BELAJAR MANDIRI TUJUAN MALAYSIA (Pertengahan l950)

9. BELAJAR MANDIRI TUJUAN MALAYSIA (Pertengahan l950)

Pagi-pagi kira jam 7.00 saya sudah pergi ke Bukittinggi ke loket bus yang akan berangkat ke Pekanbaru. Di sana sudah ada beberapa orang yang akan berangkat ke Pekanbaru sedang sibuk mengurus barang-barang daganganya. Saya mengobrol dengan salah seorang pedagang sayur yang sudah biasa pulang pergi ke Pekanbaru. Ke sana dia membawa sayur-mayur, dan pulangnya membawa barang-barang tekstil. Tekstil di Pekanbaru jauh lebih murah dibanding dengan Bukittinggi, yang berasal selundupan dari Singapore. Dia juga menceritakan laba yang akan dia peroleh dari transaksi itu.

Biasanya orang-orang yang datang ke loket pagi-pagi itu adalah pedagang yang mengurus barang dagangannya sedangkan penumpang biasa datangnya siang-siang, karena bus baru berangkat sore. Khusus untuk para pedagang disediakan tempat dalam bus di kursi bagian belakang dengan tarif yang lebih murah dibanding dengan penumpang biasa. Dia menanyakan saya membawa barang dagangan apa ke Pekanbaru, saya bilang saya akan mencari pekerjaan di Pekanbaru atau kalau ada peluang mau pergi ke Singapore. Dia bilang kenapa tidak bawa barang dagangan sedikit untuk menutup-nutup ongkos jalan. Saran ini masuk akal juga, saya katakan saya tidak bisa dagang dan tidak tahu beli barang apa disini untuk dijual di Pekanbaru? Kalau mau, beli saja sayur-mayur disini seperti saya, nanti disana sama-sama kita jual di tempat langganan saya. Setelah bicara begitu, dia minta izin pergi karena masih ada keperluan lain, nanti kembali jam 2.00 petang pada saat bus akan berangkat.

Mendengar cerita teman baru tadi, tergiur juga hati saya untuk mencoba, siapa tahu bisa menambah-nambah bekal. Kebetulan hari itu hari Sabtu yaitu pasar Bukittinggi sedang ramai. Seperti diketahui bahwa di Bukittinggi hanya ramai pada hari Sabtu dan hari Rabu. Saya lihat jam masih pagi kira-kira pukul 9.00 masih ada waktu untuk pergi membeli sayur ke pasar bawah tempat khusus orang menjual sayur dalam partai besar. Tanpa pikir panjang saya beli rupa-rupa sayur sebanyak 4 keranjang dengan berat kira-kira yang 100 kg. menghabiskan lebih kurang 40% dari uang bekal yang ada disaku saya. Selesai membayar sayur tersebut saya upahkan ke tukang gerobak untuk membawanya ke terminal bus, dan menaikkannya ke atas atap bus bersatu dengan barang-barang dagangan orang lain

Dalam pikiran saya sudah mulai menghitung-hitung laba. Kalau bisa berlaba 40% saja seperti yang diceritakan teman baru tadi maka uang saya akan menjadi sekian. Setelah sayur ini terjual di Pekanbaru langsung beli lagi tekstil untuk dibawa ke Bukittinggi, dapat lagi laba sekian puluh persen. Angan-angan ini akan merobah rencana ingin sekolah selanjutnya. Kalau benar seperti itu maka sebelum berangkat ke Malaysia baik juga ini dikerjakan dulu agak beberapa trip untuk mendapatkan bekal yang lebih banyak.

Waktu itu perjalanan ke Pekanbaru memerlukan waktu dua malam dan sehari. Berangkat dari Bukittinggi sore, sampai disana baru lusa paginya subuh-subuh. Perjalanan ke Pekanbaru melalui tiga pelayangan. Pelayangan adalah cara untuk menyeberangkan bus atau kendaraan lainnya ke seberang sungai yang relatif lebar. Waktu itu belum ada jembatan yang dapat dilalui oleh kendaraan roda dua maupun roda empat. Kendaraan-kendaraan dinaikkan ke atas rakit besar terbuat dari balok-balok kayu besar dan papan- papan tebal sebagai lantainya Waktu itu perjalanan ke Pekanbaru memerlukan waktu dua malam dan sehari. Berangkat dari Bukittinggi sore, sampai disana baru lusa paginya subuh-subuh. Perjalanan ke Pekanbaru melalui tiga pelayangan. Pelayangan adalah cara untuk menyeberangkan bus atau kendaraan lainnya ke seberang sungai yang relatif lebar. Waktu itu belum ada jembatan yang dapat dilalui oleh kendaraan roda dua maupun roda empat. Kendaraan-kendaraan dinaikkan ke atas rakit besar terbuat dari balok-balok kayu besar dan papan- papan tebal sebagai lantainya

