PULANG KE BUKITTINGGI (1943)

4. PULANG KE BUKITTINGGI (1943)

Di Bukittinggi saya menjadi orang baru lagi. Teman-teman lama suka mentertawakan saya, karena bahasa saya sudah berubah dibanding dengan waktu berangkat dulu. Bahkan menjadi ejekan. Kecuali bahasa saya yang menjadi perhatian mereka, yang lain adalah potongan celana pendek sekolah saya, berbeda dengan potongan celana pendek anak-anak sekolah di kampong kita masa itu. Potongan celana pendek anak-anak sekolah disana di bagian pahanya agak melebar, sedangkan potongan celana pendek anak-anak sekolah di kampung kita menyempit. Menurut mereka celana anak-anak sekolah disana adalah celana panjang bapaknya saja yang dipotong yang dijadikan celana sekolahnya. Sedangkan kita di sini memang sengaja dibuat untuk celana sekolah katanya. Kata-kata begini mula-mula menyakitkan hati, tetapi sekalian lucu. Alhamdulillah, suasana demikian tidak berlangsung lama, dan dalam beberapa bulan sudah reda dan biasa lagi.

Sekolah di STOPIO

Di Bukittinggi kegiatan pemerintahan Jepang sudah mulai bergerak. Sekolah-sekolah umum pemerintah, sekolah-sekolah agama, dan sekolah-sekolah kejuruan sudah mulai dibuka. Ibu kandung saya menyarankan supaya masuk sekolah agama di Parabek. Yaitu bekas sekolah mantan wakil Presiden RI. Adam Malik. Bapak saya tidak menyetujui. Menurut beliau kalau sekolah di sana kamu akan menjadi tukang pidato dan tidak banyak ilmu agama yang akan kamu peroleh. Kalau memang akan belajar ilmu agama nanti saya bawa kepada kakak saya H. Djalal di Ampang Gadang. Di situlah tempat kamu belajar agama. H. Djalal adalah ulama terkenal di sekitar Bukittinggi masa itu, dan beliau adalah satu pasukuan Simabur dari satu nenek beberapa lapis ke atas dengan bapak saya. Pak H. Djalal adalah ayah Prof. DR Hasjim Djalal bekas Dubes RI di Jerman dan sekarang menjabat sebagai salah seorang anggota Komisi Konsititusi RI.

Sekolah pilihan lain adalah Cugakko. Cugakko adalah sekolah menegah umum sama dengan MULO di zaman Belanda atau SMP sekarang. Setelah saya sampaikan ke ibunda niat saya akan memasuki sekolah tersebut, beliau tidak segera menjawab. Terlihat dari raut wajah beliau kesedihan, dan setelah saya tanyakan lagi, beliau menjawab, “sekolah itu kan sekolah lama baru dapat bekerja, sedangkan kita kan orang miskin dan tidak akan sanggup membiayai selama itu. Lebih baik cari saja sekolah yang akan segera dapat bekerja supaya bisa membantu ibu”

Mendengar jawaban ibunda tersebut niat akan masuk Cugakko tidak saya sampaikan ke bapak, karena yakin bahwa bapak juga akan menjawab demikian. Kebetulan tetangga saya di kampung Agusman, yang dijadikan rujukan oleh ibunda tentang penentuan tanggal kelahiran saya sudah masuk sekolah STOPIO

STOPIO adalah kependekan dari Sekolah Toekang Oekoer Pemoeda Indonesia Oemoem. Lama sekolah hanya 2 tahun. Tamat sekolah diharapkan bisa menjadi tukang ukur seperti mengukur dan membuat peta-peta hutan, jalan, jembatan, dan lain-lain. Pelajaran lebih banyak praktikum di lapangan, dibanding dengan di kelas dengan perbandingan 75% di lapangan dan 25% di kelas. Atas pertimbangan diatas akhirnya saya masuk STOPIO akhir tahun l944.

Kehidupan rakyat di zaman penjajahan Jepang sangat susah. Tidak ada kegiatan ekonomi. .Semua orang bertani. Orang yang tadinya pegawai, pedagang, bahkan anak-anak sekolah pun separoh dari jam belajarnya disuruh bertani. Yang ditanam adalah bahan makanan dan sayur-sayuran, seperti padi, ketela-ketela kayu maupun ketela jalar. Hasilnya separoh diambil paksa oleh tentara Jepang. Kehidupan rakyat dalam kemiskinan dan ketakutan. Tentara Jepang memang terkenal kejam, contohnya, bila kita jalan meliwati pos penjagaan tentara Jepang tidak membungkuk/sayokere, kita langsung di panggil dan ditampar/bagero neh. Bila kita mencoba mengelak maka pukulan akan bertambah-tambah dan jika ada indikasi akan melawan yang bersangkutan dapat dibawa ketempat pembunuhan dan langsung dipancung dengan pedang samurai. Tempat pembunuhan waktu itu dikenal di Gadut dekat dengan lapangan pacuan kuda, kira-kira 4 km. dari Bukittinggi.

