116207204 Biografi Bustaman Rahim. pdf

Otobiografi

Mengenal dan Mengenang Drs. H. Bustaman Rahim Akt.

BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM KATA PENGANTAR

Segala puji hanyalah bagi Allah. Kami memuji, meminta pertolongan, dan memohon ampun kepada Nya. Kami juga berlindung kepada Nya dari segala kejelekan nafsu dan amalan diri. Siapa saja yang dianugerahi Nya petunjuk, maka tidak ada kesesatan baginya, dan barang siapa yang disesatkan Nya, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Saya bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah, tuhan yang tiada sekutu bagi Nya. Dan saya bersaksi pula bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan Nya.

Disalah satu pagi dalam bulan Oktober 2003 salah seorang anak dan menantu sedang berada di Bandung. Pada waktu minum pagi bersama, kami ngobrol kanan kiri tanpa arah, dan kebetulan pembicaraan menyasar ke masa kecil saya. Masa kecil saya tidaklah seperti masa kecil anak-anak umumnya di masa itu atau anak-anak di masa sekarang. Kalau dapat disimpulkan dalam kata-kata yang pendek adalah “seperti anak yatim yang bukan yatim”. Dalam pembicaraan itu ada yang mengusulkan agar saya membuat sedikit tulisan tentang Riwayat Hidup saya yang dianggap unik dan baik untuk diketahui oleh anak-anak dan cucu- cucu dikemudian hari.

Setelah berpikir agak lama dan pertimbangan yang mendalam, (takut akan masuk kedalam golongan ria yang dilarang oleh agama). Akhirnya saya sampai pada keputusan, bahwa lebih banyak positif dibanding negatifnya bila permintaan tersebut saya penuhi. Dengan memohon perlindungan dan petujuk kepada Allah Swt, saya mulai menyusun tulisan ini walupun dengan bahasa dan kata-kata yang jauh dari sempurna.

Pertimbangan-pertimbangan positif yang saya maksudkan ialah, rasa syukur dan terima kasih saya atas besarnya Rahmat dan Nikmat yang diberikan Allah Swt, kepada saya dalam segala bidang seperti:

Untuk diri dan keluarga:

- Pengetahuan agama, yang semula hanya pandai membaca Al Quran, sampai pandai membaca sebagian besar arti Al-Quran. - Pendekatan diri kepada Allah Swt, yang semula hanya rutin shalat, puasa, dan yang wajib lain-lainnya. Sekarang banyak mengerjakan yang sunat-sunat. Sejak April 1992 Insya Allah rutin mengerjakan puasa Senin & Kamis, dan beberapa tahun terakhir menjaga diri selalu dalam keadaan berudhu.

- Pendidikan, dari yang tidak tamat Sekolah Dasar, sampai mencapai Sarjana dalam dua jurusan, yaitu Jurusan Ekonomi Perusahaan dan Jurusan Akuntansi.

- Sumber Daya Manusia, yang semula hanya dua orang (suami istri), sekarang bertambah dengan 8 orang anak ditambah 8 orang menantu dan 13 orang cucu. Alhamdillah semuanya dengan tingkat pendidikan yang memadai.

- Kesehatan, yang semula sering menderita sakit yang cukup berbahaya, Alhamdullah di usia menjalani 77 tahun belum mempunyai keluhan-keluhan yang berarti. - Rezeki materi yang diberikan Allah Swt, yang hanya dengan modal mesin tik tua berangkat dari kampung pertama kali, Alhamdulillah sampai mempunyai beberapa asset di tiga Kota Jakarta, Bandung, dan Bukittinggi yang Insya Allah dapat diwariskan kepada anak-anak dan cucu-cucu.

- Dan lain-lain terlalu banyak untuk disebut satu persatu. Allah Swt lah yang mengetahui

Untuk Kecamatan dan Desa:

- Bersama perantau Jakarta dan Bandung mendirikan Bank Perkreditan Rakyat Syariah Ampek Angkek Candung berkantor di Tanjung Alam, Bukittinggi. - Bersama ibunda Hj. Saeran binti Datuk Sati mendirikan Taman Pengajian Al Qur`an di Parit Putus berlantai dua dengan nama Baitul Rahim.

Untuk Bangsa dan Negara:

- Ikut berjuang menegakkan dan membela Kemerdekaan Indonesia dalam perjuangan fisik melawan penjajahan Belanda selama masa revolusi.

Tulisan ini juga dimaksudkan memenuhi perintah Allah di dalam Al-Quran Surat ke 93 Ayat 11, yang artinya berbunyi:

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya”

Dengan penuh rasa syukur dan berdoa apabila ada yang saya lakukan selama ini berfaedah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, semoga diikuti oleh anak-anak dan cucu-cucu dibelakang hari. Sehingga misi kita dilahirkan ke dunia untuk mengabdi kepada Nya mendapat Ridha dari Nya.

“DI DUNIA HASANAH, DI AKHIRAT HASANAH DAN TERHINDAR DARI API NERAKA”.

Saya merasa berutang budi dan beterima kasih kepada isteri saya Hj. Lisma Binti Ginam yang dengan sabar dan tabah mendampingi saya dengan segala suka dukanya, sejak mula pernikahan tidak henti-hentinya ikut memikul beban ekonomi, selaku orang Minagkabau dengan motto “anak dipangku, keponakan dibimbing, orang kampung dipatenggangkan”.

Saya bersyukur kepada Allah Swt, yang telah mempercayakan kepada saya 8 orang anak-anak. Relatif semuanya patuh dan tidak ada yang merepotkan orang tuanya, ditambah dengan 8 orang menantu yang kesemuanya baik-baik dan penuh pengertian. Kepada kalian Bapak berpesan, di atas pundak kalian terletak amanah untuk memimpin bahtera hidup ini sesuai dengan keinginan Allah Swt, semoga kamu semua menjadi manusia yang saleh dan salehah, berguna bagi agamanya, berguna bagi bangsanya, minimal berguna bagi keluarganya. Amin !

Kepada almarhum ayahanda Marahimin gelar Pakih Sinaro dan kepada ibunda almarhumah Hj. Saeran binti Datuk Sati. Ananda sungguh berutang budi kepada bapak berdua, dan tidak mungkin dapat dibalas. Ananda yakin seyakin-yakinya bahwa bapak berdua telah bebuat maksimal untuk memenuhi kewajiban bapak berdua kepada ananda, hanya kondisi bapak berdua waktu itu sampai di situ. Semoga Allah membalasnya dan ananda tetap mendoakan bapak dan bunda, karena tanpa bimbingan bapak berdua tak mungkin ananda menikmati kehidupan seperti sekarang ini. Amin. Ya Allah, maafkanlah segala kesalahan ayah bunda kami, dan kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka mengasihi hambamu ini selagi kecil. Amin !

Mungkin didalam tulisan ini terdapat uraian, atau penjelasan kejadian yang tidak persis seperti yang sebenarya diwaktu itu, maka itu bukanlah suatu kebohongan yang disengaja, tetapi adalah suatu ke alpaan dan kekhilafan selaku manusia. Hal tersebut terjadi karena antara kejadian dan penulisan ini, telah berjarak berpuluh dan belasan tahun yang lalu. Mohon dimaklumi dan di maafkan, agar tidak menjadi beban bagi penulis dibelakang hari.