Sampai di Pekanbaru masing-masing pedagang berdiri di sebelah bus, menunggu barang dagangannya diturunkan oleh knek bus satu persatu dari atap bus. Barang-barang dagangan teman baru saya sudah diturunkan. Dia ikut menunggu barang dagangan saya untuk bersama- sama pergi ke langganannya menjual bawaan kami. Giliran barang dagangan saya yang diturunkan, terdiri dari 4 keranjang bambu. Alangkah terperanjatnya saya waktu melihat sayur-mayur dagangan saya didalam keranjang sudah penyet dan rusak berat, akibat dihimpit-himpit dengan barang-barang orang yang naik dan datang kemudian. Teman baru saya mencoba meng claim kepada sopir bus, akibat kecerobohan knek bus mereka saya dirugikan cukup besar. Tetapi apalah artinya soal claim waktu itu tidak akan ada artinya kecuali menambah sakit hati saja. Akhirnya saya bawa juga sayur-mayur yang sudah rusak itu ke langganan teman baru saya itu. Kasihan kepada saya dan menimbang perasaan teman baru saya sebagai langganan lamanya sayur-mayur yang sudah penyet dan rusak berat itu dibelinya juga dengan separoh harga dari semestinya. Setelah uang saya terima dan saya hitung-hitung, ternyata saya menderita kerugian kira-kira 20% dari harga beli semula. Ini adalah pengalaman pahit pertama yang harus saya jadikan pelajaran dalam hidup ini. Bukannya untung yang diperoleh tetapi buntung jadinya. Saya melupakan pepatah Inggeris yang mengatakan “think before you speak, look before you leap”.

Di Pekanbaru saya menompang di rumah orang kampung kita yang membuat terompa kayu disana. Dia sudah lama dan hidup membujang disana sedangkan keluarganya tinggal di kampung. Soal makan tidak begitu susah dan saya pun tahu diri untuk ikut share dalam pembelian bahan baku makanan sedangkan pekerjaan dapur dikerjakan bersama. Sudah seminggu saya disana, belum ada titik harapan yang bisa ditindak lanjuti. Uang belanja semangkin hari semangkin berkurang, dan tidak lama lagi akan habis. Saya selalu berdoa semoga mendapat petunjuk dari Allah Swt.

Nasehat dari Residen Riau Djamin Datuk Bagindo.

Waktu masih di Bukittinggi saya mendengar bahwa Zahar Murad orang Tanjung Alam bekerja di PT Malindo Pekanbaru. Pada suatu hari saya berjalan-jalan di Pasar Bawah, Pekanbaru, tempat banyak perusahaan-perusahaan berkantor waktu itu. Kebetulan saya melihat ada merek PT. Malindo Importir dan Eksportir di salah satu toko bertingkat dua.. Saya masuk kantor itu dan menanyakan nama Zahar Murad. Alhamdulillah benar dia ada, dan bekerja di situ. Zahar adalah teman sekolah saya di KSM sore (Kursus Sekolah Menengah) di Lambah Bukittinggi, dan kampung kami bersebelahan. Kami sering main- main dan jalan-jalan bersama sebelum clash kedua. Setelah clash kedua kami berpisah, saya pergi bergerilia ke gunung Merapi dan dia masuk kota untuk melanjutkan sekolahnya.

Dia pun kaget melihat saya, dan dia menyangka saya sudah menjadi tentara benaran. Lama kami curahan hati masing-masing selama tidak bertemu, dan tidak lupa saya menanyakan kalau-kalau di kantornya ada lowongan kerja yang cocok untuk seorang bekas geriliawan seperti saya. Dia bercerita, bahwa PT Malindo sekarang sedang krisis dengan saudaranya, dan kemungkinan waktu dekat mereka akan pisah dan assetnya akan dibagi antara dua bersaudara. Zahar menyuruh saya bersabar, karena sekarang waktunya tidak tepat untuk melamar. Dia menyarankan supaya saya menemui pak Djamin Datuk Bagindo yang menjadi Residen di Riau waktu itu. Dia tunjukan rumah pak Djamin Datuk Bagindo yang tidak jauh dari kantornya. Saran itu saya jadikan informasi yang Insya Allah akan saya tindak lanjuti. Setelah kami lama mengobrol kami pun pisah.

Djamin Datuk Bagindo adalah orang Koto Tuo paman Krisna Dahlan (adik sebapak Nurbeiti) Saya belum pernah kenal beliau sebelumnya, tetapi saya tahu bahwa beliau adalah paman Krisna Dahlan. Salah satu sore saya beranikan diri datang ke rumah beliau di Pekanbaru untuk berkenalan dan sekalian minta saran sebagai orang berasal dari satu kecamatan. Tidak disangka setelah saya memperkenalkan diri saya dan sedikit riwayat sekolah dan perjuangan saya selama clash ke dua di Bukit Batabuh. Kelihatannya beliau respek. Saya katakan bahwa saya bermaksud akan kembali ke Johore Bahru untuk melanjutkan sekolah di English College School. Mendengar rencana saya itu beliau termenung sebentar. Beliau menjawab itu bagus, hanya saja beliau mendengar dari radio bahwa Singapore sejak 2 hari lalu sedang bergolak. Banyak mobil-mobil dan rumah-rumah dibakar oleh masyarakat. Yang memicu pergolakan tersebut adalah, ada seorang bayi anak orang Melayu yang kurang mampu diambil menjadi anak angkat oleh orang Inggeris dan di Baptis menjadi kristen. Perlakuan ini menyebabkan orang-orang Melayu dan agamanya merasa dihina oleh orang Inggeris. Mungkin ini hanya penyebab saja, sedangkan pemicu utama mungkin sentimen terhadap bangsa Inggeris sebagai bangsa penjajah. Waktu itu Pemerintah Singapore dan Pemerintah Malaysia masih satu. Kalau sekarang kamu kesana, kamu akan terlibat kedalam pemberontakan yang tidak tahu kapan selesainya. Nasihat beliau ialah “kalau kamu benar-benar mau sekolah pergilah ke Jawa, disitulah tempat yang tepat untuk belajar, boleh memilih bidang apa saja ada di sana”.