Cara mereka membunuh, kita disuruh menggali lobang terlebih dahulu. Setelah lobang digali dengan kedalaman yang cukup, kita disuruh duduk dipinggir lobang tersebut dan dengan satu kali pancung, terlepaslah kepala dari leher. Setelah itu kita ditendang ke dalam lobang yang kita gali sendiri. Tidak ada pengadilan waktu itu apalagi pengadilan Hak Asasi Manusia. Hukum berada di tangan tentara fasis yaitu tentara Jepang dan tentara Jerman pada perang dunia kedua.

Hasil padi rakyat diambil paksa oleh tentara Jepang. Umumnya rakyat makan nasi sekali sehari, yang sekali lagi rakyat makan ketela atau umbi-umbian. Bahkan kalau orang memakan durian, tidak saja daging duriannya yang dimakan, tetapi biji-bijinya pun di rebus untuk di makan. Penyakit busung lapar menjadi pemandangan sehari-hari dan berada di mana-mana, yaitu badan kurus, perut buncit, kaki kecil, mata cekung, muka sembab dan pandangan layu.

Pakaian pun menyedihkan. Jarang orang berpakain 4-5 stel kalau bukan pegawai pemerintah Belanda sebelumnya. Umumnya rakyat biasa di masa itu hanya berpakain 2 – 3 stel. Untuk menghemat pemakaian (supaya tidak cepat kotor), maka bila memakai kemeja lehernya dilapisi dengan sapu tangan supaya tidak lekas kotor. Demikian juga dengan celana supaya tidak lekas robek dibagian pantatnya dilapisi dengan kain yang hampir sewarna, dibentuk seperti bundaran dibagian pantat celana. Ini sudah menjadi pandangan umum, dan tidak ada yang merasa malu waktu itu.

Bahkan sudah banyak orang-orang yang membuat karung goni atau kulit kayu dijadikan celana. Tikar rumput pun dijadikan selimut. Demikian penderitaan rakyat selama penjajahan Jepang tiga setengah tahun.

Keluarga kita tidak terlepas dari penderitaan seperti diatas, tetapi belum sampai membuat karung goni atau kulit kayu menjadi pakaian dan tikar rumput menjadi selimut. Dalam masa penderitaan seperti itu saya bersekolah di STOPIO, di mana kegiatannya banyak di lapangan dibanding di dalam kelas. Oleh ibu saya, kalau mau berangkat sekolah saya di bekali dengan sepotong gula saka yang dibuat dari air tebu yang biasa digunakan orang untuk membuat kolak. Fungsi gula saka ini adalah untuk menahan perut dari kelaparan. Berfungsi seperti gula-gula atau permen sekarang. Bila perut terasa lapar, maka digigitlah gula saka itu sedikit demi sedikit.

Tempat praktek atau belajar mengukur adalah di daerah Kota Gadang sampai ke Sianok. Untuk mencapai kedua tempat tersebut jalan kaki melalui ngarai Sianok yang terkenal curam dan dalam dengan jarak lebih kurang 4 km dari kota Bukittinggi. Sedangkan jarak dari Kampung kita ke Bukittinggi juga 4 km. Berarti rata-rata kami kalau mau pergi sekolah harus berjalan kaki minimal 8 km sehari. Empat hari dalam seminggu pada hari-hari praktek kami berjalan 16 km. pulang pergi naik turun Ngarai yang dalam. Pulang sekolah sudah sore kira- kira jam 4.00 baru makan nasi, sekalian sebagai makan siang dan makan malam. Waktu itu tidak ada pilihan lain.

Alhamdulillah, Allah memberi kekuatan kepada umatnya jika umatnya bersungguh- sungguh dan istiqamah. Akhirnya saya tamat dari STOPIO akhir tahun 1944. Ijazah STOPIO lah merupakan ijazah pertama yang saya peroleh di samping ijazah mengetik yang telah saya dapat melalui kursus 3 bulan di balai kursus ASAHI Bukittinggi sebelumnya.

Belajar Agama Islam di Ampang Gadang

Sesuai dengan janji ayah akan membawa saya belajar agama di surau (musolla) Bapak H. Jalal di Ampang Gadang, beliau tepati. Tidak lama setelah saya bersekolah di STOPIO, di salah satu sore beliau mengajak saya ke sana dengan berjalan kaki. Jarak Parit Putus dengan Ampang Gadang tidak begitu jauh, kira-kira 2 km. Sesampai di sana saya melihat ada kira- kira 15 orang murid yang sedang duduk membuat bundaran sedang mengaji. Umumnya yang belajar mengaji di situ lebih tua dari saya sekitar 3 – 4 tahun. Setelah selesai pengajian beliau pun berbasa basi dengan ayah seperlunya. Ayah mengatakan kepada Bapak H. Djalal bahwa saya ingin ikut belajar mengaji di surau beliau. Bapak H. Djalal menerima dan menasihati saya supaya rajin datang dan rajin mengulang-ulang pelajaran, seperti pepatah orang, “hafal kaji karena di ulang-ulang, hafal jalan karena sering di tempuh.

