BEKERJA DI BUKITTINGGI ( 1954 – Pertengahan 1956)

12. BEKERJA DI BUKITTINGGI ( 1954 – Pertengahan 1956)

Kami sampai di kampung sore-sore. Ibunda dan nenek kaget melihat kami tiba-tiba sudah ada dihadapan beliau, tanpa memberi tahu sebelumnya, Apalagi, saya yang dulu kurus sekarang telihat berisi dan gemuk. Tentu oleh beliau tidak terpikirkan bahwa kepulangan kami kali ini adalah kepulangan penuh kegagalan, dan pesimis yang akan merehabilitasi phisis dan fisiknya. Berangkat dengan modal nol kecil, pulang dengan nol besar.

Sebagaimana biasa setiap perantau pulang, saudara, mamak dan tetangga lainnya berbasa basi datang menanyakan mulai dari kesehatan dan lain sebagainya. Rupanya famili di kampung telah mengetahui bahwa saya lama dirawat di rumah sakit. Supaya tidak bertanya- tanya, saya jelaskan sekalian tentang penyakit yang saya derita, yang berdasarkan ilmu kedokteran, pengobatannya harus tuntas. Jenis penyakit ini jika tidak diobati secara tuntas akan cepat sekali kembali lagi dan akan menjadi beban seumur hidup. Ibunda rupanya membaca kegundahan saya menghadapi masa depan saya. Beliau pun menghibur dengan mangatakan “dirumah sajalah dulu, ada sama kita makan, tidak ada sama berhenti, tidak mungkin Tuhan tidak memberi rezki sama umatnya”. Kata-kata beliau ini membesarkan hati saya. Waktu itu beliau masih berjualan nasi di Simpang Parit Putus.

Ada kira-kira setengah jam saya bicara-bicara dengan ibunda dirumah, saya permisi untuk pulang ke rumah istri yang hanya berjarak lebih kurang dua ratus meter. Di rumah isteri pun demikian juga. Begitu saya sampai, keluarga pihak isteri pun datang sebagai perhatian dan basa-basi kepada menantu yang baru pulang dari rantau.

Sejak itu saya menjadi penganggur penuh. Kerja, hanya makan, minum, main, mengobrol, tidur, makan, minum, main mengobrol, tidur selama lebih kurang 4 bulan. Kebutuhan beras disuply dari ibunda. Saya masih ingat, kata-kata adinda Nurjalis kepada ibunda “kita jemur padi itu untuk kakanda Lisma, tuan Tamam kan tidak bekerja”. Sekali limabelas hari di bawakan beras setengah karung, untuk kami. Untuk memenuhi kebutuhan lauk-pauk Lisma menerima upah jahit dari Sutan Makmur (ayah Dasnir) yang membuka usaha konpeksi waktu itu.

Belum puas cobaan datang kepada saya. Dalam kondisi yang demikian, saya mendapat penyakit kuning (hepatitis A) Gejalanya ialah, sesudah makan perut merasa tidak enak seakan-akan mau muntah, badan lemas, biji mata kuning. Ibunda cemas melihat kesehatan saya. Beliau memberi saya uang, dan menyuruh saya pergi berobat kepada Dokter Jamil di Jalan Atas Ngarai. Dr. Jamil ini yang terbaik di Bukittinggi waktu itu dan terkenal mahal dan disiplin. Bila nasehat-nasehat beliau tidak diikuti lain kali beliau tidak mau meladeni lagi, dan disuruh mencari Dokter lain saja katanya.

Sore itu saya pergi menompang bendi sampai di Aur Tajungkang. Dari Aur Tajungkang ke sana berjalan kaki jarak satu kilometer. Pemeriksaan disitu sudah lengkap berikut pemeriksaan laboratorium yang dikerjakan oleh Dokter Jamil sendiri. Saya menunggu di ruangan tamu sampai beliau memeriksa darah dan urine saya. Selesai pemeriksaan, saya dipanggil, sambil memberi resep, beliau mengatakan, supaya banyak istirahat di tempat tidur, tidak boleh makan yang berminyak-minyak, sekali seminggu harus datang untuk diberi Sore itu saya pergi menompang bendi sampai di Aur Tajungkang. Dari Aur Tajungkang ke sana berjalan kaki jarak satu kilometer. Pemeriksaan disitu sudah lengkap berikut pemeriksaan laboratorium yang dikerjakan oleh Dokter Jamil sendiri. Saya menunggu di ruangan tamu sampai beliau memeriksa darah dan urine saya. Selesai pemeriksaan, saya dipanggil, sambil memberi resep, beliau mengatakan, supaya banyak istirahat di tempat tidur, tidak boleh makan yang berminyak-minyak, sekali seminggu harus datang untuk diberi

Kepada Lisma juga saya sampaikan nasehat Dr.Jamil itu. Dia juga membantu dengan menyiapkan makanan tanpa minyak, hanya dengan bakar-membakar saja. Alhamdulillah dalam sebulan sudah terlihat kemajuannya. Bola mata yang tadinya kuning sekarang sudah mulai agak bening. Rasa mau muntah sesudah makan sekarang tidak ada lagi. Melihat kemajuan kesehatan saya sedemikian rupa, Dr. Jamil kembali memeriksa darah dan urine saya. Sejak itu tidak perlu lagi tiap minggu ke sini cukup sekali limabelas hari saja untuk disuntik kata beliau. Saya bersyukur menerima kabar ini, karena saya sendiri sudah kasihan pada ibunda. Tabungan beliau sudah habis, bahkan saya mendengar beliau sudah mulai pinjam kanan kiri untuk kepentingan pengobatan saya.

Pada salah satu malam, tanpa sebab mata saya tidak bisa tidur. Walau pun sudah bolak balik berusaha untuk tidur tetap tidak bisa. Pikiran saya tercurah pada arti hidup saya. Saya sudah mulai merasa bahwa hidup saya ini tidak ada artinya, hanya menjadi beban keluarga saya maupun keluarga isteri. Pikiran ini mutar-mutar sekitar persoalan itu saja. Sudah sampai jam 2.30 malam saya belum juga bisa tidur. Tengah malam itu saya bangun pergi mengambil uduk untuk sembahyang tahjud. Rasanya sembahyang malam itu khusyuk sekali. Kepada Allah saya mengadukan penderitaan batin saya, menangis dengan permohonan. Bila Allah menganggap bahwa hidup saya ini tidak akan ada artinya untuk diri saya, keluarga, dan masyarakat, bahkan sebaliknya, saya rela disudahi sampai disini saja bila itu menurut Allah terbaik untuk saya. Ada kira-kira 2 jam saya diatas sajadah, untung isteri saya tidak bangun melihat saya duduk menangis. Kalau dia bangun mungkin dia ikut menangis untuk menyabar-nyabarkan saya.

Sejak Dokter Jamil mengatakan bahwa saya sudah boleh sekali dua minggu datang untuk disuntik, saya sudah main-main ke simpang Parit Putus, mengobrol dengan teman-teman yang biasanya ada di simpang, minimal dengan pedagang-pedagang disitu. Tidak lama setelah saya menangis tengah malam itu, kebetulan pada suatu sore ada teman lama yang sama-sama kursus tata-buku Bond A di Jakarta dulu mencari saya ke kampung. Dia adalah orang Tengah Sawah Bukittinggi, sejak setahun lalu sudah menetap di Bukittinggi dan bekerja di salah satu perusahaan swasta di Bukittinggi. Dia mendengar dari salah seorang teman bahwa saya sejak beberapa bulan lalu sudah menetap di Kampung, dan sekarang sedang tidak bekerja.

