PINDAH KE BANDUNG (AWAL l953 –PERTENGAHAN 1954)

11. PINDAH KE BANDUNG (AWAL l953 –PERTENGAHAN 1954)

Sejak beberapa bulan terakhir suasana kerja di kantor sudah tidak nyaman lagi. Hubungan dengan teman se kerja tidak harmonis, suka sindir menyindir yang menyakitkan hati. Suasana ini rupanya tercium oleh Kepala Bagian Pembukuan, dan dia menasehati saya supaya bersabar. Nanti lama kelamaan mereka akan sadar sendri katanya. Dalam hati saya sudah bertekad untuk mencari pekerjaan ditempat lain. Mudah-mudahan dengan modal ijazah tata-buku Bond A akan lebih memudahkan mencari pekerjaan, karena sudah ada keterampilan yang sifatnya khusus. Saya tidak berani berhenti dulu baru mencari pekerjaan, karena saya hidup sekarang tidak sendiri lagi, tetapi sudah berdua dengan adik.

Untuk mengurangi stress di kantor, saya ambil cuti. Waktu cuti saya, saya gunakan untuk membawa jalan-jalan ibunda dan adik ke beberapa tempat di Jakarta, khusus ke tempat–tempat keluarga ke rumah kakanda Nurbeiti yang waktu itu tinggal di kawasan Jatinegara. Tidak lama ibunda di Jakarta, kira-kira seminggu beliau sudah ingin pulang, kasihan nenek tinggal kata beliau. Kabetulan waktu itu pendaftaran murid baru di SMA sudah mulai dibuka. Untuk menyenangkan hati beliau saya daftarkan dulu adik di SMA Budi Utomo yang pagi, karena kalau sore dipakai SMA Demobilisan dan Alhamdulilah dia diterima sekolah di situ. Setelah itu baru saya urus ticket kapal untuk ibunda pulang ke Padang.

Tunjangan dari Kantor Demobilisan Pelajar masih berjalan terus. Di sana sudah banyak juga teman-teman se daerah berkenalan, ada yang bekas Tentara Pelajar ada juga yang bekas geriliawan seperti saya. Pada saat pengambilan tunjangan bulan Desember 1952, itu saya berkenalan dengan Lukman orang kampung Salo, kenagarian Kamang Mudik, bersebelahan dengan kampung baso arah ke Bukit Barisan. Dia bekas geriliawan Sektor III/A Kamang, tempat keluarga kami mengungsi dulu. Dari dia saya mendapat informasi bahwa ada Peraturan Pemerintah No. 6 tahun l950. yang memberikan uang tunggu (onderstand) kepada bekas-bekas pejuang, sesuai dengan lama masanya berjuang. Untuk mendapatkan tunjangan itu diurus di Ajudan Jenderal Angkatan Darat di Bandung. Dia sendiri bermaksud akan ke Bandung mengurus tunjangan itu. Karena masa cuti saya masih ada seminggu lagi, maka saya ajak dia bersama-sama mengurusnya di Ajudan Jenderal di Bandung. Lukman sejak berhenti dari geriliawan dia berdagang, dan tidak terikat dengan waktu. Begitu mendapat ajakan dari saya dia langsung setuju, karena dia sendiri sudah lama ingin mengurus tetapi tidak ada teman untuk sama-sama ke sana sehingga belum jadi.

Karena hari masih pagi, kira-kira jam 10.00 saya sarankan berangkat sekarang saja. Kita pulang dulu ke rumah saya mengambil surat-surat dan pakaian seperlunya dan sudah itu ke rumah dia mengambil hal yang sama. Setelah itu kita langsung berangkat dengan bus ke Bandung. Nanti disana kita menginap di losmen yang ada disekitar perhentian bus. Besok paginya langsung kita ke Ajudan Jenderal. Kalau selesai hari itu sorenya kita bisa pulang lagi ke Jakarta. Kalau tidak selesai kita menginap semalam lagi, setelah itu baru kita pulang ke Jakarta. Usul ini pun dia setujui, rupanya dia mendengar dari teman-temannya yang sudah mendapat tunjangan ini jumlahnya cukup besar, dan bisa untuk tambah-tambah modal dagangnya. Usul itu saya kemukakan mengingat masa cuti saya tinggal beberapa hari lagi, Karena hari masih pagi, kira-kira jam 10.00 saya sarankan berangkat sekarang saja. Kita pulang dulu ke rumah saya mengambil surat-surat dan pakaian seperlunya dan sudah itu ke rumah dia mengambil hal yang sama. Setelah itu kita langsung berangkat dengan bus ke Bandung. Nanti disana kita menginap di losmen yang ada disekitar perhentian bus. Besok paginya langsung kita ke Ajudan Jenderal. Kalau selesai hari itu sorenya kita bisa pulang lagi ke Jakarta. Kalau tidak selesai kita menginap semalam lagi, setelah itu baru kita pulang ke Jakarta. Usul ini pun dia setujui, rupanya dia mendengar dari teman-temannya yang sudah mendapat tunjangan ini jumlahnya cukup besar, dan bisa untuk tambah-tambah modal dagangnya. Usul itu saya kemukakan mengingat masa cuti saya tinggal beberapa hari lagi,

Dengan membaca Bismillaahirrahmaanirrahiim, dari Kantor Demobilisan Pelajar kami berangkat sesuai dengan jadwal yang disepakati untuk langsung ke Bandung. Dalam perjalanan kami banyak bercerita dan bertanya. Sebagai teman baru rasanya saya ingin mengenal lebih dekat, barangkali ada di antara teman-teman saya yang dia juga kenal dan sebaliknya. Rupanya dia kenal juga dengan Ali Amran teman saya di sipil Angkatan Laut yang mengajak saya tinggal di mess Manggarai. Lukman lebih tua dari saya kira-kira 2 tahun, dan sebagai orang Minangkabau saya panggil dia tuan atau kakak. Akhirnya kami intim bahkan seperti saudara, dan dia menganggap Chairman juga sebagai adiknya. Kalau dia pulang kampung selalu mampir ke ibunda di Parit Putus.

Kami sampai di Bandung sudah malam. Dalam perjalanan saya sudah mulai bertanya- tanya kepada penumpang yang duduk dekat dengan saya, losmen yang dekat dengan pemberhentian bus. Dia mengatakan ada banyak dan dia menyebut salah satu nama losmen yang dekat ke terminal bus. Jadi kami tidak perlu kawatir. Losmen adalah hotel murahan tempat orang-orang pedagang keliling menginap untuk satu atau dua malam menunggu dagangannya laku habis. Turun dari bus kami langsung mencari losmen terdekat, dan kami pilih satu kamar untuk dua orang.

Besok pagi-pagi kami sudah bangun, mandi dan sebagainya. Rupanya di losmen itu pagi-pagi sebagai service diberi segelas kopi atau teh sesuai dengan permintaan. Kepada room boy yang mengantarkan kopi pagi itu kami bertanya dimana kantor Ajudan Jenderal Angkatan Darat. Dia juga tidak tahu, tetapi dia akan menanyakan dulu kepada yang penerima tamu didepan. Tidak lama kemudian dia kembali dan mengatakan dekat lapangan Siliwangi. Jam 6.00 pagi kami sudah mulai keluar kamar, siap-siap pergi ke kantor Ajudan Jenderal. Waktu itu di Bandung masih bebas beca, boleh kemana saja, belum ada larangan seperti sekarang. Supaya tidak kemahalan menawarnya, kami tanyakan dulu kepada penerima tamu didepan, kalau ke lapangan Siliwangi, berapa sewa beca kesana?. Dia menjawab kira-kira sekian. Dengan jawaban itu kami sudah punya ancar-ancar untuk menawar nanti yang pantas dan tidak kemahalan.

Jam kantor waktu itu, hari Senin s/d Kamis dari jam 7.00 pagi sampai jam 2.00 siang, hari Jumat dari jam 7.00 pagi sampai sampai jam 11.00 siang dan hari Sabtu dari jam 7.00 pagi sampai jam 1.00 siang. Tepat jam 7.00 kami sudah sampai di depan piket Ajudan Jenderal Angkatan Darat. Kepada piket kami menanyakan bagian yang mengurus onderstand bekas pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Dia menunjuk ke lantai atas, salah satu kamar yang ada loketnya. Kami naik menuju arah yang di tunjuk dan kami melihat ada papan pengumuman, kami baca satu persatu. Ternyata di salah satu pengumuman ada petunjuk cara-cara dan syarat-syarat mengurus onderstand. Syarat-syaratnya hampir sama dengan mengurus Demobilisan Pelajar dulu. Kebetulan saya masih punya satu set arsipnya. Sedangkan Lukman tidak punya salinan Surat Keputusan Berhenti yang di syahkan oleh Camat atau instansi pemerintah tempat yang bersangkutan bekerja. Waktu itu belum ada foto copy. Surat Keputusan Berhenti itu disalin dulu dengan mesin tik, setelah itu di bawa ke Jam kantor waktu itu, hari Senin s/d Kamis dari jam 7.00 pagi sampai jam 2.00 siang, hari Jumat dari jam 7.00 pagi sampai sampai jam 11.00 siang dan hari Sabtu dari jam 7.00 pagi sampai jam 1.00 siang. Tepat jam 7.00 kami sudah sampai di depan piket Ajudan Jenderal Angkatan Darat. Kepada piket kami menanyakan bagian yang mengurus onderstand bekas pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Dia menunjuk ke lantai atas, salah satu kamar yang ada loketnya. Kami naik menuju arah yang di tunjuk dan kami melihat ada papan pengumuman, kami baca satu persatu. Ternyata di salah satu pengumuman ada petunjuk cara-cara dan syarat-syarat mengurus onderstand. Syarat-syaratnya hampir sama dengan mengurus Demobilisan Pelajar dulu. Kebetulan saya masih punya satu set arsipnya. Sedangkan Lukman tidak punya salinan Surat Keputusan Berhenti yang di syahkan oleh Camat atau instansi pemerintah tempat yang bersangkutan bekerja. Waktu itu belum ada foto copy. Surat Keputusan Berhenti itu disalin dulu dengan mesin tik, setelah itu di bawa ke

Karena saya merasa syarat-syaratnya sudah lengkap, maka saya ajak Lukman pergi ke loket minta formulir untuk diisi. Kami minta dua set formulir untuk saya dan Lukman. Formulir saya, langsung saya isi disitu, dilengkapi dengan syarat-syaratnya ditanda tangani dan diserahkan ke petugas loket. Oleh petugas loket, diperiksa dan dicocokkan dengan aslinya, langsung dibuat resu penerimaan. Saya diminta kembali seminggu ke depan, sesuai dengan tanggal kembali yang tercantum dalam resu penerimaan. Formulir Lukman di bawa dulu ke Jakarta untuk dilengkapi dengan Salinan Surat Pemberhentian yang di ketahui oleh Camat, dan pas foto. Selesai dari Ajudan Jenderal kami langsung ke losmen untuk kembali ke Jakarta.

Dalam perjalanan pulang kami tidak banyak berbicara, karena masing-masing sudah capek, dan saya mulai berangan-angan. Bila ini berhasil maka banyak bekas anak-anak buah saya di Sektor III/B yang akan saya bantu mendapatkan onderstand ini. Tanpa disadari kami sudah sampai di Jakarta. Kami berjanji dengan Lukman untuk bersama-sama lagi ke Bandung minggu depan dengan kereta api. Berangkat pagi-pagi dari Jakarta langsung ke Bandung, dan dari stasiun Bandung langsung ke Ajudan Jenderal.

Mengurus Pensiun Bekas-Bekas Pejuang Sesuai Dengan Peratuan Pemerintah

Beberapa hari lagi saya sudah mesti masuk kantor lagi, yaitu awal Januari 1953, karena masa cuti sudah habis. Saya berdoa, mudah-mudahan urusan dengan Ajudan Jenderal ini berhasil. Kalau berhasil saya sudah bertekad bulat untuk meninggalkan Persdi Ltd, Mungkin bulan ini adalah bulan terakhir saya bertemu dengan teman-teman di Persdi Ltd, Sementara waktu saya akan konsentarsi dalam pengurusan onderstand bekas-bekas pejuang khusus bekas Sektor III/B. Mungkin ini adalah jalan keluar yang terbaik dari problem yang saya hadapi.

Setelah masa cuti saya habis, saya masuk kantor lagi seperti biasa. Saya berusaha memperlihatkan sikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa antara saya dengan teman sekerja lainnya, dengan harapan suasana akan berobah setelah saya cuti. Ternyata keadaan lebih buruk dari apa yang saya duga. Sekarang tidak saja sikap teman-teman sekerja yang kurang baik dengan saya tetapi Direktur Utama sendiri sudah tidak senang dengan saya. Caranya adalah dengan mencopot sebagian tugas dan wewenang saya sebelumnya dilimpahkan ke bagian lain . Tenaga di bagian Personalia itu semasa pak Aga Kartanagara masih hidup hanya kami berdua saja. Setelah pak Aga Kartanagara meninggal tinggal saya sendiri. Sewaktu saya cuti, untuk pekerjaan yang mesti dikerjakan rutin mingguan saya limpahkan sementara ke bagian Umum, sedangkan tugas yang harus dikerjakan bulanan tidak saya limpahkan ke bagian lain.

Melihat suasana demikian, tidak ada jalan lain kecuali hari itu saya siapkan surat permohonan berhenti mulai tanggal satu bulan berikutnya. Dalam surat tersebut saya ajukan sekalian permohonan cuti yang masih menjadi hak saya tersisa beberapa hari. Sebelum pulang kantor, saya sampaikan surat permohonan berhenti itu langsung kepada Direktur utama, dengan alasan akan pindah ke Bandung. Besoknya saya dipanggil ke kamar Direktur

Utama. Di dalam kamar sudah ada kepala Bagian Pembukuan dan Kepala Bagian Umum. Beliau mengatakan, karena saya akan berhenti akhir bulan supaya tugas dan wewenang saya selama ini di timbang terimakan sebagian ke Bagian Umum dan sebagian ke Bagian Pembukuan. Dari pembicaraan Direktur Utama tersebut sudah tersirat bahwa permohonan berhenti saya sudah disetujui.

Saya katakan bahwa akan saya selesaikan seluruh tugas yang menjadi beban saya sampai akhir bulan ini, dan setelah itu baru akan saya serahkan sesuai dengan perintah Direktur Utama. Saya mohon diizinkan mengambil cuti beberapa hari yang tersisa secara tidak berurut, sesuai dengan keperluan saya.

Beberapa hari ke depan, tiba jadwal kami mendatangai Ajudan Jenderal Angkatan Darat di Bandung. Sesuai dengan kesepakatan dengan Lukman, bahwa pada hari itu kami akan bertemu di Stasion Jatinegara jam 6.00 pagi untuk bersama-sama berangkat ke Bandung. Waktu itu hubungan telpon masih langka, tidak ada istilah konfirmasi lebih dahulu untuk tiap-tiap janji yang dibuat. Saya berusaha untuk menepati tiap-tiap janji yang saya buat. Karena itu saya datang pada hari dan jam yang telah ditentukan dan berharap juga Lukman demikian. Lima menit setelah saya menunggu, Lukman pun datang tergesa-gesa. Kami langsung membeli karcis kereta api dan naik. Tidak lama kemudian kereta api pun berangkat menuju Stasion Bandung.

Kira-kira jam 10,30 pagi kami sampai di stasion Bandung. Dengan menaiki beca kami diantarkan ke kantor Ajudan Jenderal dekat lapangan Siliwangi Bandung. Di situ sudah ada beberapa orang yang antre menunggu giliran. Kami baru kebagian kira-kira jam 1.00 siang. Di hadapan saya antre adalah Lukman yang hanya menyerahkan formulir berikut syarat- syaratnya. Setelah menerima resu penerimaan dia keluar dan sekarang giliran saya yang diladeni. Saya menyerahkan resu penerimaan yang mereka berikan minggu lalu. Setelah menerima resu tersebut dia berdiri sebentar mencari-cari emplop yang tersusun di dalam lemari di belakang petugas yang bersangkutan. Tidak lama dia mengambil sebuah emplop dan menyerahkan kepada saya, supaya membawa emplop itu pergi ke Bagian Keuangan Ajudan Jenderal yang berlokasi di Jalan Aceh Bandung. Saya melihat jam sudah menunjukkan 1,15 Masih ada waktu 45 menit lagi sebelum kantor tutup. Kami segera ke Jalan Aceh dengan beca dan Alhamdulillah loket bagian Keuangan masih bersedia menerima amplop yang saya bawa dari Ajudan Jenderal. Mereka buka dan periksa kelengkapannya dan membuat tanda terima, menyuruh saya kembali minggu depan untuk mengambil mandat ke Kas Negara di Jalan Asia Afrika.