Akhinya kepada Allah kita bertawakkal dan kepadanya kita akan kembali. Hidup di dunia hanya persinggahan sedangkan kehidupan akhirat adalah kehidupan abadi. Saya berterima kasih kepada anak-anak yang memberikan ide dan dorongan beserta memberikan sebuah lap top untuk memepersiapkan tulisan ini. Terima kasih saya juga kepada adinda Satriadi yang telah mendesign cover yang tidak terpikirkan tadinya. Saya juga berterima kssih kepada Hery Guswara yang telah malakukan edit dan print awal tulisan ini. Semoga semunya itu diterima Allah Swt, sebagai amal saleh yang akan mendapat ganjaran di belakang hari. Amin.

Bandung, Februari 2005/Muharam 1426.

KATA SAMBUTAN

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat serta salam kepada manusia paling sempurna nabi kita Muhammad Salallahu Allaihi Wassalam junjungan seluruh manusia serta keluarga, sahabat, dan keturunannya. Wa ba’du.

Alhamdulillah, kami pun turut bersyukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan rampungnya karya tulis dengan jangka waktu kurang dari dua belas bulan. Insya Allah, buku ini dapat menjadi salah satu pengingat kami untuk terus memegang teguh akidah agama Islam seperti yang selalu ayahanda ingatkan dan contohkan kepada kita semua. Buku ini, selain mengingatkan kami putra-putranya kepada kejadian-kejadian dimasa kecil, juga mengungkapkan banyak lagi hal-hal lain yang kami sendiri belum mengetahuinya. Setelah membaca buku ini, kami semakin sadar bahwa perjuangan orang tua kami sangatlah penuh dengan suka, duka, dan cobaan. Hanya keyakinan beliau terhadap luasnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang membuatnya tetap giat beribadah, tegar dalam menghadapi segala cobaan, dan terus menimba ilmu serta tidak mau membuang-buang waktu untuk hal yang tidak bermanfaat. Semua hal tersebut tetap beliau laksanakan sampai sekarang. Subhanallah.

Yang paling berkesan bagi kami setelah membaca buku ini adalah bahwa ayahanda selalu memberikan pendidikan dan contoh untuk mencintai dan menghormati orang tua dalam kondisi apapun, pola pikir beliau yang senantiasa konstruktif dan inovatif terhadap perkembangan umat dan tidak pernah rentan terhadap cita-cita beliau untuk berkarya karena beliau yakin akan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala dan senantiasa menolong niat baik umatnya, dan terbukti dengan berdirinya TPA Baitul Rahim, Kantor Akuntan Publik, dan BPRS Ampek Angkek Candung. Pada saat ini yang kami tau masih ada lagi beberapa rencana besar berskala nasional yang beliau akan beliau jalankan. Ayahanda juga selalu mencoba untuk menjalin tali silaturahmi dengan siapa pun. Selain itu, yang paling utama, ayahanda selalu ajarkan kepada kami agar senantiasa membantu orang yang memerlukan kemudian lupakan apa telah dilakukan, terakhir disiplin dengan waktu merupakan pedoman beliau, terutama dengan sholat lima waktu, seperti yang diajarkan oleh Rasullulah Salallahu Allaihi Wassalam. Beliaupun dengan konsisten menjalankan himbauan beliau dengan cara selalu sholat magrib berjamaah di rumah walaupun sesibuk apapun beliau. Kebiasaan kami sewaktu kecil inipun beliau anjurkan agar diterapkan di keluarga kami, bukan hanya untuk melatih kami berdisiplin dengan waktu tetapi juga untuk melatih kita menjadi imam bagi keluarga dan mempererat hubungan emosional antara sesama anggota keluarga. Subhanallah.

Selain dari pengalaman-pengalaman yang ayahanda ungkapkan dalam buku ini, kami pun sangat terkesan dengan proses pembuatan buku ini. Dalam usianya yang sudah terbilang senja (76 tahun ketika beliau memulai menulis buku ini), beliau masih mau belajar menggunakan komputer, menggunakan saluran internet serta peralatan teknologi informasi lainnya yang diperlukan untuk merampungkan buku ini. Kegiatan ini dilakukan disela-sela Selain dari pengalaman-pengalaman yang ayahanda ungkapkan dalam buku ini, kami pun sangat terkesan dengan proses pembuatan buku ini. Dalam usianya yang sudah terbilang senja (76 tahun ketika beliau memulai menulis buku ini), beliau masih mau belajar menggunakan komputer, menggunakan saluran internet serta peralatan teknologi informasi lainnya yang diperlukan untuk merampungkan buku ini. Kegiatan ini dilakukan disela-sela

Akhir kata, kami mohon maaf jika ada yang kurang berkenan. Kami yakin bahwa ayahanda menulis buku ini tidak bermaksud untuk riya atau niat buruk lainnya tetapi hanya untuk beramar ma’ruf nahi munkar - mengingatkan kita semua terus berjuang di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mudah-mudahan dengan terbitnya buku ini tidak hanya bermanfaat bagi kami, tetapi yang terpenting para pembaca pun dapat mengambil suri tauladan dari perjalanan hidup ayahanda dalam menjalani hidup ini.

Billahi taufik wal hidayah.

Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Ananda: Herry Bustaman Menantu: Novia Reswita Hermen Bustaman Elviana Ezeddin Herdadi Bustaman Nuzlianti Fitri Hersamsi Bustaman Santi Setiawati K. Herlambang Bustaman Alfa Camrilla Herawan Bustaman Intan Dwi Rahmianti Herwin Bustaman Teti Kurniati Herlan Bustaman Aisha Sylvia S.

Sambutan Chaerman Raeman

Membaca perjalanan hidup kakanda mulai dari masa kanak-kanak sampai mempensiunkan diri, yang begitu berliku-liku dan penuh tantangan dan halangan, tentu setiap pembacanya sampai pada kesimpulan, bahwa semua sukses dan keberhasilan yang kakanda peroleh tidak lain berkat keuletan, kejujuran dan kerja keras dengan selalu memohon rahmat dan pertolongan Allah SWT.

Sebagai self-made man, kakanda telah berhasil membuktikannya dengan bermodalkan :

1. Keimanan dan ketaqwaan pada Allah SWT. Dengan mematuhi dan melaksanakan perintah dan ajarannya serta menjauhi segala laranganNya;

2. Menjalin dan memelihara silaturrahmi diantara ummat, terutama antara ummat seiman baik dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam dunia usaha yang pada gilirannya akan menimbulkan rasa kebersamaan dan saling membantu terutama dalam keadaan yang sulit;

3. Menghormati dan mengabdi pada kedua orang tua serta menghormati orang tua dan atau orang yang dituakan dalam lingkungan kerja dan masyarakat serta mengasihi dan membantu dalam lingkungan kerja dan masyarakat serta mengasihi dan membantu yang muda dimana perlu;

4. Berkeyakinan akan pertolongan Allah SWT. dengan bekerja keras, penuh disiplin dan kejujuran sambil memanjatkan doa kepada Allah SWT;

5. Kepedulian yang tinggi terhadap pentingnya ilmu pengetahuan melalui pendidikan sebagai bekal untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Semoga suri tauladan yang kakanda berikan diatas dapat diamalkan dan ditingkatkan oleh anak-anak dan cucu-cucu kakanda serta generasi penerus lainnya.

Wassalam adinda

Chaerman Raeman

PAK BUS MERUPAKAN SOSOK PRIBADI YANG MENARIK DAN MENGESANKAN.

Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat serta inayah-Nya, pada saat ini kita masih diberi kesempatan menyaksikan hasil karya beliau pada usia yang ke 76 tahun.

Pak Bus (begitu panggilan sehari-hari beliau) merupakan sosok pribadi yang menarik dan mengesankan, dengan bobot keilmuan yang cukup tinggi. Kehadiran beliau di tengah keluarga dan masyarakat tidak diragukan lagi lewat perhatian dan bakti sosial yang tinggi kepada anak-anak, keponakan, saudara dekat dan jauh, lingkungan kecil dan besar serta organisasi daerah dan organisasi lainnya..

Pak Bus adalah seorang tokoh yang memiliki kharisma dan senantiasa komitmen dengan perjuangan di dalam mengembangkan syiar Islam dan cenderung bersikap tegas berdasarkan prinsip yang diyakini serta menyatakan pendapatnya tentang berbagai persoalan pelik dengan penuh keikhlasan, kesabaran dan keterus-terangan.

Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa Pak Bus merupakan figur yang dikenal dalam bahasa adat yang berbunyi : “Pai tampek batanyo, pulang tampek babarito,” artinya” Tempat meminta nasehat dan pertimbangan ketika akan meminta pekerjaan dan tempat memberi laporan tatkala pekerjaan selesai.

Pengabdian Pak Bus terhadap pengembangan agama dan kehidupan bangsa dalam mewujudkan insan-insan berkualitas yang bertakwa kepada Allah SWT. Semoga menjadi suri tauladan bagi kita bersama.

Bandung, Mei 2005 Adinda Satriadi

1. MASA PENJAJAHAN BELANDA

Pengaruh Belanda sudah mulai masuk ke Sumatra Barat sejak akhir abad ke 17, yang mulai dari beberapa pelabuhan pantai terutama di Padang. Dari sana VOC bisa mendapatkan emas dan lada yang ditukarkan dengan kain dari India. Inilah awal cikal bakal penjajahan Belanda di Sumatra Barat. Sekalipun sejak itu terus menerus mendapat perlawanan keras dari pemuka-pemuka agama yang terkenal dengan perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bondjol 1772-1864, perlawanan Tuanku nan Renceh di Kamang, Tuanku Pariaman di daerah Maninjau, Lawang, Andalas dan lain-lain.

Penjajahan ini berlangsung terus sampai akhir tahun l941. Jepang mengusir Belanda dari Indonesia. Namun, Indonesia masih tetap menjadi negara jajahan hanya saja dari Pemerintah Belanda pindah ke pemerintah Jepang yang lebih kejam dari penjajahan Belanda.

Umum

Selama tiga setengah abad penjajahan Belanda khususnya di Sumatra Barat tidak banyak kemajuan yang diperdapat masyarakat. Kesempatan sekolah sangat susah kalau bukan dari keturunan pejabat/pegawai Belanda. Pada tahun l920, dari jumlah penduduk Sumatra Barat 1,7 juta orang yang pernah mendapat pendidikan di sekolah hanya berkisar antara 2 – 3 persen saja. Alternatif lainnya yang terbuka adalah mengaji di surau-surau yang mengarahkan tulis baca huruf arab. Tidak aneh kalau pada generasi ayah dan ibu saya umumnya orang buta huruf latin dan umunya mereka mahir menulis tulisan dan membaca tulisan Arab berbahasa Indonesia Melayu.

Penghidupan masyarakat waktu itu umumnya bertani, khusus padi, palawija, dan tanaman muda lainya. Di beberapa daerah seperti di Pasaman, Lubuk Basung, Sijunjung dan lain-lain ada tanaman paksa seperti kopi yang diwajibkan oleh Pemerintah Belanda yang hasilnya dijual murah ke Pemerintah Belanda untuk dikirim ke negaranya.

Kecuali pertanian kehidupan masyarakat lainnya bidang kerajinan yang terkelompok di desa masing-masing. Sebagai contoh di daerah Sungai Puar umumnya kerajinan bidang pandai besi, di Lawang dan Bukit Batabuh kerajinan gula tebu (saka), di Ampek Angkek Candung konpeksi dan sulam-sulaman, dan lain-lain.

Tingkat kehidupan masyarakat sangat rendah. Umumnya mereka memenuhi kehidupan sandang pangan yang primer saja. Gaji seorang guru sekolah rendah 15 Rupiah Belanda (gulden). Dengan gaji sebesar itu mereka sudah cukup untuk hidup mewah di waktu itu. Yang dimaksud hidup mewah adalah punya sepeda 1 buah, ada radio di rumahnya, bisa makan dengan lauk daging atau daging ayam 2-3 kali seminggu. Belum ada motor, atau vespa waktu itu, apalagi mobil. Mobil pribadi waktu itu dimonopoli oleh para pejabat tinggi pemerintah belanda, yang jumlahnya untuk Sumbar hanya ada 1 – 2 orang. Bagi rakyat biasa termasuk keluarga kita cukup hidup dengan sebenggol atau dua setengah sen sehari. Dengan sebenggol sudah dapat membeli beras, lauk pauk, dan perlengkapan dapur seperlunya untuk hidup sehari.

Keadaan Kampung dan Keluarga Kita.

Masyarakat kampung kitiga waktu itu umumnya bertani, khusus padi, sayur-sayuran, dan tanaman muda lainnya. Kebetulan di kampung kita tidak ada tanaman paksa seperti kopi yang diwajibkan oleh Pemerintah Belanda. Kegiatan masyarakat lainnya di kampung kita bagi laki-laki adalah kerajinan membuat terompa kayu yang disebut tangkelek. Di waktu itu alas kaki kecuali sepatu dan sendal kulit, tangkelek adalah alternatif yang disenangi, karena murah dan praktis untuk keperluan sehari-hari. Sendal jepit belum ada waktu itu. Setiap pengrajin rata-rata dapat menghasilkan 4 kodi tangkelek seminggu, yang dijual di pasar Bukittingi setiap hari Sabtu dan hari Rabu, karena dua hari itu merupakan hari pasar di kota Bukittinggi.

Hari pasar adalah hari orang ramai jual beli di pasar. Kecuali dua hari itu relatif Bukittinggi sepi dari pembeli dan penjual, walaupun toko-toko dan kedai-kedai tetap dibuka. Setiap Jumat sore sampai malam kalau kita berdiri di simpang Parit Putus maka kita akan melihat ratusan kodi tangkelek diangkut dengan gerobak roda tiga yang didorong oleh manusia menuju Pasar Bukittinggi.Paling sedikit ada 60% laki-laki di Parit Putus yang menggantungkan kehidupannya dalam kerajinan tangkelek ini.

Bagi wanita dan ibu-ibu kita di kampung umumnya membuat dan menjual karupuk baguak. Proses pembuatan karupuk baguak ini melalui beberapa langkah. Langkah pertama ialah tepung ubi itu diaduk dengan air dan diberi bumbu yang diperlukan. Digulung dalam bentuk lemang dimasukkan ke dalam blek minyak tanah yang bersih dan direbus sampai matang. Setelah matang lemang-lemang tersebut di iris-iris dan dijemur dengan meng atai di atas tikar di lapangan yang kena cahaya matahari. Menjemur itu kalau sedang panas terik bisa sehari kering siap di goreng, jika tidak ada panas terik biasanya memerlukan waktu dua hari.