Kami bertemu di simpang Parit Putus, dan saya ajak dia kerumah, sekalian memperkenalkan dengan istri saya. Dia prihatin mendengar saya menganggur sekian lama. Dia mengajak saya bekerja di suatu perusahaan swasta yang kebetulan memerlukan tenaga yang mempunyai ijazah tata-buku Bond A. Mula-mula saya minder menerima tawarannya itu, dan dia berusaha meyakinkan saya supaya saya mau menerima. Dia bilang bahwa dia mengajak saya bekerja bukan hanya untuk mendapatkan penghasilan, tetapi yang penting dan lebih utama ialah mengembalikan kepercayaan diri saya yang sudah mulai melorot, akibat cobaan yang bertubi-tubi. Akhirnya saya mau dan besok kami berjanji bertemu dibawah jam gadang di Bukittinggi, jam 7.30.

Pengalaman Sebagai Juru Buku (Boekhouder) di PT Nusantara

Malamnya saya siapkan ijazah tata-buku Bond A yang saya peroleh tahun 1952 untuk dibawa besok melamar pekerjaan. Pagi-pagi saya sudah bangun, mandi dan memilih pakaian yang terbaik yang saya miliki. Jam 7.15 saya sudah ada dibawah jam gadang Bukittinggi. Tidak lama teman lama ini pun datang berjalan kaki. Dia mengajak saya ke Kampung Cina arah ke Jalan Lurus. Dalam perjalanan dia ceritakan, perusahaan yang mencari tenaga pembukuan itu adalah PT Nusantara, beralamat di Jalan Kampung Cina bersebelahan dengan kantor Bank Nasional.

Tidak lama, kami sudah sampai di Kantor PT Nusantara. Ruangan Direksi dan administrasi ada di ruangan atas, sedangkan ruangan bawah dipakai untuk operasionel. Saya diajak menemui Kepala Bagian Pembukuan. Nama beliau adalah pak Syarif Johan, lebih tua dari saya kira-kira 10 tahun. Teman lama itu setelah memperkenalkan saya dengan pak Syarif Johan dia langsung pamit, karena harus masuk kerja. Pak Syarif Johan, menanyakan, apakah sejak mendapat ijazah Bond A sudah berpengalaman di bidang pembukuan?. Saya mengaku, belum. Pertanyaan ini rupanya beliau maksudkan untuk menentukan posisi saya dan besarnya gaji yang akan ditawarkan. Beliau mengatakan, prinsipnya dapat diterima bekerja disini, karena belum berpengalaman, standar gaji permulaan adalah sekian. Kalau setuju, hal ini akan saya sampaikan kepada Direksi untuk disetujui. Kalau disetujui oleh Direksi, besok bisa mulai bekerja kata pak Syarif Johan. Saya ingat nasihat teman lama di rumah kemarin, anggaplah ini sebagai usaha pengembalian kepercayaan diri katanya. Saya pikir sebentar setelah itu saya jawab, setuju pak, saya ingin mendapatkan pengalaman dari bapak kata saya.

Saya disuruh menunggu sebentar, ijazah saya dibawa oleh pak Syarif Johan menuju kamar Direksi yang berada di pojok ruangan itu. Kira-kira 15 menit beliau keluar dari kamar direksi dan kembali ke meja beliau. Beliau mengatakan Direksi setuju, dan besok pagi bisa mulai bekerja. Jam kerja disini adalah masuk jam 7.00 pagi pulang jam 2.30 siang. Beliau berpesan supaya besok menyiapkan lamaran kerja untuk kepentingan administrasi.

Sampai di rumah, saya ceritakan kepada ibunda, Alhamdulillah saya sudah diterima bekerja di PT Nusantara, dan mulai bekerja besok. Berlinang air mata beliau mendengar kabar gembira itu. Syukurlah kata beliau, rusuh kami melihat kamu seperti ini, terus menerus. Baik-baiklah bekerja di situ, jangan melawan-lawan sama atasan, pesan beliau. Kepada isteri juga saya beritahukan hal yang sama, dan kebetulan dia mempunyai sebuah sepeda. Dia bilang, kita perbaiki saja sepeda kita itu untuk pulang pergi kerja.

Besoknya pukul tujuh kurang lima menit saya sudah ada di kantor PT Nusantara. Pak Syarif Johan sudah ada di kantor, dan saya lihat di sebelah kiri meja beliau sudah ada satu buah meja kosong berikut kursi. Saya langsung menuju meja beliau, menyerahkan surat lamaran yang kemarin beliau pesankan. Beliau menunjuk meja yang disebelah kiri beliau itu untuk saya. Sebelum saya duduk di kursi yang disediakan untuk saya, pak Syarif Johan mengajak saya keliling dulu berkenalan dengan semua staf yang ada di ruang atas. Pertama- tama saya di bawa ke kamar Direksi yaitu pak Anwar Sutan Saidi. Setelah itu dengan Kepala Bagian Penerbitan pak Osman Hasibuan, sesudah itu kepada Kepala Bagian Percetakan pak Makmur. Setelah itu baru kepada staf lainnya termasuk staf keuangan.

Hari pertama itu saya belum dikasih pekerjaan. Kepada saya hanya dikasih struktur organisasi dengan job description, serta kumpulan peraturan-peraturan intern untuk dipelajari. Dari struktur organisasi dan job description itu saya ketahui bahwa PT. Nusantara bergerak dalam bidang Penerbitan, Percetakan dan Perdagangan. Hasil membaca struktur organisasi dan job description itu saya berkesimpulan bahwa PT. Nusantara waktu itu sedang berkembang pesat. Tidak tertangani oleh tenaga-tenaga yang ada. Waktu saya masuk, tenaga di bagian pembukuan hanya pak Syarif Johan dibantu oleh seorang ibu-ibu bernama Rosmi, berarti bertiga dengan saya. Wajar kalau pak Syarif Johan kewalahan, banyak pekerjaan pembukuan tidak sempat dikerjakan seperti buku-buku pembantu dan lain-lain. Tidak sempat saya membaca kumpulan peraturan-peraturan intern di kantor karena jam sudah mendekati jam 2.30. Saya minta izin ke pak Syarif Johan untuk membawa kumpulan peraturan- peraturan intern itu pulang supaya saya sempat membaca di rumah. Beliau menyetujui, supaya besok sudah boleh diberi pekerjaan pembukuan yang tertinggal.

Hari kedua saya masuk kantor seperti kemarin. Berkas-berkas yang kemarin diserahkan pak Syarif Johan untuk saya pelajari sudah selesai saya baca semua. Pagi itu saya kembalikan semua, dengan harapan supaya dapat pekerjaan yang langsung menyangkut dengan pembukuan sesuai dengan ijazah yang saya miliki. Harapan itu menjadi kenyataan. Pak Syarif Johan minta saya memasukkan bon-bon penerimaan dan bon-bon pengeluaran ke kartu persediaan yang sejak bulan Januari tidak dikerjakan. Saya dibawa ke lemari tempat menyimpan bon-bon penerimaan dan bon-bon pengeluaran yang masih bertumpuk. Itulah pertama kali saya melihat bagaimana bentuknya kartu persediaan, dan bagaimana membukukannya dan apa fungsinya dalam pembukuan secara keseluruhan.