Sungguh padat tugas kami hari itu, tapi kami puas segala sesuatu berjalan sebagaimana diharapkan. Sore itu kami akan pulang ke Jakarta, dan akan kembali seminggu ke depan. Sampai di Jakarta kami berpisah kembali dan berjanji untuk bertemu lagi di Stasion Jatinegara seperti tadi pagi. Sesampai saya dirumah saya mendapat kabar bahwa hari itu merupakan hari pertama bagi Chairman mulai sekolah di SMA Budi Utomo. Saya tanyakan apa-apa kebutuhan sekolahnya. Dia menyodorkan satu daftar kebutuhan yang perlu dipersiapkan. Mumpung masih ada waktu dan mungkin masih ada beberapa toko yang buka malam itu, kami segera pergi ke pasar Jatinegara untuk mencari perlengkapan sekolah yang diperlukan.

Besoknya, sebagaimana biasa saya pergi ke kantor Persdi Ltd, untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang akan diserah terimakan akhir bulan ke bagian-bagian yang ditunjuk Direktur Utama. Saya ingin meniggalkan perusahaan tempat saya bekerja dalam keadaan tidak punya utang pekerjaan maupun utang lainnya. Suasana kantor agak berbeda dengan sebelumnya. Ada teman-teman yang tadinya ikut-ikutan sinis melihat saya, sekarang mendekat dan bertanya nanti kalau sudah berhenti dari sini mau bekerja dimana ? katanya. Sedangkan Kepala Bagian Pembkuan minta alamat saya, yang nanti akan menghubungi bila ada teman yang mencari tenaga yang mempunyai ijazah Bond A.dia akan beri tahukan kepada saya.

Tepat pada hari dan jam yang kami sepakati, saya dan Lukman bertemu lagi di staion Kereta Api Jatinegara, untuk berangkat ke Bandung. Sesampai di Bandung, sebagai tanda setia kawan kami pergi dulu ke Kantor Ajudan Jenderal untuk urusan Lukman, setelah itu baru kami pergi ke Bagian Keuangan Ajudan Jenderal di Jalan Kalimantan untuk urusan saya dan urusan Lukman. Lukman menyerahkan surat pengantar dari Ajudan Jenderal, sedangkan saya menunggu keluarnya mandat untuk dibawa ke Kas Negara. Mandat adalah Surat Perintah Bayar ke Kas Negara. Kas Negaralah yang berhak mengeluarkan uang negara berdasarkan mandat yang dikeluarkan oleh instansi-instasni yang berwenang. Setelah saya serahkan resu yang saya terima minggu yang lalu, saya disuruh tunggu sebentar. Tidak lama setelah itu saya di panggil dan menerima dua buah emplop, yang satu emplop dengan alamat Kepala Kantor Kas Negara di Bandung, yang satu lagi emplop alamat ke saya sebagai tembusan. .

Setelah saya buka emplop yang dialamatkan kepada saya, alangkah surprisenya saya melihat angka rupiah tunjangan yang akan saya terima. Menurut ukuran saya adalah suatu jumlah yang besar waktu itu, mungkin karena sifat tunjangan ini adalah sekaligus. Seterima surat itu kami langsung pergi ke Kantor Kas Negara dengan menggunakan beca untuk mencairkan mandat yang baru saja saya terima. Sekarang sudah bulat keputusan saya untuk pindah ke Bandung sesuai dengan angan-angan saya waktu pertama kali mengurus onderstand ini untuk membantu teman-teman bekas pejuang di Sektor III/B.

Setelah uang saya terima saya ajak Lukman pergi makan dulu ketempat kami makan selama di Bandung, yaitu di rumah makan Padang mak Itam di Banceuy. Tempat toko-toko bursa elektronika sekarang. Kebetulan disitu bertemu dengan Hasan Basri, orang Bukit Batabuh, bekas teman di Sektor III/B dulu Seksi I. Dia masih berpakaian tentara dengan pangkat Sersan Mayor. Saya tanyakan dimana dia tinggal, dia mengatakan dia kos di Jalan Ciateul, dirumah orang KotoTuo bernama Saemar. Saya tanyakan, apakah masih ada tempat disana, dia mengatakan masih ada, kalau mau tinggal disana dia mengajak saya melihat dan bertemu dengan pak Saemar. Saya pikir, karena tekad sudah bulat untuk pindah ke Bandung, dari pada menyewa di losmen terus menerus lebih baik kos saja disana sambil mendapat tempat yang lebih sesui untuk berdua dengan adik.

Kami naik beca bertiga ke Jalan Ciateul melihat tempat kos dan berkenalan dengan pak Saemar pemilik rumah. Setelah melihat kamar yang akan saya tempati, dan berkenalan dengan pak Saemar, saya langsung setujui dan membayar uang kos untuk 1 bulan kedepan. Saya katakan bahwa saya nanti masuk minggu depan, sesuai dengan hari Lukman akan Kami naik beca bertiga ke Jalan Ciateul melihat tempat kos dan berkenalan dengan pak Saemar pemilik rumah. Setelah melihat kamar yang akan saya tempati, dan berkenalan dengan pak Saemar, saya langsung setujui dan membayar uang kos untuk 1 bulan kedepan. Saya katakan bahwa saya nanti masuk minggu depan, sesuai dengan hari Lukman akan

Pada saat pertama kali saya datang ke Kantor Ajudan Jenderal Angkatan Darat di Bandung, saya sudah mulai yakin bahwa memang ada tunjangan Pemerintah bagi pejuang kemerdekaan RI. Seperti yang diinformasikan oleh Lukman kepada saya pada waktu bertemu pertama kali di Kantor Demobilisan dua minggu yang lalu. Sejak itu saya sudah mulai menulis surat kepada teman-teman dekat menginformasikan mengenai Peraturan Pemerintah tersebut berikut syarat-syarat yang harus dipenuhi. Bila ada yang berminat untuk mengurusnya sendiri, saya akan membantu menemaninya. Kepada yang berhalangan mengurusnya sendiri dapat memberi kuasa kepada saya untuk mengurusnya sampai selesai, dengan memberikan Surat Kuasa yang ditanda tangani diatas kertas meterai. Nanti datang ke Bandung kalau sudah akan mencairkan mandatnya di Kantor Kas Negara, yang harus dilakukan sendiri oleh orang yang namanya tercantum dalam mandat tersebut, tidak dapat dikuasakan.

Kami sampai di Jakarta sudah agak malam. Dalam perjalanan dari Bandung ke Jakarta saya sangat hati-hati sekali menjaga uang yang baru saya terima dari Kas Negara Bandung. Kami berjanji dengan Lukman bahwa minggu depan bersama-sama lagi ke Bandung, dengan tujuan yang berbeda. Lukman ke Bandung untuk mencairkan mandat yang akan diterimanya di Kas Negara, setelah itu dia pulang lagi ke Jakarta, sedangkan saya pergi ke Bandung dengan pakaian dan perlengkapan lainnya untuk mempersiapkan diri pindah dan domisili di Bandung untuk waktu yang tidak ditentukan.

Malam itu dari Anwar Jamil yang serumah dengan kami, memberitahukan bahwa sore tadi ada seorang tamu ingin bertemu dengan saya. Katanya dia bermaksud minta bantuan saya untuk mengurus onderstand di Ajudan Jenderal Angkatan Darat di Bandung. Dia berjanji besok sore akan datang lagi, dan harap ditunggu. Besok kira-kira jam 5.00 sore datang seseorang yang mengaku dia adalah teman dari teman saya yang saya kirimi surat tentang pencairan tunjangan onderstand dari Ajudan Jenederal Angkatan Darat di Bandung. Dia perlihatkan Surat Keputusan Berhenti dengan pangkat Pembantu Letnan dari Komandan Kompi yang bemarkas di Payakumbuh. Saya panggil dia Datuk, gelar umum untuk orang Payakumbuh Dia mengatakan Insya Allah nanti kalau berhasil dia akan memberikan jasa kebaikan saya sebesar 10% dari jumlah yang akan dia terima. Setelah saya teliti ternyata masih ada syarat yang belum lengkap, yaitu salinan Surat Keputusan Berhenti yang diketahui oleh Camat dan pas-foto ukuran 4 x 6 sebanyak 3 lembar. Saya minta dia meyiapkan kekurangannya dalam beberapa hari dan minggu depan hari yang ditentukan, saya ajak dia bersama-sama kami ke Bandung dan bertemu di Stasion Kereta Api Jatinegara jam 6.00 pagi.

Malam itu kepada Anwar Jamil saya katakan bahwa saya akan berhenti dari Persdi Ltd, akhir bulan, dan bermaksud akan pindah ke Bandung. Chairman sementara biar tetap disini dulu sampai ada kepastian lapangan hidup di Bandung. Saya ceritakan penderitaan batin saya di kantor Persdi Ltd, bulan-bulan terakhir, dan keberhasilan saya mendapatkan onderstand dari Ajudan Jenderal Angkatan Darat di Bandung. Sambil menunggu pekerjaan tetap maka saya akan membantu teman-teman bekas pejuang menguruskan onderstand nya di Bandung.

Alhamdulillah, Allah memang berpihak kepada umatnya yang dizalimi. Di Persdi Ltd, terakhir saya merasa di zalimi, dalam waktu tidak begitu lama, Allah menunjuki jalan yang lebih memberi harapan dimasa depan. Kedatangan Datuk meminta bantuan saya mengurus onderstandnya merupakan awal dari kegiatan saya dalam pengurusan onderstand teman- teman lain. Mudah-mudahan jalan ini merupakan pintu rezki baru buat saya setelah berhenti dari Persdi Ltd,

Sesuai pada hari dan jam yang direncanakan kami bertiga beremu di stasion Kereta Api Jatinegara. Saya perkenalkan Datuk kepada Lukman sesama bekas pejuang berasal dari Payakumbuh, dengan maksud yang sama dengan kita. Sampai di Bandung sebagaimana biasa, kami naik beca bertiga, masih muat karena sama-sama kurus waktu itu. Lukman saya tingggalkan di Jalan Kalimantan di Kantor Bagian Keuangan Ajudan Jenderal untuk mengambil mandat ke Kas Negara, sedangkan saya terus ke Kantor Ajudan Jenderal bersama Datuk. Saya katakan pada Lukman kalau cepat dapat mandat supaya langsung saja pergi ke Kas Negara di Jalan Asia Afrika, nanti kita bertemu disana saja. Sampai di Kantor Ajudan Jenderal saya langsung ke loket lantai dua dengan membawa berkas Datuk. Saya yang antrikan buat dia. Surat Pemberhentian Datuk diperiksa oleh penerima pendaftaran di loket dan dianggap sudah lengkap, langsung dia serahkan formulir isian kepada saya. Waktu itu saya tanyakan sekalian alamat rumahnya, supaya dapat berkenalan lebih lanjut.. Nama dan alamat rumahnya dia tulis diatas sepotong kertas dan diserahkan kepada saya. Datuk saya suruh mengisi sekalian formulir isian itu dan ditanda tangani. Setelah ditanda tangani saya suruh Datuk yang antri di loket untuk menyerahkannya. Tidak lama dia sudah keluar membawa resu tanda terima untuk kembali miggu depan.

Selesai dari Ajudan Jenderal, kami naik beca untuk terus ke Kantor Kas Negara di Jalan Asia Afrika. Sampai disana, kami dapati Lukman sedang menghitung uang disalah satu loket yang banyak disana. Selesai Lukman menerima uang yang sejak lama dia idam-idamkan, kami naik beca lagi bertiga pergi makan ke Rumah Makan mak Itam di Banceuy yang menjadi langganan kami selama di Bandung. Selesai makan, saya ajak mereka berdua mampir dulu ketempat kos saya di Jalan Ciateul. Maksud saya ialah, supaya Datuk mengetahui bila sewaktu-waktu dia datang ke Bandung dapat mampir ke tempat kos saya itu. Di tempat kos saya, kami mengobrol sebentar dan setelah itu pisah, Datuk dan Lukman langsung ke Stasion Bandung untuk kembali ke Jakarta, sedangkan saya tinggal di Bandung.

Hari minggu saya mencari alamat pegawai bagian loket di Kantor Ajudan Jenderal yang saya peroleh beberapa hari lalu. Alhamdulillah, saya bertemu dengan alamat tersebut dan saya katakan berterus terang bahwa saya dulu adalah Komandan Seksi disalah satu kesatuan gerilia di Bukittinggi. Pada saat penyerahan kedaulatan sebagian dari kami ada yang meneruskan profesinya sebagai tentara aktif, sebagian lain hanya sampai masuk kota saja setelah itu mengundurkan diri. Dari yang mengundurkan diri ada sebagian yang mendapatkan Surat Keputusan Berhenti dan sebagian tanpa Surat Keputusan Berhenti. Saya tanyakan apakah mereka-mereka itu berhak atas onderstand menurut Peraturan Pemerintah tersebut? Dia tidak dapat memberikan penjelasan, tetapi dia sarankan agar saya hari Senin datang ke kantor dan bertemu dengan atasannya, untuk mendapat penjelasan yang lebih detail.

Hari Senin pagi-pagi saya sudah datang ke Kantor Ajudan Jenderal untuk bertemu dengan pejabat yang berwenang memberikan beberapa penjelasan yang saya perlukan. Dari situ saya mendapat penjelasan tentang orang-orang yang berhak mendapatkan onderstand, prosedur dan syarat-syarat pengurusannya. Bagi orang yang berhak mendapatkan onderstand, tatapi tidak dapat datang mengurusnya dapat juga memberi kuasa kepada seseorang dengan membuat Surat Kuasa seperti contoh yang diberikan kepada saya. Bagi orang-orang yang betul-betul ikut berjuang tetapi oleh sesuatu sebab tidak mendapatkan Surat Keputusan Pemberhentian dapat juga menggunakan Surat Kesaksian yang ditanda tangani oleh dua orang pejabat terdiri dari, seorang dari instansi Pemeritanh seperti Camat, dan seorang lagi dari dari instansi tentara yang mengetahui bahwa benar yang bersangkutan adalah pejuang dimasa kemerdekaan. Dari penjelasan tersebut saya puas dan merasa sudah punya bekal untuk menginformasikan kepada teman-teman lama, bahwa mereka punya hak yang disediakan oleh Pemerintah sebagai terima kasih atas jasa-jasa mereka dizaman revolusi dulu. Selesai Konsultasi dengan pejabat dari Kantor Ajudan Jenderal hari itu, saya kembali ke Jakarta karena dua hari lagi saya harus serah terimakan tugas dan wewenang saya kepada bagian-bagian yang ditunjuk oleh Direktur Utama Persdi Ltd. Permohonan berhenti saya efektif berlaku akhir bulan itu, sambil pamit dengan Direksi dan seluruh pegawai Persdi Ltd. Sebelum saya melakukan serah terima, saya sempatkan membuat dua buah surat pribadi ke kampung. Yang pertama untuk Sofyan, dan kedua untuk Ali Amran menginformasikan tentang hak para pejuang yang selama ini belum diketahui dan diurus oleh para pejuang di negeri kita. Supaya informasi ini disebar luaskan kepada teman-teman yang lain. Saya katakan saya menyediakan diri untuk membantu mengurusnya sebagai wakil mereka untuk di Bandung.

Pulang dari kantor setelah selesai timbang terima, saya mampir sebentar ke rumah Goezaimah yang sama-sama kursus Tata-buku dulu di Amran Bustam. Dulu dia pernah bercerita bahwa ada saudaranya tinggal di Bandung. Saya menanyakan alamat saudaranya tersebut, barangkali ada tempat kos di sana untuk 2 orang. Dia memberikan alamat Sjarifah Jalan Astana Anyar No. 114. Bandung. Besoknya saya kembali ke Bandung.

Dari uang onderstand yang saya terima saya belikan sebuah mesin tik standard bekas di Bandung. Mesin tik ini saya perlukan untuk membuat surat menyurat dan untuk mengisi formulir isian pengurusan onderstand teman-teman di Ajudan Jenderal nanti. Surat pertama yang saya buat dengan mesin tik itu adalah untuk ibunda, mengatakan bahwa saya sudah berhenti bekerja di tempat lama dan sudah dapat pekerjaan di tempat baru di Bandung. Karena itu kami akan pindah ke Bandung dalam waktu pendek.

Sore itu saya jalan-jalan ke Jalan Astana Anyar. Jarak antara Jalan Ciateul dengan Astana Anyar tidak begitu jauh, kira-kira 1 km dapat ditempuh dengan jalan kaki. Tidak susah menemukan No 114. Rumah itu besar bercat biru muda, dan kelihatannya kurang terurus.