Langkah berikutnya adalah menggoreng dan memasukkannya ke dalam katiding berukuran bundar diameter 1 meter dengan tinggi juga 1 meter yang tiap-tiap hari Sabtu dan hari Rabu subuh-subuh dijunjung di kepala dengan jalan kaki menuju pasar Bukittinggi berjarak 4 km. Pulang sore-sore mendekati magrib dengan tetap jalan kaki dengan katiding di kepala masing-masing, yang sudah diisi dengan bahan makanan mentah untuk dimasak sampai hari pasar berikutnya. Kira-kira 20% dari ibu-ibu kita yang ikut membantu kehidupan keluarganya memilih profesi ini, sedangkan yang lainnya ada juga yang memilih profesi menerima upah jahitan yang diterima dari para pengusaha konpeksi yang umumnya berada di luar kampung kita.

Ini semuanya saya ceritakan dengan maksud agar anak-anak dan cucu-cucu mengetahui bagaimana sulitnya masyarakat kita mencari kehidupan di masa penjajahan. Alahamdulillah sekarang sudah agak membaik, tetapi masih ketinggalan dari daerah-daerah lain. Insya Allah anak-anak dan cucu-cucu saya di belakang hari diberi kekuatan oleh Allah untuk ikut memikirkan kemajuan masyarakat di kampung kita.

2. SILSILAH KETURUNAN

Allah mentakdirkan kami (Bapak dan Mamah) lahir di alam Minangkabau. Ada sastrawan yang berpendapat bahwa luas alam Minangkabau itu identik dengan wilayah Propinsi Sumatra Barat, dengan inti tiga Kabupaten. Ketiga Kabupaten tersebut adalah Kabupaten Agam dengan Ibu kotanya Bukittinggi (dulu). Kabupaten Limapuluh Kota dengan ibu kotanya Payakumbuh, dan Kabupaten Tanah Datar dengan ibu kotanya Batu Sangkar. Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa alam Minangkabau itu hanya tiga kabupaten inti itu saja. Biarkanlah perbedaan itu tetap menjadi perbedaan karena tidak diperlukan dalam silsilah kita ini.

Yang perlu kita perhatikan bahwa di alam Minangkabau tradisional menyimpan beberapa keunikan dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia maupun di dunia umumnya. Di antara keunikan itu adalah:

Bidang keturunan; Keturunan di Minangkabau berdasarkan garis ibu, bukan berdasarkan garis bapak, matrineal bukan patrineal. Keunikan ini pernah saya tanyakan kepada Dr. Jamil di Bukittinggi. Beliau menjawab, karena laki-laki Minangkabau itu pada umumnya perantau, dan kadang-kadang meninggalkan isterinya di kampung bertahun-tahun, hanya sekali-sekali saja pulang kekampung. Setelah dia berhasil di rantau baru membawa istrinya ke rantau. Bila dalam kondisi demikian si suami yang sedang dirantau mendapat fitnah, yang mengatakan bahwa isterinya kelihatan berselingkuh dengan laki-laki lain, maka bisa saja si suami membantah bahwa anak yang dikandung atau yang dilahirkan isterinya bukan anaknya. Tetapi si istri dalam hal bagaimanapun tidak mungkin memungkiri bahwa anak yang dia lahirkan itu bukan anaknya.

Bidang warisan; Yang berhak menerima warisan dari harta pusaka tinggi adalah anak wanita 100%. Anak laki-laki tidak berhak sedikit pun. Hak laki-laki terhadap harta tinggi adalah memelihara dan mengambil hasilnya sekadar yang diperlukan untuk kehidupannya. Yang dimakud dengan harta tinggi adalah harta pusaka yang diterima turun temurun yang berasal dari harta pasukuan. Bukan harta yang dapat dihasilkan oleh ibu dan bapak dalam perkawinan yang disebut harta pusaka rendah. Untuk harta pusaka rendah ini berlaku hukum waris menurut Islam.

Kedua jenis keunikan ini terlihat bagaimana masyarakat Minangkabau menempatkan kaum perempuan pada tempat yang paling aman secara ekonomis. Oleh sebab itu seorang wanita di Minangkabau jarang sekali yang tidak punya tanah dan rumah untuk tempat tinggal, karena kepentingan papan dijamin oleh adat sejak dahulu. Sekarang sudah mulai berubah sesuai dengan kemajuan pendidikan dan pemikiran dan lain-lain.

Tiap-tiap wanita asli di Minangkabau pasti mempunyai suku. Jika dia tidak dapat menyebut sukunya berarti dia bukan wanita berasal dari Minangkabau. Suku atau pasukuan menunjukkan identitas asal turunan yang satu nenek dulunya, mungkin beberapa lapis ke atas. Bila satu pasukuan dan berada dalam Datuk yang sama dianggap masih saudara dekat Tiap-tiap wanita asli di Minangkabau pasti mempunyai suku. Jika dia tidak dapat menyebut sukunya berarti dia bukan wanita berasal dari Minangkabau. Suku atau pasukuan menunjukkan identitas asal turunan yang satu nenek dulunya, mungkin beberapa lapis ke atas. Bila satu pasukuan dan berada dalam Datuk yang sama dianggap masih saudara dekat

Di kampung kita ada 6 buah suku yaitu suku Koto, (suku saya), suku Guci (suku mamah), suku Simabur (suku Bapak saya), suku Piliang (suku bapak mamah), suku Jambak (suku datok saya dari pihak bapak), dan suku Pisang yang di kampung kita hanya sedikit, dan kebetulan kita tidak ada ikatan perkawinan dengan suku Pisang ini. Jenis suku ini tidak selalu sama di tiap-tiap kampung, kadang-kadang di kampung kita ada, di kampung lain tidak ada, dan dikampung lain ada, di kampung kita tidak ada.

Pihak Ayah.

Ayah saya bernama Marahimin gelar Pakih Sinaro. Beliau adalah guru mengaji di desa kita Parit Putus. Kedisiplinan yang diajarkan dan diterapkan kepada kami sangat berpengaruh dan mendukung kehidupan dan karir saya. Insya Allah sampai ke akhir hayat. Bila beliau tidak senang dengan sesuatu pekerjaan kami, beliau menegur dengan tiga langkah. Pertama beliau memperhatikan saja pekerjaan kami itu tanpa berbicara sedikit pun. Beliau mengharapkan kita mengerti bahwa pekerjaan itu tidak beliau sukai dan kita berhenti dari pekerjaan itu. Beliau tidak menjelaskan dan memberikan argumentasi kenapa pekerjaan itu tidak beliau senangi, kita harus bisa mencari dan menduga-duga sendiri kenapa beliau tidak senang dengan pekerjaan itu. Bila kita masih belum menghentikan pekerjaan itu.

Langkah berikutnya ialah dengan menyindir. Pada satu ketika semasa penjajahan Jepang (sebelum kemerdekaan) di kampung kita sedang musim orang memelihara anjing untuk berburu babi di gunung merapi dan di tempat lain. Sayapun ikut-ikutan memelihara anjing seperti teman-teman seangkatan waktu itu. Salah satu sore anjing itu, saya bawa jalan-jalan ke simpang Parit Putus seakan-akan ingin pamer ke teman-teman bahwa saya punya anjing bagus. Ayah saya waktu itu sedang berdagang rokok di salah satu petak kedai kepunyaan beliau di simpang Parit Putus.