Mendengar nasihat beliau itu, datang dari seorang Residen yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang luas di Pemerintahan patut sekali diperhatikan dan diindahkan. Akhirnya 3 hari setelah itu saya putuskan untuk mengikuti nasihat beliau untuk pergi ke Jawa. Sebelum berangkat pulang saya ingat lagi pada teman baru saya di terminal bus Bukittinggi dulu, bahwa dia kalau pulang ke Bukittinggi membawa tekstil sebagai barang dagangan dengan keuntungan menggiurkan. Timbul lagi keinginan untuk mencoba membawa tekstil agak sedikit dengan harapan mudah-mudahan dapat menutup sebagian kerugian sayur-mayur yang lalu.

PT. Malindo tempat Zahar Murad bekerja adalah salah satu perusahaan importir tekstil dari Singapore. Sebelum saya berangkat pulang ke Bukittingi, saya mampir dulu ke Kantor PT Malindo untuk sekalian pamit dan memberitahukan hasil pertemuan saya dengan pak Djamin Datuk Bagindo. Saya katakan bahwa nasihat pak Djamin Datuk Bagindo telah merobah total rencana saya dan saya segera akan pulang ke Bukittinggi untuk terus ke

Jakarta. Sambil mengobrol dengan Zahar mata saya tertuju ke persediaan tekstil yang tersusun rapi di lemari-lemari etalase yang ada disitu. Keinginan untuk mencoba membawa beberapa piece ke Bukittinggi sebagai barang dagangan timbul lagi. Kerugian beberapa hari yang lalu seakan-akan sudah terlupakan. Persediaan uang sudah menipis. Dengan membeli beberapa piece saja, uang sudah hampir habis, tinggal untuk ongkos bus dan makan di jalan saja lagi. Akhirnya saya beli juga beberapa piece dan minta dipak dengan baik supaya tidak rusak dalam perjalanan. Selesai membayar invoice yang diajukan saya pamit kepada Zahar dan menggendong tekstil yang sudah dipak rapi terus ke terminal bus yang akan berangkat ke Bukittinggi.

Putar Haluan ke Jakarta.

Pagi-pagi lusanya saya sampai di Bukittinggi. Sebelum pulang ke kampung, saya mampir dulu ke toko teman saya orang Bonjol Alam di pasar Atas Bukittinggi membawa kain yang saya beli dari Pekanbaru itu. Saya titipkan disana harga pokok saya sebutkan 20% diatas harga beli sesungguhnya. Berapa lebihnya laku dari harga pokok itu, nanti kita bagi dua. Pembungkus tekstil tersebut saya buka dan saya serahkan kepada teman tersebut, setelah itu saya pun pulang ke kampung. Sesampai di kampung banyak mata tertuju ke saya. Ada mata bertanya-tanya ada juga mata mengejek. Semua itu saya abaikan dan sesampai di rumah saya sampaikan kepada ibu saya, nasihat dari Residen Riau itu. Kepada beliau saya katakan bahwa saya tidak akan lama di kampung dan akan segera berangkat menuju Jakarta. Saya tidak menceritakan kepada beliau tentang kerugian yang saya derita akibat perdagangan sayur yang saya lakukan, takut akan menganggu pikiran beliau.

Malamnya saya menemui ibunda Raiyah dan Abang A. Tadjuddin. Saya menceritakan perjalanan saya ke Pekanbaru hampir 2 minggu, dan nasehat pak Djamin Datuk Bagindo kepada saya. Beliau mendukung nasehat itu, dan menyarankan kepada saya supaya melaksanakannya dengan tabah. Nasehat Datuk Bagindo itu merupakan rencana jangka panjang. Beliau hanya membantu dengan doa, tidak dapat membantu dengan keuangan karena beliau sendiri waktu dalam keadaan menganggur. Waktu saya pamit akan pulang beliau masuk ke dalam kamar dan keluar membawa sepasang sepatu baru merek “barret” warna kuning. Sepatu barret waktu itu adalah yang termahal dan kebetulan sesuai dengan kaki saya.

Besoknya saya pergi ke toko teman saya di Bukittinggi tempat saya menitipkan tekstil yang saya bawa dari Pekanbaru dua hari yang lalu. Di sana lagi-lagi saya menelan pil pahit. Menurut teman saya itu, kain tekstil yang saya bawa tidak ada yang menawar karena motifnya sudah ketinggalan. Dia minta saya mengambil kembali tekstil itu dan menawarkan ke empat lain, mungkin ada yang mau. Mendengar keterangan teman saya itu saya betul- betul terperangah. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut saya. Melihat saya terperangah itu dia menanyakan, kenapa saya seperti terpukul betul, ada apa ? katanya kepada saya. Saya terpaksa berterus terang kepadanya. Bahwa uang hasil penjualan tekstil ini adalah untuk ongkos saya pergi ke Jakarta mengadu nasib. Dia adalah teman baik saya, rasanya tidak mungkin dia membohongi saya dan dia sejak kecil berdagang tekstil mengikuti orang tuanya. Untuk mengambil kain itu dan menawarkan ke tempat lain saya agak pesimis, karena Besoknya saya pergi ke toko teman saya di Bukittinggi tempat saya menitipkan tekstil yang saya bawa dari Pekanbaru dua hari yang lalu. Di sana lagi-lagi saya menelan pil pahit. Menurut teman saya itu, kain tekstil yang saya bawa tidak ada yang menawar karena motifnya sudah ketinggalan. Dia minta saya mengambil kembali tekstil itu dan menawarkan ke empat lain, mungkin ada yang mau. Mendengar keterangan teman saya itu saya betul- betul terperangah. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut saya. Melihat saya terperangah itu dia menanyakan, kenapa saya seperti terpukul betul, ada apa ? katanya kepada saya. Saya terpaksa berterus terang kepadanya. Bahwa uang hasil penjualan tekstil ini adalah untuk ongkos saya pergi ke Jakarta mengadu nasib. Dia adalah teman baik saya, rasanya tidak mungkin dia membohongi saya dan dia sejak kecil berdagang tekstil mengikuti orang tuanya. Untuk mengambil kain itu dan menawarkan ke tempat lain saya agak pesimis, karena