Saya ketok-ketok pintunya, tidak lama keluar anak gadis umur kira-kira 6 tahun. Saya tanyakan, apakah ini rumah ibu Sjarifah ?. Dia bilang, Ya sambil berlari-lari memanggil ibunya ke belakang. Tidak lama Ibu Sjarifah keluar menemui saya. Saya katakan saya adalah teman Goezaimah yang tinggal dirumah kak Nuraini di Gang I. Jalan Sentiong Jakarta. Mendengar itu langsung dia katakan, memang Goezaimah sering becerita tentang saya. Dia Saya ketok-ketok pintunya, tidak lama keluar anak gadis umur kira-kira 6 tahun. Saya tanyakan, apakah ini rumah ibu Sjarifah ?. Dia bilang, Ya sambil berlari-lari memanggil ibunya ke belakang. Tidak lama Ibu Sjarifah keluar menemui saya. Saya katakan saya adalah teman Goezaimah yang tinggal dirumah kak Nuraini di Gang I. Jalan Sentiong Jakarta. Mendengar itu langsung dia katakan, memang Goezaimah sering becerita tentang saya. Dia

Selesai berbicara-bicara dengan kak Sjarifah dan mas Sunarjan saya pamit, dan sebelum pulang ke tempat kos, saya pergi dulu makan ke rumah makan mak Itam di Banceuy. Sedang enak-enak makan masuk seorang tamu yang umurnya agak lebih tua dari saya sedikit. Sejak dia masuk selalu memperhatikan saya. Dalam hati, saya berpikir siapa kira-kira orang ini, sedangkan saya merasa tidak kenal dia. Saya teruskan saja makan saya seakan akan saya tidak memperhatikan dia. Selesai makan saya merokok seperti biasa. Sebelum rokok saya habis dia mendekat kemeja tempat duduk saya, sambil menyebut nama saya, Bustamam ya ?, katanya kepada saya. Saya jawab ya. Dia jawab langsung dalam bahasa Padang, Saya Djamaluddin orang Ampang Gadang, kakak si Basir. Mendengar itu kami langsung intim, karena kami se kampung, dan saya kenal baik dengan Basir yang disebut-sebut. Saya panggil dia Jamal dan saya suruh dia duduk di sebelah saya sambil menawarkan makan. Saya sudah makan katanya. Panggilan tuan adalah istilah kakak bagi orang kampung kita.

Dia menceritakan bahwa dia baru datang dari kampung, bersama adiknya perempuan yang kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Islam. Di Cibangkong, Bandung. Jamal di Bukittinggi terkenal sebagai juru foto amatir. Dia menanyakan di mana saya tinggal, saya katakan sekarang saya kos di Jalan Ciateul tapi akan pindah ke Jalan Astana Anyar. Dia akan mecari rumah sewaan untuk dia dan adiknya itu, kalau bisa dekat-dekat dengan saya. Karena itu dia akan ikut ke tempat kos saya di Jalan Ciateul dan sudah itu ke Astana Anyar, kalau-kalau ada rumah yang akan disewakan dekat di situ. Karena hari sudah menjelang magrib, saya hanya membawa dia ke Jalan Ciateul, dan besok kira-kira jam 9.00 kita pergi ke Jalan Astana Anyar, sambil saya mebeli perabot yang diperlukan untuk disana.

Besok pagi Jamal sudah datang ke tempat kos saya, karena hari itu adalah hari saya akan membeli perabot unuk mengisi kamar yang akan disewa di Jalan Astana Anyar. Saya ajak beliau sekalian mencari dipan, kasur, lemari, meja tulis dan lain-lain dan membawanya ke Jalan Astana Anyar. Secara tidak langsung saya mendapat bantuan tenaga mengangkat- angkat perabotan menurunkan dari gerobak membawanya masuk ke kamar yang akan diisi. Selesai barang-barang di letakkan di tempatnya, saya perkenalkan Jamal dengan mas Sunarjan, bahwa beliau berdua sama-sama satu profesi, yaitu sebagai fotografer. Saya katakan sama mas Sunarjan bahwa pak Djamal akan mencari rumah kecil yang akan disewa untuk beliau dan 2 orang adik-adik perempuan yang masih kuliah. Mas Sunarjan menjawab, Besok pagi Jamal sudah datang ke tempat kos saya, karena hari itu adalah hari saya akan membeli perabot unuk mengisi kamar yang akan disewa di Jalan Astana Anyar. Saya ajak beliau sekalian mencari dipan, kasur, lemari, meja tulis dan lain-lain dan membawanya ke Jalan Astana Anyar. Secara tidak langsung saya mendapat bantuan tenaga mengangkat- angkat perabotan menurunkan dari gerobak membawanya masuk ke kamar yang akan diisi. Selesai barang-barang di letakkan di tempatnya, saya perkenalkan Jamal dengan mas Sunarjan, bahwa beliau berdua sama-sama satu profesi, yaitu sebagai fotografer. Saya katakan sama mas Sunarjan bahwa pak Djamal akan mencari rumah kecil yang akan disewa untuk beliau dan 2 orang adik-adik perempuan yang masih kuliah. Mas Sunarjan menjawab,

Besok kira-kira jam11.00 pagi Datuk sudah sampai di tempat kos saya Jalan Ciateul. Kami naik beca ke Kantor Ajudan Jenderal untuk mengambil surat pengantar dan menyerahkannya ke Bagian Keuangan Ajudan Jenderal di Jalan Kalimantan. Selesai dari sana, kami sama-sama pulang ke Jakarta, dan berjanji dengan Datuk ketemu lagi di Jalan Ciateul minggu depan seperti hari ini juga. Saya ke Jakarta untuk mengurus kepindahan sekolah adik ke Bandung dan pamit pada Anwar Jamil, sekalian berterima kasih kepada Goezaimah yang sudah memberikan alamat kakaknya di Bandung. Sampai di Jakarta ada beberapa surat untuk saya, antara lain dari Sofyan sebagai balasan surat saya dua miggu lalu, menanyakan tentang pengurusan onderestand. Setelah membaca surat-surat tersebut saya berkesimpulan, saya perlu pulang ke Bukittinggi agak sebentar menjelaskan kepada teman- teman dan sekalian membawa berkas-berkasnya untuk di urus di Bandung. Supaya pulang kampung tidak terburu-buru saya rencanakan untuk pulang setelah urusan Datuk selesai minggu depan. Untuk itu perlu memesan ticket pesawat sekarang untuk keberangkatan minggu depan. Saya pamit juga kerumah kakanda Nurbeiti yang waktu itu tinggal di Kawasan Jatinegara. Kepada kakanda Johar saya ceritakan bahwa saya sudah berhenti dari Persdi Ltd, dan berencana pindah ke Bandung bersama adik Beliau mengatakan ada kakak beliau di Bandung. Nama beliau Ramli, tinggal di Jalan Pajagalan dan membuka toko jamu di Alun-alun Bandung dengan nama Karuhun. Kalau dapat temui beliau dan bila perlu apa- apa bicarakan dengan beliau, mungkn bisa beliau membantu. Saya catat alamat pak Ramli dan akan saya temui sebagai orang tua tempat bertanya di Bandung nanti.

Membuka Foto Studio.

Besoknya saya dan adik berangkat ke Bandung, dengan membawa semua peralatan yang ada. Di Bandung kami langsung ke Jalan Astana Anyar No. 114. rumah kak Syarifah. Waktu kami sedang mengatur-atur barang ke tempatnya, tiba-tiba datang Jamal, seakan-akan dia sudah mengetahui bahwa kami sudah datang dari Jakarta. Rupanya sepeninggal saya ke Jakarta dia sudah melihat rumah yang akan disewanya itu bersama adik-adiknya dan sudah nenyetujui, kemarin mereka sudah pindah ke rumah itu. Sorenya kami pergi makan ke Rumah Makan Padang di Jalan Dalam Kaum, yaitu sebuah rumah makan di Bandung yang melayani pesanan makanan rantang diantar ke rumah masing-masing, dengan pembayaran bulanan. Sejak itu kami menerima kiriman rantang siang dan sore. Tinggal kami mempersiapkan untuk makan pagi. Untuk itu kami perlu mempersiapkan perlengkapannya seperti kompor, cerek, cangkir dan lain-lain. Selesai makan kami mampir dulu ke toko pecah belah untuk melengkapi segala sesuatu yang kami butuhkan.

Malam itu adalah malam pertama kami tinggal di Jalan Astana Anyar, sedangkan tempat kos saya di Jalan Ciateul belum saya lepaskan, pakaian saya masih ada di sana dan saya belum pamit dengan pak Saemar. Besok pagi saya antarkan adik mendaftar di SMA Jalan Jawa, Malam itu adalah malam pertama kami tinggal di Jalan Astana Anyar, sedangkan tempat kos saya di Jalan Ciateul belum saya lepaskan, pakaian saya masih ada di sana dan saya belum pamit dengan pak Saemar. Besok pagi saya antarkan adik mendaftar di SMA Jalan Jawa,

Pulang dari rumah sekolah kami pulang ke Astana Anyar. Saya tinggalkan adik di rumah, saya suruh dia mempersiapkan segala sesuatu untuk pergi sekolah besok. Setelah itu saya jalan kaki ke Jalan Ciateul, menunggu Datuk datang untuk pergi ke Ajudan Jenderal mengambil surat pengantar ke Bagian Keuangan Ajudan Jenderal di Jalan Kalimantan. Sambil menunggu Datuk saya menyiapkan pakaian saya untuk pindah ke Astana Anyar hari itu. Tidak lama menunggu, Datuk pun datang, dengan membawa tas pakaian. Saya tanyakan kenapa membawa pakaian?, dia bilang dia akan menompang seminggu disini menunggu mandat dari Bagian Keuangan Ajudan Jenderal dan setelah itu dia akan langsung pulang ke Payakumbuh katanya. Saya suruh dia meletakkan tasnya dan kami langsung naik beca menuju Kantor Ajudan Jenderal.

Alhamdulillah tidak lama antre disitu, Datuk sudah dipanggil untuk menerima surat pengantar ke Bagian Keuangan di Jalan Kalimantan. Kami antarkan surat itu, dan sesudah itu kami pulang ke Jalan Ciateul. Saya katakan bahwa saya sudah pindah ke Jalan Astana Anyar dengan adik saya, sedangkan disini masih ada waktu seminggu lagi untuk mencapai waktu sebulan. Jadi Datuk seminggu ini tinggal di Astana Anyar dengan adik saya, dan saya biar malam di sini selama seminggu ini. Dia pun setuju, jadi saya tidak perlu pamit dulu pada pak Saemar. Sampai di Jalan Ciateul, Datuk mengambil tasnya dan kami jalan kaki ke Jalan Astana Anyar, karena dekat. Saya minta izin sama kak Syarifah, bahwa saya ada tamu untuk seminggu, dan beliau pun tidak keberatan.Sorenya saya ajak Datuk jalan-jalan di Kota Bandung bersama adik, sambil mampir di toko sepeda, membeli sepeda untuk keperluan adik sekolah. Setelah mendapat sepeda adik saya suruh pulang dulu, sedangkan kami jalan-jalan ke Alun-alun.

Waktu jalan-jalan di Alun-alun saya ingat nama kakak kakanda Johar Ramli yang punya toko “Karuhun”. Alun-alun adalah pusat keramaian Kota Bandung di waktu malam. Di salah satu petak kios saya lihat ada toko menjual jamu-jamuan dan merek tokonya memang Karuhun. Disitu ada seseorang yang sudah agak berumur, mungkin orang ini yang dimaksud oleh kakanda Johar. Saya masuk, mengucapkan Assalamualikum, langsung mengajukan tangan untuk bersalaman. Beliau jawab salam saya sambil bertanya, siapa saya. Saya katakan bahwa saya mendapat alamat ini dari kakanda Johar, suami kakanda Nurbeiti. Kakanda Nurbeiti adalah bako saya. Mendengar itu beliau langsung akrab, dan saya katakan bahwa saya tinggal di Jalan Astana Anyar. Tidak lama kami di situ, karena sedang banyak pembeli, saya pamit dulu, besok saya main-main lagi ke sini, saya bilang. Sejak tinggal di Jalan Astana Anyar Jamal boleh dikatakan tiap sore datang ke rumah. Beliau bercerita pengalaman beliau dalam bidang fotografer di Bukittinggi selama ini, yang beliau lakukan ke sekolah-sekolah dan pesta-pesta. Beliau juga menceritakan bahwa usaha foto studio itu menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda, dengan modal yang relatif kecil. Cerita Jamal ini saya confirmasikan pada mas Sunarjan sebagai seorang fotografer juga. Mas Sunarjan membenarkan dan mendukung, bahkan beliau menawarkan kalau mau membuat studio pakai saja kamar yang satu itu untuk dijadikan kamar gelap. Dari cerita yang memberi harapan itu saya pun tertarik, sambil membantu Jamal mencarikan lapangan hidupnya di Bandung sesuai dengan kemampuannya.

Mulailah dibuat rencana kerja dan rencana anggaran biaya bersama mas Sunarjan. Dapat kata sepakat, bahwa permodalan seluruhnya dari saya, keahlian dan tenaga dari mas Sunarjan dan Jamal. Keuntungan 50% untuk pemodal dan 25% untuk masing-masing peserta dengan keahliannya, yaitu mas Sunarjan dan Jamal. Saya tidak pikir panjang, dalam waktu beberapa hari semua rencana sudah terealisir. Kami beri nama “Buana Studio” tanpa perjanjian dan tanpa akte pendirian. Tustel foto tahap pertama adalah yang bisa dibawa kemana-mana dulu, belum standar untk di dalam ruangan. Merk yang terbaik waktu itu adalah Record. Kamar gelap berikut perlengkapannya sudah jadi. Jamal dan mas Sunarjan pun sudah senang.

Hari rasanya cepat sekali berlalu jika diisi dengan kesibukan. Besok sudah datang hari yang dinanti-nanti oleh Datuk dan saya untuk pergi ke Bagian Keuangan Ajudan Jenderal mengambil mandat dan ke Kas Negara mencairkan mandat. Besok pagi kami sudah siap-siap dengan Datuk. Bila hari itu segala sesuatu berjalan lancar, Datuk akan terus ke Jakarta langsung pulang ke Payakumbuh. Saya besok baru ke Jakarta dan terus ke Bukittinggi untuk menjaring teman-teman yang akan mengurus onderstandnya, dan saya sebagai konsultannya. Segala bentuk contoh dan formulir sudah saya siapkan. Jam 8.00 pagi saya dan Datuk naik beca menuju ke Jalan Kalimantan, selesai dari situ langsung ke Kas Negara di Jalan Asia Afrika. Selesai dia menghitung uang di loket, dia mendekati saya yang sedang menunggu dibangku-bangku panjang yang banyak disediakan di situ. Dia menyerahkan sejumlah uang kepada saya, dan mengaturkan terima kasih atas bantuan saya. Setelah saya hitung Alhamdulillah jumlahnya hampir menutup seluruh investasi di foto studio Buana yang telah saya keluarkan. Belum pernah saya mendapat rezki semudah dan sebesar ini, mudah- mudahan halal, karena tidak ada orang yang dirugikan dari rezki yang saya terima itu. Selesai di situ kami terus ke Jalan Astana Anyar, karena Datuk akan mengambil tasnya dan langsung ke Jakarta.

Mendirikan Perusahaan Konpeksi.

Saya antarkan Datuk sampai ke stasion Bandung, dalam perjalanan saya katakan, bila ada teman-teman pejuang yang ingin mengurus onderstandnya dapat menghubungi saya nanti, kira-kira pertengahan bulan ini ada di Parit Putus Bukittinggi. Selesai melepas Datuk naik kereta api saya pergi ke Jalan Ciateul untuk pamit dengan pak Saemar sekalian mengambil pakaian saya yang masih tersimpan disana, untuk dibawa ke Jalan Astana Anyar. Sorenya saya berangkat ke Jakarta, menginap di rumah yang kami sewa dengan Anwar Jamil di Pisangan Baru, untuk besok pagi akan berangkat ke Bukittinggi dengan pesawat Garuda pertama.

Besoknya tepat jam 7.00 pagi pesawat take off, dan sampai di Tabing Padang lebih kurang jam 9.00. Keluar dari air-port, berjalan kaki sedikit ke Jalan Raya Padang – Bukittinggi, saya menunggu bus liwat ke arah Bukittinggi, yang biasanya setiap 30 menit sekali. Perjalanan Padang – Bukittingi memakan waktu rata-rata dua setengah jam. Sampai di Parit Putus sudah hampir waktu Asar. Ibunda kaget, melihat saya tiba-tiba muncul di warung nasi beliau. Untuk menyenangkan hati beliau saya langsung mengambil nasi berikut lauknya, seakan-akan saya lapar betul, padahal di pesawat kan dapat makan. Saya katakan saya pulang untuk membantu teman-teman yang akan mengurus uang tunjangan dari pemerintah bagi yang tidak sanggup mengurus sendiri. Beliau juga bertanya mengenai Chairman, saya katakan dia sudah pindah sekolah ke Bandung dan sudah pakai sepeda pulang pergi sekolah.

Syukurlah kata beliau, suruh dia rajin-rajin belajar. Dari wajah beliau kelihatan berseri-seri karena saya pulang. Selesai makan saya terus ke rumah menemui nenek yang sedang menunggu jemuran padi.

