BERGERILIA DI GUNUNG MERAPI (MASA CLASH KEDUA 1948-1949)

6. BERGERILIA DI GUNUNG MERAPI (MASA CLASH KEDUA 1948-1949)

Setelah penyerangan Belanda tanggal 20 Desember 1948, keadaan benar-benar kacau. Negara seakan-akan tidak ada Pemerintahan. Gedung-gedung penting seperti hotel Arau satu-satunya hotel yang terbagus di Bukittinggi, dan gedung-gedung lainnya di bumi hanguskan sebelum mereka meninggalkan kota Bukittinggi. Tidak ada kontak antara atasan dan bawahan baik sipil maupun tentara, apalagi yang tidak tinggal di asrama. Bagi tentara yang tinggal di asrama mereka mundur dalam kesatuan yang terpecah-pecah dengan persenjataan dan mesiu ala kadarnya. Masing-masing menyelamatkan diri mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Waktu itu Mr. Syafruddin Prawiranegara adalah Menteri Urusan Ekonomi beserta rombongan sedang berada di Bukittingi, terpaksa mundur ke Halaban sekitar 16 km dari kota Payakumbuh. Setelah mengetahui bahwa bersamaan dengan serangan Belanda ke Sumatra Barat itu Bung Karno dan Bung Hatta beserta beberapa pemimpin lainnya di Jogya di tawan oleh Belanda. Untuk menyelamatkan Negara RI dan supaya Pemerintahan tidak vacum, di bentuklah Pemerintahan Darurat yang di umumkan dan di ketuai oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, merangkap Menteri Pertahanan, Menteri Penerangan, dan Menteri Luar Negeri. Kedudukan Pemerintah Darurat ini mobil dan tidak tetap. Jadi di mana saja perintah atau instruksi dapat dikeluarkan, supaya tidak diketahui oleh Belanda.

Menyelamatkan Orang Tua Mengungsi ke Kamang Hilir.

Sejak siang tanggal 20/12 itu di jalan raya di kampung kita sudah terlihat gelombang pengungsi dengan jalan kaki dan kendaraan paling tinggi sepeda dan gerobak dorong bergerak ke arah Gunung Merapi atau arah Bukit Barisan/Kamang. Mereka terdiri dari laki- laki dan perempuan, tua dan muda, besar dan kecil tidak ada yang kecuali dengan membawa perbekalan sekuat tenaga memikul.

Dalam keluarga kita yang agak dewasa waktu itu adalah saya, sedangkan mamanda Anwar yang lebih tua dari saya 5 tahun (mantan Giu-gun) masih berada dalam kesatuannya di Angkatan Darat. Ada dua orang lagi kakek saya masing-masing bernama Muin gelar Malin Sutan (kakek si Kiar) dan Saimin gelar Malin Maradjo (ayah Adnan) yang sudah agak berumur. Beliau menyelamatkan istri dan anak-anak beliau. Saya dan biai mengambil inisiatif untuk menyelamatkan keluarga kita mengungsi ke arah Bukit Barisan dengan tujuan Kewalian Kamang Hilir. Kami berangkat petang hari dua keluarga yaitu nenek beserta ibunda dan adik-adik saya, serta Nenek Upik Itam (nenek Indra) beserta anak beliau Nursiam (ibu Indra).

Barang-barang yang dibawa adalah pakaian seperlunya, beras agak banyak untuk persiapan 10 hari serta perlengkapan masak yang perlu saja. Barang-barang yang berat di ikat di atas sepeda, sepeda di dorong dan berjalan kaki bersama seluruh rombongan menuju Kamang Hilir yang berjarak kira-kira 5 km dari kampung kita Parit Putus. Kami sampai di Kamang Hilir mendekati Magrib dan di terima baik oleh keluarga Pak H. Bustamam beserta anak beliau Fatimah Elma.

Kami memilih Kamang Hilir dengan alasan karena di sana ada seseorang yang akan kita temui benama H. Bustamam, guru mengaji wiridan di kampung kita, bahkan atas prakarsa beliaulah Mesjid Parit Putus yang sekarang di bangun menggantikan mesjid lama yang sudah rusak waktu itu. Beliau menitipkan dua orang anak gadis beliau di rumah ibunda masing- masing bernana Fatimah Elma dan Chaerani yang sedang bersekolah Schakel di Tanjung Alam. Jadi. kami sudah merasa bersaudara dengan beliau. Bapak H. Bustamam adalah pegawai Kantor Agama di Bukittinggi.

Selesai mengantarkan orang tua mengungsi ke Kamang Hilir, besok paginya saya pulang ke kampung dengan kendaraan sepeda sendirian. Di jalan sangat sepi karena pesawat terbang sekali-sekali terbang melakukan pengintaian, dan kabarnya tentara Belanda sudah masuk Bukittinggi. Bila kedengaran bunyi pesawat terbang saya terpaksa mencari tempat berlindung, biasanya di bawah-bawah pohon bambu atau pohon kayu besar. Alhamdulillah saya sampai di kampung dengan selamat dan saya tepati kampung sepi. Orang-orang pergi mengungsi sesuai daerah pilihan masing-masing yang mungkin bisa menampung mereka. Saya mencoba berkeliling di sekitar kampung untuk mencari siapa saja yang tidak mengungsi. Rumah-rumah hampir semuanya kosong dengan pintu dan jendela tertutup rapat.

Setelah saya berkeliling ternyata masih ada kira-kira 20 orang tua muda laki-laki yang tidak ikut mengungsi. Anak-anak mudanya ada 7 orang termasuk saya. Kepala kampung sebagai pimpinan masyarakat di kampung waktu itu pergi mengungsi sehingga pimpinan kampung vacum. Oleh masyarakat yang tinggal 20 orang itu sepakat mengangkat saya sebagai care taker kepala kampung. Untuk tidak kesepian kami buat kelompok-kelompok empat atau lima orang bergabung dalam satu kelompok masak bersama, tidur bersama, dan anggota kelompok kami ronda malam hari sampai jam 9.00, juga bersama dan bergilir.

Tentara Belanda waktu itu sudah ada di Bukittinggi dan telah melakukan patroli, tapi masih terbatas di jalan-jalan raya dan belum masuk ke padalaman. Kami di Kampung belum merasakan bahaya dan saya masih bebas melakukan aktivitas menjemur padi dan mengupahkan menumbuk ke kincir air yang masih ada di tengah-tengah sawah antara Surau Pinang dengan Kurai. Petang-petang memberi makan itik yang ada kira-kira 20 ekor, dan pagi-pagi mengambil serta mengumpulkan telurnya. Rencana saya, sekali seminggu akan mengunjungi ibunda ke Kamang sambil membawa perbekalan beliau. Sebelum berangkat saya panjat dulu pohon kelapa untuk mengambil buahnya yang sudah tua yang akan dibawa. Kami masih mempunyai 8 batang pohon kelapa sedang berbuah dekat simpang Parit Putus; yang sekarang lahannya di pakai untuk toko bahan bangunan.

