saya pergi ke kantor naik beca dan menyerahkan surat kepindahan saya, kepada pak Handiamiharja. Pak Handiamiharja memanggil HuseinYusuf sambil menyerahkan Surat Kepindahan saya, yang nantinya akan berada langsung dibawah Husein Yusuf di bagian pembukuan. Rupanya meja kerja untuk saya juga sudah disiapkan yaitu bersebelahan dengan meja kerja HuseinYusuf. Hari itu kami banyak berbincang-bincang tentang pekerjaan, dan saya juga belum mulai bekerja kecuali melihat-lihat dan mempelajari semua berkas-berkas yang diserahkan kepada saya. Besok saya baru mulai bekerja dengan tekun, sampai beberapa bulan kedepan untuk mengejar ketinggalan pekerjaan selama ini. Alhamdulillah untuk pulang pergi ke kantor ada jemputan, ini juga menguntungkan saya untuk lebih cepat membaur dengan teman sekerja lainnya. Dalam waktu pendek saya sudah intim dengan sebagian besar pegawai di cabang Bandung.

Setelah selesai pekerjaan yang tertinggal, dan setelah selesai penutupan buku tahun buku 1956, maka saya sudah agak lega, sudah banyak waktu senggang, baik di waktu jam kerja maupun di luar jam kerja. Apalagi saya sudah diberi pinjam inventaris kendaraan roda dua merk Dukati, sejenis Honda sekarang. Berarti mobilitas saya sudah mulai tinggi.

Salah satu hari Minggu, saya bertamu ke tempat tinggal pak Munar, yang dikenal oleh anak-anak dengan panggilan paktuo Samiaji, karena sekarang beliau tinggal di Jalan Samiaji No. 28. Dulu waktu itu beliau tinggal di salah satu hotel di jalan Pungkur. Beliau bekerja di Perusahaan Telepon dan Telegram (PTT) atau Perum Telekomunikasi sekarang. Beliau pindahan dari PTT Bukittinggi ke Bandung, karena belum ada rumah dinas, maka untuk sementara PTT menyediakan hotel tempat tinggal beliau sekeluarga. Saya tahu beliau tinggal di situ, karena dulu sewaktu masih mengurus tunjangan onderstand pejuang kemerdekaan pernah mengantarkan kiriman ibu mertua beliau ke hotel itu.

Kebetulan beliau ada, dan kaget saya sudah ada di Bandung lagi. Saya ceritakan jalan hidup saya selama 2 -3 tahun tidak bertemu beliau. Beliau bersyukur sekarang sudah bekerja di PT Teknik Umum yang juga adalah salah satu langganan dari PTT baik dalam bidang instalatur maupun supply barang-barang teknik. Dari pak Munar saya mengetahui bahwa Syafri Yacob, salah seorang saudara satu Datok dengan saya. Dia orang dari desa Pasir di Kebetulan beliau ada, dan kaget saya sudah ada di Bandung lagi. Saya ceritakan jalan hidup saya selama 2 -3 tahun tidak bertemu beliau. Beliau bersyukur sekarang sudah bekerja di PT Teknik Umum yang juga adalah salah satu langganan dari PTT baik dalam bidang instalatur maupun supply barang-barang teknik. Dari pak Munar saya mengetahui bahwa Syafri Yacob, salah seorang saudara satu Datok dengan saya. Dia orang dari desa Pasir di

Pak Munar senang sekali bercerita tentang politik yang terjadi dan hangat dibicarakan waktu itu. Kebetulan awal tahun 1957, yang menjadi berita hangat adalah peristiwa Dewan Banteng yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husen dari Sumatera Barat, dan Kolonel Simbolon dari Sumatera Utara. Dewan Banteng semula adalah merupakan gerakan koreksi terhadap kebijakan Pemerintah Pusat yang menganak tirikan daerah-daerah, tetapi akhirya mengarah kepada gerakan separatis yang terkenal dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