Kebetulan pemuda-pemuda di Parit Putus tidak ada yang berhak untuk mendapatkan onderstand. Untuk menghemat waktu, saya pergi menemui Sofyan dan Ali Amran, masing- masing dari Pasir dan Ampang Gadang. Saya pinjam sepeda teman dan pergi ke kedua desa tersebut, yang kebetulan sejalan dan berdekatan. Yang bertemu hanya Ali Amran sedangkan Sofyan belum pulang dari pasar Bukittinggi. Kepada Ali Amran saya ceritakan pertemuan saya dengan pejabat Kantor Ajudan Jenderal Angkatan Darat di Bandung beberapa waktu lalu. Bahwa bagi para pejuang kemerdekaan yang betul-betul berjuang dengan masa dinas minimal 3 tahun tidak terputus yang mempunyai Surat Keputusn Berhenti dan yang tidak mempunyai Surat Keputusan Berhenti. Bagi yang tidak mempunyai Surat Keputusan Berhenti sebagai pengganti menyiapkan Surat Pernyataan Kesaksian yang ditanda tangani oleh dua pejabat, seorang dari Sipil setingkat Camat dan seorang lagi dari pejabat militer setingkat Komandan Kompi. Surat-surat tersebut disalin dan salinannya harus diketahui sesuai dengan aslinya oleh Lurah tempat si pemohon berdomisili. Masing-masing pemohon membuat pas foto ukuran 4 x 6 sebayak 3 lembar. Bagi yang tidak berkesempatan mengurus dapat membuat Surat Kuasa yang isinya seperti contoh yang diberikan oleh Kantor Ajudan Jenderal beberapa hari yang lalu.

Dengan Ali Amran, demikian juga dengan Sofyan nanti kita akan membuat perjanjian kerja sama pengurusan onderstand ini, dimana mereka berdua mencari anggota yang memenuhi syarat di Bukittinggi, setelah berkasnya lengkap mengirimkannya kepada saya untuk diselesaikan di Bandung. Kita akan bebankan kepada mereka yang minta bantuan jasa kita dalam dua cara dengan fee yang berebeda. Cara pertama ialah dengan menggunakan Surat Kuasa sebesar 15% dari hasil yang mereka terima. Untuk cara ini mereka tidak perlu datang ke Bandung mengurusnya, kecuali pada saat mengambil uang nanti di Kantor Kas Negara. Cara kedua bagi mereka yang akan mengurus sendiri tapi minta pengarahan dari kita mereka kita bebani uang jasa sebesar 5 % dari hasil yang mereka terima. Lamanya pengurusan antara tiga minggu sampai satu bulan. Sedangkan pembagian antara kita masing- masing separoh. Yaitu bagi peserta yang diperoleh Ali Amran, saya mendapat separoh dan Ali Amran mendapat separoh, demikian juga bagi anggota yang diperoleh Sofyan.

Azan Magrib sudah kedengaran, kami salat Magrib dulu di mesjid Ampang Gadang dan setelah itu kami bersama-sama pergi ke Pasir mudah-mudahan Sofyan sudah kembali dari pasar Bukittinggi. Alhamdulillah, Sofyan sudah ada di rumah, dan kami ulangi lagi ancar- ancar kerja sama yang sudah dibicarakan tadi dengan Ali Amran. Sofyan menanyakan berapa kira-kira jumlah uang yang akan diterima nantinya. Saya jawab tergantung dari pangkat dan lama masa dinas. Seperti saya, pangkat Sersan Mayor dengan dinas 5 tahun lebih tidak terputus mendapat sekian belas ribu. Mendengar jumlah uang tersebut mereka berdua bersemangat juga untuk mengurus dan mencari teman-teman lain yang akan diurus onderstand mereka nanti. Yang sudah siap sekarang ada tiga orang setuju menyerahkan kepada saya yaitu, Ali Amran sendiri, Sofyan dan seorang teman lainnya, yang besok akan bertemu dengan orangnya.

Saya minta surat-surat ketiga orang tersebut besok disiapkan untuk saya periksa kelengkapannya, jika masih ada yang kurang bisa dilengkapi dalam beberapa hari mendatang, karena saya akan kembali ke Bandung 5 hari lagi. Mudah-mudahan bisa saya bawa sekalian, syukur-syukur kalau ada tambahan yang lain. Besok kami janji bertemu di toko Sofyan di Kampung Cina Bukittinggi jam 10.00 pagi.

Sampai di rumah nenek marah-marah, kemana saja malam begini baru pulang, kami menunggu-nunggu untuk makan bersama. Saya minta maaf, karena bertemu dengan teman lama dan diajak pergi ke Pasir dan disana juga lama. Saya langsung duduk untuk makan karena sudah sejak tadi dipersiapkan nenek dan ibunda. Melihat saya sudah duduk untuk makan, marah nenek pun mereda. Malam itu saya katakan bahwa saya tidak lama di kampung, mungkin minggu depan akan kembali ke Bandung, setelah urusan di Bukittinggi selesai. Mendengar saya akan kembali ke Banddung, beliau sudah berbisik-bisik dengan ibunda akan memotong dua ekor itik untuk dibawa ka Bandung. Saya katakan bahwa saya pulang pakai pesawat Garuda jadi nasi bungkus tidak perlu dibuat lagi.

Pagi besok saya pergi menemui ibunda Raiyah dan kakanda A. Tadjuddin. Saya ceritakan kepada beliau bahwa sepatu barret baru yang beliau berikan dulu hilang dicuri orang di atas kapal. Saya ceritakan kalau saya turun dari kapal masuk Jakarta dengan kaki telanjang. Beliau hanya tertawa dan bersyukur kepada Allah, bahwa dalam waktu yang tidak begitu lama, sudah bisa pulang kampung menggunakan pesawat Garuda. Saya katakan juga bahwa saya tidak akan lama di kampung dan minggu depan kembali ke Bandung.

Ada satu jam saya dirumah ibunda Raiyah dan mengobrol dengan kakanda A.Tadjuddin, saya ingat ada janji di Pasar Bukittinggi. Sebelum saya pergi ke Bukittinggi, saya pulang dulu kerumah memberi tahu nenek bahwa saya akan pergi ke Bukittinggi mungkin pulang petang hari. Ini perlu saya lakukan, kalau tidak nanti nenek bertanya-tanya ke mana si Tamam ini ?. Setelah itu baru saya berangkat ke Pasar Bukittinggi, sekalian memesan ticket Garuda untuk minggu depan ke Jakarta. Sebelum saya pergi ke toko Sofyan, saya mampir dulu ke kantor Penerangan Sumatra Barat di Jalan Lurus Bukittiggi. Ingin bertemu Agusman yang sudah lebih kurang dua tahun tidak bertemu. Kantor Penerangan Sumatera Barat adalah kelanjutan dari Badan Penyelidik sebelum penyerahan Kedaulatan dulu. Kepalanya juga masih kepala Badan Penyelidik dulu yaitu pak Leon Salim. Saya dibawa ke kamar pak Leon Salim, dan beliau senang melihat saya berkunjung ke beliau. Setelah basa basi sebentar beliau menawarkan kepada saya akan menerbitkan Surat Keputusn Pemberhentian dari Badan Penyelidik sebagaimana beliau berikan kepada bekas-bekas anak buah beliau yang tidak meneruskan ke Penerangan Sumatra Barat. Tawaran ini saya sambut dengan gembira, bahkan saya katakan salah satu tujuan kedatangan saya adalah untuk meminta Surat Keputusan Pemberhentian tersebut. Alhamdulillah tidak lama surat itu sudah saya terima karena formulirnya sudah siap, tinggal mengetik nama dan alamat saja.

Sejaka itu saya mempunyai dua surat Keputusn Pemberhentian, yaitu dari Kompi Guntur yang diterbitkan oleh Brigade Banteng yang ditanda tangani oleh Dahlan Djambek. Satu lagi dari Badan Penyelidik yang ditanda tangani oleh Kepala Badan Penyelidik Brigade Banteng yang di tanda tangani oleh Leon Salim. Selesai dari situ saya langsung ke Kampung Cina ke toko Sofyan. Sampai disana sudah ada Sofyan, Ali Amran dan seorang lagi saya belum kenal. Setelah dikenalkan namanya adalah Harun. Setelah bicara-bicara sebentar, kami Sejaka itu saya mempunyai dua surat Keputusn Pemberhentian, yaitu dari Kompi Guntur yang diterbitkan oleh Brigade Banteng yang ditanda tangani oleh Dahlan Djambek. Satu lagi dari Badan Penyelidik yang ditanda tangani oleh Kepala Badan Penyelidik Brigade Banteng yang di tanda tangani oleh Leon Salim. Selesai dari situ saya langsung ke Kampung Cina ke toko Sofyan. Sampai disana sudah ada Sofyan, Ali Amran dan seorang lagi saya belum kenal. Setelah dikenalkan namanya adalah Harun. Setelah bicara-bicara sebentar, kami

Sudah sore saya sampai di kampung. Selesai salat Asar, saya pergi ke pondok Agusman di seberang jalan rumah ibunda. Pondok adalah istilah yang digunakannya di mana terdapat ruangan belajar sambil beristirahat. Biasanya ruangan ini dibuka antara waktu Asar dan Magrib. Saya dan Agusman berteman sejak kecil, walaupun latar belakang orang tua kami bebeda. Dia anak seorang guru sekolah dasar, sedangkan saya seorang ulama desa. Profesi guru dizaman itu termasuk salah satu profesi yang dihormati orang dengan penghasilan yang lumayan. Sedangkan bapak saya tidak mempunyai penghasilan tetap, bahkan sebagian besar dari kehidupan beliau disubsidi oleh pak etek beliau. Waktu beliau banyak digunakan untuk belajar mengaji ke surau-surau di luar Kabupaten kita seperti Batusangkar dan Payakumbuh. Sekalipun waktu itu beliau sudah beristeri dan mempunyai anak Agusman adalah salah seorang teman yang sejak kecil kami tidak pernah bertengkar apalagi berkelahi. Kami saling menjaga perasaan masing-masing.

Sebagaimana biasa kalau bertemu dengan Agusman, pertama kali kata-kata yang keluar dari mulut kami kecuali salam adalah saling memuji walau pun itu hanya basa basi. Sudah itu saling tertawa. Diwaktu saya menjadi Kepala Seksi II di Sektor III/B, pernah dia datang kesana ingin bergabung dengan kami. Saya katakan saya senang sekali kalau memang mau bergabung, dan akan saya angkat menjadi staf seksi II. Mula-mula dia sudah berteguh hati, setelah pada satu malam dia kami ajak pergi menyerang pos Belanda di Batu Taba, besoknya dia katakana kepada saya, dia akan pulang kampung saja. Tidak sanggup harus pergi malam- malam, apalagi pergi meyerang pos Belanda katanya. Hanya sanggup bergabung dengan kami sekitar tiga hari saja.

Maksud saya bertemu dengan dia sore iu kecuali kangen-kangenan, adalah untuk menompang mengetik di kantornya besok sore-sore setelah kantor tutup. Dia bilang tidak perlu sore-sore, pagi juga bisa, ada banyak mesin tik yang bisa dipakai, tidak akan mengganggu katanya. Saya percaya dengan kata-katanya, karena dia adalah kepala Bagian Umum di situ. Besok pagi saya pergi dulu ke Kantor Pos membeli kertas meterai beberapa Maksud saya bertemu dengan dia sore iu kecuali kangen-kangenan, adalah untuk menompang mengetik di kantornya besok sore-sore setelah kantor tutup. Dia bilang tidak perlu sore-sore, pagi juga bisa, ada banyak mesin tik yang bisa dipakai, tidak akan mengganggu katanya. Saya percaya dengan kata-katanya, karena dia adalah kepala Bagian Umum di situ. Besok pagi saya pergi dulu ke Kantor Pos membeli kertas meterai beberapa

Dalam hati saya, ini adalah teman baru yang kami belum saling kenal. Saya harus bicara bisnis dengan mereka dan harus ada hitam diatas putih, supaya nereka tidak ingkar janji di belakang hari. Setelah saya jelaskan kepada mereka kondisinya antara saya dengan mereka, bila mereka menyetujui kita akan membuat Surat Perjanjian. Setelah itu baru saya periksa berkas-berkas mereka, dan melengkapi kekurangannya. Bila mungkin selesai dalam beberapa hari ini supaya bisa dibawa sekalian, kalau tidak, bisa disusulkan ke alamat saya di Bandung. Alhamdulillah, mereka setuju, maka sejak itu saya boleh dikatakan tiap hari menompang mengetik di kantor Agusman, mempersiapkan segala sesuatu yang perlu ditanda tangani oleh para peserta baru. Untuk meringankan pekerjaan saya, Agusman memperkenalkan saya dengan salah seorang juru ketiknya untuk membantu saya. Sebagai tanda terima kasih saya tidak lupa memberi suatu jumlah uang kepadanya. Pada hari terakhir saya ada di Bukittinggi, saya ajak dia ke toko Sofyan dan memperkenalkannya, dengan maksud sepeninggal saya nanti dia membantu Sofyan dan Ali Amran untuk pekerjaan yang sejenis dengan apa yang saya kerjakan dengan imbalan tertentu.

Setiap hari, selesai saya mengerjakan pengetikan di Kantor Penerangan, saya selalu mampir ke toko Sofyan. Ada saja calon peserta baru menunggu di situ. Rupanya oleh Sofyan dan Ali Amran berita ini sudah disebar luaskan kepada teman-temannya yang ada di Bukittinggi. Setiap ada peserta baru yang datang, umumnya setuju dengan syarat-syarat yang kami tentukan. Bagi yang setuju saya selesaikan hal-hal yang perlu saya ketik seperti Surat Kuasa, Surat Perjanjian. Kadang-kadang menyiapkan salinan Surat Keputusan Pemberhentian mereka untuk diketahui oleh kelurahan tempat tinggal mereka.

Sampai hari terakhir saya di Bukittinggi, saya hitung sudah ada duabelas berkas yang sudah siap untuk diajukan. Disamping itu ada beberapa lagi yang baru siap sebagian, dan kekurangannya akan disusulkan kemudian oleh Sofyan dan Ali Amran. Jumlah ini diluar dugaan saya sama sekali dan kepada Allah saya bersyukur, mendapatkan kepercayaan dari kawan-kawan, mudah-mudahan tidak mengecewakan mereka.

Malam itu, sebagaimana biasa tiap-tiap saya akan bepergian saya selalu pamit kepada ibunda Raiyah dan kakanda A.Tajuddin, terakhir baru kepada ibunda, nenek dan seisi rumah lainnya. Tidak biasa-biasanya Ibunda dan nenek mengajak saya berbicara di dalam kamar tidur beliau enam mata. Ibunda mulai buka bicara dengan menanyakan umur saya. Karena saya belum menangkap kemana arah pembicaraan beliau saya katakan, hampir 25 tahun. Nenek melanjutkan, kata beliau, nenek sudah tua dan sakit-sakitan, kalau boleh nenek meminta selagi masih hidup ini dapat juga nenek melihat kamu berumah tangga. Kebetulan baru-baru ini ada orang datang melamar kamu, kalau dari pihak kami orang tua, sudah cocok sekarang terserah kamu saja. Atau kalau kamu ada pilihan lain coba dikemukakan supaya dapat kami tinjau-tinjau di Kampung. Beliau tambahkan teman-teman kamu yang sebaya sudah berumah tangga, bahkan sudah punya anak dua dan tiga. Kadang- kadang kami di Malam itu, sebagaimana biasa tiap-tiap saya akan bepergian saya selalu pamit kepada ibunda Raiyah dan kakanda A.Tajuddin, terakhir baru kepada ibunda, nenek dan seisi rumah lainnya. Tidak biasa-biasanya Ibunda dan nenek mengajak saya berbicara di dalam kamar tidur beliau enam mata. Ibunda mulai buka bicara dengan menanyakan umur saya. Karena saya belum menangkap kemana arah pembicaraan beliau saya katakan, hampir 25 tahun. Nenek melanjutkan, kata beliau, nenek sudah tua dan sakit-sakitan, kalau boleh nenek meminta selagi masih hidup ini dapat juga nenek melihat kamu berumah tangga. Kebetulan baru-baru ini ada orang datang melamar kamu, kalau dari pihak kami orang tua, sudah cocok sekarang terserah kamu saja. Atau kalau kamu ada pilihan lain coba dikemukakan supaya dapat kami tinjau-tinjau di Kampung. Beliau tambahkan teman-teman kamu yang sebaya sudah berumah tangga, bahkan sudah punya anak dua dan tiga. Kadang- kadang kami di

Agak larut malam saya baru tidur, karena memikirkan kata-kata nenek dan ibunda tadi, disamping itu ingin cepat-cepat sampai di Bandung, supaya berkas yang ada ini masuk ke Kantor Ajudan Jendral. Saya pikir mungkin sekaranglah waktunya untuk menyerahkan persoalan ini kepada orang-orang yang sangat saya hormati. Ada dua pertimbangan saya, pertama tentang waktu, saya pikir di umur 25 tahun adalah umur yang ideal, sebab kalau terlalu tua juga tidak baik untuk masa pembimbingan anak-anak, Kedua mengenai personalia. Lebih baik saya serahkan kepada pilihan ibunda dan nenek, siapapun yang beliau pilih saya akan patuh. Saya sendiri tidak punya pilihan, karena waktu itu pacar-pacaran adalah hal yang tabu. Hanya saja untuk memudahkan beliau saya mengajukan beberapa nama gadis yang menjadi kembang waktu itu di Kampung. Pagi besok sambil makan pagi saya sampaikan kepada beliau hasil pemikiran saya tersebut di atas. Beliau paham dan akan membicarakannya dengan keluarga lainnya. Apapun hasil pembicaraan keluarga tersebut akan disampaikan melalui surat ke Bandung.