Seminggu sudah berlalu sejak hari pertama mengungsi, sudah waktunya saya pergi mengantarkan bahan-bahan makanan ke Kamang Hilir. Barang-barang yang sudah di persiapkan di letakkan dan diikat di atas sepeda. Selesai diikat dan sepeda pun di kayuh ke arah Kamang Hilir, karena jalan ke sana menurun, maka tidak sampai setengah jam saya sudah sampai di tempat tujuan. Begitu sampai, barang–barang bawaan diserahkan kepada ibunda. Saya ceritakan keadaan kampung kita yang sudah sepi itu. Beliau banyak bertanya tentang si anu itu atau si anu itu ke mana mereka mengungsi. Mana yang saya ketahui, saya jawab apa adanya. Setelah makan siang dan setelah sembahyang Lohor, saya pun pamit untuk pulang ke kampung kembali. Beliau berpesan hati-hati menjaga keselamatan diri dan rumah jangan di tinggalkan, takut di bakar orang. Itik jangan lupa melepaskan pagi-pagi dan Seminggu sudah berlalu sejak hari pertama mengungsi, sudah waktunya saya pergi mengantarkan bahan-bahan makanan ke Kamang Hilir. Barang-barang yang sudah di persiapkan di letakkan dan diikat di atas sepeda. Selesai diikat dan sepeda pun di kayuh ke arah Kamang Hilir, karena jalan ke sana menurun, maka tidak sampai setengah jam saya sudah sampai di tempat tujuan. Begitu sampai, barang–barang bawaan diserahkan kepada ibunda. Saya ceritakan keadaan kampung kita yang sudah sepi itu. Beliau banyak bertanya tentang si anu itu atau si anu itu ke mana mereka mengungsi. Mana yang saya ketahui, saya jawab apa adanya. Setelah makan siang dan setelah sembahyang Lohor, saya pun pamit untuk pulang ke kampung kembali. Beliau berpesan hati-hati menjaga keselamatan diri dan rumah jangan di tinggalkan, takut di bakar orang. Itik jangan lupa melepaskan pagi-pagi dan

Dalam perjalanan pulang saya bertemu dengan beberapa pengungsi yang akan kembali ke kampung asal mereka, bahkan ada yang akan kembali ke kota Bukittinggi. Setelah saya tanyakan, mengapa mereka kembali apakah tidak takut di tangkap oleh tentara Belanda? Mereka menjawab, yang ditangkap tentara Belanda adalah tentara RI atau extrimis yang anti Belanda. Rakyat biasa seperti kami ini tidak diapa-apakan katanya. Informasi ini sangat berharga buat saya dan saya akan mengamati dalam beberapa hari ini, bila keadaan aman saya akan menjemput keluarga ke Kamang Hilir dan membawa pulang sebagaimana dipesankan oleh ibunda saya dan seperti yang dilakukan oleh orang-orang lain. Sesampai saya di kampung belum banyak perubahan, masih seperti minggu lalu, yaitu kampung masih sepi, belum ada orang yang pergi mengungsi pulang ke kampung.

Hari itu kami jalani seperti hari-hari sebelumnya, yaitu masak nasi bersama dengan lauk pauk serba rebus dan goreng dalam kelompok itu, bermain kartu remi bila senggang. Kebetulan giliran ronda waktu itu adalah kelompok kami, setelah Magrib kami keliling kampung sampai jam 9.00 malam. Malam itu saya tidur sendirian di surau kecil kepunyaan keluarga kita tempat anak-anak belajar mengaji Al-Quran. Surau itu surau panggung ukurannya kira-kira 5 X 5 meter dan ada kandang di bawahnya. Di kandang itulah itik-itik kami tempatkan. Sebagaimana biasa sekitar jam 7.00 pagi saya masuk kandang untuk mengambil telur-telur itik yang biasanya dapat antara 10 – 12 buah. Di tangan saya ada kunci rumah dengan maksud setelah mengambil telur itik langsung menyimpannya di dalam rumah sekalian membuka jendela-jendela rumah. Alangkah kagetnya saya begitu turun dari tangga surau dan membelok ke pintu kandang ada teriakan dari arah jalan raya “angkat tangan jangan lari” setelah saya lihat rupanya tentara Belanda sedang mengacungkan bedilnya kepada saya. Dia perintahkan “mari sini,” sambil saya datang ke arah tentara Belanda itu, dia pun mendekati saya dengan senapang tetap tertuju kepada saya. Dia bertanya “extrimis? Saya jawab bukan tuan, saya tani. Dia melihat ada kunci rumah di tangan saya langsung mengambil konci itu dan mengajak saya membuka rumah. Setelah rumah di buka dia periksa isi rumah bersama saya dan Alhamdulillah tidak ditemukan hal-hal yang berbau tentara dan mencurigakan dia, lantas saya dibawa kembali keluar rumah dengan membiarkan rumah tidak terkunci, dan membawa saya ke jalan raya. Di jalan raya saya kaget karena banyak pohon-pohon di tumbangkan termasuk pohon-pohon kelapa kami oleh orang-orang tidak di kenal yang datang dari luar kampung kita tengah malam. Saya tidak tahu karena lelap tidur, mungkin terlalu penat siang harinya.

Saya digiring dengan senjata tertodong ke punggung, dan dibawa ke arah lurah. Sebelum sampai di lurah, sudah ada beberapa orang tawanan, seperti saya di antaranya Agusman dan kakek saya Muin Gelar Malin Sutan (kakek si Kiar) menunggu nasib selanjutnya. Kami disuruh duduk di atas tanah menghadap ke lurah dengan tangan di kepala dan dikawal. Tidak lama kemudian bermunculan anggota tentara Belanda lainnya lebih kurang 30 orang. Mereka membawa tawanan yang membawa gergaji dan golok (lading) yang biasa dipakai untuk menggergaji kayu tangkelek dan golok yang biasa dipakai untuk membuat tangkelek.

Sebagian kami diberi gergaji dan sebagian diberi golok supaya kami memotong pohon- pohon yang menghalangi jalan raya dan di buang ke pinggir. Kebetulan saya dan Agusman kebagian golok satu seorang. Kami mulai memotong pohon-pohon yang membelintang jalan raya. Kami memilih tempat yang di pinggir jalan yang agak gelap dan banyak pohon pisang. Mereka mengawasi kami bekerja dalam jarak 7 atau 8 meter. Kepada Agusman saya katakan kita kan memegang parang satu seorang, bagaimana kalau kita bacok saja mereka yang dekat kita ini, setelah itu kita lari ketengah-tengah pohon pisang dan terus lari ke Pilubang. Mereka tentu tidak bisa mengejar kita. Agusman tidak setuju, dia takut nanti kampung kita dibakar oleh tentara Belanda. Kebiasaan mereka memang begitu, di daerah- daerah lain bila mereka terganggu disuatu tempat, mereka melakukan pembakaran di tempat itu, jadi orang takut menganggu mereka di sekitar perkampungan.

Mendengar pendapat Agusman tersebut, saya mencari akal untuk bekerja berpisah dengan Agusman. Saya memilih lokasi yang lebih sepi untuk mencari kesempatan menyelinap di tengah-tengah pohon pisang dan lari ke tengah-tengah semak sendirian. Begitu saya sampai di tempat yang ideal, dan kebetulan pengawal yang mengawasi kami lengah, saya lansung masuk ke tengah pohon pisang dan semak, lari ke arah Batangbuo. Sampai di Batangbuo saya keluar ke jalan dan terus jalan ke arah Pilubang. Di Pilubang saya istirahat sampai petang. Setelah saya mendengar bahwa tentara Belanda tidak ada lagi di Parit Putus, baru saya pulang ke Parit Putus. Di Parit Putus saya mendengar bahwa tidak berapa lama sesudah saya lari, rupanya pengawal tadi mengetahui bahwa saya sudah lari, maka pengawal tadi menanyakan kepada Agusman ke mana saya. Agusman menjawab dalam bahasa Belanda “saya tidak tahu”, maka pengawal itu marah dan menampar Agusman sekali.

Alhamdulillah, begitu semua pohon-pohon selesai di potong dan disingkirkan ke pinggir jalan, semua tawanan di bebaskan tanpa disakiti sedikit pun, kecuali Agusman yang kena tampar gara-gara saya. Saya minta maaf kepada Agusman waktu itu, saya tidak menyangka akan berakibat buruk kepada Agusman, mudah-mudahan dia memaafkan saya.