PRRI telah merobah peta kekuatan dan kepemimpinan di negara kita. Banyak mahasiswa dan pemuda yang berasal dari Sumatera Barat di Bandung waktu itu pulang kampung untuk membantu perjuangan PRRI menjadi tentara sukarela yang direkruit oleh PRRI. Saya dan Syafri Yacob sudah sepakat akan pulang bergabung dengan tentara sukarela PRRI, tetapi gagal. Waktu rencana itu disampaikan kepada isteri, dia menolak. Kalau mau pulang silakan saja pulang, biar dia bersama anak tinggal saja di Bandung, katanya. Semangat kedaerahan ini yang menyebabkan Pemerintah Pusat bertindak keras terhadap gerakan PRRI, dengan mengirim Brigjen Ahmad Yani dengan pasukannya ke Sumatera Barat. Selain itu, Pemerintah Pusat juga meggeser posisi-posisi penting yang dipegang oleh orang berasal dari Sumatera Barat diganti oleh orang-orang lain, baik di pemerintahan maupun di kalangan militer, karena menganggap orang Sumatera Barat itu adalah pemberontak semua. Sejak itu posisi orang Sumatera Barat terpuruk dan belum tentu kapan bisa bangkit kembali seperti sebelumnya.

Setelah kami gagal pulang kampung untuk membantu perjuangan PRRI menuju cita- citanya, maka saya dan Syafri Yacob merencanakan memproduktifkan waktu-waktu senggang dengan ikut kursus tata-buku B di Bandung Handelsche School (BHS). Hari itu juga kami pergi ke sekretariat BHS yang berlokasi di Alun-alun Bandung mencari informasi kapan pendaftaran untuk gelombang baru dibuka. Ternyata sudah membuka pendaftaran baru sejak sebulan yang lalu, dan tinggal hanya beberapa orang saja lagi. Bila cukup tigapuluh orang maka pendaftaran baru disediakan untuk gelombang berikutnya. Pendaftaran sekarang adalah untuk kursus gelombang mulai sebulan lagi. Tanpa pikir panjang kami langsung mendaftarkan diri untuk ikut dalam rombongan itu.

Pulang dari mendaftarkan diri, kami mampir di toko buku membeli buku-buku tata-buku yang standar dipakai waktu itu, seperti Tata-buku terjemahan Amani Uli. Karena saya sudah lama tidak membaca buku-buku tata buku dan hitung dagang, sebagai literatur dan untuk mengingat kembali, saya juga membeli lengkap buku-buku karangan Effendi Harahap baik mengenai tata buku maupun hitung dagang berikut dengan jawabannya. Sejak itu saya konsentrasi belajar dan bekerja, dengan menghilangkan pemikiran-pemikiran membantu perjuangan PRRI yang semangkin hari semangkin hangat. Caranya adalah dengan tidak menyetel lagi siaran-siaran Radio dari PRRI yang selalu membakar semangat pemuda- Pulang dari mendaftarkan diri, kami mampir di toko buku membeli buku-buku tata-buku yang standar dipakai waktu itu, seperti Tata-buku terjemahan Amani Uli. Karena saya sudah lama tidak membaca buku-buku tata buku dan hitung dagang, sebagai literatur dan untuk mengingat kembali, saya juga membeli lengkap buku-buku karangan Effendi Harahap baik mengenai tata buku maupun hitung dagang berikut dengan jawabannya. Sejak itu saya konsentrasi belajar dan bekerja, dengan menghilangkan pemikiran-pemikiran membantu perjuangan PRRI yang semangkin hari semangkin hangat. Caranya adalah dengan tidak menyetel lagi siaran-siaran Radio dari PRRI yang selalu membakar semangat pemuda-

Jam kerja kantor adalah dari jam 7,30 pagi sampai jam 2.30 siang. Karena saya sudah mendapat motor inpentaris maka saya sampai di kantor jam 7.00 pagi dengan membawa buku yang akan saya pelajari hari itu. Lumayan di kantor dapat dimanfaatkan tigapuluh menit untuk membuat soal-soal yang dimuat dalam buku-buku tata-buku maupun hitung dagang, sejak jilid pertama sampai jilid terakhir. Pada saat kursus dimulai maka ingatan saya terhadap materi pelajaran sudah kembali lagi seperti dulu, karena sudah 5 tahun ditinggalkan. Dengan demikian saya merasa tidak begitu ketinggalan dibanding dengan teman-teman yang masih fresh ingatannya waktu itu.