Pertama-tama pak Syarif Johan mengajarkan kepada saya cara pengisiannya, untuk saya lanjutkan. Tetapi sebelum saya lanjutkan, saya periksa dan susun dulu semua bon-bon itu menurut tanggalnya, baik untuk bon penerimaan maupun bon pengeluaran. Setelah itu baru saya bukukan ke masing-masing kartunya. Sejak itu saya terbenam dengan pekerjaan itu, selama lebih dari dua minggu, baru selesai sampai ke tanggal terakhir. Pak Syarif Johan memeriksa pekerjaan saya, beliau menanyakan apakah sudah selesai ?. saya bilang, sudah pak. Kelihatannya beliau puas dengan pekerjaan saya. Beliau minta saya menyusun kembali ke tempatnya masing-masing, yaitu bon-bon ke gudang arsip khusus untuk menyimpan bon- bon penerimaan dan pengeluaran, sedangkan kartu persediaan di lemari khusus untuk menyimpan kartu-kartu persediaan.

Belum cukup sebulan saya bekerja di PT Nusantara, terjadi ketegangan dalam rumah tangga. Ketegangan bukan antara saya dengan isteri, tetapi antara saya dengan bapak tiri isteri bernama Ajam yang berprofesi sebagai kusir bendi. Satu ketika saya emosi, tidak tahu apa sebabnya, sampai saya tendang pintu kamar saya yang bersebelahan dengan kamar bapak tiri itu, sambil mengatakan “saya disuruh berlaku kurang ajar di rumah ini” Waktu itu ibu mertua dan bapak tiri istri sedang ada di dalam kamarnya. Saya menunggu reaksi dia, ternyata tidak ada.

Besok pagi sambil pergi kerja saya bawa pakaian saya untuk pengganti beberapa hari. Saya katakan sama isteri, biarlah saya tinggal dulu di losmen Merapi di Aur Tajungkang sambil mencari rumah sewaan di Bukittinggi. Kalau saya tetap di kampung mungkin terjadi Besok pagi sambil pergi kerja saya bawa pakaian saya untuk pengganti beberapa hari. Saya katakan sama isteri, biarlah saya tinggal dulu di losmen Merapi di Aur Tajungkang sambil mencari rumah sewaan di Bukittinggi. Kalau saya tetap di kampung mungkin terjadi

Di kantor, konsentrasi kerja saya terganggu. Saya mulai bertanya-tanya barangkali ada diantara teman-teman mengetahui orang yang akan menyewakan rumahnya untuk satu keluarga kecil. Salah seorang teman tempat saya bertanya adalah Rustam pegawai bagian Penerbitan. Dia bilang ada orang kampungnya tinggal di Jalan Atas Ngarai, menyewa sebuah rumah yang mempunyai dua kamar tidur. Sedangkan dia hanya memerlukan satu kamar tidur saja, mungkin dia mau menyewakan satu kamar lagi. Kalau mau nanti pulang kantor kita sama-sama ke sana melihat rumah itu, katanya. Pulang kantor kami pergi melihat rumah itu, saya dikenalkan dengan penyewa sekarang namanya Muli. Lebih tua dari saya kira-kira 5 tahun, dan isterinya Ana. Pak Muli dan etek Ana keduanya berdagang sepatu di Pasar Atas Bukittinggi, mereka berasal dari Desa Sungaipuar. Rustam mengatakan maksud kedatangan kami menanyakan apakah kamar yang satu lagi akan disewakan, dan saya sedang memerlukan satu kamar katanya. Pak Muli dan etek Ana setuju kami tinggal di situ, karena rumah ini kalau siang kosong saja, sedangkan mereka dua-duanya ada di kedai sepatunya, dan baru pulang pukul empat sore.

Besok sore Lisma datang ke Losmen Merapi mengantarkan pakaian untuk pengganti pakaian yang kotor untuk dicuci di kampung. Saya ajak dia sekalian melihat rumah itu. dan kebetulan pak Muli dan etek Ana sudah pulang dari kedainya. Alhamdulillah kami sepakat untuk tinggal serumah, mudah-mudahan menjadi saudara nantinya. Kami janji hari Minggu akan masuk ke rumah itu. Saya minta Lisma menyampaikan dulu kepada ibunda dan keluarga lainnya yang patut diberitahu, bahwa kita akan tinggal dulu di Bukittinggi, supaya lebih dekat ke kantor tempat saya bekerja. Nanti setelah saya menemui ibunda dan nenek minta izin pindah ke Bukittinggi, saya juga akan menemui famili-famili pihak isteri di kampung sebagai basa basi. Hari minggu kami pindah, ibunda mertua ikut mengantar kami ke tempat yang baru.

Kira-kira sebulan kami tinggal di sana Lisma mulai merasa mual-mual. Kami periksakan ke klinik Gereja yang berdekatan dengan rumah kami, ternyata dia positif hamil. Tetapi kehamilan pertama ini tidak bertahan lama, hanya lebih kurang tiga bulan, setelah itu dia keguguran, dan dirawat di klinik gereja itu beberapa hari. Alhamdulillah beberapa bulan kemudian, Allah mengganti dengan yang lain, dan selamat lahir pada tanggal 24 Januari l956, yang merupakan anak kami yang pertama diberi nama Herry Bustaman.

Sejak kami tinggal di Jalan Atas Ngarai, Chairman sering mampir ke rumah. Saya arif, mungkin perlu sedikit uang untuk jajan dan lain-lain, karena ia sejak SMP sudah mulai merokok. Saya katakan, kalau sudah dapat uang jajan dari saya kepada ibunda jangan diminta lagi, kasihan beliau. Bulan depan dia datang lagi sebagaimana biasa, dan mengatakan dia sudah kos di Tangahsawah dekat mesjid. Uang kosnya sekian sebulan katanya. Saya diam, sambil kesal, akan membiarkan ibunda mencarikan uang untuk membayar kosnya, saya betul-betul tidak sampai hati. Ibunda sudah banyak mengeluarkan uang biaya berobat saya di Dr. Jamil, bahkan sampai berutang, mungkin utang tersebut belum lunas, sekarang sudah ada beban baru lagi untuk kos bulanan.

Saya sudah merasa betah bekerja di PT Nusantara. Besok pagi, pak Syarif Johan mendekati meja saya, mengatakan, hari ini saya minta tolong mengerjakan kartu utang dan piutang, yang sejak bulan Januari tidak dikerjakan. Beliau mengambil sendiri berkas-berkas yang akan dikerjakan itu, dan membawa ke meja saya. Pekerjaan ini lebih sulit dibanding dengan mengisi kartu-kartu persediaan, dan memerlukan ketelitian. Inipun beliau tunjukkan beberapa buah transaksi, setelah itu baru saya lanjutkan.

Pak Syarif Johan adalah orang baik, diantara orang–orang yang baik yang saya kenal. Beliau tahu bahwa saya belum berpengalaman dalam praktek pembukuan, beliau ajar dan tunjuki dari yang sekecil-kecilnya dengan sabar. Saya sadar dan respek kepada beliau, oleh karena itu tiap tugas yang beliau berikan kepada saya, selalu saya kerjakan dengan hati-hati dan selesaikan pada waktunya.. Begitu juga cara beliau memberikan tugas kepada saya, tidak pernah beliau memberi tugas itu dalam bentuk perintah, selalu dengan menggunakan kata- kata tolong. Sikap ini tidak saja kepada saya, tetapi juga kepada Rosmi yang sudah lebih dahulu masuk beberapa bulan dari saya.