Saya bersyukur kepada Allah Swt, bahwa pada saat tentara Belanda menggeledah rumah kami, dia tidak menemukan 2 buah granat tangan yang saya simpan di tempat ayam yang sedang mengerami telurnya. Seandainya dia menemukan granat itu habislah saya di situ dan kita tentu tidak seperti sekarang ini.

Sejak hari itu sudah banyak keluarga yang pulang kampung dari pengungsian. Sesuai dengan pesan ibunda yang mengatakan kalau sudah aman dan memungkinkan, supaya beliau segera dijemput ke Kamang Hilir. Saya pikir sudah waktunya untuk menjemput beliau. Tiga hari setelah kejadian itu saya pagi-pagi berangkat ke Kamang Hilir dengan sepeda menjemput semua keluarga kita yang ada di sana. Selesai makan siang dan salat Lohor, kami pamit pada keluarga Bapak H.Bustamam dengan ucapan terima kasih atas segala kebaikan beliau. Kami berangkat pulang ke Parit Putus berjalan kaki. Sampai di Parit Putus sudah sore.

Menderita Penyakit Kulit Muka di Bonjol Alam

Ibunda kami adalah sekalian kepala keluarga kami waktu itu. Semua keperluan keuangan bersumber dari beliau, sedangkan saya belum siap untuk menggantikan posisi beliau itu. Begitu beliau sampai di kampung, besoknya beliau sudah mulai berusaha dengan membuka Ibunda kami adalah sekalian kepala keluarga kami waktu itu. Semua keperluan keuangan bersumber dari beliau, sedangkan saya belum siap untuk menggantikan posisi beliau itu. Begitu beliau sampai di kampung, besoknya beliau sudah mulai berusaha dengan membuka

Waktu itu perekonomian masyarakat belum bergerak, belum ada orang yang pergi ke kota Bukittinggi untuk berdagang karena takut. Setelah beliau coba beberapa hari tetap sepi, maka warung tersebut di tutup lagi. Besoknya beliau berjalan-jalan ke rumah saudara beliau sebapak di Bondjol Alam, Rasidah namanya. Rasidah adalah guru Sekolah Dasar di Bonjol Alam (ibu Wilmar isrtri Chairman). Rupanya anak-anak sekolah dasar sudah mulai sekolah di sana. Kampung Bonjol Alam relatif lebih ramai di banding dengan kampung Parit Putus dan lebih jarang diliwati oleh tentara Belanda. Berarti lebih aman dibanding dengan Parit Putus.

Demi menyelamatkan diri dan untuk mendapatkan sedikit uang keperluan sehari-hari, ibunda mengajak kami mengungsi ke Bonjol Alam ke rumah etek Rasidah. Di sana beliau membuat kue mangkok dan dijual di sekolah Bonjol Alam. Belum ada orang lain yang menjual jajan di sekolah waktu itu. Alhamdulillah, usaha ibunda dapat menutup sebagian dari kebutuhan keuangan keluarga kami.

Selaku care taker Kepala Kampung, saya sering berhubungan dengan Wali Perang dan Camat Perang. Di situ saya mengikuti perkembangan perjuangan kemerdekaan di kecamatan dan sekitarnya. Dari situ saya mendapat informasi bahwa waktu itu sedang dibentuk kesatuan perjuangan berlindung di bawah kompi Guntur pimpinan Mayor Yusuf Black Cat, bermarkas di Sungai Puar. Kesatuan yang akan dibentuk sebanyak 3 seksi dengan nama Sektor IIIB di pimpin oleh Pak Nurdin Usman. Pak Nurdin Usman adalah kakak kandung dari Syarif Usman Komandan Divisi IX yang bermarkas di Bukittinggi, membawahi resimen-resimen yang ada di Sumatera Barat dan Riau.

Sejak mendapat informasi itu saya pun merekrut tenaga-tenaga yang mungkin dan mau bergabung. Langkah pertama adalah mendekati pemuda-pemuda yang tidak bersekolah dan susah hidupnya di kampung. Bagi pemuda-pemuda yang bersekolah tentu banyak penghalangnya, seperti izin orang tua. Biasanya mereka hidup manja dan susah untuk diajak bersusah-susah dan menderita, apalagi diajak untuk berperang dan tidak digaji.

Langkah ini rupanya berhasil, dan mulailah pemuda-pemuda di Parit Putus, Surau Pinang, Bonjol Alam, Ampang Gadang, Surau Kamba, dan Tanjung Alam, mendaftarkan diri. Sudah terkumpul 35 orang. Setelah terkumpul nama orang-orang tersebut, sekarang masalah timbul, orang yang akan menjadi Komandan Seksinya. Saya belum berani tampil karena masih terlalu kecil, waktu itu baru berumur sekitar 20-21 tahun, sedangkan di 2 Komandan Seksi lainnya umumnya berumur di atas 26 tahun. Tidak lama setelah itu kebetulan mamanda Ginam pulang dari pengungsian. Ke pada beliau saya ceritakan kegiatan yang sudah saya lakukan dan minta beliau menjadi Komandan Seksi dan saya sebagai Wakil Komandan Seksi. Usul ini beliau terima dengan pembagian tugas, saya bertanggung jawab penuh masalah di lapangan dan operasionel, dan beliau bertanggung jawab masalah logistik, Langkah ini rupanya berhasil, dan mulailah pemuda-pemuda di Parit Putus, Surau Pinang, Bonjol Alam, Ampang Gadang, Surau Kamba, dan Tanjung Alam, mendaftarkan diri. Sudah terkumpul 35 orang. Setelah terkumpul nama orang-orang tersebut, sekarang masalah timbul, orang yang akan menjadi Komandan Seksinya. Saya belum berani tampil karena masih terlalu kecil, waktu itu baru berumur sekitar 20-21 tahun, sedangkan di 2 Komandan Seksi lainnya umumnya berumur di atas 26 tahun. Tidak lama setelah itu kebetulan mamanda Ginam pulang dari pengungsian. Ke pada beliau saya ceritakan kegiatan yang sudah saya lakukan dan minta beliau menjadi Komandan Seksi dan saya sebagai Wakil Komandan Seksi. Usul ini beliau terima dengan pembagian tugas, saya bertanggung jawab penuh masalah di lapangan dan operasionel, dan beliau bertanggung jawab masalah logistik,

Dalam kesibukan mengkonkritkan pembentukan satu seksi gerilia di sektor III/B itu saya ditimpa musibah penyakit kulit muka pedih dan berair. Kata orang di kampung mendapat penyakit biring basah. Hampir seluruh permukaan muka saya kena, seperti kudis kecuali sekitar mata, sekitar mulut dan hidung. Masih untung pemuda-pemuda yang sudah mendaftar itu belum dibawa ke Lasi Tuo melapor ke markas Sektor III/B. Waktu itu kami sudah tinggal di Bonjol Alam di rumah etek Rasidah. Tetapi saya menginap di mesjid Bonjol Alam malam dan kalau siang saya memanjat ke gobahnya karena takut patroli tentara Belanda. Waktu itu dokter tidak ada, terpaksa saya berobat ke dukun kampung ibu Siti Raiyah (maktuo si Dasril) di Parit Putus. Beliau memberikan ramuan yang harus dicampur dengan minyak goreng dalam ukuran tertentu dan dipanaskan sampai mendidih. Pada saat mendidih itu, dengan menggunakan bulu ayam dioleskan ke seluruh permukaan muka yang sakit.