Dalam hal hitung dagang, saya banyak bertanya dan belajar kepada Syafri Yacob, sebab dia memecahkan setiap soal hitung dagang menggunakan rumus persamaan tersamar dalam aljabar. Sekalian saya belajar aljabar dengan dia khusus persamaan tersamar. Syafri Yacob memang sejak di Sekolah Menengah Atas tempat teman-teman seangkatannya bertanya aljabar Sebaliknya kalau tata-buku Syafri Yacob yang banyak bertanya kepada saya, karena dia anggap saya jago dalam hal jurnal menjurnal. Tidak terasa, hari mulai kursus sudah datang, dan kami mangkin sering bertemu. Syafri Yacob memanggil saya “tuan” dengan maksud kakak, tetapi teman-teman di tempat kursus mengaggap “tuan” dalam arti “meneer” atau “sir”, sehingga ada beberapa teman memanggil saya meneer sebagai penghormatan.

Saya dan Syafri Yacob belajar all out. Tidak ada hari tanpa belajar, akhirnya sampai pada hari pendaftaran ujian. Kami mendaftar pun bersama-sama sehingga nomor ujian kami juga berurutan. Waktu mendaftar sudah diberitahu tempat ujian kami adalah di Sekolah Menengah Atas Kristen Jalan Dago, bersebelahan dengan Sekolah Menengah Atas Satu sekarang. Ujian diadakan selama dua hari, yaitu hari Sabtu dan Minggu dari jam 8.00 pagi sampai jam 4.00 sore. Oleh karena itu, panitia ujian memilih waktu ujian di hari libur sekolah. Guru kami adalah orang Belanda. Sewaktu kami akan mengahadapi ujian dia menasehati kami, agar berangkat dari rumah menanamkan rasa percaya diri dihadapan cermin, sambil optimis bahwa akan lulus dalam ujian itu, disamping berdoa menurut agama masing-masing. Hari ujian datang dan saya gonceng Syafri Yacob ke tempat ujian. Kami hadapi ujian itu dengan penuh guyon, seperti biasa, bila kami bertemu selalu saja ada bahan guyon yang membangkitkan tawa kami masing-masing.

Pindah ke PT Teknik Umum Jakarta di Unit Siemens (Bagian Keuangan)

Kira-kira sebulan sesudah ujian, saya di panggil pak Darono menghadap ke Jakarta. Belum pernah saya dipanggil seperti itu. Dalam pikiran saya bertanya-tanya, mungkin ada sesuatu pekerjaan saya yang tidak beres. Setelah saya menghadap, Alhamdulillah rupanya saya akan di promosikan dengan menarik saya kembali ke Jakarta, diangkat menjadi kepala bagian keuangan Unit Siemens, berkantor di Jalan Kebon Sirih No.4. PT Teknik Umum Unit Siemens adalah satu unit baru, sebagai pengembangan dari bagian perdagangan. Maksud mendirikan unit ini, adalah untuk mengintensifkan pemasaran produk-produk dari pabrik Siemens dari Jerman, khusus barang-barang elektrik arus kuat dan alat-alat kedokteran. Unit Kira-kira sebulan sesudah ujian, saya di panggil pak Darono menghadap ke Jakarta. Belum pernah saya dipanggil seperti itu. Dalam pikiran saya bertanya-tanya, mungkin ada sesuatu pekerjaan saya yang tidak beres. Setelah saya menghadap, Alhamdulillah rupanya saya akan di promosikan dengan menarik saya kembali ke Jakarta, diangkat menjadi kepala bagian keuangan Unit Siemens, berkantor di Jalan Kebon Sirih No.4. PT Teknik Umum Unit Siemens adalah satu unit baru, sebagai pengembangan dari bagian perdagangan. Maksud mendirikan unit ini, adalah untuk mengintensifkan pemasaran produk-produk dari pabrik Siemens dari Jerman, khusus barang-barang elektrik arus kuat dan alat-alat kedokteran. Unit