Tugas yang baru saya terima, mulai saya kerjakan sambil merenungkan kembali petunjuk-petunjuk pak Syarif Johan. Kartu utang piutang yang sedang saya kerjakan sangat erat hubungannya dengan buku besar yang dikerjakan oleh Rosmi. Sejak itu saya banyak berhubungan dengan Rosmi. Dari teman lain saya mendapat informasi bahwa Rosmi baru saja mendapat musibah, ditinggal meninggal suaminya dan meninggalkan seorang bayi perempuan berumur bulanan. Jadi setiap satu atau dua jam dia pulang kerumah dulu untuk menyusukan anaknya. Kebetulan rumahnya berdekatan dengan kantor. Rosmi jarang berkomunikasi dengan teman-teman di kantor kalau tidak perlu, mungkin belum lepas dari kesedihan yang menimpanya.

Tidak lama setelah itu, saya membaca iklan di koran Haluan bahwa PT Nusantara menerima pelamar-pelamar untuk di tempatkan di bagian percetakan, pembukuan, dan perdagangan. Sejak hari itu setiap hari ada saja lamaran yang masuk untuk berbagai peluang yang terbuka. Pak Syarif Johan memerintahkan kepada saya untuk mengumpulkan pelamar- pelamar untuk bagian pembukuan yang memenuhi syarat. Dari sekian banyak yang memenuhi syarat, beliau pilih enam pelamar yang terbaik. Beliau minta saya menyiapkan surat panggilan untuk test dan intervew pada hari yang ditetukan. Beliau mengatakan yang diperlukan hanya tiga orang, sengaja dipanggil enam orang untuk mencari yang terbaik dari yang enam orang tersebut.

Pada hari yang ditentukan para pelamar sudah datang. Pak Syarif Johan sudah menyiapkan test tertulis yang sederhana, karena beliau megharapkan hasil intervew akan memberikan hasil yang maksimal. Test tertulis maupun intervew dilakukan sendiri oleh pak Syarif Johan, saya hanya membantu sesuai dengan permintaan beliau. Setelah test dan intervew selesai, beliau menyerahkan kepada saya tiga lamaran yang dianggap memenuhi syarat untuk dipanggil dan diterima bekerja mulai tanggal 1 bulan depan. Setelah saya perhatikan, ketiga pelamar yang lulus tersebut berasal dari tiga kota, yaitu Kota Padang, Kota Payakumbuh dan Kota Bukittinggi masing-masing seorang. Dari Kota Bukittingi adalah Sofyan Ponda, yang sekarang pemilik Hotel Sofyan yang banyak tersebar di Jakarta. Sejak Pada hari yang ditentukan para pelamar sudah datang. Pak Syarif Johan sudah menyiapkan test tertulis yang sederhana, karena beliau megharapkan hasil intervew akan memberikan hasil yang maksimal. Test tertulis maupun intervew dilakukan sendiri oleh pak Syarif Johan, saya hanya membantu sesuai dengan permintaan beliau. Setelah test dan intervew selesai, beliau menyerahkan kepada saya tiga lamaran yang dianggap memenuhi syarat untuk dipanggil dan diterima bekerja mulai tanggal 1 bulan depan. Setelah saya perhatikan, ketiga pelamar yang lulus tersebut berasal dari tiga kota, yaitu Kota Padang, Kota Payakumbuh dan Kota Bukittinggi masing-masing seorang. Dari Kota Bukittingi adalah Sofyan Ponda, yang sekarang pemilik Hotel Sofyan yang banyak tersebar di Jakarta. Sejak

Kepala Cabang PT Nusantara di Rengat

Waktu itu PT Nusantara memang sedang berkembang pesat. Direksi bermaksud mengembangkan pemasarannya kedaerah Rengat, dengan membuka kantor cabang disana. Untuk menjadi Kepala Cabang sudah ditunjuk pak Sutan Mantari, masih saudara Direktur Utama. Hanya saja pak Sutan Mantari berlatar belakang pedagang tekstil biasa, tanpa ada pengalaman administrasi keuangan. Untuk mendampingi beliau saya diangkat sebagai wakil Kepala Cabang. Pak Sutan Mantari mempunyai postur tubuh tinggi besar dan gemuk dan lebih tua dari saya kira-kira 8 tahun. Dengan kondisi demikian maka mobilitas beliau agak berkurang. Untuk kepentingan pengurusan yang memerlukan perjalanan selalu menyuruh saya, seperti bolak balik ke Bukittinggi dan lain-lain.

Kantor di Rengat menempati salah satu petak toko berlantai dua. Terletak di pinggir jalan menghadap ke sungai yang sering dilewati kapal-kapal kecil dan berdekatan dengan pelabuhan. Kota Rengat diwaktu itu termasuk kota yang dibanjiri oleh barang-barang smokel dari Singapore, tempat para penyelundup dari pedalaman membeli barang-barang, seperti barang-barang elektronik, tekstil, rokok, dan barang lux lainnya. Kesempataan bolak balik Rengat - Bukittinggi ini saya manfaatkan juga membawa rokok sebanyak satu atau dua koper ukuran sedang, untuk dijual di Bukittinggi. Lumayan keuntungannya, selama bertugas di Rengat dapat membelikan isteri sebentuk gelang emas berat 20 gram, yang sebelumnya tidak terbayangkan.

Setelah berjalan beberapa bulan, belum kelihatan kemajuan Kantor Cabang Rengat yang berarti. Untuk keperluan biaya overhead masih sepenuhnya di subsidi dari kantor pusat. Pak Sutan Mantari pun kelihatannya tidak begitu bergairah lagi bekerja di situ, dan sering sakit- sakitan. Akhirnya beliau mengundurkan diri selaku kepala Cabang di PT Nusantara. Kepada saya ditawarkan posisi tersebut. Saya jawab Insya Allah saya terima, dan untuk itu saya akan membuat program kerja selama tiga bulan ke depan. Jika program kerja saya itu diterima dan saya gagal maka saya juga akan mengudurkan diri. Direksi setuju dan terbitlah Surat Keputusan Pengangkatan saya selaku Kepala Cabang PT Nusantara di Rengat dengan gaji lebih tinggi dari sebelumnya dan fasilitas lainnya.

Dalam beberapa hari program kerja saya sudah siap. Garis besarnya ialah dalam masa tiga bulan pertama, kantor cabang Rengat sudah bisa membiayai diri sendiri tanpa di subsidi dari kantor pusat. Pada saat saya akan menyerahkan program kerja tersebut kebetulan Direktur Utama sedang ke Jakarta, baru minggu depan kembali. Saya tinggalkan program kerja tersebut ke pak Syarif Johan, karena sekretaris Direktur Utama waktu itu belum ada. Saya kembali lagi ke Rengat untuk melaksanakan tugas-tugas rutin saya selaku kepala Cabang. Sekalipun saya sudah menjadi kepala cabang, namun hubungan saya dengan pak Syarif Johan tetap saya pelihara. Saya anggap beliau banyak berjasa kepada saya dalam mengembalikan kepercayaan diri saya yang dulu sudah hampir hilang.

Ikut Kampanye Dalam Pemilu Pertama (1955)

Minggu depan saya kembali lagi ke Bukittinggi, dan pak Anwar Sutan Saidi, Direktur Utama PT Nusantara sudah kembali dari Jakarta, dan saya diminta masuk ke kamar beliau. Beliau mengatakan bahwa program kerja saya sudah beliau baca dan prinsipnya menyetujui program kerja tersebut. Hanya saja sebentar lagi akan ada Pemilihan Umum, untuk memilih anggota Konstituante dan anggota Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu beliau meminta kepada saya untuk konsentrasi penuh mensukseskan Pemilihan Umum dalam masa yang tinggal beberapa bulan ini. Seluruh pegawai tidak ada kecualinya diperintahkan untuk memilih dan mensukseskan Partai Murba dengan tanda gambar Sibinuang (kepala kerbau) sebagai simbol keberanian orang Minangkabau. Beliau mengatakan bahwa nanti jam 2.00 siang para juru kampanye akan kumpul di sini, saudara akan saya panggil nanti dan berkenalan, sambil memberikan pengarahan.

