MASA PENYERAHAN KEDAULATAN RI (27 Desember l949)
8. MASA PENYERAHAN KEDAULATAN RI (27 Desember l949)
Perundingan perdamaian yang digelar di Negeri Belanda dikenal dengan Perundingan “Meja Bundar” berjalan lancar. Pada tanggal 27 Desember l949 dicapai kesepakatan bahwa Pemerintah Belanda setuju menyerahkan kedaulatan Republik Indonesia sepenuhnya yang teknis pelaksanaanya dilakukan secara berangsur-angsur mulai tanggal disepakati tersebut.
Dengan tercapainya persetujuan itu, berakhirlah perjuangan fisik yang selama lebih empat tahun saya ikut aktif. Saya mulai berpikir masa depan, karena ada dua jalan yang bisa saya tempuh. Jalan pertama ialah tetap di ketentaraan seperti yang sedang dijalani dengan resiko tidak akan ada dinamika kehidupan pribadi yang bisa dikembangkan. Jalan lain ialah meninggalkan ketentaraan kembali ke Johore Bahru meneruskan sekolah yang terhenti karena gejolak yang terjadi selama lebih kurang 5 tahun. Resikonya adalah harus berani menghadapi tantangan hidup di negeri orang. Dua masalah ini lama menggantung dalam pikiran saya tidak terselesaikan.
Dari Gunung Merapi pindah ke Bukittinggi
Selama di Sungai Puar kehidupan ketentaraan terasa sekali khusus dalam bidang disiplin. Berbeda dengan kehidupan sewaktu masih di Sektor III/B dulu. Pagi-pagi jam 6.00 mesti apel pagi. Setelah apel pagi, olah raga biasanya tiga hari dalam semiggu lari pagi sampai ke Koto Baru pulang pergi. Jarak dari asrama ke Kota Baru kira-kira 3 km. Tiga hari lagi dengan bersenam di tempat, dan satu hari untuk pekerjaan kebersihan seperti mencuci pakaian masing-masing, membersihkan asrama, dan lain-lain. Sore jam 5.30 apel sore namanya. Bagi yang tidak hadir dalam apel sebanyak 3 kali sangsinya adalah dapat tamparan sekali. Kehidupan seperti itu rutin kami jalani lebih kurang sebulan, setelah itu kami mendapat perintah untuk pindah ke Bukittinggi.
Di Bukittinggi kami ditempatkan di kampung Tarok, kira-kira 500 meter dari Simpang Tarok ke arah kampung Tigobaleh. Jumlah kami waktu itu tinggal 40 orang saja lagi, sedangkan yang lain sudah mengundurkan diri dengan kesadaran sendiri. Tidak ada uang pesangon, maupun uang jasa waktu itu sebagaimana yang banyak dituntut orang sekarang. Paling-paling mereka hanya mendapat sepucuk surat keterangan bahwa yang bersangkutan adalah anggota Seksi II Sektor III/B sejak tanggal sekian sampai tanggal sekian, dengan ucapan terima kasih atas jasa-jasanya. Hanya itu saja, tidak ada pikiran waktu itu mengharapkan penghargaan dalam bentuk apapun, tidak juga mengharapkan bintang jasa dan lain-lain, betul-betul Lillaahi Taala.