Pak Natakusumah, berasal dari Bengkulu, beristerikan wanita Belanda. dan lama tinggal di negeri Belanda dan Jerman. Orangnya sangat disiplin dan jarang pegawai yang sanggup berada dibawahnya. Sebelum pulang ke Bandung, saya mampir dulu ke Jalan Cikini Raya 31, menemui kakanda Nurbeiti. Kakanda Johar kebetulan sedang ada disitu. Saya ceritakan bahwa saya akan ditarik kembali ke Jakarta, dan diberi uang pindah dan uang perumahan ala kadarnya. Kakanda Johar spontan mengatakan, sambil mendapat rumah yang diingini, disini saja tinggal dulu, karena kami sudah tiga bulan pindah ke Matraman Raya No. 48 kata beliau. Alangkah mulianya tawaran ini dibanding dengan mencari-cari rumah sewaan di tempat-tempat yang jauh dari kantor, dan sangat prestisius. Tawaran ini saya sambut dengan ucapan terima kasih. Waktu itu saya betul-betul merasakan, kebaikan dan penuh perhatian dari bako saya sekalipun hal tersebut, sedikit sekali saya terima dari bapak saya.

Saya hanya sehari pulang pergi ke Jakarta, besoknya saya sudah masuk kantor lagi di Bandung, dan melapor kepada pak Handiamiharja, tentang pembicaraan saya kemarin dengan pak Darono. Pak Handiamiharja memanggil Husein Yusuf dan memberitahukan bahwa saya akan ditarik ke Jakarta lagi, apakah akan berpengaruh ke pekerjaan bagian pembukuan atau tidak. Menurut Husein Yusuf, tidak banyak berpengaruh karena sekarang sudah ada Suyono yang akan melanjutkan pekerjaan saya. Pak Handiamiharja menanyakan kapan definitifnya berangkat ke Jakarta, nanti akan disediakan satu mobil pick-up untuk mengantarkan ke Jakarta, katanya. Saya katakan akan saya laporkan dulu kepada pak Darono hasil pembicaraan kita ini, dan menunggu Surat Keputusan Kepindahan dari kantor Pusat, kata saya.

Seminggu setelah itu, saya sudah menerima Surat Keputusan Pindah ke Jakarta dengan tembusan ke Kepala Cabang Bandung. Sesuai dengan janji pak Handiamiharja, maka pada hari Sabtu berikutnya disedikan satu mobil pick up dengan sopir dan ditemani oleh pak Pakih tetangga kami di Jalan Cigereleng, yang kami anggap sudah seperti saudara. Chairman tinggal kos di Bandung karena masih kuliah di IKIP jurusan Sastra Inggeris.

Kuliah di Akademi Perniagaan Indonesia Business Administration (1959-1961)

Sampai di Jakarta kami langsung ke Jalan Cikini Raya No. 31, hotel Ende kepunyaan kakanda Nurbeiti Johar. Pak Pakih ikut menurunkan barang-barang yang tidak seberapa. Tidak ada tempat tidur, tidak ada lemari pakaian maupun lemari makan, apalagi meja tulis atau meja makan. Paling-paling yang ada hanya kasur, bantal dan koper pakaian kami bertiga beranak, sedangkan alat-alat dapur dan alat-alat makan di simpan dalam peti-peti kecil dan kardus-kardus, supaya tidak rusak dan pecah. Ruangan yang akan kami tempati sudah disiapkan oleh kakanda Nurbeiti, yaitu satu kamar tidur, satu ruang makan plus dapur dan satu ruangan tamu. Sedangkan kamar mandi, dipakai bersama dengan satu keluarga lainnya orang Payakumbuh yang bertugas di Angkatan Udara. Setelah selesai barang-barang diturunkan semua dan beristirahat sebentar pak Pakih bersama sopir kembali ke Bandung, dan saya berterima kasih kepada mereka yang telah membantu kepindahan saya ke Jakarta.