Akhirnya saya minta tolong kepada teman saya itu untuk meminjami saya uang separoh dari harga pokok saya untuk ongkos saya ke Jakarta, nanti kalau sudah terjual kita perhitungkan lebihnya. Lama dia berpikir dan akhirnya dia bilang akan bicarakan dulu dengan bapaknya, kalau bisa besok kembali lagi bisa atau tidaknya. Malam itu tidak henti- hentinya saya menyesali diri saya atas kebodohan saya dan selalu berdoa semoga saya sabar menghadapi tantangan dan cobaan ini.

Besoknya saya datang lagi, kebetulan ada bapaknya di toko itu. Kepada bapaknya saya ulangi lagi maksud saya minta tolong seperti yang saya kemukakan kepada teman saya kemarin. Alhamdulillah bapaknya setuju dan langsung memberikan uang kepada saya yang jumlahnya saya lupa. Kalau saya hitung-hitung waktu itu kira-kira dua kali harga ticket kapal dari Teluk Bayur ke Tanjung Priok di kelas deck. Sampai sekarang saya tidak tahu berapa sebetulnya kain itu dia jual dan tidak pernah ada perhitungan. Mudah-mudahan saja dia tidak rugi dengan meminjamkan uang kepada saya separoh dari harga beli saya. Kalau seandainya berlebih saya relakan dunia akhirat karena saya merasa sudah dibantu pada saat saya perlu kan.

Waktu itu orang kampung kita yang ada di Jakarta baru ada satu orang, yaitu mamanda Yubhar (masih famili mamanda Ginam). Saya datangi keluarga beliau di kampung menanyakan apakah ada titipan untuk di bawakan karena saya besok akan pergi ke Jakarta. Malamnya saya mempersiapkan barang-barang yang akan saya bawa. Pakaian saya seluruh Nya hanya tiga stel, baik pakaian luar maupun pakaian dalam. Dua stel saya masukkan ke dalam tas kulit jinjing yang sudah robek sedikit. Saya bawa selimut dari kain marekan / grey yang sampai di Padang saya sulap menjadi baju kemeja, dan sebuah topi ala topi spy dizaman dulu.

Sebagaimana biasa, saya pamit kepada ibunda Raiyah, abang A. Tadjuddin dan keluarga, ibu kandung dan nenek kandung saya, nenek Upik Itam, dan etek Nursiam (nenek dan ibu Indra). Diantara semua orang yang saya pamiti, tetap saja nenek kandung saya yang sedih melepas saya pergi. Walaupun begitu beliau semua mendoakan saya semoga selamat dan pesan beliau “baik-baik dirantau orang, sembahyang jangan lupa”. Nenek malam itu bergadang membuat rendang itik untuk bekal saya pergi. Pagi-pagi sudah siap rendang di dalam kaleng dan nasi empat bungkus berisi telur itik goreng balado untuk bekal di jalan.

Saya pun sudah siap berangkat dengan sepatu barret, baju dan celana stelan dari bahan linen yang tipis dan goyang warna pink, itulah pakaian yang sedang model waktu itu, dilengkapi dengan topi spy di kepala. Bawaan saya terdiri dari 1 buah tas kulit jinjing, berisi pakaian, dan satu buah jinjingan terbuat dari daun anau berisi kiriman-kiriman untuk mamanda Yubhar, kaleng rendang dan 4 bungkus nasi.

Di Padang saya menompang di rumah teman tempat anak-anak muda dan para penganggur berkumpul. Waktu itu ada lima orang penghuni kamar itu menjadi berenam Di Padang saya menompang di rumah teman tempat anak-anak muda dan para penganggur berkumpul. Waktu itu ada lima orang penghuni kamar itu menjadi berenam

Kebetulan mamanda Ginam beserta ibu si Epi waktu itu bertugas dan tinggal di Teluk Bayur. Siang itu saya pamit dengan teman-teman dan berangkat menuju Teluk Bayur menompang di rumah mamanda Ginam. Kebetulan Lisma anak gadis beliau sedang ada disitu. Saya ceritakan bahwa saya bertemu dengan pak Djamin Datuk Bagindo di Pekanbaru dan beliau menyarankan kepada saya lebih baik kalau mau sekolah ke Jakarta. Saran ini masuk akal saya, Insya Allah saya besok mau pergi ke Jakarta. Saya mengatakan itu dalam keragu-raguan karena uang untuk pembeli ticket saja belum ada. Saya mengharapkan dapat bertemu dengan bekas anak-anak buah di Seksi II Sektor III/B dulu, untuk meminjam uang mereka pembeli ticket. Saya tanyakan kepada mamanda Ginam dimana asrama mereka. Mamanda Ginam berjanji akan menyuruh mereka datang nanti malam.