Alhamdulillah, berkat izin Allah setelah seminggu menggunakan obat itu, muka saya yang tadinya berair, sudah mulai mengering. Tidak sampai sebulan sudah sembuh, tinggal bekas-bekas hitamnya saja lagi. Untuk menghilangkan hitam-hitamnya beliau menyuruh saya rajin-rajin membedaki dengan air jagung muda. Dalam keadaan muka hitam itu saya bersama lebih kurang 35 orang calon geriliawan bergabung dengan pasukan di Sektor III/B. Perbekalan yang kami bawa hanya beberapa potong pakaian, sedangkan persenjataan tidak ada sama sekali kecuali 2 buah granat tangan yang saya simpan di rumah dulu. Kedatangan kami ini adalah sebagai tindak lanjut dari pembicaraan mamanda Ginam dengan pak Nurdin Usman sebelumnya. Kami diterima dan dikukuhkan menjadi Seksi II yang berasrama di kampung Kubu antara Balai Gurah dan Candung. Pak Nurdin Usman meminta kepada kami supaya mencari tambahan orang sehingga mencapai 60 orang lengkap menjadi 4 regu, 1 regu adalah 15 orang.

Memimpin Pasukan Selaku Wakil Komandan Seksi di Ampek Angkek Candung

Sejak kami resmi menjadi anggota Sektor III/B mulai berdatangan pemuda-pemuda ingin bergabung, tidak saja dari kampung kita dan sekitarnya, tetapi juga dari kampung-kampung lain seperti Candung, Bukit Batabuh, Gaduik, dan lain-lain, bahkan dari Batu Sangkar juga ada yang datang. Pada umumnya yang datang itu orang-orang tidak tamat sekolah dasar bahkan banyak yang buta huruf. Anggota Sektor III/B seluruhnya sukarela tidak di gaji. Hanya saja kalau makan disediakan oleh Camat Militer melalui dapur umum, sebagai salah satu unit dari organisasi wanita dengan nama BPKKP (Badan Pembantu Keluarga Korban Perang) termasuk palang merah dan lain-lain. Tentang persenjataan masing-masing seksi usaha sendiri. Bulan-bulan pertama kegiatan kami adalah latihan baris berbaris dengan menggunakan bambu runcing sebagai senapan. Dalam hal kemiliteran anggota kami nol sama sekali, jangankan menggunakan senjata api melihat senjata saja baru sekarang.

Kira-kira satu bulan kami di sana mulailah Komandan Seksi (mamanda Ginam) berhasil mendapatkan dan membawa beberapa pucuk (empat atau lima) senjata api berbagai jenis untuk kesatuan kami berikut beberapa puluh amunisi. Waktu itu baru anggota kami belajar Kira-kira satu bulan kami di sana mulailah Komandan Seksi (mamanda Ginam) berhasil mendapatkan dan membawa beberapa pucuk (empat atau lima) senjata api berbagai jenis untuk kesatuan kami berikut beberapa puluh amunisi. Waktu itu baru anggota kami belajar

Sektor III/B waktu itu mempunyai tiga seksi masing-masing seksi 60 orang anggota. Komandan Seksi I (satu) adalah Nazar yang anggotanya kebanyakan pemuda-pemuda dari Bukit Batabuh, Batu Taba, dan Lasi. Umumnya pemuda-pemuda elit dan sebagian dari anak- anak orang kaya. Komandan Seksi II (dua) adalah Ginam yang anggotanya campuran dari berbagai kampung dan kecamatan, umumnya tidak tamat Sekolah Dasar dan beberapa orang buta huruf, bahkan ada tiga orang yang punya ilmu kasar kebal dipukul. Tidak kebal kena peluru, karena ada salah seorang pernah luka kena tembak dalam salah satu pertempuran di pos Baso. Komanda Seksi III (tiga) adalah Ali Amran yang anggotanya kebanyakan berasal dari Candung dan Baso. Di antara ketiga seksi itu yang mempunyai senjata agak banyak adalah seksi kami terakhir sekitar 16 pucuk berbagai jenis, ada 1 buah sten-gun, 2 buah pistol dan 13 senapan rupa-rupa jenis. Seksi-seksi lain tidak sebanyak itu. Ini adalah berkat jasa Komandan Seksi kami yang khusus berusaha melengkapi seksinya dengan berbagai usaha untuk mendapatkan senjata dan peluru-pelurunya. Waktu itu seksi kami dibanding dengan seksi-seksi lain termasuk seksi elit.

Setelah komandan Sektor III/B mengetahui bahwa seksi kami unggul dibidang disiplin dan persenjataan dibanding dengan seksi-seksi lain, maka seksi kami ditarik mendekati markas Sektor III/B di kampung Guguk Pili Bukit Batabuh. Waktu itu belum ada jalan mobil kedaerah itu, walaupun badan jalan sudah dibuat lebar dari tanah sepanjang 3 km dan 1 km lagi jalan setapak. Untuk mencapai kampung itu harus jalan kaki kira-kira 4 km. Jalan mendaki dan menurun dipinggir kiri lurah yang curam dan di sebelah kanan tebing yang tinggi. Di sana kami ditempatkan di sebuah musola berdampingan dengan mesjid di kampung itu, dan berdekatan pula dengan dapur umum. Saya masih ingat yang menjadi kepala dapur umum waktu itu adalah etek Lombok. Tempat baru ini memberikan nilai tambah bagi Seksi kami.

Sebagian dari anggota kami taat sembahyang dan kami membiasakan diri sembahyang berjemaah di mesjid, membaur dengan masyarakat kampung itu. Cepat sekali kami mendapat simpati dari masyarakat. Apalagi setelah mereka melihat disiplin anggota kami cukup keras. Bila ada di antara mereka yang berbuat salah atau melanggar disiplin, hukuman pertama adalah tampar satu atau dua kali seperti disiplin yang dilakukan oleh tentara Jepang sebelumnya. Bila ada yang berkelahi maka kedua-duanya mendapat hukuman tamparan. Kalau sudah keterlaluan maka yang bersangkutan di perhentikan dan disuruh pulang ke kampung halamannya tanpa ada apa-apa. Alhamdulillah, walaupun hampir seluruh anggota yang 60 orang itu pernah mendapat hukuman tamparan dari saya, tetapi tidak satupun yang pernah melawan dan sampai akhir tugas kami tidak ada yang dipulangkan karena hukuman.

Di tempat ini saya merasakan nikmatnya berjuang di tengah-tengah masyarakat tanpa pamrih dan ikhlas. Semoga Allah menerima bakti kami yang tidak berarti ini untuk nusa dan Di tempat ini saya merasakan nikmatnya berjuang di tengah-tengah masyarakat tanpa pamrih dan ikhlas. Semoga Allah menerima bakti kami yang tidak berarti ini untuk nusa dan

Saya tidak tahu apakah masa seperti itu akan kembali lagi atau tidak?. Apakah generasi yang akan datang akan mempunyai kesempatan berbakti kepada nusa dan bangsa seperti yang kami alami waktu itu atau tidak? Mudah-mudahan Allah memberi kesempatan kepada mereka untuk berbakti kepada bangsa, agama, dan negaranya dalam bentuk yang lain.

Ada beberapa kenangan indah yang tidak dapat saya lupakan ditempat ini.

Pertama. Seksi kami dipercaya oleh pimpinan berasrama di sekitar markas Sektor III/B yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari tempat tinggal dan sekalian menjadi kantor komandan sektor III/B. Ini berarti walaupun tidak secara spesifik ditugaskan oleh komandan sektor, kami telah mendapat tugas untuk menjaga keamanan markas dari segala macam gangguan dari luar maupun dari dalam Sedangkan dua seksi yang lain ditempatkan di kampung yang berbeda dengan kampung seksi kami, dan berjarak lebih kurang 1 km. masing-masing seksi.