Besok pagi saya melapor kepada pak Darono bahwa saya sudah siap dengan tugas baru, dan beliau menyuruh saya langsung melapor kepada pak Natakusumah di Jalan Kebon Sirih No.4. Dengan pak Natakusumah sebelumnya, saya sudah kenal tetapi tidak selaku bawahan dan atasan, sedangkan sekarang adalah sebagai bawahan dan atasan. Pak Natakusumah orangnya disiplin dan pendiam, tidak banyak bicara apalagi bercanda dengan bawahan. Beliau berbicara seperlunya saja, seperti menjelaskan tugas saya selaku Kepala Keuangan tetapi juga mengerjakan pembukuan unit Siemens. Karena Unit Siemens secara adminsitratif adalah otonom, mempunyai neraca dan rugi laba sendiri. Dari penjelasan beliau tersebut, dapat saya jabarkan bahwa saya harus membuat neraca awal terlebih dahulu. Untuk membuat neraca awal tersebut beliau minta saya berkonsultasi dengan pak Darono, apa saja asset dan liabilities Unit Siemens waktu permulaan dulu, sebagai bagian dari PT Teknik Umum.

Selain dari penjelesan tersebut di atas pak Natakusumah juga menyerahkan berkas- berkas rekening koran beberapa bank, dan buku-buku bank, berikut buku-buku cheque dan giro kepada saya. Beliau juga menyerahkan sebuah cash box dengan beberapa uang kontan sebagai kas kecil. Selesai menerima penjelasan dan berkas-berkas itu, saya berusaha menguasai saldo kas dan Bank terlebih dahulu, karena kedua hal tersebut sangat sensitif dan berlanjut dikemudian hari. Setelah saya ketahui saya buat suatu catatan khusus, saya tanda tangani dan saya minta juga ditanda tangani oleh pak Natakusumah.

Besoknya pak Natakusumah menyuruh saya membuat surat perkenalan ke bank-bank langganan Unit Siemens, bahwa saya selaku Kepala Keuangan dapat mewakili pak Natakusumah untuk segala keperluan dengan Bank, seperti menanyakan saldo, dan lain-lain, kecuali penanda tanganan surat-surat berharga yang masih oleh pak Natakusumah. Sejak itu, saya sering disuruh oleh pak Natakusumah berurusan dengan bank-bank tersebut seperti dalam hal pembukaan Letter of Credit (L.C), menanyakan saldo rekening dan lain-lain. Belum sebulan saya bertugas di Jakarta saya sudah diberikan inpentaris roda dua merk Jawa .

Waktu itu saya sudah dua bulan pindah ke Jakarta, atau tiga bulan setelah ujian tata-buku Bond yang kami ikuti di Bandung dulu. Lazimnya hasil ujan tersebut sudah dapat diketahui tiga bulan setelah waktu ujian. Saya tanyakan kepada Ibrahim Sati kantor perwakilan Bond yang mengadakan ujian tata-buku di Jakarta. Dia memberi tahukan di Jalan Cikini Raya, di daerah pertokoan, berderetan dengan Kantor Pos Pembantu Cikini. Nomornya dia lupa, tanyakan saja di salah satu pertokoan disana, katanya. Saya langsung ke sana dengan motor Jawa, mencari alamat yang ditunjukkan oleh Ibrahim Sati. Alhamdulillah, saya bertemu alamat itu, dan saya masuk menanyakan hasil ujian saya, dengan menunjukkan nomor ujian saya dari Bandung tiga bulan yang lalu. Pegawai disitu mencari-cari dalam tumpukan surat- surat yang siap dikirim ke alamat masing-masing. Dia tidak bicara apa-apa, hanya menyerahkan amplop yang akan dikirim ke alamat saya di Bandung, tinggal memberi prangko, dan saya disuruh menanda tanganai tanda terima di suatua buku ekspedisi. Sebelum saya keluar ruangan mereka, saya buka dulu amplop tersebut dan alangkah gembiranya saya bahwa saya dinyatakan lulus.