Setelah beberapa hari kami masuk kota Bukittinggi, saya dipanggil oleh pak Aga Kartanagara ke rumah beliau yang hanya berjarak kira-kira 700 meter dari asrama kami. Sesudah Magrib, malam itu saya datang ke rumah beliau sendirian, menanyakan barangkali ada hal-hal yang akan beliau katakan kepada saya. Rupanya beliau ingat pembicaraan kami sewaktu beliau masih tinggal di Bukit Batabuh dulu, bahwa saya ingin kembali ke Johore Bahru meneruskan sekolah saya yang terhenti bila situasi mengizinkan. Tidak ada pembicaraan khusus malam itu kecuali obrolan biasa. Rupanya beliau rindu kampung halaman, tidak ada orang yang akan diajak bercakap-cakap dalam bahasa Melayu. Kami Setelah beberapa hari kami masuk kota Bukittinggi, saya dipanggil oleh pak Aga Kartanagara ke rumah beliau yang hanya berjarak kira-kira 700 meter dari asrama kami. Sesudah Magrib, malam itu saya datang ke rumah beliau sendirian, menanyakan barangkali ada hal-hal yang akan beliau katakan kepada saya. Rupanya beliau ingat pembicaraan kami sewaktu beliau masih tinggal di Bukit Batabuh dulu, bahwa saya ingin kembali ke Johore Bahru meneruskan sekolah saya yang terhenti bila situasi mengizinkan. Tidak ada pembicaraan khusus malam itu kecuali obrolan biasa. Rupanya beliau rindu kampung halaman, tidak ada orang yang akan diajak bercakap-cakap dalam bahasa Melayu. Kami
Keinginan bersekolah dalam pikiran saya tidak pernah hilang. Saya kalau melihat anak- anak pulang sekolah sambil bercanda ria, hati saya terenyuh, karena saya tidak mendapat kesempatan bersekolah seperti anak-anak yang saya lihat itu. Tidak lama setelah itu dari seorang teman saya mendapat kabar bahwa di SMA Birugo ( SMA I sekarang ) sedang membuka pendaftaran untuk murid-murid yang ingin sekolah di SMA sore. Setelah mendengar kabar itu saya segera mendaftar dan Alhamdulillah saya diterima dikelas I. Saya sudah senang dapat diterima sekolah disitu disamping tugas ketentaraan saya tidak terganggu.
Kesempatan untuk pergi latihan ke Cimahi sebagai salah seorang Wakil dari Brigade Banteng
Setelah beberapa bulan sekolah disitu dan sedang senang-senangnya belajar saya diminta datang lagi oleh pak Aga Kartanagara ke rumah beliau. Beliau menceritakan bawa sekarang ada kesempatan mengirim beberapa anggota untuk dilatih di Cimahi Bandung. Kompi Guntur mendapat jatah 2 orang dari 24 orang jatah untuk Brigade Banteng. Beliau tidak secara tegas menawarkan kesempatan itu kepada saya dengan maksud ada reaksi positif dari saya. Tetapi saya tidak tertarik dengan informasi tersebut, bahkan saya sampaikan lagi maksud saya akan pergi ke Johore Baharu untuk sekolah. Mendengar reaksi saya itu beliau hanya senyum dan mengalihkan pembicaraan ke hal yang lain-lain saja.
Beberapa hari setelah itu kakanda A. Tadjuddin pulang dari Pekanbaru bersama seluruh keluarga. Ini berarti beliau akan berada di kampung untuk masa yang agak lama. Hubungan saya dengan kakanda A. Tadjuddin sangat dekat sekali. Beliau memperhatikan saya dari yang sekecil-kecilnya sampai yang besar. Sewaktu kami masih di Batu Empat Kota Tinggi beliaulah yang banyak menghibur dan memberikan pedoman hidup kepada saya. Kalau membangunkan saya tidur untuk salat Subuh beliau lakukan dengan lemah lembut dan dengan ciuman sayang. Tidak pernah marah apalagi memaki-maki. Kalau saya berbuat kesalahan atau ada yang tidak sesuai dengan beliau selalu dilakukan dengan nasihat dan perbandingan buruk dan baiknya. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan bapak saya. Sampai dihari tua kami, kami tetap dekat bahkan tidak terasa bahwa antara kami hanya saudara satu bapak. Sakit beliau terasa sakit saya, senang beliau pun terasa senang saya, demikian sebaliknya. Tidak pernah ada konflik antara kami sampai pada saat kami berpisah untuk selama-lamanya. Semoga Allah menghampuni segala dosa beliau dan menerima segala amal ibadahnya. Amin !