Kedua . Saya merasa dekat dengan masyarakat, seperti masyarakat kampung saya sendiri. Apalagi kalau bulan Ramadhan tiba saya selalu ikut kegiatan di mesjid seperti tarawih, dan tadarus serta kebetulan komandan sektor kami termasuk ulama yang sering memberikan ceramah-ceramah agama di mesjid itu maupun di mesjid-mesjid lain di kecamatan Ampek Angkek Candung. Jarang saya berbuka puasa di asrama, kebanyakan diundang berbuka ke rumah-rumah penduduk. Kalau sedang terang bulan, bahkan untuk makan saur mereka jemput saya ke asrama untuk makan saur di rumah mereka.

Pernah sekali saya di undang berbuka ke Candung yang berjarak kira-kira 3 km dari asrama kami. Untuk tidak memenuhi undangan itu tidak tega juga karena orang yang mengundang itu bersungguh-sungguh dengan kata-kata “jangan tidak datang pak kalau bapak tidak datang hiba hati kami”; Kendaraan waktu tidak ada, namanya masa perang, apalagi Honda seperti sekarang, jangankan Honda sepeda pun tidak ada. Tetapi benar kata orang “iff there is a will there is a way”

Di kampung itu ada titipan 2 ekor bapak kuda milik pemerintah yang akan disewa- sewakan kepada masyarakat pekuda yang ingin mendapatkan keturunan kuda yang bagus untuk pacuan. Kuda-kuda tersebut di bawah pengawasan Wali Perang setingkat dengan lurah sekarang. Kuda-kuda tersebut sering kami pinjam untuk latihan naik kuda jalan-jalan di sekitar kampung. Untuk memenuhi undangan di Candung tersebut saya pinjam kedua kuda itu dan membawa seorang komandan regu menemani saya berbuka puasa di sana. Selesai berbuka dan mengobrol ala kadarnya, kami pamit untuk pulang ke asrama kira-kira pukul

8.00 malam. Dari wajah Tuan rumah kelihatan ada suatu kepuasan karena kami dapat memenuhi undangan mereka walaupun dengan bersusah payah.

Di kampung Guguk Pili itu saya mempunyai ibu angkat dan bapak angkat, nama beliau masing-masing etek Andam Suri dan bapak H. Rasjid. Rumah beliau inilah yang dipakai oleh pak Nurdin Usman Komandan Sektor III/B sebagai kantor dan tempat tinggal. Beliau mempunyai seorang anak perempuan namanya Yulinar, waktu itu umurnya sekitar 9 tahun. Yulinar menganggap saya sebagai kakaknya dan sangat manja dengan saya. Yulinarlah yang Di kampung Guguk Pili itu saya mempunyai ibu angkat dan bapak angkat, nama beliau masing-masing etek Andam Suri dan bapak H. Rasjid. Rumah beliau inilah yang dipakai oleh pak Nurdin Usman Komandan Sektor III/B sebagai kantor dan tempat tinggal. Beliau mempunyai seorang anak perempuan namanya Yulinar, waktu itu umurnya sekitar 9 tahun. Yulinar menganggap saya sebagai kakaknya dan sangat manja dengan saya. Yulinarlah yang

Tidak sempat saya membalas jasa bapak/ibu angkat saya ini. Pernah sekali etek Andam ke Bandung ke rumah Lis Darwis dan sempat saya undang dan menginap di rumah 1-2 malam. Waktu itu masih tinggal di Jalan Gempol Wetan No.28. Hanya sampai di situ, tidak sempat membawa jalan-jalan dan membelikan oleh-oleh yang berarti sebagai tanda mata, karena kehidupan saya waktu itu masih pas-pasan. Semoga Allah membalas jasa baik beliau berdua yang setimpal, Amin.

Waktu saya pulang bulan Desember 2002, sempat saya berjalan kaki pagi-pagi dari Pait Putus ke Guguk Pili, sebagai tapak tilas. Jarak kira-kira 7 km jalan mendaki bersama saudara Hendri Direktur BPRS AAC ingin melihat perkembangan kampung itu. Rupanya tidak banyak berubah, mesjid dulu tempat saya sembahyang berjamaah dan bertadarus masih ada dan asrama tempat kami tinggal dulu sudah menjadi rumah tinggal. Rumah etek Andam yang lama, sudah diganti dengan yang baru. Saya bertemu dengan Yulinar yang kebetulan waktu itu sedang sakit, dan saya dikenalkan dengan suaminya. Yulinar mempunyai dua orang anak laki-laki dan keduanya dagang di Jakarta. Saya tinggalkan nomor telepon saya di Jakarta dan di Bandung, dengan harapan bila satu waktu dia ke Jakarta mau menghubungi saya untuk sedikit membalas jasa baik mereka kepada saya 56 tahun yang lalu.

Ketiga . Pada bulan Ramadhan pertama kami pindah ke kampung itu, di mesjid dekat asrama kami itu diadakan tablig akbar. Yang diundang memberikan pengajian adalah ibu Rasidah Djalal (kakak Hasjim Djalal, atau ibu Satria Jambek). Mesjid penuh oleh pengunjung termasuk komandan sektor pak Nurdin Usman dan dua seksi lainnya juga. Kebetulan waktu itu tentara Belanda baru saja membuka pos jaga di Batu Taba yang menimbulkan kemarahan masyarakat di sekitarnya, karena dengan adanya pos tentara Belanda di sana berarti mangkin sempit ruang gerak masyarakat di sekitarnya. Jarak Batu Taba dengan asrama kami lebih kurang 3 kilo meter. Oleh ibu Rasidah Djalal kejadian ini dijadikan topik ceramah malam itu seakan–akan membakar semangat masyarakat untuk melawan. Pada sesi tanya jawab dengan penceramah ada yang mengusulkan agar komandan sektor III/B berusaha mengusir tentara Belanda dari Batu Taba. Usul ini ditanggapi positif oleh pak Nurdin Usman dan memerintahkan Seksi II sebagai pelaksana dan saya sebagai Komandan front. Mendengar perintah itu masyarakat spontan bertepuk tangan dan serempak mengucapkan setujuuuuuuuu.

Saya sebetulnya wakil komandan seksi, sedangkan komandan seksi yang sesungguhnya adalah mamanda Ginam. Tetapi antara kami sudah ada pembagian tugas, maka masyarakat menganggap sayalah yang menjadi komandan seksi, karena yang selalu tampak di lapangan adalah saya.

Besoknya saya dan 4 orang komandan regu mulai menyusun rencana penyerangan. Waktu yang tepat untuk melakukan penyerangan adalah malam hari, untuk melakukan penyerangan di siang hari tidak mungkin, karena mobilitas dan persenjataan mereka lebih dari kita. Walaupun di bulan puasa maka perintah ini tidak menganggu jadwal puasa kami. Kami putuskan untuk melakukan penyerangan besok malam, berangkat setelah buka puasa. Kebetulan salah seorang kepala Regu kami adalah orang kampung Batu Taba sendiri yang mengetahui liku-liku jalan menuju rumah yang dijadikan pos penjagaan tentara Belanda di sana. Berdasarkan peta jalan sederhana yang kami buat kami atur tenaga dan senjata yang akan digunakan serta jumlah peluru yang akan dibawa. Karena kami hanya mempunyai senjata 16 pucuk maka anggota yang ditugaskan 2 regu atau 30 orang. Berarti dua orang dengan satu senjata dengan peluru masing-masing senjata sebanyak 5 buah. Saya menggunakan pistol merek Vickers otomatis buatan Jerman pemberian mamanda Ginam. Rombongan dipimpin oleh komandan regu masing-masing yang berada disayap kiri dan disayap kanan saya. Saya yang akan memulai penembakan dan setelah itu baru diikuti oleh yang lain-lain.