Selesai makan pagi, saya pamit kepada beliau dan saya berangkat menuju Tabing Padang. Tepat jam 2.00 siang pesawat take off, dan sampai di Kemayoran Jakarta kira-kira jam 4.00 sore. Dari situ saya langsung ke stasion Gambir, untuk terus ke Bandung, dengan harapan besoknya saya sudah bisa datang ke Ajudan Jenderal Angkatan Darat. Alhamdulillah, saya selamat sampai di Bandung sudah agak malam, tanpa kurang suatu apa

Besok pagi jam 9.00 saya sudah berada di Kantor Ajudan Jenderal. Saya tidak langsung ke loket sebagaimana biasa, tetapi memasuki ruangan kepala bagian pendaftaran, yang memberikan penjelasan kepada saya beberapa hari yang lalu. Saya perlihatkan kepada beliau berkas-berkas teman seperjuangan saya di Bukittinggi dulu. Beliau lihat-lihat sebentar, dan mengatakan supaya dimasukkan saja ke loket supaya dapat diproses sebagai mana biasa. Pada kesempatan itu tidak lupa saya minta alamat rumah beliau, dan beliau tidak keberatan memberikan alamatnya. Selesai menyerahkan berkas-berkas di loket, saya langsung pulang ke rumah.

Di rumah kebetulan ada Jamaluddin, yang sedang bekerja di kamar gelap sedang mencuci dan memperbesar foto anak-anak sekolah. Saya masuk dan mencoba belajar mencuci film dan mencetaknya. Dasar tidak punya bakat, walaupun saya sudah belajar beberapa kali tetap saja tidak bisa, kalau bisa tetapi hasilnya tidak sebaik yang dilakukan oleh Jamal. Selesai Jamal dari kamar gelap, kami mengobrol mengenai jalannya usaha foto studio selama beberapa hari ini. Saya minta dia mencatat setiap pemasukan dan pengeluaran uang dan sekali sebulan kita adakan perhitungan. Bersamaan dengan itu saya beli sebuah buku tulis dan memberi contoh bagaimana mencatatnya. Waktu itu dia mengatakan akan mengikuti saran saya tersebut.

Dia menceritakan waktu dia keliling mencari objek foto, dia berkenalan dengan seorang yang bernama Mohamad Nur, orang Sungai Puar. Dia mengaku kenal saya dan dia berkirim salam kepada saya. Saya terima salam itu dan salam kembali. Setelah saya ingat-ingat, apakah yang dimaksud oleh Jamal, Mohamad Nur, yang rumahnya kami pakai untuk asrama Sektor III/B dulu di Jalan Lurus Sungai Puar. Ingat itu saya rasa alangkah sombongnya saya kalau saya tidak datang menemuinya sekalian menyatakan terima kasih, atas kebaikannya dulu. Saya ajak Jamal pergi ke rumahnya yang tinggal di Gang Aleng dan tidak begitu jauh dari Astana Anyar tempat kami tinggal.

Dari jauh saya sudah melihat dia yang sedang berada di hadapan rumahnya. Dia lebih tua dari saya kira-kira 5 tahun. Orangnya agak pendek dari saya, kulit kuning langsat, kepala agak sedikit botak. Memang itulah orangnya yang punya rumah yang kami pakai dulu selama beberapa bulan tanpa sewa. Dia juga melihat kami datang, mungkin sudah merasa juga bahwa, inilah orang yang menempati rumahnya dulu di Sungai Puar, sebelum penyerahan kedaulatan. Kami semangkin mendekat dan dia pun mulai berdiri dihadapan pintunya sambil tersenyum menunggu kami. Dia waktu itu membuka konpeksi khusus topi anak-anak sekolah dan topi pet lainnya. Saya lihat di rumahnya ada beberapa orang tukang jahit laki- laki dan perempuan.

Setelah berbasa basi sebentar, menanyakan kapan dia datang ke Bandung, berapa orang putra putri dan lain-lain Dia menanyakan apakah saya masih di tentara, dan apa pangkat saya sekarang. Saya jawab apa adanya. Saya katakan sekarang swasta, sementara menolong mengurus bekas-bekas tentara atau bekas gerilia mendapatkan haknya di Ajudan Jenderal Angkatan Darat. Disamping itu membuka foto studio dengan nama Buana Studio bersama Jamal dan mas Sunarjan di Jalan Astana Anyar.

Dia menceritakan bahwa sekarang dia sedang menerima banyak pesanan dari berbagai toko di Bandung dan Cimahi, tapi tidak bisa meladeni karena kekurangan modal. Dia minta bantuan saya mencarikan orang yang dapat meminjamkan uang atau bekerja sama dengan keuntungan bagi dua. Rata-rata keuntungan usaha ini sekitar 30%-40% Saya tanyakan berapa modal diperlukan. Dia bilang tidak banyak hanya sekian. Mendengar jumlah yang dikemukakannya, rasanya keuangan saya masih sanggup meladeni permintaannya itu. Saya tidak buru-buru mengemukakannya kepada dia apa-apa yang terpikir dalam kepala saya waktu itu. Saya hanya menjawab, Insya Allah, saya akan tanya-tanyakan, kalau ada nanti saya kasi kabar.

Pulang dari rumah Mohamad Nur, timbul lagi satu ide yang waktu itu saya anggap muluk. Yaitu mendirikan perusahaan yng bergerak dalam bidang konpeksi secara luas tidak saja terbatas topi untuk anak-anak, tetapi konpeksi dalam arti yang luas. Tahap pertama memenuhi kebutuhan modal kerja yang diperlukan oleh Mohamad Nur. Nanti dikembangkan sesuai dengan kebutuhan. Badan Hukumnya dalam bentuk Firma Namanya pun sudah saya pilih yaitu Fa. Nirwana. Nama itu saya pilih supaya sepasang dengan Buana. Dalam bahasa Sanskerta kalau tidak salah Buana artinya dunia sedangkan Nirwana artinya sorga. Kalau disetujui saya sebagai Direktur Utama dan Mohamad Nur sebagai Direktur Produksi.

Setelah saya tuangkan rencana itu diatas kertas, saya ajukan kepada Mohamad Nur untuk didiskusikan. Ternyata dari pihak dia tidak banyak komentar, apa saja yang saya ajukan dia selalu setuju, mungkin ini karena kurangnya pengetahuannya dalam bidang teori dan hukum dagang, sesuai dengan kapasitasnya sebagai pedagang sejak kecil dan tidak mengenal teori dan hukum dagang. Teknisnya adalah assetnya waktu itu dinilai dalam rupiah. Jumlah itu dijadikan penyertaanya dalam Fa, Nirwana. Sedangkan modal saya dalam Fa Nirwana adalah sebesar modal kerja yang diperlukan. Perhitungannya akan disiapkan dalam waktu seminggu kedepan, setelah itu kami akan pergi ke Notaris untuk mendirikan Fa. Nirwana, dimana pesertanya adalah kami berdua. Setelah assetnya selesai dihitung, dibandingkan dengan modal kerja yang diperlukan, dapat perbandingan 25% modal Mohamad Nur dan 75% modal saya. Setelah disepakati, kami pergi ke Notaris untuk membuat akte pendirian Fa. Nirwana.

Dua bulan setelah penanda tanganan akte pendirian Fa. Nirwana, kontrak rumah Mohamad Nur yang di Gang Aleng sudah habis masanya, jadi dia harus mencari rumah kontrakan baru. Sesuai dengan kesibukan usaha waktu itu, kami mencari rumah kontrakan di Jalan Sindang Palai yang lebih luas dari rumah yang di Gang Aleng.

Melangsungkan Pernikahan Oktober l953

Tidak mudah menjalankan perusahaan, tidak semudah mendirikannya. Dalam waktu pendek dua perusahaan dapat didirikan, tetapi untuk menjalankannya sudah mulai keteteran. Seperti di foto studio, pertanggung jawaban keuangan yang saya suruh buat tidak pernah dilaksnakan. Tiap ditanyakan ada saja alasannya. Akhirnya baru saya ketahui bahwa Jamal tidak lancar menulis, apalagi disuruh membuat laporan keuangan yang demikian.

Waktu itu di Jawa Barat sedang tidak aman, karena adanya DII (Daarul Islam Indonesia) dan TII (Tentara Islam Indonesia) di pedalaman. Kebetulan waktu itu ada tawaran kepada mas Sunarjan, untuk membuat pas foto di pedalaman Kabupaten Ciamis untuk keperluan Kartu Penduduk. Mas Sunarjan tidak dapat melaksanakan karena terikat tugas di PTT yang tidak bisa ditinggal begitu lama. Kalau Buana Studio sanggup mengerjakannya akan diperkenalkan dengan orang tersebut. Orang tersebut rupanya kurir dari Camat Kawali, Kabupaten Ciamis. Tawaran tersebut saya rundingkan dengan Jamal, walaupun ada resiko keamanan tetapi inilah salah satu kesempatan untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan. Jamal setuju dan tawaran tersebut kami terima. Sejak itu kami siapkan segala peralatan yang diperlukan. Dengan didampingi oleh kurir Camat tersebut kami berangkat menuju Ciamis sebagai pos kami. Di Ciamis kami dapat menyewa sabagian rumah di Jalan Sudirman bersebelahan dengan Sekolah Dasar.

Kurir ini adalah pemandu kami disana. Pertama-tama kami diperkenalkan dengan pak Camat di Kawali. Hubungan ke Kecamatan Kawali harus ditempuh dengan naik kendaraan umum agak setengah jam, setelah itu berjalan kaki sekitar satu setengah jam. Kami berangkat kesana sudah lengkap dengan cadangan pakaian, peralatan foto dan persiapan film untuk seminggu kerja. Daerah itu sudah termasuk daerah operasi militer, siang hari daerah patroli tentara RI, kalau malam daerah patroli DII dan TII . Sering terjadi kontak senjata antara kedua belah pihak. Posisi Camat di daerah itu harus pandai-pandai menghadapi kedua kekuatan itu. Saya ikut ke sana hanya untuk bertemu dengan pak Camat untuk membicarakan Kurir ini adalah pemandu kami disana. Pertama-tama kami diperkenalkan dengan pak Camat di Kawali. Hubungan ke Kecamatan Kawali harus ditempuh dengan naik kendaraan umum agak setengah jam, setelah itu berjalan kaki sekitar satu setengah jam. Kami berangkat kesana sudah lengkap dengan cadangan pakaian, peralatan foto dan persiapan film untuk seminggu kerja. Daerah itu sudah termasuk daerah operasi militer, siang hari daerah patroli tentara RI, kalau malam daerah patroli DII dan TII . Sering terjadi kontak senjata antara kedua belah pihak. Posisi Camat di daerah itu harus pandai-pandai menghadapi kedua kekuatan itu. Saya ikut ke sana hanya untuk bertemu dengan pak Camat untuk membicarakan

6 cm dengan tarif yang disetujui bersama. Persetujuan tersebut tidak dalam bentuk Surat Perjanjian, tetapi hanya dalam bentuk coret-coretan dan Gentle Agreement saja. Setelah dicapai kesepakatan tersebut saya tinggalkan Jamal disana untuk pelaksanaannya bersama kurir Camat, saya kembali ke Ciamis dan terus ke Bandung.

Urusan dengan Ajudan Jenderal Angkatan Darat saya kerjakan secara sambilan, sesuai dengan jadwalnya. Waktu saya kembali ke Bandung prosesnya sudah berada di Bagian Keuangan Ajudan Jenderal. Saya sudah mengirim telegram kepada Sofyan, Ali Amran dan kawan-kawan supaya berangkat ke Bandung untuk mengambil mandat dan mencairkannya di Kas Negara. Serta membawa berkas-berkas baru yang akan diurus berikutnya.

Beberapa hari setelah itu datanglah rombongan dari Bukittinggi sebanyak 12 orang termasuk Sofyan dan Ali Amran. Mereka terpaksa saya tempatkan di losmen tempat kami pertama kali ke sini dulu. Hari itu kami hanya jalan-jalan lihat kota Bandung yang terkenal dengan Paris van Java. Semuanya belum pernah datang ke Bandung , mungkin juga tidak pernah mimpi akan datang ke Bandung. Setelah makan malam, saya antarkan mereka kembali ke losmen untuk beristirahat dan saya kembali ke Jalan Astana Anyar.

Besok pagi saya datang lagi dengan membawa bukti tanda terima dari Bagian Keuangan. Saya katakan, kalau memperhatikan jadwal kembali, yang tertulis dalam bukti penerimaan, jatuhnya adalah lusa. Namun demikian kita coba saja hari ini kesana, mudah-mudahan mereka bisa membantu kita, karena kita kan datang dari jauh. Seandainya mereka tidak bisa membantu hari ini, terpaksa kita kembali lagi ke sana besok sesuai dengan tanggal yang tercantum dalam tanda terima. Semua setuju dengan langkah-langkah yang saya usulkan itu. Kami berangkat ke Jalan Kalimantan dengan menggunakan 6 buah beca. Sampai di loket saya katakan kepada yang menerima surat tanda terima di loket itu, bahwa mestinya kami datang besok, tetapi karena sudah datang dari Sumatra apakah bisa dibantu hari ini. Yang menerima tanda terima tersebut menanyakan kepada atasannya, tidak lama kemudian dia kembali dengan membawa banyak emplop masing-masing orang mendapat 2 emplop. Alhamdulillah permohonan kami dikabulkan. Dia langsung memanggil orang per orang dan menyerahkan emplop itu langsung kepada yang bersangkutan. Kami ucapkan terima kasih dan langsung naik beca ke Kantor Kas Negara di Jalan Asia Afrika, untuk mencairkan mandat teresebut. Sedapat uang tersebut, kami langsung ke losmen, disitu kami menyelesaikan perhitungan keuangan sesuai dengan kesepakatan yang telah ditanda tangani. Yang pertama kami selesaikan dulu adalah dengan 10 orang yang datang belakangan, kecuali Sofyan dan Ali Amran. Setelah selesai pehitungan dengan mereka, sebagian mereka mengatakan akan langsung ke Jakarta dan sebagian lagi akan mencari familinya dulu di Bandung. Setelah itu baru kami selesaikan antara saya dengan Sofyan dan Ali Amran.

Alhamdulillah, benar Firman Allah, dalam Q.S “Dia lapangkan rezki kepada siapa yang dia kehendaki dan dia sempitkan rezki kepada siapa yang dia kehendaki…”. Setelah saya hitung uang bagian saya cukup besar. Kebetulan waktu itu di Jalan Banceuy (sekarang Alhamdulillah, benar Firman Allah, dalam Q.S “Dia lapangkan rezki kepada siapa yang dia kehendaki dan dia sempitkan rezki kepada siapa yang dia kehendaki…”. Setelah saya hitung uang bagian saya cukup besar. Kebetulan waktu itu di Jalan Banceuy (sekarang

Sudah seminggu Jamal saya tinggalkan di Ciamis, sudah waktunya saya lihat perkembangan di sana. Saya langsung ke rumah di Jalan Sudirman, dan saya dapati Jamal sudah disitu sedang mencetak pas foto penduduk di salah satu desa Kecamatan Kawali. Sudah ada beberapa puluh pas foto yang selesai, dan masih memerlukan beberapa hari lagi untuk menyelesaikan seluruhnya. Setelah selesai seluruhnya baru dia kembali ke sana untuk menyerahkan foto yang sudah selesai dan untuk memotret penduduk di desa lain dalam kecamatan itu. Saya juga ikut membantu memotong-motong foto yang sudah jadi sesuai dengan ukurannya.

Tiga hari setelah itu seluruh foto selesai dicetak, dan sudah dimasukkan ke dalam amplop kecil-kecil diberi nama dan siap untuk diserahkan. Yang memasukkan ke dalam amplop dan memberi nama adalah tugas kurir pak Camat. Sesuai dengan persetujuan, yang menyerahkan dan menerima pembayaran adalah tugas kurir pak Camat. Besok pagi kami bertiga berangkat lagi ke Kecamatan Kawali. Sebelum kami pergi ke desa yang sudah di foto, dan menyerahkan pas fotonya, kami mampir dulu di desa yang akan dipotret oleh Jamal, supaya dia mulai dengan pekerjaannya. Dia memberitahukan kepada Kepala Desa supaya mengumpulkan penduduk di kantor desa untuk membuat pasfoto keperluan Kartu Penduduk. Setelah orang mulai berkumpul, kami pergi menuju desa yang penduduknya sebagian besar telah dipotret minggu lalu. Disitu kurir Camat menemui kepala desanya memberitahukan bahwa foto mereka sudah selesai. Minta mereka berkumpul di kantor desa untuk mengambil pasfoto mereka masing-masing dan membawa uang sekalian. Tidak segera penduduk datang memenuhi panggilan Kepala Desa tersebut. Setelah menunggu kira-kira setengah jam di Kantor Desa belum cukup sepuluh orang penduduk yang datang mengambil pasfoto dan membayarnya. Kami menunggu didesa itu sampai sore, setelah itu kami pergi ke desa di tempat Jamal kami tinggalkan pagi tadi.