Waktu itu kira-kira pukul 5.00 sore, dan saya dengar di pasar Teluk Bayur sudah beberapa hari diadakan pasar malam. Sesudah minum teh dan mengobrol sebentar, saya tompangkan barang-barang tentengan saya dirumah mamanda Ginam dan saya permisi mau jalan-jalan melihat pasar malam. Di salah satu stand saya tertarik melihat orang-orang sedang bermain dadu. Permainan dadu adalah sejenis judi dengan tebakan nomor berapa yang menghadap ke permukaan. Bila nomor yang kita tebak yang menghadap ke permukaan, kita dapat bayaran sekian kali lipat dari uang yang kita taro di nomor itu. Waktu itu ada tiga orang yang sedang bermain disitu. Diantara tiga orang tersebut ada seorang dengan tarohan yang tidak begitu besar selalu menang. Setelah saya perhatikan beberapa kali, kali berikutnya saya ikut memasang di nomor yang dipasang orang itu dengan nilai uang lebih kecil dari orang tersebut. Kebetulan saya menang juga. Saya ikut berjudi di stand dadu itu sampai enam atau tujuh kali menang terus. Sudah cukup untuk pembeli ticket kapal dan sedikit buat jajan saya berhenti dan terus pulang ke rumah, karena waktu Magrib sudah tiba.

Selesai Shalat Magrib, beberapa orang bekas anak buah di Seksi II datang menemui saya dirumah mamanda Ginam. Sebagian besar mereka masih berpangkat seperti yang saya berikan dulu, belum ada yang naik pangkat. Dari obrolan dengan mereka saya menilai bahwa mereka sudah puas dengan keadaan mereka sekarang. Saya tidak jadi meminjam uang mereka untuk membeli ticket, karena sudah saya peroleh dari pasar malam sore tadi. Mereka masih hormat kepada saya, dan kami mengobrol ke masa lalu dan kira-kira jam 9.00 malam kami berpisah dan saling bersalaman. Semoga Allah memaafkan saya atas uang haram sebagai modal awal saya merantau ke negeri orang. Mudah-mudahan Allah dapat memasukan perbuatan saya ini kedalam kelompok terpaksa atau darurat. Setelah sore itu tidak pernah lagi saya ikut berjudi dalam bentuk bermain dadu atau bentuk judi lainnya.

Menompang di Gang 101 Tanjung Priok

Malam itu saya pamit dan mengucapkan terima kasih kepada mamanda Ginam dan keluarga. Saya katakan saya besok subuh-subuh akan pergi antri membeli ticket di loket KPM. Seandainya saya tidak kembali lagi berarti saya sudah berangkat langsung ke Jakarta. Jinjingan saya, saya bawa sekalian, dan tidak ada yang berat. KPM adalah satu-satunya perusahaan Belanda yang mengelola transportasi laut seperti PELNI sekarang.

Saya sampai di loket KPM orang sudah banyak yang antre. Rupanya mereka antre sejak malam, sedangkan loket, baru dibuka jam 8.00 pagi. Akhirnya sampai giliran saya mendapatkan ticket, kira-kira jam 10.00. Dari situ saya langsung pergi ke pelabuhan yang tidak begitu jauh dari situ. Di pelabuhan, kapal yang akan ditompangi sedang bongkar muatan, diperkirakan selesai jam 4.00 sore. Setelah itu baru penumpang bisa naik ke atas kapal. Para penumpang menunggu di ruangan tunggu. Saya melihat yang menunggu disitu lebih banyak pengantar dari penumpang sendiri. Ada anak sekolah yang akan berangkat seorang sedangkan yang mengantarnya ada 5-6 orang. Di tangga kapal mereka bertangis- tangisan melepas anaknya atau kerabatnya berlayar ke negeri orang. Di ruang tunggu banyak penumpang yang membawa tikar, bantal dan piring. Saya tanyakan kepada mereka untuk apa tikar, bantal, dan piring itu?, mereka menjawab untuk alas tidur diatas dek kapal, dan piring untuk mengambil makanan bagi penumpang yang membeli ticket dek. Berarti saya juga harus membeli tikar, dan piring dulu untuk alas tidur nanti, sedangkan untuk bantal saya bisa menggunakan tas kulit saya saja untuk tiga malam.

Kurang lebih jam empat sore penumpang sudah mulai antre di hadapan tangga kapal untuk bersiap-siap naik ke kapal. Sambil memperlihatkan ticket kepada petugas untuk di robek sedikit, sebagai tanda kontrol. Masing-masing penumpang berangsur-angsur naik tangga dan langsung masuk ke dalam kapal dan mencari tempat yang disenanginya. Saya kebetulan antre dekat orang yang sudah biasa naik kapal dari Teluk Bayur ke Jakarta. Dia lebih tua dari saya kira-kira 5 tahun. Saya ikut saja dia, dimana dia, dekat itu saya, sambil mencari pengalaman. Demikian juga pada saat mengambil makanan pagi, siang dan malam.