Sehari setelah beliau sampai di kampung, saya datang menemui beliau di Parit Putus. Waktu itu saya masih tinggal di asrama di Tarok Sepulang saya dari sekolah kira-kira pukul
6.00 petang kami bertemu dan bicara-bicara sebentar. Waktu Magrib tiba, kami pergi ke 6.00 petang kami bertemu dan bicara-bicara sebentar. Waktu Magrib tiba, kami pergi ke
Pembicaraan kami berkisar cerita pengalaman selama tidak bertemu dan tentang kepergian bapak meninggalkan kami selama-lamanya. Akhirnya beliau menyatakan kebanggaan beliau bahwa saya dalam umur yang relatif muda/kecil dapat berbuat sesuatu untuk bangsa dan negara di kampung kita. Selanjutnya beliau bertanya rencana saya untuk masa depan, apakah akan tetap di ketentaraan atau ada rencana lain? Kepada beliau saya sampaikan keluhan saya bahwa sampai hari itu saya belum menemukan jawaban antara dua pilihan yang mungkin terbuka. Yaitu tetap di ketentaraan dengan karir yang sudah jelas dan terukur, tetapi tidak punya dinamika, atau keluar dari ketentaraan dengan penuh dinamika dan tantangan dengan hasil juga tidak terduga. Beliau menjawab, syukurlah sudah dipikirkan, mudah-mudahan Allah Swt menunjuki jalan yang terbaik menurut Nya. Tetapi menurut saya kata beliau, saya tidak melihat persoalan ini dari dinamika dan resiko karena segala sesuatu sudah ditentukan Allah Swt. Saya melihat, kata beliau, dari segi senjata yang kamu pegang sekarang. Kalau dulu diwaktu perjuangan fisik melawan penjajah senjatamu ini dihadapkan ke arah Belanda yang jelas-jelas musuh kita, tetapi sekarang Belanda sudah pulang ke negerinya, kepada siapa senjatamu ini akan kamu hadapkan, bukankah kepada bangsa sendiri?
Tersentak saya mendengar kata-kata yang tidak saya duga dari kakanda A.Tadjuddin. Lama saya termenung sambil mencari jawaban. Akhirnya saya katakan benar kata-kata abang itu dan dalam sekali artinya. Insya Allah akan saya pikirkan dan dalam waktu singkat mudah- mudahan ketemu jawabannya. Sejak pembicaraan malam itu ingatan saya kembali kepengalaman selama clash kedua, bagaimana rakyat yang lugu dan miskin membantu perjuangan kemerdekaan tanpa mengharapkan sesuatu kecuali kemerdekaan. Alangkah sadisnya saya kalau senjata yang dibiayai dengan uang rakyat itu harus dihadapkan kepada mereka. Tidak sampai sebulan setelah pertemuan dengan kakanda A.Tadjuddin itu, saya sudah sampai pada satu keputusan yaitu meninggalkan ketentaraan secepatnya.
Keputusan ini saya sampaikan kepada mamanda Ginam selaku Komandan Seksi. Dari wajah beliau kelihatan kecewa. Setelah saya jelaskan maksud saya akan pergi sekolah ke Malaysia, beliau dengan berat hati melepas dan menerima keberhentian saya. Untuk menggantikan posisi saya sebagai Wakil Komandan Seksi, saya usulkan kepada beliau supaya mengangkat Rujai bekas Giu Gun yang pada waktu clash kedua tidak ikut bergerilia. Usul ini beliau setujui dan segera saya serah terima dengan Rujai, dengan pangkat yang sama dengan saya yaitu Sersan Mayor. Keputusan saya ini saya sampaikan kepada pak Aga Kartanagara di rumah beliau. Langkah-langkah penggantian saya dengan Rujai dapat beliau setujui. Mendengar keputusan saya ini beliau juga kecewa, tapi mendukung dan mendoakan saya berhasil dengan pesan nanti kalau sudah sampai di sana segera mengirim surat. Keesokan harinya saya bawa Rujai ke rumah beliau untuk perkenalan dan memudahkan proses administrasi selanjutnya. Kelihatannya begitu mudah proses pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian di ketentaraan waktu itu. Memang itu adalah kenyataan, Keputusan ini saya sampaikan kepada mamanda Ginam selaku Komandan Seksi. Dari wajah beliau kelihatan kecewa. Setelah saya jelaskan maksud saya akan pergi sekolah ke Malaysia, beliau dengan berat hati melepas dan menerima keberhentian saya. Untuk menggantikan posisi saya sebagai Wakil Komandan Seksi, saya usulkan kepada beliau supaya mengangkat Rujai bekas Giu Gun yang pada waktu clash kedua tidak ikut bergerilia. Usul ini beliau setujui dan segera saya