Kakanda Nurbeiti dan kakanda Johar biasanya pulang ke rumah beliau dari Toko Ende di Jalan Cikini Raya 31 ke Matraman Raya No. 48 jam 8.00 malam. Salah satu senja ada tamu beliau di toko, orang Painan namanya Badatan. Dia baru saja tamat dan diwisuda Kakanda Nurbeiti dan kakanda Johar biasanya pulang ke rumah beliau dari Toko Ende di Jalan Cikini Raya 31 ke Matraman Raya No. 48 jam 8.00 malam. Salah satu senja ada tamu beliau di toko, orang Painan namanya Badatan. Dia baru saja tamat dan diwisuda

Karena waktu pendaftaran sudah hampir tutup, maka pada salah satu sore saya beranikan diri mencari informasi ke sekretariat API di Kampus Universitas Indoensia Jalan Salemba No. 4. Dari sekretariat API saya mendapat informasi bahwa syarat SMA, atau sederjat. Saya tanyakan yang dikatakan sederajat itu yang bagaimana? Mereka mengatakan yang dimaksud sederajat adalah mempunyai ijazah tata-buku A dan B dari Bond, ditambah pengalaman kerja dua tahun. Saya katakan bahwa saya mempunyai syarat-syarat itu tanpa ijazah SMA apakah dapat diterima disini?. Dia mengatakan dapat asal lulus tes yang akan diadakan dua minggu lagi, katanya.

Mendengar keterangan itu saya langsung membeli formulir pendaftaran dan berjanji akan melengkapinya dan menyerahkannya besok. Besok sore, janji tersebut saya tepati, dan diterima oleh sekretariat, dengan pesan supaya saya mepersiapkan diri untuk test bahasa Inggeris saja, katanya. Alhamdulillah, pada saat test diadakan selama dua jam, semua soal dapat saya kerjakan semua. Hasil test ini sudah dapat dilihat di papan pengumuman sekretariat sepuluh hari kedepan. Alhamdulillah, sepuluh hari kemudian waktu saya lihat di papan pengumuman, ternyata saya lulus test dan saya segera mendaftar ulang di sekretariat, dan membayar uang kuliah untuk semester pertama.

Hari pertama saya masuk kuliah, saya merasakan betul bagaimana besarnya dan pengasih sayangnya Allah yang menyampaikan keinginan saya kuliah di Akademi Perniagaan Indonesia. Orang seperti saya tidak punya ijazah Sekolah Dasar apalagi Sekolah Menengah Atas, bisa kuliah di Akademi Perniagan Indonesia yang cukup prestesius waktu itu. Kalau bukan kasih sayang Allah tidak mungkin itu saya capai. Rahmat yang luar biasa ini, Insya Allah akan saya jadikan titik awal dari kebangkitan saya sekeluarga di belakang hari. API adalah satu-satunya akademi swasta yang statusnya disamakan dengan Negeri waktu itu. Tempat kuliahnya juga di kampus Universitas Indonesia Salemba No. 4

Dosen kami ada 7 orang yang terdiri dari satu orang Inggeris, satu orang Belanda, dua orang turunan Tionghoa, dan 3 orang Indonesia.. Dosen dari Belanda ini adalah Akuntan Yan, memberikan kuliah menggunakan bahasa Belanda dan menggunakan buku wajibnya, buku-buku berbahasa Belanda antara lain Bedrijfs Economie karangan Y.L.Mey. Tidak semua siswa pandai berbahasa Belanda secara aktif, masih banyak juga yang pasif seperti saya. Mula-mula saya bersusah payah memahami isi buku-buku, dan sering-sering membuka kamus. Pada suatu hari, salah satu buku berbahasa Belanda itu saya bawa ke kantor dan membaca-bacanya. Kebetulan dilihat oleh salah seorang teman yang ahli bahasa Belanda, bahasa Jeman dan bahasa Inggeris. Dia adalah orang Pariaman dan pegawai Siemens sebagai Dosen kami ada 7 orang yang terdiri dari satu orang Inggeris, satu orang Belanda, dua orang turunan Tionghoa, dan 3 orang Indonesia.. Dosen dari Belanda ini adalah Akuntan Yan, memberikan kuliah menggunakan bahasa Belanda dan menggunakan buku wajibnya, buku-buku berbahasa Belanda antara lain Bedrijfs Economie karangan Y.L.Mey. Tidak semua siswa pandai berbahasa Belanda secara aktif, masih banyak juga yang pasif seperti saya. Mula-mula saya bersusah payah memahami isi buku-buku, dan sering-sering membuka kamus. Pada suatu hari, salah satu buku berbahasa Belanda itu saya bawa ke kantor dan membaca-bacanya. Kebetulan dilihat oleh salah seorang teman yang ahli bahasa Belanda, bahasa Jeman dan bahasa Inggeris. Dia adalah orang Pariaman dan pegawai Siemens sebagai