Melihat saya memegang tali anjing, beliau panggil saya dan suruh saya menunggu karena ada yang mau dikatakan. Bukan saya yang dipanggil ke tempat beliau tetapi beliau yang mendatangi saya, karena di kedai beliau waktu itu sedang banyak orang. Setelah beliau sampai dekat saya, lama beliau memperhatikan anjing saya. Saya sudah merasakan bahwa masalahnya adalah masalah anjing yang mungkin beliau tidak senang. Badan saya sudah mulai panas dingin dan siap-siap menerima amarah beliau. Dalam keheningan itu beliau berkata. “Lain kali kalau mau membeli sapi sebaiknya kasih tahu saya dahulu, jangan pandai- pandai saja membeli sendiri”. Setelah mengatakan itu beliau langsung pergi.

Rasanya berat sekali kaki ini dilangkahkan. Dengan rasa penuh penyesalan saya sampai juga ke rumah membawa anjing itu. Besoknya anjing itu saya berikan kepada orang lain. Jika kedua langkah tersebut tidak mempan, maka langkah terakhir ialah beliau tidak lagi menegur-negur, kalau disapa beliau diam saja dan ini biasanya memakan waktu berbulan- bulan. Beliau jarang sekali memukul baik dengan tangan maupun dengan rotan. Selama saya tahu, saya hanya sekali kena tampar di paha saya, karena bermain sepeda dipagi hari semasa saya berumur lebih kurang 10 tahun.

Tidak lama setelah itu, saya ceritakan ke abang Ahmad Tadjuddin tentang kejadian itu, beliau mendengar langsung tertawa dan bercerita bahwa beliau pun pernah mendapat sindiran yang hampir sama. Cerita beliau begini. Abang Ahmad Tadjuddin memang tidak senang merokok, hanya saja pada satu ketika beliau iseng diberi teman rokok, langsung beliau bakar dan menghisap rokok itu. Kebetulan bapak lewat di situ dan beliau melihat abang merokok. Beliau pura-pura minta api dari rokok abang tersebut. Abang menyangka bahwa bapak betul-betul akan merokok dan tidak membawa korek api.

Memang di kampung kita biasa orang meminta api dari api rokok orang yang sedang dihisap. Setelah menyalakan rokoknya sendiri, rokok orang tersebut dikembalikan lagi ke pemiliknya Apa yang terjadi, ternyata setelah bapak menyalakan api rokok bapak, rokok abang yang dipinjam tadi tidak dikembalikan kepada abang, tetapi rokok itu beliau injak- injak di hadapan abang tanpa bicara sepatah pun, dan langsung pergi. Demikian sedikit pengenalan tentang bapak kami. Semoga Allah menerima segala amal ibadah beliau dan mengampuni segala dosa beliau. Amin !.

Suku bapak Simabur, nama ibunda beliau adalah Kambeh dan nama bapak beliau adalah Khalid dari suku Jambak. Beliau berempat bersaudara, yang paling tua wanita nama Leha yaitu nenek maktuo Nurbeiti sekarang. Nomor dua laki-laki nama Kari Ayat yaitu ayahnya abang Ismail Hasan yang di Kuala Lumpur. Nomor tiga laki-laki nama Sakban ayahnya pak Toni, dan yang nomor empat atau yang bungsu adalah ayah saya Marahimin gelar Pakih Sinaro. Tidak ada catatan tentang kelahiran dan kematian beliau, hanya saja yang mendekati kebenaran adalah kematian beliau pada bulan Desember l950 dalam umur lebih kurang 60 tahun. Jika dihitung mundur maka kira-kira beliau lahir tahun 1890.

Dari satu ayah, saya bertiga bersaudara yang hidup sampai besar. Yang paling tua adalah kakanda Ahmad Tadjuddin almarhum yaitu bapaknya Herawarti dan lain-lain. Nomor dua adalah saya dan yang bungsu adalah wanita nama Djamilah yang sekarang ada di Duri Riau.

Pihak Ibu

Saya dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Saeran. Saya bangga, bahagia, dan bersyukur dilahirkan oleh seorang ibu yang berbudi mulia, walaupun buta huruf latin tetapi tidak tulisan dan bacaan Arab. Kami anak-anak memanggil beliau dengan sebutan biai.

Menurut perkiraan, beliau lahir tahun 1907 dan meninggal pada tanggal 12 April l992 lebih kurang jam 5.00 pagi sedang berkumandang azan Subuh di mesjid dekat Rumah Sakit Yarsi Bukittinggi. Kalau tanggal meninggal beliau saya tahu pasti karena saya ikut melepas beliau waktu itu, dan saya catat tanggal tersebut. Beliau dilahirkan sebagai anak tunggal (tidak punya saudara sejak lahir) dari seorang ibu bernama Siti Urai dan seorang ayah bergelar Datuk Sati suku Piliang berasal dari Desa Ampang Gadang.

1 Nenek Siti Urai 1968

Menjelang umur menjelang sembilan tahun saya sudah berpisah dengan beliau pergi mengikuti ayah saya di Kota Tinggi Malaysia dan sekolah di Johore Bahru. Seumur itu tidak banyak yang dapat terekam oleh otak yang dapat diceritakan dalam buku ini. Ketemu lagi dengan beliau menjelang umur lima belas tahun setelah pulang dari Johore Bahru tahun 1943. Sejak itulah saya kembali dekat dan mengenal beliau. Tidak berlebihan kalau di atas saya mengatakan beliau adalah seorang ibu yang berbudi mulia, minimal menurut pandangan saya dengan kesan-kesan sebagai berikut:

1. Beliau adalah seorang pekerja sosial tingkat kampung dan kenagarian khusus bidang keagamaan, walaupun beliau tidak pernah sekolah agama kecuali mengaji di surau- surau. Bacaan Al-Quran beliau bagus oleh karena itu banyak anak-anak gadis di zaman itu belajar mengaji ke rumah beliau malam-malam hari (sebelum ada taman bacaan Al-Quran diadakan). Waktu itu mengajar mengaji ikhlas karena Allah semata. Setiap kegiatan mesjid yang dapat dilakukan oleh wanita beliau selalu berada di depan semampu beliau baik tenaga maupun materi. Bila pengurus mesjid mengundang mubalig-mubalig mengaji ke Kampung, beliau selalu menjamu mubalig tersebut beserta panitia untuk makan dirumah. Alhamdulillah sejak kemerdekaan keluarga kami tidak lagi membeli beras dari tahun ke tahun, sudah terpenuhi dari hasil sawah pusaka yang disebut harta tinggi.

2. Beliau adalah seorang penyabar. Sejak saya berumur limabelas tahun sampai beliau meninggal belum pernah saya mendengar atau melihat beliau marah kepada kami atau kepada siapa pun. Kalau ada sesuatu perbuatan kami yang salah paling-paling beliau menasehati dengan baik dan mengatakan (“kalau tidak percaya lihat saja nanti yang akan merasakan akibatnya kalian juga”) Pernah sekali saya melihat beliau berselisih dengan pemilik tanah sebelah jalan raya rumah beliau di kampung. Menurut beliau terlalu lebar di patok oleh pihak sebelah sehingga mengambil tanah beliau sekitar satu meter ke dalam dengan panjang lebih kurang 30 meter. Akhirnya beliau mengalah dan mengatakan patok sajalah seberapa menurut kamu, karena tanah ini kan milik Allah yang nanti akan kita pertanggungjawabkan. Redalah perselisihan waktu itu sekali pun orang itu sudah mengeluarkan kata-kata kasar, tetapi tidak beliau ladeni. Orang itu mematok yang menurut beliau telah dirugikan lebih kurang 30 M2. Setelah orang itu pergi saya tanyakan kepada beliau kenapa biai diam saja. Beliau menjawab singkat, “kalau orang sudah gila, masa kita menjadi gila pula”. Setelah saya tua sekarang baru saya tahu bahwa yang beliau amalkan adalah ayat Al-Quran S.3.134 yang mengatakan ciri-ciri orang bertakwa adalah antara lain menahan diri dari amarah.