Kami ditampung di rumah Kepala Desa, makan dan minum disitu, tidak ada warung di desa itu, karena daerah itu daerah operasi militer, hampir sama dengan zaman clash ke dua di zaman revolusi dulu. Malam itu saya sudah mulai bicara dengan kurir Camat dan Kepala Desa tentang pengalaman pembayaran yang tidak begitu lancar. Kurir Camat beralasan desa yang tadi kita kunjungi tidak dapat didjadikan patokan umum, karena kemampuan penduduk di desa itu memang agak lemah dibanding dengan desa-desa yang lain. Dia yakin bahwa di desa lain akan lebih lancar. Saya hanya berdoa mudah-mudahan apa yang dikatakannya itu benar, karena untuk mundur sekarang rasanya tidak etis, sebagai orang yang dapat kepercayaan dari seorang Camat.

Besok pagi kami menyaksikan dulu cara Jamal memotret penduduk untuk membuat pasfoto mereka. Orang yang akan di potret disuruh duduk diatas bangku-bangku dua-dua orang sekali potret. Nanti dipisah pada waktu mencetaknya. Pada saat mau dipotret penduduk segera dan banyak yang datang, tidak demikian pada saat mengambil pasfotonya dan membayarnya. Sudah agak siang kami pergi lagi ke desa pertama untuk mengambil uang Besok pagi kami menyaksikan dulu cara Jamal memotret penduduk untuk membuat pasfoto mereka. Orang yang akan di potret disuruh duduk diatas bangku-bangku dua-dua orang sekali potret. Nanti dipisah pada waktu mencetaknya. Pada saat mau dipotret penduduk segera dan banyak yang datang, tidak demikian pada saat mengambil pasfotonya dan membayarnya. Sudah agak siang kami pergi lagi ke desa pertama untuk mengambil uang

Besok pagi kami pergi ke kantor pak Camat. Kebetulan beliau belum datang, kami tunggu sebentar, tidak lama kemudian beliau datang. Setelah kami berbasa basi sebentar saya langsung melapor kepada beliau perkembangan penugasan yang beliau berikan kepada kami. Satu desa sudah selesai dengan jumlah penduduk yang dipotret sekian orang. Saya perlihatkan catatan saya, bahwa dari sekian banyak pasfotonya yang sudah diserahkan melalui Kepala Desa. Dari tagihan yang semestinya sekian, baru menerima uang pembayaran sekian, atau sama dengan 20% peren dari jumlah tagihan. Sekarang petugas kami sedang melakukan pemotretan di desa anu dan akan selesai 4 hari mendatang. Mendengar laporan saya tersebut beliau termenung sebentar, lantas beliau mengatakan, agar saya melanjutkan pekerjaan yang sudah dimulai. Dalam waktu dekat beliau akan mengumpulkan semua kepala desa, supaya memperhatikan keluhan-keluhan saya tersebut untuk diperbaiki. Saya katakan juga, bahwa kalau keadaan begini berlangsung lama, maka permodalan kami tidak kuat untuk medukung tagihan yang relatif besar nantinya. Selesai kami berkonsultasi dengan pak Camat kami pun pamit dan pergi ke desa tempat Djamal sedang berugas untuk pamit mengatakan saya akan langsung menuju Ciamis untuk terus ke Bandung. Jamal berpesan kalau minggu depan ke sini minta dibawakan beberapa bahan pembantu yang diperlukan untuk pekerjaan dan sudah habis, seperti film, obat-obatan dan lain-lain.

Dalam perjalanan ke Bandung saya mulai pesimis, apakah kerja sama dengan Camat Kawali ini akan memberikan harapan untuk mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan atau akan menjadi beban kerugian baru bagi Buana Studio, yang sudah mengecewakan saya. Akhirnya saya serahkan kepada keputusan Allah, apa yang terbaik menurut Nya. Tanpa disadari saya sampai di Bandung menjelang Magrib. Sampai di rumah saya lihat di atas meja sudah ada surat dari ibunda dari kampung. Dalam hati saya, ini tentu masalah yang pernah beliau kemukakan waktu mau berangkat dari kampung dulu. Surat tersebut tidak segera saya baca, lebih baik saya selesaikan salat Magrib dan makan malam dahulu, setelah selesai baru surat itu dibaca.

4. Foto sewaktu muda

Benar apa yang saya duga. Isi surat tersebut mengatakan bahwa sepeninggal saya dulu, oleh keluarga sudah dibicarkan secara mendalam. Setelah melihat ke kanan dan ke kiri, bahkan dengan pihak bako juga sudah dirundingkan, akhirnya keluarga di kampung sepakat menunjuk salah seorang dari 3 orang gadis yang saya sebutkan namanya dulu. Dalam surat itu, beliau mengatakan, kalau dapat permintaan kami ini jangan ditolak, bahkan ancar-ancar bulannya pun telah beliau kemukakan dalam surat itu, yaitu Oktober tahun ini. Mula-mula saya merasa di fait a compli atau di pojokkan oleh keluarga di kampung. Tapi perasaan ini tidak lama mengganggu pikiran saya, segera hilang dikalahkan oleh perasaan hormat dan takut durhaka saya kepada ibunda dan nenek. Tidak lama saya memikirkan isi surat itu segera saya ambil keputusan dan membalasnya. Saya katakan, apa yang sudah diperbuat oleh keluarga di kampung, setelah saya pikirkan matang-matang dapat saya terima. Jika tidak ada halangan Insya Allah pertengahan bulan Oktober 1953, saya akan pulang, tidak lupa saya mohon doa beliau di kampung.

Ada pepatah orang mengatakan “ Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya”. Pepatah ini betul-betul menimpa diri saya dari segi negatifnya. Dalam waktu relatif pendek dua perusahaan berhasil didirikan. Yang satu bergerak dalam bidang foto studio dan yang lain bergerak dalam bidang konpeksi dan perdagangan. Kedua jenis usaha tersebut buat saya adalah asing sama sekali. Tetapi tergoda oleh cerita-cerita muluk dan iming-iming laba yang besar, dan kebetulan uang yang didapat secara mudah sedang banyak, menyebabkan saya cepat sekali tergoda dan terjerumus. Atau mungkin uang yang saya dapat dengan muduh tersebut diragukan kehalalannya?. Allah lah yang maha tahu.

Fa. Nirwana yang baru beberapa bulan didirikan sudah kelihatan belangnya. Pesanan yang banyak dari beberapa toko di Bandung dan Cimahi dulu, ternyata bohong. Uang kontan yang saya drop untuk memenuhi pesanan ternyata digunakan untuk membayar hutang- hutangnya di beberapa toko tekstil di Bandung. Setelah mengetahui pribadi Mohamad Nur yang tidak jujur demikian, saya katakan saya sudah dibohongi. Mulai sekarang saya tidak mau tahu-menahu lagi dengan Fa. Nirwana ini. Makanlah uang saya itu, mudah mudahan ada berkahnya. Sudah bicara begitu saya langsung pergi dan tidak pernah lagi ingin bertemu Fa. Nirwana yang baru beberapa bulan didirikan sudah kelihatan belangnya. Pesanan yang banyak dari beberapa toko di Bandung dan Cimahi dulu, ternyata bohong. Uang kontan yang saya drop untuk memenuhi pesanan ternyata digunakan untuk membayar hutang- hutangnya di beberapa toko tekstil di Bandung. Setelah mengetahui pribadi Mohamad Nur yang tidak jujur demikian, saya katakan saya sudah dibohongi. Mulai sekarang saya tidak mau tahu-menahu lagi dengan Fa. Nirwana ini. Makanlah uang saya itu, mudah mudahan ada berkahnya. Sudah bicara begitu saya langsung pergi dan tidak pernah lagi ingin bertemu

Buana Studio lain lagi bentuk kerugian yang akan dihadapi, gambarannya sudah terlihat, tinggal menunggu waktunya. Dugaan saya menjadi kenyataan. Belum sampai seminggu saya di Bandung, Djamal sudah tiba di rumah Jalan Astana Anyar, dengan peralatan foto seperti yang dulu pertama kali dibawa. Belum saya bertanya dia sudah mengeluh, bahwa dia tidak tahan lagi disana. Hampir tiap malam terjadi kontak senjata di sekitar kampung tempat dia menginap itu antara TII dan TNI. Camat pun menganjurkan supaya pulang dulu ke Bandung, nanti kalau sudah agak aman akan diberitahu kembali. Terpaksa saya pulang dengan dibekali hanya untuk ongkos saja katanya. Mungkin inilah waktunya untuk mengubur dalam-dalam angan-angan laba besar selama ini. Untuk tidak menajdi beban bagi saya dan Djamal begitu juga mas Sunarjan, saya katakan, bahwa fotografer bukanlah hoby dan bisnis saya. Karena itu sejak hari ini saya hibahkan saja isi kamar gelap kepada mas Sunarjan dan foto tustel kepada Djamal. Silakan dimanfaatkan mudah-mudahan berfaedah dibelakang hari. Saya tidak ikut lagi memikirkan buana studio ini. Kami bersalaman dan saling merelakan dan memaafkan.

Ringan beban pikiran saya waktu itu, sekali pun saya menderita kerugian materi yang cukup lumayan, tetapi cukup sampai disitu. Saya pikir, kalau saya tidak mengambil keputusan demikian maka saya akan menderita kerugian tiga kali. Pertama kerugian materi sudah pasti, untuk kembali tidak mungkin, bahkan mungkin akan lebih besar dari apa yang sudah dikeluarkan. Kedua, kerugian pikiran, yang selalu membebani, alangkah lebih baik pikiran itu digunakan untuk yang lebih produktif, jadi tidak mubazir. Ketiga kerugian perasaan yang selalu berhubungan dengan orang-orang yang omongannya dan tindakannya suka merugikan orang lain. Alangkah lebih baik saya mencari orang yang omongannya dan tindakannya saling menguntungkan dengan orang lain. Rupanya sudah demikian Takdir Ilahi, semoga Allah mengganti dengan yang lain. Amin !.

Sejak dua beban berat itu saya lepaskan, saya mempunyai cukup waktu untuk berkunjung ke rumah teman untuk menghibur pikiran dan mencari peluang-peluang baru. Satu ketika saya mmengunjungi Hasan Basri di Jalan Ciateul tempat saya kos dulu. Pangkatnya sudah naik sekarang menjadi Pembantu Letnan. Di rumah itu ada juga teman kos lain namanya Rusli, orang dari Lintau, Batusangkar lama tinggal di Palembang. Dia membuka perusahaan pengolahan belerang untuk bahan ekspor. Dia tinggal di Ciateul sendirian sejak pisah dengan isterinya yang pulang kampung bersama dua orang anak. Sudah lama dia tinggal di situ, lebih dari satu tahun. Dia bermaksud akan pindah ke Jalan Mangga dengan mengambil alih VB (Surat Izin Tinggal) kepunyaan orang Belanda yang akan pulang ke negeri Belanda. VB adalah singkatan bahasa Belanda untuk arti Surat Izin Tinggal yang dikeluarkan oleh Kantor Kotapraja. Waktu itu rumah-rumah Belanda yang ditinggalkan pemiliknya dikuasai oleh Pemerintah. Pemerintahlah yang berhak menentukan siapa orang yang berhak menempati rumah itu. VB itu dapat diperjual belikan seizin Kantor Kotapraja walaupun tanpa sepengetahuan pemilik rumah. Pemilik VB tidak dapat diusir oleh pemilik rumah atau warisnya.tanpa ganti rugi yang jumlahnya atas persetujuan kedua belah pihak. Bangunan kita di Jalan Wastukancana No. 5 yang disewa Interlink juga berasal dari VB.

Karena uangnya kurang dia mengajak saya untuk mengambil alih VB itu berdua. VB nya pun atas nama berdua dengan membagi ruangan-ruangan yang akan kita sepakati. Bila dia sudah punya uang dia akan mengembalikan uang saya sesuai dengan nilai VB waktu itu. Atau kalau saya perlu uang, VB itu dapat dialihkan lagi kepada orang lain. Waktu itu dia tidak minta jawaban segera, sekarang mari kita lihat dulu rurmah itu, kalau nanti tertarik kita bicarakan lagi katanya. Karena saya tidak ada kegiatan maka saya pun setuju untuk melihat rumah itu di Jalan Mangga.

Rumah itu, terbuat dari batu, mempunyai 4 kamar tidur ukuran masing-masing 4 x 4 meter, ruangan tamu, dua kamar mandi, satu dapur. Cuma halaman yang agak sempit. Dengan nilai ambil alih VB yang dikatakan kepada saya, cukup murah, namun demikian saya tidak segera menjawab ajakannya itu. Dalam hati saya, akan bertanya dulu kepada teman- teman lain yang mengetahui pasaran VB di daerah itu.

Dalam pikiran saya, ajakan ini mungkin ada hubungannya dengan rencana ibunda bulan Oktober nanti. Saya mulai bertanya-tanya kepada teman-teman yang sering berurusan denganVB itu. Biasanya mereka kumpul di kedai nasi mak Itam di Banceuy. Pada satu hari saya pergi makan ke situ, dan bertanya kepada mak Itam siapa yang mengetahui pasaran VB di daerah Jalan Mangga. Beliau menyebut satu nama yang nanti sebentar lagi biasa datang makan di sini katanya. Tidak lama orang tersebut datang, dan diperkenalkan dengan saya. Dia mengatakan, kalau memang ada rumah empat kamar tidur berukuran kira-kira sekian meter persegi seharga sekian, itu cukup murah.

Tidak cukup saya bertanya kepada satu orang saja, saya tanyakan lagi kepada teman- teman lain yang mungkin tahu. Umumnya mereka mengatakan murah. Setelah yakin, dan saya pikir-pikir, saya hitung-hitung uang yang masih ada serta biaya untuk pernikahan nanti, akhirnya saya putuskan untuk mengambil alih VB rumah itu berdua dengan Rusli. Pertimbangan lain yang mendorong saya mengambil keputusan itu ialah agar saya lepas dari suasana foto studio, yang menyatu dengan rumah tempat kami tinggal sekarang, dan berjauhan dengan tempat tinggal Djamal. Di Jalan Mangga nantinya saya akan mendapatkan suasana baru, dengan lingkungan baru.

Di salah satu sore saya datang lagi ke tempat kos Rusli di Jalan Ciateul. Kebetulan dia baru pulang dari kantor. Saya tanyakan mengenai rumah di Jalan Mangga, apakah sudah diambil orang atau belum. Dia menjawab, masih ada, orang itu menunggu keputusan dari saya, katanya. Kalau jadi kita mengambil berdua, mari kita temui orangnya sekarang, mudah- mudahan bisa kita tawar lagi agak sedikit. Tanpa menunggu waktu, kami naik beca ke Jalan Mangga menemui penghuni dan pemilik VB rumah tersebut.

Begitu kami sampai di rumah itu, kami lihat mereka sudah mulai mengepak-ngepak barangnya. Dalam hati saya bertanya-tanya, mungkin sudah jadi sama orang lain. Rusli langsung menanyakan kepada tuan rumah apakah VB nya sudah diambil orang lain, karena sudah siap-siap mengepak barang?. Tuan rumah mengatakan, barang-barang ini dipak karena akan dikirim melalui ekspedisi ke negeri Belanda, sedangkan kami nanti naik pewawat, katanya. Mendengar jawaban itu, Rusli langsung ke pokok persoalan yaitu mengenai VB Begitu kami sampai di rumah itu, kami lihat mereka sudah mulai mengepak-ngepak barangnya. Dalam hati saya bertanya-tanya, mungkin sudah jadi sama orang lain. Rusli langsung menanyakan kepada tuan rumah apakah VB nya sudah diambil orang lain, karena sudah siap-siap mengepak barang?. Tuan rumah mengatakan, barang-barang ini dipak karena akan dikirim melalui ekspedisi ke negeri Belanda, sedangkan kami nanti naik pewawat, katanya. Mendengar jawaban itu, Rusli langsung ke pokok persoalan yaitu mengenai VB

Sesuai dengan janji, besok pagi kami sudah sampai di Jalan Mangga membawa uang yang disepakati. Sebelum kami berangkat ke Kantor Kotapraja, kami minta izin dulu untuk membuat denah rumah untuk menentukan bagian masing-masing antara saya dan Rusli. Pembagian ini diperlukan nanti di Kantor Kotapraja dan akan dilampirkan pada VB yang akan diterbitkan. Selesai kami membuat denah rumah itu, kami bertiga pergi ke Kantor Kotapraja di Bagian Perumahan. Di sana kami diladeni dengan cepat, kepada kami disodorkan beberapa formulir yang harus ditanda tangani, dan satu set Bukti Pembayaran Restitusi, untuk disetorkan sejumlah uang ke kasir Kantor Kotapraja. Setelah uang disetor, kami kembali lagi ke Bagian Perumahan, dari sana kami diberi Tanda Terima untuk kembali

10 hari lagi. Selesai dari sana kami pisah, pemilik VB kembali ke Jalan Mangga sedangkan kami ke Jalan Ciateul dan saya terus ke Jalan Astana Anyar. Malam itu saya mulai membicarakan dengan kak Syarifah dan mas Sunarjan, bahwa saya dengan teman mengambil alih VB orang Belanda yang akan kembali ke negeri Belanda di Jalan Mangga. Dia akan berangkat kira-kira dua minggu lagi, nanti kalau dia sudah berangkat kami akan pindah ke sana. Kalau begitu sepi lagi kami disini, kata kak Syarifah. Saya dengan keluarga kak Syarifah rasanya seperti saudara sendiri, termasuk kakanda Anwar Sulaiman pemilik rumah di Jalan Kramat VI No. 39 sekarang, adalah kakak ipar dari kak Syarifah bernama Fatimah.