Partai Murba didirikan oleh Prof. Mr. Mohamad Yamin dan kawan-kawan, sebagai penjelmaan dari partai Komunis tahun l926, yang didirikan oleh Tan Malaka. Tan Malaka adalah salah seorang Pahlawan Nasional berasal dari Payakumbuh. Terkenal gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak saja di dalam negeri tetapi juga di luar negeri khususnya di Asia Tenggara. Beliau menggunakan ajaran Karl Marx sebagai penggerak masa, sama seperti ajaran komunis di Rusia. Sebagian besar dari masa perjuangan beliau, berada di luar negeri, mencari dukungan dan simpati dari masyarakat internasoinal, termasuk ke Eropa dan Rusia. Sampai sekarang sejarah belum menemukan bukti tentang kematian Tan Malaka apakah didalam negeri atau diluar negeri. Pada saat Proklamasi Kemerdekaan pun nama Tan Malaka tidak pernah terdengar lagi, sedangkan beliau itu sangat ditakuti dan dibenci oleh penjajah Belanda waktu itu. Prof. Mr Mohamad Yamin adalah salah seorang pengikut setia beliau, ingin mengabadikan ide-ide dan perjuangan Tan Malaka melalui Partai Murba.

Mulai jam 1.30 sudah mulai banyak tamu muka-muka baru ingin bertemu dengan pak Anwar Sutan Saidi. Setelah berkumpul kira-kira 8 orang, kami pun ada 4 orang pegawai yang ditunjuk sebagai pendamping, dipanggil ke kamar beliau untuk diperkenalkan dengan team kampanye dan pengarahan. Rupanya kami dibagi ke dalam empat rombongan, yang terdiri dari dua orang team kampanye didampingi oleh seorang pegawai selaku pemegang dana. Masing-masing rombongan mempunyai daerah operasi sendiri-sendiri. Satu rombongan ke daerah Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan dan sekitarnya. Rombongan kedua ke daerah Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Kabupaten Rengat dan sekitarnya. Rombongan ketiga kedaerah Kabupaten Limapuluhkota, Kabupaten Tanahdatar dan sekitarnya. Rombongan keempat ke daerah Kabupaten Lubuksikaping, Kabupaten Pasaman dan sekitarnya. Tiap-tiap rombongan diberi anggaran yang sama dan tertentu. Bila ada hal- hal yang luar biasa supaya mengajukan anggaran tambahan tersendiri dikemudian hari.

Saya termasuk ke dalam rombongan kedua, yaitu untuk daerah Kabupaten Sawahlunto- Sijunjung, Kabupaten Rengat dan sekitarnya. Tugas kami, selain dari pemegang dana juga sebagai orang yang bertanggung jawab penempelan tanda-tanda gambar di tembok-tembok Saya termasuk ke dalam rombongan kedua, yaitu untuk daerah Kabupaten Sawahlunto- Sijunjung, Kabupaten Rengat dan sekitarnya. Tugas kami, selain dari pemegang dana juga sebagai orang yang bertanggung jawab penempelan tanda-tanda gambar di tembok-tembok

Posisi saya sungguh sulit waktu itu. Saya sebagai pegawai PT Nusantara harus patuh pada instruksi atasan yang memberi saya gaji, dimana saya dituntut untuk memberikan loyalitas serta kesetiaan, sekalipun bertentangan dengan idiologi yang saya anut selaku hak- hak asasi pribadi. Teman-teman di Bukittinggi mengetahui bahwa, bekas Badan Penyelidik umumnya adalah penganut paham sosialis yang dipimpin oleh Sutan Syahrir dengan Partai Sosialis Indonesia. Paham ini termasuk saya didalamnya. Dua hari sebelum berangkat, saya dititipi oleh Kepala Cabang Partai Sosialis Indonesia Bukittinggi, kakanda Miral Manan beberapa ribu lembar lambang Partai Sosialis Indonesia untuk ditempelkan dimana-mana saya berhenti nanti. Secara etika titipan ini tidak boleh saya terima, tetapi secara moril juga saya tidak dapat menolak permintaan ini. Akhirnya saya terima juga, walaupun nanti konsekwensinya terletak pada pundak saya.

Pelaksanaan kampanye berjalan sesuai dengan rencana semula, baik mengenai jadwalnya maupun mengenai materinya. Termasuk penyebaran dan penempelan lambang- lambang Partai Murba, semuanya tepat waktu. Satu-satunya yang tidak tercapai adalah perolehan suara yang sangat minim yang menyebabkan pak Anwar Sutan Saidi uring- uringan. Begitu selesai Pemilihan Umum untuk memilih anggota Parlemen ternyata beliau tidak terpilih duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat menyebabkan beliau frustrasi. Ditambah lagi beliau mengetahui bahwa saya menerima titipan dari Partai Sosialis Indonesia untuk ditempelkan pada kesempatan saya dalam perjalanan, bertambah amarah beliau. Karena kesalahan saya nyata-nyata terlihat, seakan-akan saya bermuka dua, yang satu bermuka Partai Murba disegi lain bermuka Partai Sosialis Indonesia. Pak Anwar Sutan Saidi lupa bahwa kekalahan Partai Murba bukanlah satu-satunya disebabkan oleh ketidak setiaan saya, tetapi kekurangan persiapan dan pengalaman dibanding dengan partai-partai yang lebih tua dan lebih terkenal misi dan visinya. Terakhir saya mengetahui bahwa antara Partai Murba dan Partai Sosialis Indonesia ini terjadi persaingan yang kurang sehat.

Selang beberapa hari setelah pengumuman hasil Pemilihan Umum untuk anggota legislatif itu saya dipanggil oleh pak Anwar Sutan Saidi ke kamarnya. Di situ beliau melampiaskan kekesalan beliau dan menganggap saya mengkhianati beliau. Saya jelaskan bahwa saya sebagai seorang pegawai sudah melaksanakan tugas saya dengan baik dan tidak kurang suatu apapun. Ini dapat ditanyakan kepada anggota team yang saya dampingi dulu. Sebaliknya saya sebagai manusia merdeka juga berhak menentukan sikap dan waktu senggang saya untuk melaksanakan tugas pribadi saya sesuai dengan keinginan saya dan tidak melanggar hukum.

Mendengar jawaban saya itu, saya lihat beliau kecewa sekali, dan mengatakan bahwa, saya sebetulnya mengharapkan saudara bekerja lebih lama dengan saya, tetapi antara kita rupanya terdapat perbedaan ideologi yang tajam, maka sebaiknya hubungan antara pemberi kerja dan penerima kerja disudahi sampai bulan ini saja. Dengan kata lain bahwa saudara diberhentikan dengan hormat terhitung tanggal satu bulan depan. Saya katakan, jika itu sudah menjadi keputusan bapak saya tidak dapat berbuat lain, kecuali menerimanya, dan berterima kasih atas kesempatan kepada saya selama ini. Saya pun salaman dan pamit. Saya mampir ke Mendengar jawaban saya itu, saya lihat beliau kecewa sekali, dan mengatakan bahwa, saya sebetulnya mengharapkan saudara bekerja lebih lama dengan saya, tetapi antara kita rupanya terdapat perbedaan ideologi yang tajam, maka sebaiknya hubungan antara pemberi kerja dan penerima kerja disudahi sampai bulan ini saja. Dengan kata lain bahwa saudara diberhentikan dengan hormat terhitung tanggal satu bulan depan. Saya katakan, jika itu sudah menjadi keputusan bapak saya tidak dapat berbuat lain, kecuali menerimanya, dan berterima kasih atas kesempatan kepada saya selama ini. Saya pun salaman dan pamit. Saya mampir ke

Kembali saya menjadi seorang penganggur. Bedanya penganggur sebelumnya tanpa harapan dan tidak punya kepercayaan diri. Alhamdulillah penganggur sekarang ada mempunyai sedikit pegangan yaitu pengalaman sebagai penyelundup kecil-kecilan membawa rokok dari Rengat ke Bukittinggi. Untuk hidup sederhana boleh diharapkan sambil mendapat peluang lain yang lebih baik.