3. Suka memberi dan tidak kikir. Beliau sering mengatakan kepada kami bahwa dunia ini enaknya hanya sampai di kerongkongan saja, setelah itu habis. Sedangkan yang untuk kita adalah apa yang kita berikan atau kita sedekahkan itu. Ini beliau buktikan sampai akhir hayat beliau masih menampung seorang anak yatim tetangga di depan rumah beliau di kampung, sekali pun untuk biaya pakainnya dan uang sekolahnya beliau mintakan dari anak-anak beliau.

4. Yang paling tidak dapat saya lupakan dari kepribadian beliau adalah penggunaan waktu. Tidak pernah saya melihat beliau duduk bermenung, tanpa sesuatu yang beliau kerjakan, minimal Al-Quran berikut tafsirnya ada di tangan beliau. Pada salah satu kunjungan beliau ke Jakarta waktu itu ada tafsir Al-Quran yang diterbitkan oleh Kementerian Agama terdiri dari 4 jilid dengan huruf latin, saya belikan untuk beliau. Dari tafsir itulah beliau belajar membaca huruf latin dengan Indra di Kampung sampai pandai. Tafsir itu yang beliau bawa ke mana-mana dan membaca berkali-kali sampai lusuh. Mungkin sekarang masih ada tafsir itu di kampung, mudah-mudahan masih dibaca oleh anak-cucu beliau.

2. Tafsir yang digunakan

Saya berdoa semoga teladan-teladan yang positif yang beliau tinggalkan kepada saya dapat pula diikuti oleh anak-anak dan cucu-cucu saya dibelakang hari. Selaku manusia beliau tentu banyak juga kesalahan dan kelemahan, tetapi untuk itu saya berdoa semoga kesalahan dan kelemahan beliau Allah mengampuni dan menempatkan arwah beliau bersama-sama dengan orang-orang yang di ridhai Nya. Amin.!

3. MASA KANAK-KANAK

Menurut ibunda saya, saya lahir tanggal 15 Agustus l928, hari Selasa tengah malam. Penentuan tanggal tersebut bukan atas dasar catatan tertulis yang dikenal waktu itu dengan istilah hijrat atau berdasarkan akte kelahiran seperti zaman sekarang. Tetapi ibunda mengatakan bahwa kamu lahir 11 hari setelah si Agusman lahir. Agusman adalah tetangga kami di kampung, anak seorang guru Sekolah Sambungan (Sekolah Dasar sekarang).

Setelah saya telusuri dan melihat hijrat sdr Agusman diketahui bahwa dia lahir tanggal 4 Agustus l928. Dengan menghitung 11 hari kedepan setelah tanggal 4 Agustus maka ketemulah tanggal 15 Agustus l928 sebagai tanggal yang diyakni sebagai tanggal kelahiran saya. Tanggal yang pasti Allah lah yang maha mengetahui.

Saya baru mengetahui bahwa saya lahir tanggal 15 Agustus l928, seperti diatas setalah saya pulang dari Malaysia pada tahun l942. Setelah saya berumur 14 tahun, waktu sekolah di Malaysia, tanggal kelahiran saya dikatakan tanggal 8 Agustus l928.

Nama asal yang diberikan oleh orang tua saya waktu lahir adalah Bustamam, bukan Bustaman. Waktu sekolah di Malaysia nama saya tercatat, Bustamam bin Pakih Sinaro, karena nama orang tua saya di dalam Kartu Penduduk disana adalah Paikih Sinaro. Sekolah di Bukittinggi dan di SMA I Jalan Budi Utomo Jakarta (yang hanyaa beberapa bulan saja) menggunakan nama Bustamam saja, tanpa embel-embel dibelakangnya.

Tambahan Rahim dibelakang adalah potongan akhir nama orang tua saya dari asal Marahimin, dengan menghilangkan dua huruf awal dan dua huruf akhir, yang berarti penyayang. Itu baru dimulai pada saat kursus tata buku Bond A di Jakarta tahun 1952, setelah berumur 23 tahun. Lengkapnya adalah Bustamam Rahim. Nama ini tetap sampai pada ijazah Fakultas Sosial Politik di UNPAD jurusan Adiministrasi Niaga, tahun 1966. Karena jurusan Administrasi Niaga di Fakultas Sosial Polotik di bekukan tahun l969, maka semua ijazah Administrasi Niaga yang pernah di terbitkan di konversi menjadi ijazah Jurusan Ekonomi Perusahaan dalam Fakultas Ekonomi UNPAD.

Nama saya berobah menjadi Bustaman Rahim, pada saat menerima ijazah Jurusan Akuntansi, akibat salah tulis oleh sekretariat Fakultas Ekonomi UNPAD. Pada waktu menerima ijazah tersebut tidak saya perhatikan. Diketahui salah tulis pada saat mendaftar di Departemen Keuangan untuk mendapatkan registrasi negara. Disana dipertanyakan, mana yang benar, Bustamam atau Bustaman?. Saya pikir kalau akan diperbaiki akan memakan waktu lama lagi, karena harus di urus ke Sekretariat Fakultas Ekonomi UNPAD. Saya katakan yang benar adalah Bustamam, tetapi karena sudah terlanjur, biar saja di lanjutkan dengan nama Bustaman Rahim, mungkin ada hikmahnya.

Di Parit Putus

Menurut ibunda, ayah saya meninggalkan ibu sewaktu saya masih berumur beberapa bulan. Saya termasuk salah seorang di antara sekian banyak anak-anak di kampung kita yang tidak sempat merasakan kasih sayang dari seorang bapak dimasa kecil. Pertama kali saya bertemu dan mengenal ayah setelah saya menjelang umur 9 tahun di tahun l937 di Kota Tinggi, Johore Baharu.

Alhamdulillah saya merasakan kasih sayang yang luar biasa dari nenek saya, mungkin karena saya adalah cucu pertama beliau waktu itu, sedangkan ibu saya sibuk dengan mencari nafkah sebagai pembuat dan penjual kerupuk baguak. Kerupuk baguak adalah kerupuk yang dibuat dari tepung ubi kayu. Bahan bakunya dapat dibeli di pasar Bukittinggi. Pembuat dan penjual karupuak baguak sudah menjadi profesi ibu-ibu maupun gadis-gadis di kampung kita dizaman itu.

Begitu sayangnya nenek kepada saya, sampai saya berumur 8 tahun. Kalau makan masih disuapin, bahkan beliau telaten menyuapi saya, sekali pun saya sedang tidur. Saya pun terlatih makan sedang terlalap tidur. Di luar sadar mulut terbuka setelah habis nasi yang dikunyah yang berada di dalam mulut, dan menutup kembali setelah nasi masuk ke mulut. Demikian seterusnya sampai kenyang, dan setelah kenyang saya pun terbangun. Semoga Allah menerima segala amal ibadah beliau dan mengampuni segala kesalahan beliau. Amin !