serah terima dengan Rujai, dengan pangkat yang sama dengan saya yaitu Sersan Mayor. Keputusan saya ini saya sampaikan kepada pak Aga Kartanagara di rumah beliau. Langkah-langkah penggantian saya dengan Rujai dapat beliau setujui. Mendengar keputusan saya ini beliau juga kecewa, tapi mendukung dan mendoakan saya berhasil dengan pesan nanti kalau sudah sampai di sana segera mengirim surat. Keesokan harinya saya bawa Rujai ke rumah beliau untuk perkenalan dan memudahkan proses administrasi selanjutnya. Kelihatannya begitu mudah proses pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian di ketentaraan waktu itu. Memang itu adalah kenyataan,
Proses pemberhentian dan penggantian saya dengan Rujai kelihatan sudah selesai. Tetapi hubungan saya dengan mamanda Ginam yang terbina sejak lama menjadi retak. Dari teman-teman, saya mendengar bahwa beliau mengatakan, si Tamam berhenti karena mau menjadi duta di Malaysia. Ejekan ini saya terima dengan lapang dada tanpa memberikan reaksi sedikitpun, setiap kali saya bertemu dengan beliau saya tetap hormat dan menegur seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Sambil menunggu kepastian keberangkatan saya ke Malaysia, saya masih tetap bersekolah di SMA Petang Birugo. Untuk menutupi belanja saya, saya aktif membantu ibunda di warung nasi beliau di simpang Parit Putus. Alhamdulillah warung nasi beliau termasuk yang ramai. Pelanggan beliau tidak saja orang Parit Putus, tetapi juga orang dari kampung-kampung sekitarnya seperti Surau Pinang, Batang Buo, Garegeh, dan lain-lain. Waktu itu saya mempunyai sebuah mesin tik antik. Dari mana asal mesin tik itu saya sudah lupa, rasanya diberi oleh seseorang. Mesin tik itu ukurannya sebesar mesin tik portable, hanya saja mesin tik sekarang ada empat garis tutsnya, sedangkan yang itu hanya tiga. Mesin tik itu saya tawar-tawarkan untuk didjual untuk bekal ongkos pergi ke Malaysia. Hanya ada seorang yang menawar murah, saya masih bertahan dengan harapan ada penawar yang lebih tinggi dari itu.
Menjual Mesin Tik untuk modal ke Malaysia.
Sejak berhenti dari ketentaraan saya menganggur di kampung kira-kira 2 bulan lamanya. Pagi-pagi sampai jam 1.00 siang membantu ibunda dagang di warung nasi beliau. Setelah itu saya pergi sekolah di SMA petang di Birugo. Banyak teman-teman dan orang tua menyesali saya, kenapa saya berhenti dari tentara, sekarang dagang nasi di kampung, kan menyesal sendiri. Ocehan-ocehan begitu di kampung kita sudah menjadi makanan sehari-hari, sampai ada pemeo “kereta api yang mendaki napasnya yang sesak” Maksudnya, dia sibuk mengurusi urusan orang lain yang tidak ada hubungan dengan urusan dia.
Lama-lama panas juga kuping saya mendengar ocehan seperti itu. Akhirnya saya putuskan untuk berangkat ke Malaysia melalui Pekanbaru. Saya sampaikan maksud saya ini kepada ibunda. Ibunda sudah tahu bahwa saya sejak lama ingin pergi ke Malaysia, ingin bersekolah di sana. Mesin tik ditawar-tawarkan belum juga laku terpaksa saya menanyakan uang kepada ibunda seberapa ada. Kebetulan beliau menabung uang dalam tabungan bambu yang disisihkan dari penjualan setiap hari untuk menutupi keperluan mendadak. Beliau ambil tabungan bambu itu lalu dibelah dihadapan saya dan dihitung bersama berapa uang yang ada di dalamnya. Beliau sisihkan sedikit, selebihnya beliau berikan kepada saya. Cara demikian umumnya orang-orang dulu menabung, tidak seperti sekarang, ada bermacam-macam tabungan disediakan di Bank-bank.
Setelah dapat uang tersebut, jumlahnya saya lupa, tetapi saya yakin dengan uang sebesar itu paling-paling cukup untuk sampai ke Malaysia saja. Belum ada bekal untuk hidup sebulan di rantau orang. Mau tidak mau mesin tik harus dijual walaupun ditawar murah Setelah dapat uang tersebut, jumlahnya saya lupa, tetapi saya yakin dengan uang sebesar itu paling-paling cukup untuk sampai ke Malaysia saja. Belum ada bekal untuk hidup sebulan di rantau orang. Mau tidak mau mesin tik harus dijual walaupun ditawar murah
*****