Beberapa bulan setelah Pemilihan Umum di Sumatra Barat sedang wabah penyakit ternak dengan nama penyakit mulut dan kuku. Banyak ternak rakyat mati sehingga untuk ternak potong saja harus didatangkan dari Bali. Untuk memenuhi kebutuhan daging potong harus didatangkan dari importir ternak yang ada di Padang. Untuk mendatangkan ternak dari Padang ke Bukittinggi, harus ada Izin khusus dari Jawatan Peternakan di Bukittinggi. Salah seorang langganan ibunda pedagang daging di Bukittinggi namanya Datuk Jiun, minta bantuan saya untuk mengurus izin dari Jawatan Peternakan di Bukittinggi untuk membawa sapi sebanyak 40 ekor seminggu dari Padang ke Bukittinggi. Bila saya berhasil mendapatkan izin itu saya akan diberi uang jasa sebesar duapuluh lima sen setiap kilo timbang hidup. Seperti diketahui bahwa harga sapi ditentukan dari beratnya sewaktu masih hidup dikalikan harga per kilonya.

Alhamdulillah saya berhasil mendapatkan Surat Izin tersebut, langsung dari Kepala Jawatan Peternakan, nama beliau Dr. Asun orang Banuhampu Bukittinggi. Beliau tinggal di Jalan Panorama, di perlintasan ke rumah kami di Jalan Atas Ngarai. Perkenalan kami hanya karena saya sering menyapa beliau bila saya liwat dan kebetulan beliau sedang berada di hadapan rumah. Beliau jauh lebih tua dari saya. Sedapat surat izin tersebut, Datuk Jiun minta bantuan saya mencarikan importir ternak di Padang tempat membeli ternak yang akan dibawa ke Bukittinggi. Salah satu importir ternak yang terbesar adalah Datuk Makudum, pemilik Hotel Makudum di Padang sebagai usaha sampingannya. Saya kenal Datuk Makudum, sewaktu beliau menjadi intendan di Divisi IX Banteng di Bukittinggi. Sejak itu keperluan daging untuk di dapur tidak pernah membeli lagi, setiap kali istri ke pasar selalu membawa daging gratis agak satu atau dua kilo pulang. Sedangkan uang jasa yang dijanjikan tidak pernah saya minta dengan harapan biar banyak dulu, nanti diminta sekaligus kalau perlu saja.

Oleh pedagang-pedagang daging di Bukittinggi menganggap saya berhasil menanggulangi kesulitan mereka, karena dengan masuknya 40 ekor sapi ke Bukittinggi seminggu harga daging menjadi stabil. Salah seorang pedagang daging, dan sekaligus pemilik restoran Simpang Ampek dekat Stasion Bukittinggi, mengajak saya pergi ke Bali untuk membeli sapi, tentu jauh lebih murah jika dibanding dengan membeli dari importir di Padang. Karena saya seorang penganggur, dan senang jalan-jalan dan ada yang membiayai, ajakan ini saya terima saja. Kami berangkat berdua menggunakan kapal laut ke Jakarta. Dari Jakarta ke Bali dengan kereta api, ferry dan bus. Sampai di Denpasar sudah hampir subuh, setelah menempuh perjalanan selama 7 hari.

Kebetulan di Denpasar ada teman, orang Tanjung Alam kampung tetangga kita di Parit Putus namanya Amir Husen. Dia kawin dengan orang Bali dan bermukim di sana sudah satu tahun. Dialah yang menjadi penunjuk jalan kami selama disana, mencari eksportir ternak yang dapat mengirim ternak secara kontinu dengan harga yang bersaing. Kami mencari sampai ke Singaraja, tetapi tidak ada yang meyakinkan. Setelah dikalkulasi antara harga beli di Bali ditambah ongkos-ongkos dan resiko dibandingkan dengan di beli di Padang tidak banyak bedanya. Akhirnya kami kembali ke Bukittinggi dengan tangan hampa.

Sampai di Bukittinggi dari pada menganggur lebih baik saya pergi lagi ke Rengat membeli rokok luar negeri untuk dijual di Bukittinggi. Kebetulan di Rengat juga menghadapi kesulitan daging potong. Sudah hampir dua bulan orang Rengat dan sekitarnya tidak mendapat pasokan daging potong. Hal ini disebabkan Pemerintah Kabupaten Rengat melarang setiap ternak yang akan dibawa ke dalam Kabupaten, takut ketularan wabah penyakit mulut dan kuku dari Kabupaten tetangganya. Saya melihat ada peluang untuk digarap, dengan mendatangkan daging sapi dari Padang dengan menggunakan pesawat udara sekali seminggu dari Tabing ke Air Molek. Saya temui beberapa pedagang daging di kota Rengat dan beberapa Koperasi Pegawai Negeri untuk menjajaki apakah mereka mau menerima pasokan daging sapi dari saya bila saya berhasil membawanya dari Padang ke Rengat dengan pesawat udara?. Ternyata, umumnya mereka mau, karena sudah terlalu lama tidak memakan daging katanya.

Saya kembali ke Bukittinggi mencoba mematangkan rencana ini. Saya datang lagi ke Jawatan Peternakan menemui Dr Asun. Kebetulan sedang ada wartawan Haluan Padang menanyakan mengenai penyakit mulut dan kuku yang sedang mewabah di Sumatra Barat. Kedatangan saya merupakan sumber informasi bagi wartawan bahwa di Rengat sudah hampir dua bulan orang tidak menkonsumsi daging, akibat penyakit mulut dan kuku di Sumbar. Saya katakan saya bermaksud akan membawa daging sapi dari Padang ke Rengat dengan pesawat terbang. Saya minta saran beliau bagaimana caranya membawa daging sapi mentah dari Padang ke Rengat dengan pesawat udara supaya tidak rusak.

Dr. Asun menyarankan supaya dibuat peti ukuran cukup untuk berat 40 – 50 kg didalamnya dilapisi dengan plat almunium, dan di lobangi diameter 2 – 3 cm dengan jarak 20 – 30 cm. Maksudnya lobang-lobang itu berfungsi menjadi fentilasi memasukan udara ke dalam peti yang berisi daging. Pembicaraan saya dengan Dr. Asun itu oleh wartawan Haluan dijadikan berita yang terbit besoknya. Bahwa untuk mengatasi kelangkaan daging sapi di Rengat, maka ada pengusaha akan mendatangkannya dari Padang dengan pesawat udara. Dalam berita tersebut menyebut nama saya sebagai pengusaha dimaksud.