Mula-mula saya minta bantuan dia untuk menerjemahkan dan meringkas bab-bab yang dibahas di ruangan kuliah. Ternyata dia bisa mengerjakannya dan cepat. Dari hasil terjemahannya itu, saya perbanyak dengan menggunakan stensilan, dan saya bawa kuliah, memperlihatkan kepada teman-teman yang bahasa Belandanya agak payah seperti saya. Ternyata banyak yang berminat dan membelinya dengan harga yang relatif mahal, karena honor terjemahan dan stensilan serta keuntungan sudah dikalkulasikan di dalamnya. Akhirnya ide ini, memudahkan saya mempelajari mata kuliah yang diberikan oleh Akuntan Yan, disamping itu merupakan tambahan penghasilan saya dan teman di kantor Siemens secara rutin. Dari kegiatan ini saya sempat investasi satu buah mesin stensil bekas dan dikerjakan sendiri. Mesin foto copy waktu itu belum ada.

Tidak terasa, masa berlalu terlalu cepat, semester demi semester telah dilalui, ada yang lulus dengan mulus, ada juga yang diulang lagi baru lulus. Akhirnya tiga tahun telah berlalu. Sebentar lagi ujian akhir, untuk menghadapi ujian akhir itu, saya terpaksa minta cuti dari kantor, supaya persiapan lebih mantap. Alhamdulillah, berkat kasih sayang Allah juga saya lulus dari ujian itu, yang saya jadikan pijakan untuk mendaftar di Universitas Pajajaran di Bandung.

Pindah ke Bagian Perdagangan PT Teknik Umum Pusat

Selama lebih kurang dua tahun saya bekerja di bawah pak Natakusumah, segala sesuatu berjalan lancar. Banyak teman-teman menduga bahwa saya tidak sanggup berlama-lama berada di bawah pak Natakusumah, karena kedisiplinan dan sikap keras beliau terhadap bawahan. Keadaan yang tidak diingini itu, akhirnya datang juga.

Beberapa bulan yang lalu pak Natakusumah menerima staf baru, yaitu bekas teman beliau dari negeri Belanda bernama Iwan Madong Simatupang yang beristrikan juga orang Belanda. Karena Iwan Madong Simatupang adalah teman pak Natakusumah maka kami pegawai lain juga menghormati dia sebagai teman pimpinan, yang posisinya di kantor belum ditentukan waktu itu. Isteri Iwan Madong Simatupang ini, sejak datang di Indonesia selalu sakit-sakitan. Pada suatu hari penyakitnya semangkin parah sehingga harus dirawat di Rumah Sakit St Carolous. Tidak lama dia dirawat disitu akhirnya dia meninggal malam hari. Pagi hari saya masuk kantor, Iwan Madong Simatupang sudah menunggu saya, menyampaikan berita duka yang sedang dihadapinya itu. Bersamaan dengan itu dia mengajukan pinjaman uang untuk pembeli peti mati. Saya katakan, sebaiknya kita tunggu pak Natakusumah dahulu, mudah-mudahan beliau sudah kembali dari Surabaya.