Beberapa hari setelah itu, saya sedang duduk-duduk dengan mas Sunarjan di rumah, tiba- tiba Chairman datang tergesa-gesa memberitahukan sepedanya hilang di sekolah dalam keadaan terkunci. Mendengar berita itu saya tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali mengucapkan Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rajiun. Saya suruh dia bersabar saja, mau diapakan lagi, kalau musibah mau menimpa kita dia datang dalam sekejap mata. Saya pikir tidak perlu membeli sepeda baru, karena beberapa hari lagi kami akan pindah ke Jalan Mangga. Jarak antara Jalan Mangga dengan jalan Jawa tidak begitu jauh, dapat ditempuh dengan jalan kaki.

Sepuluh hari sudah berlalu sejak pertama kali kami pergi ke Kantor Kotapraja mengurus balik nama VB dari nama pemilik lama ke nama kami berdua dengan Rusli. Besok pagi saya datang lagi ke tempat kos Rusli di Jalan Ciateul, untuk bersama-sama ke Kantor Kotapraja. Sesuai dengan janji sebelumnya, bahwa pelunasan dilakukan setelah VB dibalik nama atas nama kami. Jadi kami sepakat untuk membawa uang sisa pembayaran. Bila VB atas nama kami, telah kami terima nanti. Kami akan terus ke Jalan Mangga untuk melunasi pembayaran kepada pemilik lama. Alhamdulillah, kami sampai di Kantor Kotapraja hari masih pagi, tamu-tamu masih sepi, jadi kami bisa langsung diterima oleh petugas di Bagian Perumahan. Begitu kami serahkan tanda terima, yang diberikannya kepada kami sepuluh hari yang lalu, dia mengambil buku ekspedisi yang di dalamnya sudah ada dua lembar VB baru atas nama kami masing-masing. VB itu kami ambil dengan menanda tangani tanda terima pada ekspedisi tersebut.

Setelah itu kami langsung ke Jalan Mangga untuk memenuhi janji kami. Tuan rumah sudah menunggu di ruangan tamu. Rusli membuka pembicaraan, mengatakan bahwa VB baru, telah kami terima. Sekarang kami akan menyelesaikan sisa pembayaran seperti yang kita sepakati dulu. Tuan rumah juga mengatakan bahwa dia sudah booking ticket pesawat ke negeri Belanda dan sudah disetujui untuk hari Senin, dua hari ke depan. Dia minta waktu untuk timbang terima dan mengosongkan rumah ini besok siang hari Minggu jam 1.00. Karena dia akan pergi ke Jakarta dan menginap semalam di Jakarta. Permintaan ini adalah wajar sekali dan kami tidak keberatan. Besok kami akan datang sekitar jam 12.00 dengan membawa barang-barang sekalian, siap untuk pindah. Tidak terpikirkan waktu itu untuk renovasi dan pebaikan lainnya, karena rumah tersebut siap di tempati.

Malam itu saya ulangi lagi mengatakan kepada kak Syarifah bahwa hari Minggu jam

11.00 kami akan menempati rumah di Jalan Mangga. Tidak lupa saya meyampaikan terima kasih atas kebaikan selama ini. Beliau pun memahami dan mendoakan semoga selamat dan betah di rumah baru, katanya. Hari Minggu Chairman libur sekolah., pagi-pagi kami sudah siap-siap, untuk nanti jam 11.00 berangkat ke tempat yang baru.

Alat angkut waktu itu masih dengan menggunakan beca yang di gerakkan dengan tenaga manusia. Untuk membawa dua buah dipan, satu meja tulis, satu lemari pakaian kecil dan lain-lain, memerlukan empat buah beca sudah termasuk kami berdua. Jam 12.00 kami baru sampai di Jalan Mangga. Rumah praktis sudah kosong. Barang-barang pemilik VB lama terdiri dari beberapa buah koper sudah di pool di kamar tamu. Kamar-kamar tidur sudah kosong semua dalam keadaan bersih. Namun demikian kami ulang kembali membersihkan dan mengepel kamar-kamar yang akan kami tempati. Setelah itu baru barang-barang kami, kami masukkan. Sejak tinggal di Jalan Mangga, kami berdua sudah masak sendiri, tidak lagi merantang seperti di Jalan Astana Anyar. Keputusan ini kami ambil karena kondisi dapur memungkinkan, disamping keuangan juga tidak selancar dulu lagi. Apalagi pengurusan onderstand boleh dikatakan sudah lama tidak ada, sedangkan dua usaha yang diharapkan produktif, dua-duanya gagal.

Rumah itu sejak kami tempati hanya diisi empat jiwa, yaitu Rusli dengan seorang anak laki-lakinya, dan saya dengan adik laki-laki yang masih sekolah. Segala sesuatu kami kerjakan sendiri tanpa dibantu oleh seorang pembantu. Setelah kira-kira sebulan kami disana, secara tidak disengaja perhatian saya tertuju pada kalender yang tergantung di dinding kamar tamu. Kalender tersebut sudah memperlihatkan akhir September l953. Sejak itu saya sudah menghitung hari, dan mencari informasi tanggal keberangkatan kapal laut dari Tanjung Priok ke Teluk Bayur di Padang. Saya ingat janji dengan ibunda dan keluarga di Kampung bahwa saya akan pulang pertengahan bulan Oktober tahun itu.

Dari agen KPM di Bandung saya mendapat informasi bahwa tanggal keberangkatan kapal terakhir yang mendekati ke pertengahan Oktober adalah tanggal 10 Oktober. Tidak ada pilihan lain, saya langsung pesan ticket dek untuk tanggal 10 Oktober tersebut sendirian. Saya mencoba menghitung-hitung saldo uang yang ada, dan membuat anggaran untuk pernikahan, serta biaya hidup bertiga beberapa bulan ke depan, ternyata defisit dalam jumlah yang cukup besar. Dari angka-angka defisit tersebut saya harus menekan anggaran pada pos- pos yang mungkin. Seperti kalau tadinya dianggarkan setelah menikah, isteri dibawa kesini dan tinggal bersama disini dengan tiga jiwa, sekarang dirubah menjadi, isteri tetap di Dari agen KPM di Bandung saya mendapat informasi bahwa tanggal keberangkatan kapal terakhir yang mendekati ke pertengahan Oktober adalah tanggal 10 Oktober. Tidak ada pilihan lain, saya langsung pesan ticket dek untuk tanggal 10 Oktober tersebut sendirian. Saya mencoba menghitung-hitung saldo uang yang ada, dan membuat anggaran untuk pernikahan, serta biaya hidup bertiga beberapa bulan ke depan, ternyata defisit dalam jumlah yang cukup besar. Dari angka-angka defisit tersebut saya harus menekan anggaran pada pos- pos yang mungkin. Seperti kalau tadinya dianggarkan setelah menikah, isteri dibawa kesini dan tinggal bersama disini dengan tiga jiwa, sekarang dirubah menjadi, isteri tetap di

3 meter, yang dibeli beberapa bulan yang lalu.

Saya ambil kunci kios dan saya berangkat ke sana membawa adik. Maksudnya membawa adik adalah bila ada peminat sepeniggal saya pulang kampung dia bisa memberitahukan kepada saya segera dengan telegram. Saya sudah beberapa bulan terakhir tidak pernah mampir ke sana, jadi tidak tahu perkembangan daerah itu. Saya berharap tempat itu sudah ramai dibuka oleh pedagang-pedagang untuk tempat usaha. Bila sudah ramai berarti nilai jualnya akan lebih tinggi, dibanding dengan nilai belinya. Alangkah kecewanya saya, setelah sampai di situ, saya lihat tempat itu dan lingkungannya bukannya lebih maju dan ramai, bahkan lebih sepi dan lebih kumuh dibanding dengan sebelumnya. Saya buka pintunya, saya sedih melihat meja dan kursi penuh debu, demikian juga lantainya. Kami bersihkan, dan duduk-duduk sebentar di situ. Setelah itu saya temui pemilik salah satu kios yang dibuka berdagang onderdil mobil bekas. Saya katakan bahwa saya adalah pemilik kios itu. Saya maksud akan menjualnya, bila ada peminat tolong beritahukan ke alamat kami di Jalan Mangga. Kalau jadi, nanti saya tidak lupa memberi uang jasanya. sambil meninggalkan nama dan alamat saya. Setelah itu kios kami tutup dan kunci kembali, kami pun pulang dengan penuh kecewa.

Tanggal 9 Oktober pagi saya berangkat ke Jakarta. Saya sengaja berangkat pagi supaya sorenya saya sempat mampir ke rumah kakanda Nurbeiti dan mamanda Yubhar. Untuk memberitahukan bahwa saya akan pulang kampung untuk melangsungkan pernikahan, sekalian mohon restu. Setelah saya sebut calonnya, kedua orang tersebut, menyambut nya dengan Alhamdulillah. Karena bagi mamanda Yubhar calon saya itu adalah anak saudara beliau dan bagi kakanda Nurbeiti dan kakanda Johar, calon saya itu adalah bekas murid beliau. Malam itu saya menginap di rumah mamanda Yubhar, di Jalan Geneng Tanjung Priok. Saya pilih menginap di situ, adalah untuk memudahkan besok pagi berangkat ke pelabuhan, karena kapal berangkat pagi.

Saya sampai di pelabuhan kira-kira satu jam sebelum penumpang dipersilakan naik kapal, penumpang pun belum banyak yang datang, Tidak lama setelah itu penumpang berangsur-angsur ramai dan memadati ruang tamu. Dari kejauhan saya melihat seakan-akan ada Zahar dengan ibunya datang. Zahar adalah orang Tanjung Alam tetangga desa kita di Parit Putus, teman sekolah di Kursus Sekolah Menengah (KSM) dulu. Rupanya ibunya yang akan pulang kampung. Saya juga kenal dekat dengan ibunya, karena kami satu pasukuan sama-sama orang dari suku koto. Dia bertanya siapa yang mau pulang, saya katakan saya sendiri, untuk menikah dengan anak mamanda Ginam. Syukurlah katanya saya titip ibu, beliau tidak ada teman untuk sama-sama pulang. Saya bersyukur juga bertemu dengan ibunya Zahar, karena saya tidak membawa tikar dan lauk untuk makan di atas kapal. Biasanya kalau ibu-ibu yang naik kapal selalu dibekali dengan lauk oleh anak-anaknya untuk makan di atas kapal, karena lauk pembagian di atas kapal kurang enak untuk lidah kita. Begitu juga tikar, tidak ada orang membawa tikar sepas badannya, pasti lebih lebar dari itu. Penumpang di atas dek itu campur baur saja antara laki-laki dan perempuan, hanya dibatasi dengan tas-tas bawaan masing-masing saja.

Tidak lama setelah itu penumpang sudah boleh naik ke atas kapal. Kami pun naik dan Zahar ikut mengantarkan ibunya ke atas kapal, mencarikan tempat dan mengembangkan tikar tempat tidur. Dia bilang supaya di samping beliau saja, dari pada nanti di tempati oleh orang lain, katanya. Insya Allah saya bilang, ibunya Zahar kan ibu saya juga, karena antara ibunya Zahar dengan ibunda saya, juga kenal dekat seperti kakak dan adik. Tidak lama setelah itu, Zahar pun turun dari kapal disusul dengan pluit panjang tiga kali menandakan kapal akan segera berlayar. Perjalanan Tanjung Periok – Teluk Bayur waktu itu memakan waktu tiga hari dan tiga malam.

Alhamdulillah, setelah tiga hari dan tiga malam berlayar kami selamat sampai di Teluk Bayur. Perjalanan kami lanjutkan ke Bukittinggi dengan menggunakan minibus charteran bayar patungan beramai-ramai. Sore hari itu kami sudah sampai di Bukittinggi, di kampung masing-masing. Ibunda dan nenek gembira melihat saya sudah datang. Alhamdulillah, kata beliau, kami sudah bertanya-tanya apakah jadi si Tamam pulang atau tidak? Pihak sana sudah beberapa kali menanyakan tentang kedatanganmu ini. Nanti malam mamak-mamak kita akan datang menentukan tanggal pernikahan. Setelah saya letakkan tas yang saya bawa ke kamar belakang, saya minta izin dulu untuk pergi salat Asar dan Lohor jamak takhir di mesjid yang berdekatan dengan rumah kami. Selesai salat, baru saya meminum air teh yang dihidangkan sejak tadi oleh adik perempuan saya satu-satunya bernama Nurjalis, kakak Chairman.

Selesai salat Magrib, mamak-mamak sudah mulai berdatangan, ada kira-kira 5 orang. Biasanya tiap-tiap pembicaraan yang menyangkut dengan perkawinan, sejak mulai mencari jodoh, sampai pernikahan memang mamak-mamak yang jauh maupun yang dekat berdatangan sebagai partisipasi dan gotong royong. Umumnya mamak-mamak itu menanyakan jam berapa sampai, saya katakan waktu Asar tadi. Tidak sampai setengah jam, makanan pun sudah selesai dihidangkan oleh ibu-ibu yang sejak sore tadi sibuk di dapur. Selesai makan baru pembicaraan dimulai oleh yang dituakan, biasanya yang menjadi mamak rumah atau ketua dari mamak-mamak dalam pasukuan itu. Saya banyak mendengarkan beliau-beliau itu saling berargumentsi dan saling mengusul. Akhirnya jatuh pilihan ke tanggal 30 Oktober l953, sesudah magrib di mesjid dekat rumah kami. Berarti tinggal 17 hari dari hari ini. Oleh karena itu kita sudah mulai bekerja, seperti memberitahukan kaum famili yang jauh maupun yang dekat, termasuk bako, ipar dan besan. Satu-satunya usul saya ialah, agar perhelatan ini diadakan sederhana saja. Mungkin mamak-mamak ini memahami arah pembicaraan saya, beliau setuju dan akan dibicarakan dengan pihak perempuan, mudah- mudahan disetujui. Selesai pembicaraan yang prinsip pertemuan itu pun bubar, masing- masing mamak sudah tahu yang menjadi kewajibannya.

Malam itu sebelum tidur, kami mengobrol dengan ibunda dan nenek, tentang berbagai hal, seperti keadaan sawah, kedai nasi beliau dan lain-lain. Pembicaraan sampai pada calon pilihan beliau. Saya tanyakan apa yang menjadi dasar pertimbangan keluarga di kampung, sampai pilihan jatuh pada si Lisma ini ? Ibunda menjawab sederhana saja, kata beliau. Pertama, Lisma adalah bekas murid beliau mengaji dulu. Kedua, beliau melihat hubungan saya yang dekat dengan bapaknya Ginam Kari Pamuncak, supaya hubungan itu dikukuhkan sebagai mertua dan menantu. Mendengar dasar pertimbangan yang sederhana itu saya berpikir, ini adalah ketetapan dari Allah Swt. Saya setujui dengan bertawakkal kepada Nya Untuk tidak menjadikan beban pikiran beliau, malam itu saya serahkan kepada beliau, sejumlah uang untuk segala macam keperluan menghadapi hajat ini.

Kebetulan waktu itu ibunda Raiyah dan kakanda A. Tadjuddin sudah merantau ke Sungai Pakning dan bekerja di Caltex. Saya pergi kerumah bako saya. Kebetulan kakanda Nurbeiti waktu itu sedang di kampung bersama seorang putri beliau yang masih bayi. Berita in beliau terima dengan gembira dan berjanji Insya Allah akan datang pada waktunya nanti. Selain beliau tidak ada lagi orang lain yang patut saya datangi yang ada di kampung kita.untuk minta izin dan menyampaikan berita yang penting ini

Tidak ada yang patut saya kerjakan di kampung waktu itu, selain menunggu hari yang ditentukan . Tidak ada undangan yang dicetak dan dikirimi. Untuk mengisi waktu sekali- sekali saya berkunjung ke kantor Agusman, mengobrol sampai siang, kadang-kadang pulang bersama dia Yang sibuk hanya ibu-ibu tua dan ibu-ibu muda. Ibu-ibu tua sibuk ke pasar dan ke dapur, ibu-ibu muda sibuk mendatangi memberitahukan dan mengundang secara lisan ke rumah-rumah famili yang jauh dan yang dekat, dengan istilah memanggil sambil membawa daun sirih, berikut kapur dan gambir.