Kami sampai di lokasi kira-kira jam 9.30 malam. Saya mulai menyusup masuk semak- semak dan pinggir-pinggir rumah orang lain. Pos tersebut diterangi dengan lampu yang terang sekali, sehinga kami takut lebih mendekat lagi. Kira-kira jarak 30 meter sudah kelihatan tentara belanda sedang berjaga-jaga di posnya. Saya beri kode ke pasukan yang berada di sebelah kanan dan kiri saya supaya bersiap-siap karena tembakan pertama akan dimulai. Di belakang sebatang pohon yang agak besar dengan bertiarap saya mulai menembak penjaga yang sedang berdiri di posnya itu. Belum sempat tembakan dari pihak kami sebelah kanan dan kiri, tembakan balasan telah kami terima beruntun dengan senapan mesin otomatis dan dengan tembakan granat yang mengeluarkan cahaya terang.

Setelah tembakan dari pihak mereka reda saya perintahkan rombongan kami sayap kanan dan kiri melepaskan tembakan ke arah datangnya tembakan. Mereka mendengar balasan dari beberapa penjuru, kembali mereka memuntahkan pelurunya ke berbagai arah secara membabi buta. Setelah reda, saya perintahkan anggota kami untuk mundur dan berkumpul di satu tempat yang telah ditentukan, untuk mengecek apakah ada yang kena tembakan atau tidak. Alhamdulilllah semuanya selamat dan kami putuskan untuk pulang kepangkalan, hanya sekian kemampuan kami.

Keempat . Pada suatu hari Sabtu pagi kira-kira jam 9.00 ada berita mengabarkan bahwa tentara Belanda sudah berada kira-kira 1 kilo meter, dari asrama kami dan sedang menuju ke tempat kami. Di atas udara pesawat capung Belanda sudah keliling sedang mengintai posisi kami. Begitu mendengar ancaman itu, kami siap dengan senjata dan topi baja segera mengatur steling memilih tempat yang strategis di atas tebing-tebing yang tinggi dan banyak pohon-pohonan besar, yaitu kita mudah melihat gerak gerik musuh didepan. Sedangkan kita tidak gampang terlihat oleh musuh dan ada pelindung didepan berupa batu besar atau pohon besar dan ada tempat mudur kebelakang bila terdesak. Lambat gerak maju mereka karena lapangan yang mereka tempuh berjalan kaki memang sulit. Kecuali jalan yang ditempuh hanya jalan setapak di sebelah kanan jalan tebing dan tinggi dan di sebelah kiri lembah landai terdiri dari sawah-sawah sehingga terang tidak dapat bersembunyi untuk maju. Kira-kira jam

10.00 kami sudah mulai melihat mereka dari kejauhan lebih kurang 500 meter dengan berjalan mengendap-ngendap menuju ke arah kami dipinggir tebing.

Makin lama semangkin dekat dan pada jarak layak tembak mereka mulai memancing dengan beberapa tembakan ke arah semak di tebing tempat kami bertahan. Untuk sementara tembakan mereka tidak kami ladeni karena peluru kami sangat terbatas, dengan harapan mereka semangkin mendekat baru kami balas dari segala penjuru. Perkiraan kami benar, kira-kira setengah jam kemudian mereka sudah dekat sejangkauan tembak dengan senapan Jepang. Tembak menembak terjadi dengan mereka selama lebih kurang 3 jam. Tidak henti- hentinya mereka melepaskan tembakan dengan senapan mesin sedangkan dipihak kami hanya sekali-sekali saja tetapi dari banyak penjuru. Mereka ragu-ragu untuk maju, karena tembakan dari kami datang dari banyak penjuru, mereka menyangka bahwa jumlah kami tentu banyak. Akhirnya mereka mundur. Alhamdulillah anggota kami selamat semuanya tidak kurang suatu apa pun.

Komandan sektor III/B hari itu sedang berada di Candung, sorenya beliau mengirim kurir membawa surat perintah supaya Seksi II malam itu juga mundur ke Candung dan tinggalkan kampung Guguk Pili. Menurut perhitungan beliau besoknya tentara Balanda akan datang dengan jumlah yang lebih besar untuk menyerang dan menghancurkan kami. Masyarakat mengetahui perintah ini, dan mereka ibu-ibu berdemonstrasi sambil menangis- nangis ke asrama kami minta supaya kampung mereka jangan ditinggalkan. Sebab kalau kampung mereka ditinggalkan akan habis dibakar oleh tentara Belanda.

Saya berada dalam posisi yang sulit, satu segi adalah perintah dari atasan, segi lain kepentingan masyarkat perlu juga diutamakan. Dalam posisi yang demikian Allah memberi petunjuk dengan memilih jalan tengah. Dua regu yang berani-berani saya tinggalkan dibekali dengan persenjataan yang ada pada kami berikut pelurunya, dengan perintah supaya mereka mempertahankan kampung Guguk Pili sehabis tenaga. Dua regu lainnya bersama saya mundur ke Candung memenuhi perintah pak Nurdin Usman Komandan Sektor III/B.

Dugaan Komandan Sektor III/B menjadi kenyataan. Besoknya tentara Belanda datang dengan jumlah yang lebih besar dari yang kemarin, mereka mencoba lagi menaklukkan pertahanan kami. Pertempuran tak dapat dihindari, bahkan lebih sengit dari kemarin, seorang anggota kami kena tembak di kepala, beruntung dia memakai topi baja. Alhamdulillah hanya topi bajanya saja yang peot dan dia selamat dari tembusan peluru. Seminggu setelah itu tidak ada lagi penyerangan dari tentara Belanda, kami pun kembali ke Guguk Pili beserta dua regu lainnya sebagaimana biasa.

Menghadang Konvoi Belanda di Labuh Luruih (Padang Tarok)

Kemajuan tentara Belanda rupanya tidak terbendung. Tentara kita mangkin lari jauh kepedalaman, karena kelemahan organisasi dan persenjataan yang minimal. Yang tinggal dipinggir kota hanya geriliawan yang seperti kami. Itupun fungsinya tidak mungkin menghancurkan tentara Belanda, tetapi hanya sekadar menganggu ketenteraman mereka saja. Waktu itu pertengahan tahun l949. Konvoi Belanda sudah leluasa hilir mudik Bukittinggi dan Payakumbuh pulang pergi tanpa terganggu sedikit pun. Freqwensi penyerangan ke pos- Kemajuan tentara Belanda rupanya tidak terbendung. Tentara kita mangkin lari jauh kepedalaman, karena kelemahan organisasi dan persenjataan yang minimal. Yang tinggal dipinggir kota hanya geriliawan yang seperti kami. Itupun fungsinya tidak mungkin menghancurkan tentara Belanda, tetapi hanya sekadar menganggu ketenteraman mereka saja. Waktu itu pertengahan tahun l949. Konvoi Belanda sudah leluasa hilir mudik Bukittinggi dan Payakumbuh pulang pergi tanpa terganggu sedikit pun. Freqwensi penyerangan ke pos-

Begitu perundingan tidak menguntungkan kita gangguan kepada tentara Belanda digiatkan kembali. Saya melihat lokasi di jembatan titih liwat labuh lurus kira-kira 15 km dari Bukittinggi ke arah Payakumbuh. Di situ ada tempat yang strategis untuk menghadapi konvoi tentara Belanda. Di sebelah kiri jalan ada tebing batu yang tingggi memanjang ke arah Bukit Barisan sedangkan di bawahnya ada sungai yang dalam memanjang ke arah gunung Merapi. Dari tempat ini memungkinkan untuk melakukan penyerangan dari kanan dan dari kiri jalan karena alam berpihak kepada kita. Perkampungan rakyat juga jauh dari situ, kita tidak takut tentara Belanda akan membakar rumah-rumah rakyat akibat dari gangguan ini. Ide ini saya sampaikan ke atasan dan beliau setuju. Karena penyerangan akan dilakukan di siang hari dan tempatnya sempit maka tenaga yang akan dikerahkan tidak perlu banyak-banyak cukup 15 orang saja. Setelah mendapat persetujuan dari atasan besok harinya pagi-pagi kami sudah pergi ke lokasi bersama beberapa orang anggota lengkap dengan senjata seadanya untuk melaksanakan tugas penghadangan.