Saya tidak sempat membalas jasa beliau walaupun agak sedikit. Hanya ada satu kenang- kenangan manis yang mengobati penasaran saya itu. Dalam tahun l966, kebetulan beliau menderita penyakit kulit di leher dan tengkuk. Penyakit kulit tersebut begitu menyakitkan dan merasa sangat tersiksa sampai beliau menceritakan kepada ibunda, kalau si Tamam mau membawa saya ke Bandung untuk mengobati penyakit saya ini mau saya pergi berobat ke sana. Oleh ibunda permintaan nenek ini beliau sampaikan kepada saya. Mendengar perkataan nenek tersebut alangkah gembiranya hati saya, karena nenek sejak gadis beliau tidak pernah pergi ke mana-mana jangankan ke Bandung, ke pasar Bukittinggi saja beliau jarang sekali pergi. Kalau pergi ke pasar Bukittinggi beliau memilih jalan kaki tidak pernah naik bendi (delman). Kendaraan di kampung kita paling top waktu iti baru tingkat bendi, tidak ada oplet seperti sekarang.

Begitgu mendapat berita itu segera saya kirimkan uang untuk ticket dan lain-lain. Ibunda yang mengantarkan beliau naik Garuda. Pesawat Garuda pun hanya dua kali dalam seminggu, tidak seperti sekarang. Setelah sampai di Bandung keesokan harinya saya bawa beliau ke Dokter spesialis penyakit kulit di Jalan Pungkur. Menurut Dokter tersebut beliau menderita penyhakit TBC kulit. Alhamdulillah tidak sampai 2 minggu berobat banyak sekali kemajuan, beliau tidak merasakan sakit lagi. Tidak sampai satu bulan penyakit beliau sudah sembuh dan menurut Dokter sudah boleh pulang ke Bukittinggi dengan dibekali obat-obat cadangan. Sejak itu beliau sudah tidak betah lagi tinggal di Bandung. Setiap hari beliau minta pulang dan akhirnya saya siapkan ticket Garuda untuk berdua dengan ibunda, dan saya antarkan sampai ke air port Kemayoran Jakarta.

Umur 6 tahun saya dimasukkan ke sekolah oleh paktuo saya yang bernama pak Sakban (bapaknya Sartuni) bersama-sama dengan anaknya bernama Nawawi di Sekolah Standar kepunyaan .Muhammadiah. Jarak antara sekolah dengan rumah kita di Kampung kira-kira 2 km, yaitu di desa Pinang Baririk Liwat Tanjung Alam ke arah Payakumbuh. Saya kebetulan satu kelas dengan Proff. DR Zakiah Drajat, hanya saja otak yang berbeda. Dia sampai mencapai gelar Prof. Dr, sedangkan saya begini-begini saja. Namun demikian saya bersyukur kepada Allah Swt, bila saya bandingkan dengan teman-teman saya seangkatan yang lain.

Alhamdulillah kakak bapak saya sungguh memperhatikan keperluan sekolah saya di waktu itu. Kalau pada saat menghadapi hari lebaran beliau membawa saya bersama-sama dengan anak-anaknya (Nawawi dan Sartuni) ke pasar Bukittinggi membeli baju, sepatu, dan kopiah baru. Dalam memilih kopiah dan sepatu beliau menyarankan untuk memilih ukuran yang lebih besar supaya satu atau dua tahun ke depan masih dapat dipergunakan dan tidak perlu membeli kopiah dan sepatu baru. Kaki dan kepala anak-anak akan cepat bertambah besar dan akan pas di tahun mendatang kata beliau.

Kami sebagai anak-anak menerima saja alasan beliau itu tanpa berani memprotes sedikitpun. Kami pun tidak merasa malu bahkan merasa bangga memakai sepatu dan kopiah yang lebih besar dari ukuran sebenarnya pada hari lebaran. Pola pemikiran dan kehidupan demikian tidak hanya pada keluarga kita saja tetapi sudah menyeluruh, karena kehidupan yang serba susah.

Saya sekolah di Sekolah Standar tidak sampai tamat, karena dalam tahun l937 umur 9 tahun, sedang duduk di kelas tiga saya di bawa ke Malaysia oleh ibu tiri saya. Ibu tiri saya adalah ibunda dari kakanda Ahmad Tajudin (ayah Herawati Taman Sari) bernama Raiyah. Beliau pulang ke Bukitinggi dari Kota Tinggi (Johore Baharu) untuk menjemput kakanda Jaraniah yang akan di djodohkan dengan kakanda Ahmad Tadjuddin yang waktu itu menunggu di Kota Tinggi.

Ibu saya tidak keberatan melepas saya pergi merantau, karena beliau mengharapkan Insya Allah saya menjadi anak yang berguna di belakang hari. Hanya saja nenek saya yang sedih berpisah. Konon kabarnya setiap kali beliau ingat saya beliau menangis sedih,dan setiap mendengar ada orang yang akan berangkat ke Malaysia beliau selalu membuatkan rendang itik untuk saya, karena itulah makanan favorit saya.

Kami berangkat ke Malaysia berempat orang, yaitu bunda Raiyah, kakanda Jaraniah, adik ibunda Basir namanya dan saya sendiri. Waktu itu perjalanan dari Bukittinggi ke Kota Tinggi memakan waktu 7 hari karena transportasi belum seperti sekarang. Contohnya dari Bukittinggi ke Pekanbaru saja memakan waktu 2 hari. Di Pekanbaru menunggu dulu perahu layar yang akan berangkat ke Bengkalis, karena di Bengkalis ada adik ibunda Raiyah yang bekerja di Bea Cukai, mamanda Darwis nama beliau. Di sana kami bermalam 2 malam, setelah itu baru berangkat ke Singapore juga dengan perahu kecil, yang hanya dapat memuat belasan orang.

Dari Singapore kami terus ke Johore Baharu di Kampung Wadi Hasan rumah kakanda Dasima (ibunda M.Noor Jamil). Suami beliau adalah Mohamad Jamil, guru sekolah Dari Singapore kami terus ke Johore Baharu di Kampung Wadi Hasan rumah kakanda Dasima (ibunda M.Noor Jamil). Suami beliau adalah Mohamad Jamil, guru sekolah

Sekolah Melayu di Batu Empat Kota Tinggi Malaysia.

Itulah pertemuan dan perkenalan saya pertama kali dengan ayah. Ayah saya orangnya pendiam. Beliau berbicara sekadar yang perlu saja. Tidak ada canda dan guyon seperti bapak-bapak zaman sekarang dengan anak-anaknya. Saya lebih banyak berkomunikasi dengan ibunda Raiyah, kakanda Ahmad Tadjudddin. Dari ibunda Raiyah saya merasakan kasih sayang seperti ibu kandung sendiri. Kepada beliaulah saya mengadu segala sesuatu dan tempat meminta apa-apa yang diperlukan..Tidak demikian halnya dengan ayah saya.