Kira-kira jam 7.00 malam setelah pluit panjang berbunyi tiga kali kapal mulai bergerak. Kami mulai membentangkan tikar, masing-masing. Panggilan untuk mengambil makanan sudah terdengar. Sebagian penumpang dek sudah menyiapkan piring, kaleng, dan cangkir kaleng/mok siap-siap antre ke dapur mengambil makanan. Perut saya sudah terasa lapar, tetapi saya lihat teman yang lebih tua dari saya itu masih membenahi tikarnya dan barang- barang bawaannya yang lebih banyak dari bawaan saya. Rupanya dia membawa barang dagangan ke Jakarta. Selesai dia merapikan barang-barangnya saya ajak dia mengambil makanan. Dia setuju dan sambil membawa piring dan gelas minum saya ikuti dia di belakang. Lama juga antre mengambil makanan itu, karena seluruh penumpang dek diladeni disatu tempat walaupun disediakan beberapa loket. Selesai mengambil makanan, masing- masing membawa makanannya ke tempat tidurnya masing-masing. Diatas tikar tempat tidur itulah tempat makan kami. Selesai makan, piring dicuci sendiri dan disimpan untuk dipergunakan lagi makan berikutnya. Selesai makan kami mengobrol sebentar dan setelah itu saya pergi ke kamar mandi untuk mengambil uduk shalat Magrib dan Isya dijamak takkhir. Karena sudah terlalu capek kami langsung tidur yang tempatnya tidurnya bersebelahan Kira-kira jam 7.00 malam setelah pluit panjang berbunyi tiga kali kapal mulai bergerak. Kami mulai membentangkan tikar, masing-masing. Panggilan untuk mengambil makanan sudah terdengar. Sebagian penumpang dek sudah menyiapkan piring, kaleng, dan cangkir kaleng/mok siap-siap antre ke dapur mengambil makanan. Perut saya sudah terasa lapar, tetapi saya lihat teman yang lebih tua dari saya itu masih membenahi tikarnya dan barang- barang bawaannya yang lebih banyak dari bawaan saya. Rupanya dia membawa barang dagangan ke Jakarta. Selesai dia merapikan barang-barangnya saya ajak dia mengambil makanan. Dia setuju dan sambil membawa piring dan gelas minum saya ikuti dia di belakang. Lama juga antre mengambil makanan itu, karena seluruh penumpang dek diladeni disatu tempat walaupun disediakan beberapa loket. Selesai mengambil makanan, masing- masing membawa makanannya ke tempat tidurnya masing-masing. Diatas tikar tempat tidur itulah tempat makan kami. Selesai makan, piring dicuci sendiri dan disimpan untuk dipergunakan lagi makan berikutnya. Selesai makan kami mengobrol sebentar dan setelah itu saya pergi ke kamar mandi untuk mengambil uduk shalat Magrib dan Isya dijamak takkhir. Karena sudah terlalu capek kami langsung tidur yang tempatnya tidurnya bersebelahan

Nyenyak sekali tidur saya malam itu, ombak pun tidak begitu terasa, bangun-bangun pagi sudah terang. Saya buru-buru mau kekamar mandi. Saya mau mengambil sepatu saya ternyata sudah tidak ada ditempat semula. Saya mencoba mencari disekitar itu barangkali ada yang meminjam, ternyata tetap tidak ada. Saya ceritakan kepada teman di sebelah saya, diapun prihatin dan berusaha mencari agak jauh dari tempat tidur kami, ternyata tetap tidak ada, berarti sepatu baru sudah hilang. Sejak itu saya praktis berkaki ayam selama di kapal sampai turun ke darat.

Perjalanan memakan waktu tiga hari empat malam. Kapal mampir dulu selama lebih kurang 4 jam di Pelabuhan Bengkulu untuk membongkar dan memuat muatan dan penumpang. Di pelabuhan Bengkulu kapal tidak bisa rapat ke dermaga, karena pantainya dangkal. Untuk pekerjaan bongkar dan muat menggunakan jasa perahu terlebih dahulu, barang-barang dimasukkan dulu ke dalam perahu dibawa ke sisi kapal, baru dinaikan ke atas kapal. Demikian juga dengan penumpang. Penumpang naik dulu ke dalam perahu dibawa ke tengah dari perahu itu baru naik ke atas kapal seperti orang memanjat. Kalau kita perhatikan penumpang yang turun dan naik kapal dari pelabuhan Bengkulu beresiko, bahkan sering terjadi kecelakaan sampai jatuh dan lain-lain. Setelah empat malam perjalanan maka subuh Nya kira-kira jam 5.00 pagi kapal sudah sampai di Tanjung Priok. Penumpang baru bisa turun ke darat jam 7.00 pagi.

Setelah mendengar pluit kapal beberapa kali tanda kapal akan berhenti, saya pun siap- siap menggulung tikar dan mempersiapkan barang bawaan. Saya mulai berjalan menuju pintu dan tangga tempat turun kapal dan menunggu di situ. Tepat jam 7.00 penumpang diizinkan turun melalui tangga yang sudah disiapkan. Rupanya penumpang tidak sabar ingin cepat- cepat sampai di bawah, sehingga mereka turun berdesak-desakan, bahkan banyak ibu-ibu yang mengeluh. Akhirnya saya berkaki ayam sudah sampai di luar bangunan pelabuhan tempat mobil-mobil parkir.

Dari kampung sebelum berangkat saya sudah mendapat alamat mamanda Yubhar yang akan dituju, yaitu: Peltu Yubhar, Staf Operasionel Angkatan Laut. Jalan Gunung Sari 67. Jakarta. Dalam deretan mobil parkir saya melihat ada satu buah truck Angkatan Laut bertutup dilengkapi bangku-bangku tempat duduk. Saya dekati truck tersebut dan menanyakan kepada sopirnya; Apakah mobil ini liwat Jalan Gunung Sari.?. Dia menjawab, benar dan mobil ini tujuannya ke sana. Sopir mobil memperhatikan saya mulai dari topi sampai ke kaki tanpa sepatu atau sandal, dia menanyakan mau bertemu siapa ? saya jawab Peltu Yubhar Staf Operasionel Angkatan Laut, Dengan ragu-ragu dia menawarkan kepada saya, naiklah.!