Sejak mendapat saran itu, saya mulai menghitung-hitung modal yang diperlukan, baik yang berupa investasi berupa pembuatan peti-peti, maupun modal kerja untuk 3 ekor sapi tahap pertama dan biaya transport. Biaya untuk membuat peti-peti sebanyak 10 buah mudah diperoleh dari tukang kayu di Bukittinggi. Sedangkan harga sapi dan biaya transport harus diperoleh dari Padang. Besoknya saya pergi ke kantor Perwakilan Garuda di Muaro Padang dan mengenai harga ternak saya pergi ke rumah potong ternak di Sawahan di Padang. Di perwakilan Garuda saya diterima dengan baik, karena mereka menganggap bahwa saya akan Sejak mendapat saran itu, saya mulai menghitung-hitung modal yang diperlukan, baik yang berupa investasi berupa pembuatan peti-peti, maupun modal kerja untuk 3 ekor sapi tahap pertama dan biaya transport. Biaya untuk membuat peti-peti sebanyak 10 buah mudah diperoleh dari tukang kayu di Bukittinggi. Sedangkan harga sapi dan biaya transport harus diperoleh dari Padang. Besoknya saya pergi ke kantor Perwakilan Garuda di Muaro Padang dan mengenai harga ternak saya pergi ke rumah potong ternak di Sawahan di Padang. Di perwakilan Garuda saya diterima dengan baik, karena mereka menganggap bahwa saya akan

Di rumah potong di Sawahan Padang saya diterima antusias oleh beberapa pedagang, setelah mengetahui bahwa saya adalah orang yang pernah disebut koran Haluan pengusaha yang akan membawa daging sapi ke Rengat dengan pesawat terbang. Diantara sekian banyak pedagang ternak, ada seorang yang serius mengajak kerja sama, yaitu dia menyediakan ternak siap dipotong dan diterima di Tabing tiap-tiap minggu maksimal 5 ekor dengan pembayaran seminggu pada saat akan melakukan pemotongan berikutnya. Namanya kalau tidak salah Panduko dengan tawaran yang sangat menarik itu. Setelah kami bicara prospek selanjutnya, kami masing-masing punya harapan bahwa kerja sama ini dapat ditingkatkan dengan harapan keuntungan yang lumayan. Dalam pembicaraan tersebut sudah terdapat kata sepakat, tinggal menunggu waktu pelaksanaannya dari saya, karena pembuatan peti memerlukan waktu beberapa hari

Dengan kesepakatan tersebut, maka saya sudah terhindar dari penyediaan modal kerja yang lumayan besarnya. Tinggal saya menyiapkan modal kerja untuk pembuatan peti dan biaya transpor saja. Kesibukan saya dalam mengurus dagangan daging sapi ke Rengat ini didengar oleh pak H. Rasyid, suami etek Andam, ibu angkat saya di Guguk Pili, Bukit Batabuh dulu semasa revolusi. Beliau datang ke rumah kami di Jalan Atas Ngarai, minta diajak sebagai pelaksana. Beliau memang berprofesi selaku pedagang daging di Pasar Bukittinggi dan Payakumbuh. Saya merasa dapat bantuan tenaga yang memang ahli dalam bidang yang saya geluti. Nama beliau cukup dikenal oleh para pedagang sapi di Padang, menambah kepercayaan mereka kepada kami.

Bersama pak H. Rasyid kami pergi melihat peti yang sedang dibuat dan diperkirakan akan selesai 2 hari lagi. Peti-peti tersebut kami ambil setelah disesuaikan dengan jadwal keberangkatan pesawat ke Air Molek, yaitu sehari sebelum hari keberangkatan. Peti-peti tersebut di bawa sore hari diserahkan ke rumah potong Sawahan Padang. Pagi-pagi besoknya dilakukan pemotongan sapi dan dimasukkan kedalam peti yang sudah disiapkan dan dibawa ke Tabing langsung ke Airmolek, dengan menggunakan pesawat dakota. Kami ikut bersama peti-peti tersebut.

Pesawat berangkat dari Tabing Padang jam 9.00 pagi dan sampai di pelabuhan udara Airmolek kira-kira jam 11.00 siang. Untuk menurunkan peti-peti itu dan membawanya keluar airport dan menunggu bis yang akan mengangkut peti-peti tersebut memakan waktu lebih kurang dua jam. Berarti jam 1.00 siang baru meninggalkan pelabuhan Airmolek. Jarak antara Airmolek ke Rengat lebih kurang 60 km melalui tiga buah pelayangan. Dalam keadaan normal biasanya ditempuh dalam waktu empat sampai lima jam.

Baru satu jam perjalanan, tiba-tiba hujan turun mendadak dan lebat, sedangkan peti-peti daging tersimpan diatas atap bus yang belum ditutup dengan terpal. Bus segera berhenti dan knek cepat turun, untuk naik keatas atap memasang terpal penutup barang-barang yang tersimpan disitu. Sampai di pelayangan pertama, telihat bus-bus banyak yang antri menunggu giliran untuk menyeberang, karena air sungai meluap. Biasanya dalam keadaan demikian, terpaksa menunggu air surut dulu baru dapat menyeberang. Di pelayangan pertama saja Baru satu jam perjalanan, tiba-tiba hujan turun mendadak dan lebat, sedangkan peti-peti daging tersimpan diatas atap bus yang belum ditutup dengan terpal. Bus segera berhenti dan knek cepat turun, untuk naik keatas atap memasang terpal penutup barang-barang yang tersimpan disitu. Sampai di pelayangan pertama, telihat bus-bus banyak yang antri menunggu giliran untuk menyeberang, karena air sungai meluap. Biasanya dalam keadaan demikian, terpaksa menunggu air surut dulu baru dapat menyeberang. Di pelayangan pertama saja

Allah menentukan lain, pagi besok waktu peti-peti kami buka, sudah mulai tercium bau tidak enak. Rupanya, daging yang ada di dalam peti sebagian besar sudah mulai rusak akibat kena hujan yang mendadak dalam perjalanan diatas bus semalam. Seandainya bus semalam sampai di Rengat masih sore, maka sebagian besar daging-daging tersebut sudah dapat dibagikan sesuai dengan pesanan seperti ke koperasi-koperasi dan pedagang-pedagang daging di kota Rengat. Kenyataan lain, setelah kami pisahkan mana yang masih layak dimakan dan mana yang tidak layak. Mangkin lama daging-daging yang rusak dan tidak layak dimakan itu di biarkan disitu mangkin merebak bau tidak enak ke seantero kota. Oleh karena itu saya ambil tindakan cepat dengan membuangnya langsung ke sungai yang terbentang panjang sampai ke laut. Tidak sampai 10% yang bisa diselamatkan. Dari hasil yang bisa diselamatkan itu, biaya transpor saja tidak bisa tertutupi, jangankan untuk harga dagingnya sendiri dan investasi yang telah dikeluarkan untuk peti-peti dan lain-lain.

Tidak tahan kami berlama-lama tinggal di Rengat, karena malu. Peti-peti yang dibuat dengan biaya yang lumayan besar itu tidak saya perhatikan lagi. Mungkin Allah tidak mengizinkan saya menjadi pedagang daging, karena tidak ada turunan di profesi itu. Kami selesaikan segala sesuatu yang menyangkut utang piutang di Rengat, setelah itu saya dan pak

H. Rasyid pulang penuh dengan kekecewaan dan penyesalan. Untunglah keimanan masih ada di dalam dada, bahwa nasib baik dan buruk itu semuanya di tangan Allah Swt. Pasti ada hikmahnya.