Waktu yang ditentukan akhirnya tiba. Hari Jumat tanggal 30 Oktober l953, setelah salat Asar kira-kira jam 5.00 saya disuruh bersiap-siap menjadi “raja sehari”atau pengantin pria. Pakaian sederhana bagi seorang pengantin pria waktu itu adalah sarung dan baju jas. Saya pun mulai memakai sarung bugis dapat meminjam dari mamanda Anwar sedangkan jas minjam dari Agusman. Kopiah dan sandal kulit memang sudah dipersiapkan sejak beberapa hari yang lalu. Sudah menjadi adat di kampung kita setiap pengantin pria bila akan melangsungkan pernikahan dia diantar hanya oleh teman-teman sejawat sebanyak seorang tiap-tiap suku, dengan pakaian hitam-hitam seperti pakaian tukang silat. Pengantin pria di apit dan diarak berjalan menuju mesjid melalui jalan yang agak berbelit tidak langsung. Maksudnya supaya masyarakat kampung mengetahui bahwa hari itu ada hajatan yang diadakan oleh si anu. Pengantin wanita hanya menunggu di rumahnya saja.

Setelah saya rapi sebagai pengantin pria, teman-teman sejawat mulai berdatangan mewakili sukunya masing-masing. Keluarga besar pihak pria hanya melepas saja di rumah. Khusus untuk keluarga besar pengantin pria ada lagi satu hari khusus diundang ke rumah pengantin wanita, biasanya sehari setelah hari pernikahan. Selesai makan bersama, kami dipersilakan berangkat menuju mesjid, melalui simpang Parit Putus. Setiap bertemu dengan orang laki-laki atau perempuan selalu ditegur dengan menawarkan rokok atau sirih yang dibawa oleh seorang anak kecil umur kira-kira 8 tahun sebagai ajudan. Sampai di Mesjid, kadi dengan perangkatnya serta wali dari pihak wanita sudah siap menunggu rombongan salat Magrib berjamaah, karena upacara akad nikah biasanya dilaksanakan setelah salat Magrib.

Selesai salat Magrib dan salat sunatnya, pengurus mesjid mempersiapkan tempat duduk buat kadi, pengantin pria, wali, saksi, dan rombongan lainnya. Saya duduk berhadapan dengan kadi, sebelah kanan duduk wali pengantin wanita, sebelah kiri duduk saksi-saksi. Kadi mulai dengan tugasnya yaitu dengan menanyakan kepada wali pengantin wanita tentang persetujuan penganten wanita untuk dinikahkan kepada Bustamam. Setelah ada jawaban setuju, baru kadi mengucapkan ijab kabul yang harus dijawab langsung oleh penganten pria. Bila jawabannya lancar, itu dianggap pernikahan tersebut sudah sah menurut syariat. Selesai mengucapkan ijab kabul kadi memberikan kotbah nikah dan nasehat-nasehat perkawinan.

Setelah itu rombongan penganten pria bersama dengan kadi dan pengurus mesjid bersama- sama datang ke rumah penganten wanita untuk menyerahkan penganten pria kepada keluarga penganten wanita. Serah terima dilakukan setelah selesai makan dan minum, dan setelah itu para tamu pamit untuk pulang. Tinggal penganten pria bersama ajudan, keluarga besar penganten wanita. Tidak lama setelah itu oleh ibu mertua dan saudara lainnya menjemput penganten wanita yang sejak tadi menuggu di kamar dengan pakaian penganten tanpa sunting dan lain-lain. Penganten wanita di persandingkan dengan penganten pria yang didahului dengan bersalaman. Acara itu hanya beramah tamah selama kira-kira setengah jam. Setelah itu penganten wanita disuruh masuk kamar dengan mengajak penganten pria dan dilepas oleh ibu dan bapak mertua sampai di pintu kamar. Acara puncak dalam hajat saya, selaku penganten pria sudah selesai, tinggal sehari lagi, yaitu hadir dalam upacara undangan dari keluarga penganten wanita kepada keluarga besar penganten pria sesudah salat Magrib besok. Sekarang saya sudah menjadi seorang suami, dan menantu dengan gelar Sutan Tunaro. Sudah menjadi kebiasan di kampung kita, bagi seseorang yang baru menikah, membawa isterinya berjalan berdua naik bendi ke Pasar Bukittinggi, berjalan-jalan ke Panorama dan lain-lain. Demikian juga kami, kami menikah hari Jumat, maka hari Sabtu, pada hari pasar di Bukittinggi kami pergi ke pasar Bukittinggi berdua naik bendi, sebagai pengganti honeymoon orang sekarang.

Seminggu setelah hari pernikahan, di kampung tanpa kerja, rasanya membosankan juga. Pikiran saya sudah ke Bandung lagi, ingat kerja belum ada, keuangan sudah sangat menipis, sedangkan beban bertambah seorang lagi. Rencana untuk kembali ke Bandung dulu sendirian, saya rundingkan dengan isteri, mertua, ibunda dan nenek. Umumnya mereka menyetujui, karena sangat lazim di kampung kita setelah menikah, istri ditinggal dulu di kampung, nanti setelah beberapa bulan baru dijemput, untuk dibawa bersama ke rantau.

Dirawat di Rumah Sakit Sanatorium Cipaganti

Dua hari setelah itu, kebetulan ada kapal laut yang akan berangkat ke Tanjung Priok. Saya menumpang kapal itu, dan empat hari sesudah itu saya sudah sampai di Bandung tanpa menginap dulu di Jakarta. Sebagaimana biasa nenek tidak lupa mengirimkan rendang itik untuk si Chairman kata beliau.

Di Bandung waktu itu musim hujan, wabah influenza sedang menjadi-jadi. Saya kena flu berat, diiringi dengan batuk-batuk yang susah sembuh. Akhirnya saya disuruh konsultasi ke Dokter Rotinsulu spesialis paru-paru, praktek d Jalan Dago Bandung. Setelah di rontgen, ketahuan bahwa paru-paru saya sebelah kanan atas ada vlek. Kalau tidak segera di obati secara sungguh-sungguh, bisa bahaya dan susah untuk diobati nanti. Kalau mau diopname saja di Sanatorium Cipaganti supaya cepat sembuh, nanti saya kasi surat pengantar katanya. Mendengar saran itu saya tidak pikir panjang, langsung saya setujui, soal pembayaran bagaimana nanti saja pikir saya.

Setelah mendapat surat pengantar dari Dr. Rotinsulu saya jalan-jalan ke kantor Pusat Sejarah Militer Jalan Kalimantan, depan Taman Lalu Lintas sekarang. Kantor ini juga mengelola perpustakaan, saya sering meminjam buku di situ atas jaminan pak Tobri yang menjadi Komandan Pusat Sejarah Militer, pangkat Letnan Kolonel. Pak Tobri asal Cirebon Setelah mendapat surat pengantar dari Dr. Rotinsulu saya jalan-jalan ke kantor Pusat Sejarah Militer Jalan Kalimantan, depan Taman Lalu Lintas sekarang. Kantor ini juga mengelola perpustakaan, saya sering meminjam buku di situ atas jaminan pak Tobri yang menjadi Komandan Pusat Sejarah Militer, pangkat Letnan Kolonel. Pak Tobri asal Cirebon

5. Foto sesudah sakit

Saya temui pak Tobri, saya katakan bahwa saya menderita penyakit paru-paru. Dr. Rotinsulu menyarankan supaya dirawat di Sanatorium Cipaganti, sedangkan saya tidak punya uang dan saya sedang tidak bekerja, bagaimana pertimbangan bapak. Saya perlihatkan surat pengantar dari Dr. Rotinsulu kepada beliau. Beliau terkejut mendengar saya mendapat penyakit TBC, karena dari segi penglihatan biasa tidak ada tanda-tanda kata beliau. Setelah beliau hening sejenak, beliau mengatakan, nanti saya buatkan surat ke Direktur Sanatorium, supaya mendapat keringanan dan kemudahan, besok saja mampir lagi kesini kira-kira jam

9.00 pagi mengambil surat itu, kata beliau. Saya berterima kasih kepada beliau, dan saya pamit.

Sampai saya di rumah, Chairman mengatakan kepada saya, tadi pak Rusli ingin bertemu tuan katanya. Saya ketuk kamar Rusli, menanyakan barangkali ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Rusli keluar dari kamarnya dan mengajak saya berbicara di ruangan tamu. Dia mengatakan bahwa tagihannya pada pihak ketiga sudah diterimanya. Dia ingin mengembalikan uang saya yang telah saya keluarkan untuk balik nama VB dulu, dengan sedikit laba katanya. Dalam hati saya, Allahu Akbar, pucuk dicinta ulam tiba. Saya setuju, hanya minta waktu untuk mencari rumah lain sewaan atau VB lagi. Dari Rusli juga saya mendapat informasi bahwa ada orang yang ingin melepas VB nya di jalan Riau No. 234, pojok Jalan Gandapura dengan Jalan Riau. Dia menyebut nama orang di Jalan Riau tersebut dan saya ajak Chairman menemuinya sambil melihat rumah dimaksud. Kami bertemu dengan pemilik VB dan diperlihatkan yang akan di alihkan adalah sebuah ruangan muka, diantara banyak kamar dari sebuah rumah besar. Ruangan itu berukuran 8 x 8 meter, sehingga bisa memasak di situ, hanya saja kamar mandi ada di belakang. Mengingat saya harus segera masuk ke Sanatorium, tidak banyak waktu untuk memilih-milih. Selisih uang yang akan saya terima dari Rusli dibanding dengan uang yang akan dikeluarkan mengambil alih VB baru cukup lumayan, untuk hidup beberapa bulan ke depan. Waktu itu kami putuskan setuju mengambil ruangan itu.

Kami kembali ke Jalan Mangga dan menyampaikan kepada Rusli hasil pembicaraan kami dengan pemilik VB di Jalan Riau itu. Besok kami akan pergi ke Kantor Kotapraja mengurus baliknama VB baik dengan Rusli maupun dengan orang di Jalan Riau. Malam itu juga Rusli mengembalikan uang saya dengan ditambah sedikit sebagai labanya. Setelah penanda tanganan berkas-berkas di Kantor Kotapraja, kami segera pindah ke Jalan Riau. Saya katakan kepada Chairman bahwa saya sakit dan harus masuk rumah sakit, tetapi jangan beritahukan kepada ibunda di kampung, nanti beliau resah memikirkan kita. Ini ada uang untuk belanja, supaya berhemat-hemat, mungkin saya lama di rumah sakit. Saya tinggalkan uang belanjanya.untuk sebulan, nanti bulan muka ambil lagi ke rumah sakit tempat saya dirawat.

Besok pagi saya kemasi pakaian saya beberapa potong, lengkap dengan piama, anduk, perlengkapan mandi dan lain-lain, berangkat ke Sanatorium Cipaganti. Saya suruh Chairman minta izin tidak sekolah satu hari, ikut saya supaya dia tahu di mana saya dirawat. Sampai di Sanatorium Cipaganti saya serahkan surat dari Dr. Rotinsulu dan surat dari Pusat Sejarah Militer yang diberikan oleh pak Tobri. Surat-surat itu dibawa oleh mantri kepada Direktur Sanatorium Dr. Wisnu Husodo. Tidak lama saya dipanggil, dan ditanyakan sudah berapa lama sakit ini. Saya jawab baru ketahuan minggu kemarin saja. Dia panggil mantri yang tadi, suruh membawa saya ke ruangan nginap yang tidak jauh dari ruangan periksa.

Di ruangan itu ada enam tempat tidur. Lima diantaranya sudah di tempati tinggal satu tempat tidur yang kosong dekat ke dinding. Saya ditempatkan disitu. Di sebelah kanan saya pegawai Pekerjaan Umum namanya Samsi, orang dari Jawa Tengah, sudah berkeluarga. Saya diberitahu oleh mantri tadi, supaya besok pakai piama pergi ke tempat periksa tadi jam 8.00 untuk diperiksa. Selesai saya ditempatkan diruangan itu, Chairman saya suruh pulang.

Alhamdulillah, di Sanatorium itu serba lengkap. Alat-alat rontgen, laboratorium dan lain- lain, sehingga tidak satu pemeriksaan pun yang harus pergi ke luar kecuali pemeriksaan di luar penyakit paru-paru, seperti sakit gigi, sakit mata dan lain-lain. Demikian juga obat-obat utama semuanya lengkap, tidak ada yang harus dibeli di luar, kecuali obat-obat tambahan seperti vitamin atau suplemen lainnya. Namun demikian, persaingan antar teman menggoda keuangan saya, seperti jajan sebagai extra fooding, rupa-rupa vitamin dan lain-lain. Sehingga baru tiga bulan dirawat di sana persediaan uang mangkin menipis. Tiap kali Chairman datang menjenguk saya, selalu saya ingatkan supaya jalan-jalan juga ke Pasar Banceuy, barangkali ada orang yang mau mengambil kios kita disana, sekalipun dengan harga murah asal bisa dijadikan uang.

Pada kunjungannya bulan muka dia mengatakan ada yang menawar tetapi murah kira- kira separoh harga beli kita dulu, katanya. Saya pikir, mumpung ada yang menawar jual sajalah, karena keuangan kita sudah hampir habis. Kalau bisa diselesaikan sendiri selesaikan saja disana, kalau tidak, bawa pembelinya ke sini beserta kwitansi pembelian kita dulu dan kuncinya, di sini kita lakukan timbang terima, kata saya. Kebetulan bisa diselesaikan di Pasar Banceuy oleh Chairman, karena waktu kunjungan minggu depan Chairman sudah membawa uangnya saja dan diserahkan kepada saya.

Tidak lama bertahan uang sebesar itu, sehingga dua bulan ke muka ada berita dari Chairman ada orang yang berminat mengambil alih VB ruangan yang ditempati sekarang di Jalan Riau, dengan harga lebih besar dari harga beli kita dulu. Saya katakan suruh tambah sedikit lagi, kalau dia mau, jual saja, dan untuk tempat tinggal kita, sementara kita sewa saja rumah nanti. Setelah di sampaikan kepada peminat ternyata dia mau menaikan tawarannya menjadi sekian. Sebelum ruangan itu diserahkan cari tempat kos saja dulu menunggu saya keluar dari Sanatorium ini. Rupanya sekembali dari tempat saya, Chairman bertanya-tanya sama temannya tempat kos. Dia dapat di Gang I Jalan Sederhana dekat Rumah Sakit Rancabadak, dihadapan rumah itu ada kali kecil. Sudah ada tempat kos untuk Chairman, maka saya sudah mantap untuk menjual VB ruangan di Jalan Riau itu kepada peminat yang menawar itu.

Alhamdulillah, kepada saya tidak pernah ditagih satu sen pun sejak awal sampai saya sembuh selama lebih kurang 6 bulan dirawat di sana. Selama dirawat, pernah kakanda Nurbeiti bersama kakanda Johar dan anak-anak beliau menjenguk saya. Setelah sembuh saya dibekali obat lagi untuk persiapan 3 bulan, yaitu tablet INH dan tablet PAS.

Pulang Kampung Bersama Adik

Waktu itu timbangan badan saya sudah naik menjadi 60 kg, dari 48 kg pada saat masuk Sanatorium dulu. Sekarang merasa lebih segar dan sudah lama saya tidak batuk-batuk. Begitu saya diizinkan keluar dari Sanatorium, saya nompang dulu di tempat kos Chairman.

Di situ saya berpikir apakah tidak lebih baik kami pulang dulu sambil merehabilitasi jiwa dan jasmani saya yang sekian lama menghadapi cobaan yang tidak disangka-sangka. Kalau kami tetap disini saya harus bekerja keras lagi untuk mencari lapangan hidup baru yang belum tentu dapat segera. Kalau sekarang pulang, mumpung masih ada cadangan uang agak sedikit, untuk bekal belanja di kampung beberapa hari nanti.

Saya runding dengan adik bagaimana baiknya, dia pun setuju demi menyelamatkan sekolahnya. Sebab kalau dia tinggal sekolah di sini siapa yang akan memikul biayanya. Kalau sekolah di kampung, paling-paling mengusahakan biaya hanya untuk transpor pulang pergi disamping uang sekolah dan buku, sedangkan untuk makan tidak usah dipikirkan.

Kami pikir ulang seminggu lagi, mudah-mudahan ada pikiran baru yang lebih baik dari pada pulang kampung. Saya pergi menemui pak Tobri, memberitahukan bahwa saya sudah sembuh dan berterima kasih atas bantuan beliau sambil minta nasihat. Beliau setuju dengan keputusan saya untuk pulang kampung dulu dalam rangka rehabilitasi jiwa dan penyesuaian diri. Waktu itu saya belum mengenal nikmatnya salat Istikarah dalam kondisi yang seperti itu. Tidak ada pilihan lain, lebih baik mundur selangkah sekarang untuk maju sepuluh langkah di masa depan.

Sejak itu kami mulai siap-siap menyelesaikan barang-barang yang tidak dapat dibawa diberikan kepada siapa saja yang memerlukan, dan menemui orang-orang yang patut ditemui untuk pamit seperti kak Syarifah, Rusli dan lain-lain. Di hari yang dientukan kami meninggalkan Bandung menuju Jakarta dan menompang di rumah mamanda Yubhar lagi, di Jalan Geneng Tanjung Priok.