Saya segera naik dengan tas kulit kecil di tangan kanan dan jinjingan yang terbuat dari daun anau disebelah kiri menaiki truck itu. Saya memilih tempat duduk di bangku–bangku sebelah ujung mendekati sopir. Saya pilih tempat disitu supaya mudah melihat kekanan dan ke kiri, karena ini lah pertama kali saya melihat kota besar seperti Jakarta. Dalam mobil itu sudah ada beberapa penumpang lainnya, ada yang berpakaian kelasi, ada juga yang berpakaian preman. Setelah menunggu kira-kira setengah jam mobil disitu, tidak ada lagi Saya segera naik dengan tas kulit kecil di tangan kanan dan jinjingan yang terbuat dari daun anau disebelah kiri menaiki truck itu. Saya memilih tempat duduk di bangku–bangku sebelah ujung mendekati sopir. Saya pilih tempat disitu supaya mudah melihat kekanan dan ke kiri, karena ini lah pertama kali saya melihat kota besar seperti Jakarta. Dalam mobil itu sudah ada beberapa penumpang lainnya, ada yang berpakaian kelasi, ada juga yang berpakaian preman. Setelah menunggu kira-kira setengah jam mobil disitu, tidak ada lagi

Setelah saya ucapkan terima kasih kepada sopir, saya langsung menuju piket diruang depan. Sejak saya memasuki pintu markas itu , piket yang duduk di belakang counter memperhatikan saya dengan tajam. Sudah mendekat saya hormat ala tentara, dan memberitahukan, ingin bertemu dengan pak Yubhar. Mendengar itu saya dipersilakan, menunggu sebentar sambil mempersilakan duduk di bangku tamu. Tidak lama kemudian mamanda Yubhar datang dalam pakaian dinas Angkatan Laut. Beliau pun tercengang melihat keadaan saya, bertopi spy, pakaian dari bahan tipis dan bergoyang tanpa sepatu. Ada beberapa detik beliau memandang saya seakan-akan tidak percaya. Kata-kata pertama yang keluar dari mulut beliau adalah, “Kenapa kamu jadi begini Tamam”? Setelah saya ceritakan serba sedikit dari kegagalan-kegagalan yang saya hadapi dan hilangnya sepatu saya di atas kapal beliau mulai mengerti. Beliau mengatakan jalan-jalan saja dulu nanti jam 2.00 siang ke sini lagi, supaya kita sama-sama pulang ke Tanjung Priok, tas dan jinjingan ini titipkan saja dulu di pos piket.

Waktu itu baru jam 10.00 pagi, masih ada waktu beberapa jam lagi menjelang jam 2.00 siang. Dari markas Angkatan Laut itu saya ke luar menuju arah Gedung Kesenian sekarang dengan maksud melihat-lihat situasi keliling. Sebelum menyeberang jalan kebetulan di pojok itu ada jongkok-jongkok orang menjual kopi, teh dan goreng-gorengan. Kebetulan saya sejak pagi belum mendapatkan makanan apa-apa. Saya mampir untuk minum kopi dan makan goreng pisang sekedar bisa menahan lapar sampai siang nanti. Selesai minum kopi saya belok ke kanan menuju pertokoan Pasarbaru. Disana pandangan saya tertuju ke etalase- etalase penuh kagum, melihat barang-barang mewah yang belum pernah saya lihat selama ini. Betul-betul saya waktu itu adalah orang gunung masuk kota. Ditambah lagi dengan masyarakat berkomunikasi dalam bahasa Belanda yang buat saya sangat aneh, karena latar belakang saya adalah Bahasa Inggeris, walaupun baru pada tingkat awal. Dari apa yang saya lihat dan apa yang saya dengar, timbul perasaan pesimis dalam pikiran saya. Apakah saya bisa hidup dan bersaing ditengah-tengah masyarakat yang begitu maju di Jakarta ini?.

Jam 2.00. siang kurang lima menit saya sudah sampai di kantor mamada Yubhar, kembali dan duduk menunggu di kursi tamu, setelah mengambil kembali barang yang di titipkan di pos piket tadi. Tepat jam 2.00 sirine tanda waktu pulang sudah tiba. Orang-orang keluar menuju truk pengangkutan masing-masing dan saya diajak oleh mamanda Yubhar ke truk yang menuju ke Tanjung Priok. Dihadapan Gang 101 truk itu berhenti dan kami turun untuk berjalan kaki beberapa puluh meter ke rumah mamanda Yubhar.

Diterima Bekerja Sebagai Pegawai Sipil di Perhubungan Angkatan Laut

Di rumah itu tinggal mamanda Yubhar bersama isteri bernama Daeram, juga dari kampung Parit Putus. Disamping itu ada lagi tamu-tamu beliau. Wahid, masih famili beliau di kampung dan lebih tua dari beliau sedikit. Djamaris, orang Painan teman Wahid sama-sama bekerja di bagian dapur asrama Angkatan Laut di Tanjung Priok. Ada lagi Anas, seangkatan dengan saya orang Bonjol Alam, masih saudara degan Wilmar. Ditambah dengan saya yang Di rumah itu tinggal mamanda Yubhar bersama isteri bernama Daeram, juga dari kampung Parit Putus. Disamping itu ada lagi tamu-tamu beliau. Wahid, masih famili beliau di kampung dan lebih tua dari beliau sedikit. Djamaris, orang Painan teman Wahid sama-sama bekerja di bagian dapur asrama Angkatan Laut di Tanjung Priok. Ada lagi Anas, seangkatan dengan saya orang Bonjol Alam, masih saudara degan Wilmar. Ditambah dengan saya yang