Kami tunggu sampai jam 9.00 pagi pak Natakusumah belum juga datang, mungkin belum kembali dari Surabaya. Saya mencoba menghubungi beliau ke kantor Cabang Surabaya, tenyata tidak dapat sambungan, karena waktu hubungan telepon belum selancar seperti sekarang. Saya coba menghubungi sampai jam 12.00 siang, tetap tidak dapat sambungan. Saya hitung jumlah pinjamannya tidak melebihi tiga bulan gajinya, saya beranikan diri untuk memberikan pinjamannya pembeli peti mati dan pengurusan jenazah isterinya. Uang tersebut saya keluarkan dari kas kecil dan saya antarkan ke rumah Sakit St. Carolous. Saya katakan bahwa saya belum dapat kontak dengan pak Natakusumah, tetapi Kami tunggu sampai jam 9.00 pagi pak Natakusumah belum juga datang, mungkin belum kembali dari Surabaya. Saya mencoba menghubungi beliau ke kantor Cabang Surabaya, tenyata tidak dapat sambungan, karena waktu hubungan telepon belum selancar seperti sekarang. Saya coba menghubungi sampai jam 12.00 siang, tetap tidak dapat sambungan. Saya hitung jumlah pinjamannya tidak melebihi tiga bulan gajinya, saya beranikan diri untuk memberikan pinjamannya pembeli peti mati dan pengurusan jenazah isterinya. Uang tersebut saya keluarkan dari kas kecil dan saya antarkan ke rumah Sakit St. Carolous. Saya katakan bahwa saya belum dapat kontak dengan pak Natakusumah, tetapi

Besok pagi pak Natakusumah masuk kantor, dan terus masuk ke ruangan beliau. Kira- kira 5 menit beliau di ruangan, saya masuk ke ruangan beliau memberitahukan bahwa isteri pak Iwan Madong Simatupang meninggal malam kemarin, dan telah dikuburkan hari itu juga. Mendengar itu, beliau terlihat ikut berduka cita. Saya katakan bahwa Iwan Madong Simatupang meminjam uang untuk keperluan peti mati dan biaya pengurusan jenazah. Saya berusaha menelpon bapak ke Cabang Surabaya untuk minta persetujuan mengeluarkan uang pinjaman tersebut, tetapi tidak mendapat sambungan. Saya terpaksa mengeluarkan uang tersebut, karena tidak tega melihat jenazah isterinya yang tidak terurus. Mendengar itu Pak Natakusumah langsung marah dan merah mukanya, mengeluarkan kata-kata “ saudara sudah melakukan kesalahan fatal, ini adalah uang perusahaan bukan uang nenek moyang saudara yang dapat dikeluarkan seenaknya saja “ Saya katakan, memang bukan uang nenek moyang saya, dan selaku seorang pegawai saya memang salah, tetapi sebagai manusia, rasa kemanusiaan saya tidak dapat membiarkan saya untuk tidak membantu orang sedang kesusahan sedemikian rupa, dan jumlahnya juga tidak melebihi tiga bulan gajinya, kata saya.

Setelah saya berbicara begitu, pak Natakusumah diam, dan saya permisi keluar ruangan beliau, dengan muka merah. Teman-teman di luar sudah menduga bahwa saya baru saja kena marah. Kena marah dari pak Natakusumah, bukanlah hal yang aneh, kalau tidak pernah kena marah baru itu dikatakan aneh. Sejak kejadian itu, hati saya sudah tidak tenang lagi bekerja di situ, bahkan saya berpikir untuk berhenti saja dari PT Teknik Umum.

Seminggu setelah itu, saya jalan-jalan ke kantor Pusat di Jalan Asemlama. Disana saya bertemu dengan pak Salimin kepala perdagangan Kantor Pusat. Saya dipanggil keuangannya, dan menanyakan kasus saya kena marah dari pak Natakusumah beberapa hari yang lalu. Saya jelaskan apa adanya, bahkan saya lagi berpikir untuk mencari pekerjaan lain saja, saya bilang kepada pak Salimin. Mendengar itu pak Salimin menawarkan kepada saya untuk pindah saja ke Bagian Perdagangan Pusat sebagai salah seorang salesman disana. Kalau mau nanti pak Salimin akan membicarakan dengan pak Darono mencari orang mengganti posisi saya di Unit Siemens. Tawaran ini saya terima dengan baik, karena yang penting bagi saya adalah jauh dari pak Natakusumah. Apalagi bidang ini buat saya baru sama sekali, dan saya akan belajar dalam bidang sales ini. Alhamdulillah, tidak lama setelah itu, saya menerima Surat Keputusan Pindah ke Bagian Perdagangan di Kantor Pusat.