Jarak antara lokasi penghadangan dari asrama kami cukup jauh, kira-kira 10 km. Sudah siang kami baru sampai di sana langsung mengatur posisi masing-masing di tempat yang menguntungkan dan aman. Kira-kira dua jam kami mengatur posisi dan sambil menunggu mulai kedengaran bunji kendaraan dari arah Bukittinggi. Dari kejauhan sudah mulai kelihatan ada 4 buah truk membawa tentara Belanda melaju menuju Payakumbuh yang akan meliwati tempat yang kami tunggu-tunggu. Begitu truk pertama meliwati jembatan maka 2 buah granat tangan sudah siap melempari mereka. Setelah itu diikuti dengan tembakan- tembakan lainnya. Ternyata dari 2 buah granat yang dilemparkan hanya satu buah yang meletus.

Tidak banyak tembakan yang dapat kita lepaskan karena dari pihak mereka tidak henti- hentinya menghujani posisi kami dengan tembakan senapan mesin, sehingga untuk mundur saja pun sudah sulit. Tidak diketahui berapa orang dari pihak mereka mati atau luka-luka karena tidak sempat lagi memperhatikan hasilnya karena kami sudah berangsur-angsur mundur, sedangkan dari pihak kami Alhamdulillah tidak satu pun yang kena atau luka-luka. Sudah hampir Magrib kami berkumpul kembali di tempat yang sudah ditentukan semula untuk bersama-sama pulang ke asrama.

Pembunuhan Masal di Simpang Parit Putus oleh Tentara Belanda

Waktu itu kehidupan di kampung kita sudah dapat dikatakan hampir normal. Pedagang- pedagang sudah mulai berani pergi ke pasar membuka usahanya. Warung kopi di kampung kita sebagian sudah mulai dibuka walaupun belum banyak dikunjungi pelanggannya. Orang pun sudah tidak takut-takut lagi duduk-duduk di simpang Parit Putus menghabiskan waktu mengobrol dan bermain damino dan lain-lain.

Kami anggota gerilia di sektor III/B dilonggarkan disiplinnya, tidak harus selalu berada di asrama siang dan malam asal bila diperlukan siap berada di asrama. Bagi kami di Seksi II, kami atur pulang bergelombang, dengan demikikan asrama tidak boleh kosong dan senjata- senjata selalu harus terjaga dan terawat. Umpamanya minggu ini regu 1 dan regu 3 boleh pulang cuti ke kampung seminggu. Minggu depan regu 1 dan regu 3 kembali ke asrama, Kami anggota gerilia di sektor III/B dilonggarkan disiplinnya, tidak harus selalu berada di asrama siang dan malam asal bila diperlukan siap berada di asrama. Bagi kami di Seksi II, kami atur pulang bergelombang, dengan demikikan asrama tidak boleh kosong dan senjata- senjata selalu harus terjaga dan terawat. Umpamanya minggu ini regu 1 dan regu 3 boleh pulang cuti ke kampung seminggu. Minggu depan regu 1 dan regu 3 kembali ke asrama,

Setelah kondisi aman ini berlalu beberapa bulan, tiba-tiba situasi memanas kembali. Kami gerialawan di Sektor III/B masih belum berreaksi, tetapi gerialawan dari kampung Kurai di bawah pimpinan Udin Karayau mengambil inisiatif penyerangan. Kampung kita Parit Putus termasuk wilayah di bawah Sektor III/B. Kampung tetangga kita kearah kota Bukittinggi namanya Garegeh yang berada di wilayah pejuang Sektor Kurai. Diperbatasan kampung Parit Putus dengan Kampung Garegeh ada tebing kanan kiri jalan sepanjang lebih kurang 700 meter memanjang ke arah Bukittinggi, tinggi kira-kira 3 meter. Dari tebing- tebing itu mereka melempari konvoi Belanda dengan granat tangan yang sedang bergerak ke arah Payakumbuh. Kejadian tersebut kira-kira jam 16.00 sore. Penyerangan ini tanpa berkonsultasi dengan kampung kita sebagai kampung tetangga yang akan menerima akibat dari sabotase mereka.

Waktu itu orang di simpang Parit Putus sedang ramai-ramainya. Ada yang bermain damino, ada yang sedang minum kopi di warung dan banyak juga yang mengobrol-ngobrol saja. Mendengar letusan itu beberapa kali dan diikuti dengan tembakan beruntun sebagai balasan dari tentara Belanda. Sebagian orang yang bergerombolan sempat melarikan diri dan sebagian besar kepergok oleh tentara belanda yang dengan cepat membrondong orang-orang yang ditemuinya di simpang Parit Putus. Dalam setengah jam 23 orang tua muda mati di petang hari itu. Ada yang tewas seketika ada yang tewas setelah melalui perawatan beberapa waktu setelah petang itu. Salah seorang yang tewas setelah melalui perawatan beberapa lama adalah Radjab (adik mamanda Ginam)

Saya waktu itu kebetulan sedang berada di rumah ibunda di Kampung. Waktu tentara Belanda menembaki orang-orang di simpang Parit Putus saya sempat melihat dari kejauhan melalui pintu angin rumah kami. Setelah tembakan usai dan truk konvoi tentara Belanda melanjutkan perjalanannya ke arah Payakumbuh, saya pun keluar rumah melihat apa yang telah terjadi di simpang Parit Putus. Ternyata mayat sudah bergelimpangan dan masyarakat mulai keluar dari persembunjiannya sambil meratapi anggota keluarga mereka yang tewas petang itu. Mamanda Syukur ayahnya Syukbar ikut menjadi korban waktu itu.

Melihat situasi demikian saya mengambil inisiatif mengajak kepada orang-orang yang ada waktu itu untuk segera menguburkan mayat-mayat itu di pekuburan masing-masing. Waktu magrib sudah dekat dan sebentar lagi malam pun akan tiba. Tidak banyak orang waktu itu, mungkin tidak lebih dari 10 orang, yang akan menggali kuburan, membawa jenazah ke kuburan dan menutup kuburan kembali untuk 23 jenazah. Umumnya mereka kena tembak dibagian kepala dan dibagian dada. Rupanya akibat tembakan senapan dari jarak dekat bila kena di kepala didepannya berbentuk lobang kecil sedangkan di belakangnya membesar, sehingga otaknya bertebaran keluar. Jenazah-jenazah itu tanpa dimandikan dan disembahyangkan dikuburkan dengan baju yang dipakainya. Bagi jenazah yang otaknya bertebaran, maka otaknya itu dimasukkan dulu ke dalam tempurung kelapa dan dibawa kekuburan untuk sama-sama dikuburkan bersama jenazahnya. Kami selesaikan penguburan Melihat situasi demikian saya mengambil inisiatif mengajak kepada orang-orang yang ada waktu itu untuk segera menguburkan mayat-mayat itu di pekuburan masing-masing. Waktu magrib sudah dekat dan sebentar lagi malam pun akan tiba. Tidak banyak orang waktu itu, mungkin tidak lebih dari 10 orang, yang akan menggali kuburan, membawa jenazah ke kuburan dan menutup kuburan kembali untuk 23 jenazah. Umumnya mereka kena tembak dibagian kepala dan dibagian dada. Rupanya akibat tembakan senapan dari jarak dekat bila kena di kepala didepannya berbentuk lobang kecil sedangkan di belakangnya membesar, sehingga otaknya bertebaran keluar. Jenazah-jenazah itu tanpa dimandikan dan disembahyangkan dikuburkan dengan baju yang dipakainya. Bagi jenazah yang otaknya bertebaran, maka otaknya itu dimasukkan dulu ke dalam tempurung kelapa dan dibawa kekuburan untuk sama-sama dikuburkan bersama jenazahnya. Kami selesaikan penguburan

Yang aneh, yang kami rasakan waktu itu tidak ada rasa jijik dan tidak ada rasa takut sedikit pun. Bahkan saya memikul sendirian malam-malam jenazah mamanda Malin Menan yang ditembak Belanda petang itu di rumah saudaranya (di depan rumah kita di kampung) dan membawanya ke kuburan jarak lebih kurang 60 meter. Di antara yang tewas waktu itu ada seorang yang dikenal masyarakat sebagai orang pintar yang banyak mempunyai ilmu kebal. Tetapi kepalanya tetap saja ditebus peluru yang bediameter sebesar telunjuk itu. Setelah penyerahan kemerdekaan, orang-orang korban pembunuhan masal tersebut, oleh mamanda Ginam didaftarkan kepada Pemerintah RI sebagai pejuang perang dan keluarganya mendapat tunjangan seperti tunjangan pensiun.