Allah menentukan lain. Tidak sampai sebulan saya berulang-ulang belajar ke surau beliau tiga kali seminggu. Murid-murid yang semula ada 15 orang ternyata satu persatu mengundurkan diri dengan berbagai alasan dan tinggal 3 orang saja dengan saya. Tambahan murid baru tidak ada. Akhirnya kami pun hilang semangat dan pengajian itu bubar.

Mengaji di Surau Tinggi.

Waktu saya pulang dari Malaysia, saya sudah berumur 15 tahun dan belum lancar membaca Alquran. Memang tragis, Ibu kandung saya adalah seorang guru mengaji Alquran di kampung, khusus perempuan. Ibu anak-anak (isteri saya) salah seorang murid beliau diwaktu itu. Beliau mengajar Alquran di malam hari. Jadi umumnya murid-murid beliau menginap di rumah, karena untuk pulang ke rumah masing-masing di malam hari takut karena gelap dan tidak ada lampu jalan dan beresiko.

Bapak saya juga seorang guru agama di kampung, sebelum beliau berangkat ke Malaysia. Yang beliau ajarkan tidak saja membaca Alquran, tetapi juga akidah, fikih dan lain-lain.Beliau tidak pernah masuk sekolah agama seperti pesantren seperti sekarang. Karena belum ada pesantren di zaman iu. Orang belajar agama di mesjid-mesjid atau di Bapak saya juga seorang guru agama di kampung, sebelum beliau berangkat ke Malaysia. Yang beliau ajarkan tidak saja membaca Alquran, tetapi juga akidah, fikih dan lain-lain.Beliau tidak pernah masuk sekolah agama seperti pesantren seperti sekarang. Karena belum ada pesantren di zaman iu. Orang belajar agama di mesjid-mesjid atau di

Dilantai atas merupakan ruangan lepas tempat anak-anak muda laki-laki tidur malam. Di Minangkabau waktu itu ada satu tradisi di mana anak-anak laki-laki kalau sudah bermur 8 tahun ke atas dianjurkan tidak lagi tidur malam di rumah orang tuanya. Dia diungsikan ke surau-surau, mesjid-mesjid atau dangau/pondok di ladang-ladang. Mereka dibekali dengan sehelai tikar rumput, sebuah bantal, dan sehelai selimut terbuat dari kain marekan/grey sekarang. Bagi yang tidak mau tidur di surau, dia akan diejek oleh teman-teman sebayanya dengan mengatakan tidak punya malu karena sudah besar masih tidur sama ibu juga.

Mereka berangkat ke surau biasanya sudah makan malam sebelum magrib. Masing- masing patungan dulu membeli minyak tanah untuk bahan bakar lampu tempel di surau. Disurau sesudah Magrib belajar mengaji berkelompok-kelompok sesuai dengan tingkatnya. Belajar mengaji tidak membayar dan tidak ada kewajiban apa-apa asal membawa perlengkapannya. Guru-guru mengaji sukarela tidak dibayar dan tidak ada kewajiban apa-apa asal mau belajar.

Selesai mengaji masing-masing melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan keperluannya. Bagi yang masih sekolah mereka menghafal pelajaran, menyelesaikan pekerjaan rumah dan lain-lain. Bagi yang tidak sekolah membaca buku-buku cerita legenda lama, seperti Cindur Mato, Bujang Pamenan dan lain-lain. Membaca legenda lama itu dengan dilagukan, bagi yang pandai melagukan sangat mengasyikkan dan biasanya sampai pagi. Mirip cerita wayang kalau di Jawa. Bagi yang menganggur mereka menghabiskan waktu dengan bermain catur, remi dan lain-lain. Di musim terang bulan ada juga yang berkreatif belajar bela diri yaitu bersilat. Kehidupan di surau berlanjut sampai seseorang melangsungkan pernikahan atau merantau. Bila seseorang bercerai dengan istrinya, biasanya dia kembali lagi tidur disurau, seperti sebelumnya.

Saya adalah salah seorang anak penghuni surau tinggi waktu itu bersama dengan Agusman, Zainal Zen yang dikenal dengan panggilan Tuo Ancak, Sartuni, dan ada 3 orang lainnya. Sambil sekolah di STOPIO pagi hari, saya dan Agusman malamnya mengaji di surau tinggi dengan mamanda Ilyas gelar Pakih Mangkuto. Yang kami pelajari tidak saja membaca Alquran tetapi juga fikih dan perkenalan bahasa Arab. Di surau tinggilah saya lancar membaca Alquran setelah dalam bulan Ramadhan tahun 1944 saya sampai 2 kali khatam. Setelah tahun l944 itu selama saya tinggal di Surau Tinggi selalu saya usahakan khatam Alquran minimal 1 kali selama Ramadhan.