Gagal Total Sebagai Suatu Hikmah

Dalam perjalanan pulang tak henti-hentinya pikiran saya tertuju bagaimana menyelesaikan dengan Panduko sipemilik ternak di Padang, yang barangnya belum dibayar satu sen pun. Apakah orang lain harus korban karena inisiatif saya yang kurang cermat ?.Akhirnya saya sampai pada satu keputusan, yaitu bersama dengan pak H. Rasyid mendatangi si pemilik ternak di Padang itu dan mengatakan apa adanya. Saya mengaku terus terang, bahwa keadaan yang menimpa saya adalah musibah yang bisa menimpa siapa saja. Saya minta pengertian, dan saya berjanji namanya hutang tetap harus dibayar, hanya tidak bisa sekaligus dalam waktu singkat, karena modal sendiri juga habis di dalam transaksi itu. Alhamdulillah dia juga memahami keadaan kami, dan minta saya menepati janji saya. Janji ini sampai sekarang menjadi beban pikiran saya, karena alamat orang tersebut tidak bisa di telusuri lagi, apakah masih hidup atau sudah meninggal. Kalau sudah meninggal siapa ahli warisnya.

Pernah dua kali bertemu di Jakarta. Yang pertama, sama-sama makan sate di Senen dalam tahun enam puluhan, kebetulan saya ada membawa uang sedikit, saya bayar sebagian kecil waktu itu. Setelah itu dalam restoran sama-sama makan dalam perjalanan saya ke Dumai menemui kakanda A Tajuddin, waktu itu pun ada saya cicil sebagian kecil dari utang Pernah dua kali bertemu di Jakarta. Yang pertama, sama-sama makan sate di Senen dalam tahun enam puluhan, kebetulan saya ada membawa uang sedikit, saya bayar sebagian kecil waktu itu. Setelah itu dalam restoran sama-sama makan dalam perjalanan saya ke Dumai menemui kakanda A Tajuddin, waktu itu pun ada saya cicil sebagian kecil dari utang

Berita kegagalan saya ini cepat beredar di Bukittinggi, yang tidak begitu luas itu. Ada yang bersimpati banyak juga yang mentertawakan. Salah seorang yang bersimpati adalah Nawi Sutan Bandaro. Dia orang Pasir, sama-sama di Badan Penyelidik dulu, dan lebih tua dari saya kira-kira 10 tahun. Dia menyabar-nyabarkan saya, dengan kata-kata memberi harapan dan jangan putus asa. Dia bilang, orang kalau berdagang salah satu kejadian pasti dia temui, yaitu rugi, pulang pokok, atau untung. Kalau sekarang merugi siapa tahu besok beruntung atau lusa atau tahun depan. Yang penting jangan putus asa dan jangan berhenti berdagang katanya. Kalau sudah berhenti berdagang kapan akan untungnya.

Besoknya Nawi Sutan Bandaro datang lagi, mengajak saya pergi ke Medan. Di situ ada adiknya berpangkat Komisaris besar Polisi bernama Marjohan. Siapa tahu di sana ada pekerjaan yang cocok, katanya. Saya katakan saya tidak ada uang untuk ongkos kesana. Soal ongkos gampanglah itu katanya. Sebelum berangkat, saya pergi ke tempat Kari Jiun berjualan daging di pasar Teleng Bukittinggi, minta uang jasa yang dia janjikan mengurus surat izin membawa ternak dari Padang ke Bukittinggi dulu. Belum pernah saya minta uang itu. Ternyata dia hanya memberikan cukup untuk sewa bis saja.

Kami berangkat sore dengan bus ke Medan, sampai di sana lusa subuh. Jadi perjalanan memakan waktu dua malam sehari. Saya diantarkan oleh Nawi Sutan Bandaro ke hotel terdekat dengan terminal bus. Dia mengatakan nanti sore dia akan datang lagi dan membawa saya ke rumah adiknya, seorang pejabat di Kepolisian Kota Medan. Saya belum pernah pergi ke Medan sebelumnya, berarti kota Medan masih asing buat saya. Sambil menunggu hari sore saya bejalan-jalan di daerah pertokoan disekitar hotel itu. Di hadapan saya ada seorang pemuda berjalan kaki, dan dari arah sana ada lagi seorang laki-laki setengah umur berjalan kearah kami. Sepintas lalu orang itu seperti pegawai, karena berpakaian rapi dengan pena terselip disaku bajunya. Pada saat mereka bepapasan saya melihat pemuda yang berjalan di hadapan saya menjambret pena yang ada di saku orang yang berjalan ke arah kami tadi, tanpa merasa bersalah dan ragu-ragu. Orang itu hanya kebingungan tanpa berbuat sesuatu apapun kecuali melihat saja ke pemuda itu berjalan dari belakang. Sepanjang pengetahuan saya orang-orang mencopet di Bukittinggi atau dimana saja sembunyi-sembunyi supaya yang di copet tidak merasa dia sudah di copet, rupanya di kota Medan pencopet berterus terang seperti itu, yang hampir sama dengan merampok.

Sore itu Nawi Sutan Bandaro datang menjemput saya untuk bersama-sama pergi ke rumah Komisaris Besar Polisi Marjohan. Kecuali berkenalan, sekalian menjajaki bila ada kemungkinan mendapatkan pekerjaan di Kota Medan. Sebetulnya untuk mencari pekerjaan di Kota Medan, hati saya tidak sreg lagi setelah menyaksikan kejadian siang tadi pencopet yang dihadapan pertokoan yang sekasar dan seberani itu. Walaupun demikian saya tetap pergi untuk menjajaki, siapa tahu ada rezki. Sesampai di rumah adik Nawi Sutan Bandaro, saya terperangah. Rumahnya besar, dilengkapi dengan perabotan yang mewah, ada anjing herder besar, berkeliaran di dalam rumah itu. Tidak lama, tuan rumah keluar dan berkenalan. Nawi Sutan Bandaro mengatakan bahwa saya dulu bekerja di PT Nusantara Bukittinggi, Sore itu Nawi Sutan Bandaro datang menjemput saya untuk bersama-sama pergi ke rumah Komisaris Besar Polisi Marjohan. Kecuali berkenalan, sekalian menjajaki bila ada kemungkinan mendapatkan pekerjaan di Kota Medan. Sebetulnya untuk mencari pekerjaan di Kota Medan, hati saya tidak sreg lagi setelah menyaksikan kejadian siang tadi pencopet yang dihadapan pertokoan yang sekasar dan seberani itu. Walaupun demikian saya tetap pergi untuk menjajaki, siapa tahu ada rezki. Sesampai di rumah adik Nawi Sutan Bandaro, saya terperangah. Rumahnya besar, dilengkapi dengan perabotan yang mewah, ada anjing herder besar, berkeliaran di dalam rumah itu. Tidak lama, tuan rumah keluar dan berkenalan. Nawi Sutan Bandaro mengatakan bahwa saya dulu bekerja di PT Nusantara Bukittinggi,

Pak Marjohan akan berusaha mencarikan, tetapi namanya mencari kerja, tentu tidak bisa segera, nanti kalau sudah ada, saya kabari melalui kakanda Nawi Sutan Bandaro, katanya. Tidak lama saya di situ, dan saya pamit, saya katakan kepada pak Marjohan dan Nawi Sutan Bandaro bahwa besok saya akan kembali ke Bukittinggi. Tidak mungkin saya berlama-lama di Medan, karena kondisi keuangan tidak memungkinkan, juga saya tidak senang hidup di tengah-tengah masyarakat kasar dan menganggap harta orang adalah harta dia, seperti yang saya saksikan kemarin.

*****