Diangkat sebagai Komandan Front Penyerangan Pos Belanda di Baso dan Batu Taba

Tidak lama setelah itu, komandan sektor III/B mengumpulkan kami komandan-komandan seksi di kantor beliau. Beliau menjelaskan bahwa perundingan dengan Pemerintah Belanda menemui jalan buntu. Ini berarti kita mesti lebih gigih berjuang dibanding dengan masa-masa lalu. Target pertama kita adalah mengusir pos tentara Belanda yang ada di daerah kita yaitu di Baso dan Batu Taba. Kepada kami diminta mempersiapkan segala sesuatunya untuk mencapai target perjuangan tersebut. Sejak hari itu semua cuti anggota kami dibatalkan, dan disiplin kami tegakkan kembali. Latihan kami diintensifkan pada setiap kesempatan yang ada, Demikian juga persiapan persenjataan dengan menambah pesediaan amunisi untuk masing-masing jenis senjata sambil menunggu perintah lebih lanjut dari komandan sektor

Penyerbuan kali ini dilakukan secara terpadu ketiga seksi yang berada di bawah Sektor III/B. Komandan front penyerangan digilir antarketiga seksi untuk masa seminggu. Di lihat dari segi persenjataan maka seksi kami yang lebih banyak dibanding dengan seksi-seksi lainnya. Atas pertimbangan itu Komandan Sektor III/B memberi kesempatan pertama kepada Seksi II menjadi Komandan Front penyerangan pos Belanda di Baso dan di Batu Taba. Minggu depan giliran seksi I yang menjadi Komandan Front disusul Seksi III yang menjadi Komandan Front. Penunjukan ini men jadikan saya risih, karena dilihat dari segi umur saya lebih muda dibanding dengan umur kedua Komandan Seksi yang lain.

Untuk menghindari kecemburuan di antara kami, maka semua langkah-langkah yang akan saya lakukan selalu saya rundingkan terlebih dahulu dengan Komandan-komandan Seksi 1 dan 3. Tenaga yang akan dikerahkan dalam tiap-tiap penyerbuan sebanyak dua kali sebanyak senjata yang dipunyai. Berarti tiap-tiap Seksi berkewajiban menyerahkan anggotanya berikut persenjataan yang mereka punyai. Jumlah anggota adalah sebanyak dua kali jumlah senjata yang akan mereka pegang sediri. Penyerangan biasanya dilakukan pada malam hari. Pagi harinya anggota yang sudah ditunjuk oleh Komandan Seksinya untuk bertugas. Penyerbuan berikut persenjataannya diserahkan kepada Komandan Front untuk diarahkan agar antara anggota di ketiga Seksi ada suatu kerja sama yang kompak.

Jarak antara asrama kami ke Baso kira-kira 7 km atau satu setengah jam dengan jalan kaki. Pada hari yang ditentukan, kami berangkat dari asrama pukul 5.00 petang bersama 60 Jarak antara asrama kami ke Baso kira-kira 7 km atau satu setengah jam dengan jalan kaki. Pada hari yang ditentukan, kami berangkat dari asrama pukul 5.00 petang bersama 60

Dengan berjongkok dan bertiarap saya maju ke depan melalui celah-celah pohon pisang dan pohon-pohon kayu lainnya mendekati pos Belanda di Baso bersama 20 orang anggota. Alhamdulillah tidak ada anjing yang menggonggong yang menyebabkan mereka curiga bahwa akan ada serangan dari extrimis, sehingga saya bisa mendekat ke pos Belanda sampai jarak kira-kira 20 meter. Untuk mendekat lagi saya tidak berani karena lampu di sekeliling rumah itu sangat terang. Saya lihat jam belum sampai jam 9.00 jadi kami istirahat sambil bertiarap ditempat menunggu jam 9.00 sesuai kesepakatan dengan rombongan dari penjuru- penjuru lain.Tepat jam sembilan sten-gun saya arahkan pada penjaga yang sedang bediri di rumah jaga di seberang jalan tempat saya menembak. Tembakan ini diikuti oleh tembakan- tembakan lainnya dari dua penjuru lainnya. Mendengar tembakan pertama dari pihak kita mereka berhamburan keluar rumah sambil melepaskan tembakan dengan senjata otomatis ke arah suara letusan datang. Mereka membuat steling disekeliling rumah mempertahankan diri. Dalam keadaan mereka siap demikian, tidak mungkin kita menyerang mereka, berarti kita bunuh diri.

Dengan kode tertentu saya memberi perintah kepada anggota lainnya supaya mundur ketempat yang sudah ditentukan. Bersamaan dengan itu saya mendengar rintihan dari anak buah saya di belakang (Rusli) mengatakan, “pak Tamam saya kena”. Setelah saya dekati baru diketahui bahwa perutnya sebelah kanan ditembus pelor Belanda dan banyak mengeluarkan darah. Segera kami papah dan minta bantuan palang merah di kampung terdekat sebagai pertolongan pertama. Rusli tidak mematuhi perintah saya, supaya bila terjadi kontak senjata selalu dalam keadaan tiarap. Rupanya sewaktu saya melakukan tembakan pertama dia beridiri membidik ke arah pengawal yang dia lihat sedang berdiri di rumah jaga yang saya bidik pertama kali itu. Rusli setelah mendapat pertolongan dari palang merah setempat kami tinggalkan dia di situ untuk beristirahat beberapa hari sampai dia mampu berjalan kaki keasrama di Guguk Pili. Tidak lama kemudian kami berangkat menuju tempat berkumpul dengan rombongan dari penjuru Candung dan dari penjuru Sungai Janih. Alhamdulillah yang lain selamat hanya Rusli saja yang luka. Kami langsung pulang dan liwat jam 2.00 pagi kami sampai di asrama.

Minggu depan giliran seksi I yang menjadi Komandan Front melaksanakan tugas penyerangan ke pos tentara Belanda di Batu Taba. Seksi kami yang menyiapkan anggota dan persenjataan dan menyerahkan di bawah kordinator Seksi I sampai tugas selesai. Demikian seterusnya kami Komandan Seksi masing-masing menjadi Komandan Front di dua pos tentara Belanda di daerah kami. Dapat kepercayaan menjadi Komandan Front waktu itu Minggu depan giliran seksi I yang menjadi Komandan Front melaksanakan tugas penyerangan ke pos tentara Belanda di Batu Taba. Seksi kami yang menyiapkan anggota dan persenjataan dan menyerahkan di bawah kordinator Seksi I sampai tugas selesai. Demikian seterusnya kami Komandan Seksi masing-masing menjadi Komandan Front di dua pos tentara Belanda di daerah kami. Dapat kepercayaan menjadi Komandan Front waktu itu

*****