Ayah saya waktu itu berjualan buku-buku agama yang beliau bawa dari Bukittinggi. Beliau mempunyai seorang teman bernama Moh. Zen yang menjadi guru di sekolah Melayu di Lukut Batu Empat. Moh. Zen juga berasal dari Sumatra Barat. Jarak antara Batu Empat ke Lukut lebih kurang 1 mile, hanya saja jalannya menuju sekolah masih hutan belukar. Kalau mau berangkat atau pulang sekolah mesti menunggu rombongan empat atau lima orang, karena masih ada binatang-binatang buas di sana. Atas bantuan Moh. Zen saya lansung di terima sekolah, kalau tidak salah waktu itu pertengahan tahun ajaran. Pada kenaikan kelas saya di pindahkan ke sekolah Inggeris di Johore Bahru dikenal dengan Ngeheng Primary School. Saya di titipkan di rumah kakanda Dasima di Kampung Wadi Hasan. Jarak antara Kampung Wadi Hasan dan Ngeheng Primary School hanya lebih kurang 1 mile.

Sekolah Inggris Di Johore Baharu Malaysia

Ngeheng Primary School adalah tingkat pertama dari sembilan tingkat yang harus diliwati untuk mendapatkan ijazah English College School yang bergengsi di masa itu. Datok Husen Onn Mantan Perdana Menteri Malaysia adalah salah seorang almamater English College School. Lanjutan dari English College School adalah Stanford University di England atau setingkatnya. Untuk di Malaysia waktu itu belum ada yang lebih tinggi dari itu. Sekolah ini khusus untuk pria saja dan disediakan untuk warga Negara Malaysia, atau dapat juga melalui bersumpah bahwa yang bersangkutan benar kelahiran Malaysia.

Sebelum saya masuk sekolah di situ kebetulan anak tiri dari kakanda Dasima nama Anwar bin Jamil telah lebih dahulu sekolah di situ dengan cara yang sama. Dia satu kelas di atas saya dan lokasi sekolahnya di Bukit Zahrah. Untuk kelas 2 sampai kelas 4 lokasi sekolahnya di Bukit Zahrah. Kelas 5 sampai 9 lokasinya di English College School di pinggir pantai Johore Baharu.

Di Ngeheng Primary School ada ketentuan bagi pelajar yang mendapatkan ranking 1 sampai 3 ujian akhir langsung naik kelas 3. Tidak melalui kelas 2 dulu. Alhamdulillah saya termasuk dalam ranking yang tiga itu sehingga saya langsung naik ke kelas 3 dan saya pun Di Ngeheng Primary School ada ketentuan bagi pelajar yang mendapatkan ranking 1 sampai 3 ujian akhir langsung naik kelas 3. Tidak melalui kelas 2 dulu. Alhamdulillah saya termasuk dalam ranking yang tiga itu sehingga saya langsung naik ke kelas 3 dan saya pun

Lokasi Bukit Zahrah ini lebih jauh dari Ngeheng Primary School. Lebih kurang 2 mile dari Kampong Wadi Hasan. Tetapi karena sudah ada teman untuk sama-sama pergi dan pulang maka jauhnya itu tidak kami rasakan.

Uang sekolah di Bukit Zahrah 1 Ringgit 10 sen Malaysia dengan rincian 1 Ringgit untuk uang sekolah dan buku-buku pelajaran, buku-buku tulis, dan alat-alat tulis lengkap untuk satu tahun pelajaran, sehingga tidak ada yang perlu dibeli. Sedangkan yang 10 sen, adalah untuk uang olah raga termasuk pakaian olah raga. Murid-murid di sekolah dibagi empat kelompok yang ditandai dengan warna hijau, kuning, biru, dan merah. Setiap tahun dari keempat kelompok ini di perlombakan dan mencari juara ditiap-tiap jenis oleh raga. Yang menang mendapat piala bergilir merupakan suatu kebanggaan. Saya termasuk kelompok kuning yang kadang-kadang kalah dan kadang-kadang menang.

Setiap Jumat kira-kira jam 5 pagi saya dan Anwar sudah pergi mengunjungi 3 buah rumah Syekh keturunan Arab yang tempatnya berjauhan. Rumah syekh ini adalah rumah panggung. Jadi kita menaiki tangga dulu baru sampai ke rumah syekh tersebut. Di tengah- tengah rumah, syekh duduk di kursi sambil membagi-bagi uang sebesar 10 sen ringgit per anak. Anak-anak setelah menerima duit mencium tangan syekh tersebut dengan ucapan terima kasih langsung pulang untuk pergi lagi ke rumah syekh yang lain. Di tangga sudah ratusan anak-anak yang antri menunggu giliran untuk menerima sedekah sebesar 10 sen setiap anak. Tidak ada pikiran untuk kembali antri di belakang untuk mendapatkan pembagian 10 sen berikutnya. Anak-anak takut konon syekh itu adalah orang keramat yang setelah membagikan uang-uang tersebut, kabarnya dia kembali ke mekah dan nanti hari Jumat depan datang lagi untuk membagi-bagikan sedekah kepada anak-anak. Wallahu Aklam (Allah yang Maha Tahu).

Rumah kakanda Dasima tidak begitu besar, hanya terdiri dari satu ruangan depan ukuran lebih kurang 6 x 8 mt dan satu kamar tidur ukuran lebih kurang 6 x 6 mt, dapur, dan kamar mandi. Yang tinggal di rumah tersebut terdiri dari ibunda Sawiyah (ibunda kakanda Dasima) sekali sekali pak tuo saya bernama Kari Hayat (Bapaknya kakanda Ismail Hassan dan kakanda Dasima) kakanda Ismail Hassan, Anwar Jamil, dan saya.

Anak kakanda Dasima waktu itu baru ada seorang yaitu M.Noor Jamil yang masih bayi. Ibunda Sawiyah dan lainnya mengambil tempat tidur di ruang depan dengan mengembangkan kasur waktu mau tidur dan menggulungnya di pagi hari. Saya dan Anwar mengambil tempat di gang antara ruang depan dan dapur dengan bekal tikar dan bantal. Malam di kembangkan dan pagi di gulung dan di simpan dikamar kakanda Dasima.

Waktu itu orang-orang belum mengenal istilah pembantu rumah tangga. Kakanda Dasima hanya dibantu oleh seorang perempuan Cina khusus mencuci dan menstrika pakaian. Kecuali itu, pekerjaan rumah tangga lainnya dikerjakan bersama, kami ikut mengambil bagian seperti menyapu rumah dan pekarangan, menggiling cabe, mencuci Waktu itu orang-orang belum mengenal istilah pembantu rumah tangga. Kakanda Dasima hanya dibantu oleh seorang perempuan Cina khusus mencuci dan menstrika pakaian. Kecuali itu, pekerjaan rumah tangga lainnya dikerjakan bersama, kami ikut mengambil bagian seperti menyapu rumah dan pekarangan, menggiling cabe, mencuci

Setiap liburan panjang sekali setahun pada bulan Desember saya pergi ke Batu Empat Kota Tinggi ke tempat Ayah dan Bunda Raiyah dengan menumpang mobil kantor pos yang sudah dititipkan oleh ayah. Waktu itu ayah sudah membuka kedai kopiah di Kota Tinggi. Alhamdulillah kedai kopiah beliau termasuk yang dikenal di Kota Tinggi, tempat pejabat- pejabat setingkat kota kecil itu memesan kopiah.

Liburan pendek pertengahan tahun l940 saya tidak pulang ke Kota Tinggi. Waktu itu saya sudah berumur 12 tahun dan belum disunat. Kawan-kawan di sekolah sering bercerita bahwa mereka sudah disunat, sedangkan saya belum dan tidak ada yang mengingatkan. Pada kesempatan libur pendek itu, dengan membawa surat dari sekolah, saya pergi sendiri ke rumah sakit dan minta disunat..