Besok pagi-pagi saya sudah bangun bersiap-siap pergi ke markas Angkatan Laut bersama mamanda Yubhar. Waktu akan mengambil pakaian saya termenung, karena tidak ada pakaian yang sesuai dengan suasana Jakarta. Anas melihat saya termenung dan mencari- cari pakaian yang akan dipakai. Rupanya dia merasa saya menghadapi masalah dengan pakaian. Anas tahu bahwa saya akan pergi bersama mamanda Yubhar ke kantor untuk melamar pekerjaan. Anas bangun dari tempat tidurnya sambil mengambil satu stel pakaian yang cocok untuk memasuki kantor orang, apalagi maksud melamar pekerjaan. Pakai saja baju dan celana ini katanya, mudah-mudahan berhasil katanya. Memang badan saya dengan badan Anas hampir sama, jadi soal ukuran tidak ada masalah. Lagi-lagi saya ucapkan terima kasih kepada Anas. Semoga Allah membalas nya dengan pahala yang berlimpah-limpah. Amin !. Selesai memakai pakaian hasil pemberian dan pinjaman, dengan percaya diri saya baca Bismillaahirrahmaanirrahim. Kami berjalan kaki ke luar gang menunggu mobil angkutan yang akan liwat sebentar lagi.

Tidak sampai sepuluh menit kami menunggu, angkutan itu pun datang. Kami naik dengan mengucapkan “selamat pagi” kepada semua penumpang yang sudah dulu berada di mobil itu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong. Banyak guyon yang menyebabkan tertawa antar penumpang selama perjalanan, kadang–kadang saya ikut senyum-senyum saja. Tidak terasa kami sudah sampai di kantor Staf Operasional. Saya dikenalkan dengan Kepala Perhubungan di Staf Operasional Letkol Sukeswo. Alhamdulillah, tidak ada testing, dan lain-lain. Saya langsung diterima, dan bisa mulai bekerja besok. Pada waktu itu langsung diperkenalkan dengan staf lainnya bahwa saya sebagai teman baru mereka, dan sementara ditempatkan di bagian ekspedisi.

Maha besar Allah yang telah memberi petunjuk kepada umatnya. Dengan diterimanya saya bekerja di situ timbul lagi semangat saya untuk meraih cita-cita saya. Sejak berhenti dari ketentaraan sampai waktu terakhir selalu dalam kegagalan. Baru hari itu saya menerima rachmat luar biasa dengan diterimanya bekerja di Bagian Perhubungan Angkatan Laut.

Besoknya saya akan mulai bekerja, terpaksa dengan pakaian apa adanya, tanpa topi. Untuk membeli pakaian baru belum memungkinkan, karena keuangan saya betul-betul minim. Untuk membeli baju bekas tidak ada orang menjual baju bekas waktu itu. Apa boleh buat saya tidak begitu memperhatikan lagi, sampai akhir bulan saya tetap berpakaian apa adanya. Setelah menerima gaji, segera saya pergi membeli baju yang sesuai dengan keuangan saya untuk pakaian kerja.

Setelah saya masuk bekerja beberapa hari, saya berkenalan dengan salah seorang yang sebaya dengan saya berasal dari kampung Baso. Kampung Baso dekat dengan kampung Parit Putus. Dia juga bekerja sebagai tenaga sipil di Angkatn Laut, cuma di bagian lain. Dia mengatakan bahwa dia tinggal di mess Angkatan Laut di Manggarai, setelah dia mengetahui bahwa saya menompang di rumah saudara di Tanjung Priok, dia mengajak saya sama-sama tinggal di mess Angkatan Laut. Kita hanya membayar sekian persen dari gaji yang kita terima. Kalau mau nanti kita urus izinnya bersama-sama. Saya belum menjawab waktu itu karena akan membicarakan dulu dengan mamanda Yubar. Dia rupanya kenal juga dengan mamanda Yubhar, namun demikian, dalam hati saya sudah ada keputusan setuju untuk pindah ke mess, dari pada memberati mamanda Yubhar terus menerus.

Setelah saya ceritakan kepada mamanda Yubhar bahwa saya bertemu dengan Ali Amran orang Baso di kantor. Dia mengajak saya tinggal di mess Angkatan Laut Manggarai bersama dia, supaya dekat ke kantor dan bisa sekolah petang hari. Mamanda Yubhar mendukung, sebab kalau tinggal di Tanjung Priok waktu habis di jalan dan sore praktis tidak dapat berbuat apa-apa lagi karena berjauhan dari pusat kota. Besoknya saya sampaikan saran mamanda Yubhar tersebut kepada Ali Amran, dan hari itu juga kami pergi mengurus surat izin tinggal di mess kepada instansi terkait, dan selesai hari itu juga.

Pulang kantor hari itu saya ikut Ali Amran pulang ke mess. Maksudnya ialah untuk menyerahkan surat persetujuan tinggal di mess kepada pengurus mess setempat dari kantor Pusat. Sebelumnya saya belum pernah ke sana. Ternyata mess itu terdiri dari dua lantai. Lantai bawah untuk berbagai fasilitas seperti dapur, ruangan makan, lapangan badminton, tempat parkir dan lain-lain. Kamar penghuni dan kamar mandi semuanya ada di lantai atas dan ruangan rapat. Tidak ada alasan bagi saya untuk tidak betah tinggal di tempat yang sebersih itu. Saya katakan kepada pengurus mess, bahwa saya besok malam akan mulai tinggal disitu.