ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA AGAMA DAN PENERAPANNYA DI PENGADILAN AGAMA 9

BAB III ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA AGAMA DAN PENERAPANNYA DI PENGADILAN AGAMA 9

H. PENDAHULUAN

Salah satu persoalan fundamental yang tidak boleh diabaikan jika kita membicarakan tentang penyelesaian perkara perdata di lingkungan peradilan, adalah pembicaraan tentang keterkaitan antara asas-asas hukum disatu pihak dengan teknis pemeriksaan dan penyelesaian perkara perdata oleh hakim di lain pihak. Fungsi dari asas-asas hukum di dalam penyelesaian perkara perdata, tidak lain untuk menjaga agar konsistensi peraturan hukum tetap dapat dipertahankan dalam penegakan hukum yang berkeadilan. Di samping itu asas-asas hukum berfungsi juga untuk menerbitkan penemuan hukum yang lebih kongkrit dan kasuistis.

Keberadaan asas-asas hukum dalam proses penerimaan, pemeriksaan, dan penyusunan putusan sampai dengan pelaksanaan putusan yang dibuat oleh hakim itu adalah untuk menjaga ketaatan asas, sebagai contoh : di dalam hukum acara perdata kita dianut asas pasif bagi hakim, artinya hakim hanya memeriksa pokok sengketa yang ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan untuk dapat tercapainya keadilan. Dengan asas hakim pasif ini, terjagalah konsistensi di dalam hukum acara perdata dan para pihak berperkara secara bebas dapat mengakhiri sendiri persengketaannya, dan hakim tidak boleh menghalang-halanginya, kemudian para pihak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran dalil-dalilnya atau ketidakbenaran dalil-dalil lawannya.

9 Badan Litbang Diklat Mahkamah Agung RI, Bahan Ajar Diklat II PPC Terpadu Tahun 2012. Hal.58-82.

Asas hukum sebagai “aturan yang abstrak” dapat “dilahirkan” kembali secara lebih kongkrit melalui berbagai perwujudan, baik dalam peraturan- peraturan hukum tertulis maupun dalam kebiasaan dan jurisprudensi. Untuk itu, bagi setiap hakim yang memeriksa perkara perdata senantiasa harus “taat asas” atau konsisten dengan asas-asas hukum yang berlaku dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara perdata.

I. TERMINOLOGI HUKUM,

Salah satu “term” yang harus diketahui oleh kalangan hakim dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hukum dan keadilan adalah mengenai ”asas hukum”. Istilah “asas” dalam bahasa Inggris disebut dengan “principle”.

Menurut kamus A.S. Homby, 10 principle dalam arti sempit adalah “basic-truth” atau “general law of couse and effect”. Sedangkan principle dalam arti yang lebih luas adalah “Principle is a fundamental truth or doctrine, as of law : a comprehensive rule or doctrine which fumishes a basis or origin for others”. Asas hukum adalah yang melahirkan aturan hukum dan merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Dengan demikian, asas hukum adalah lebih abstrak dari peraturan hukum.

Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum adalah merupakan “jantungnya” peraturan hukum. 11 Sedangkan menurut Paton, asas hukum tidak akan pernah habis kekuatannya hanya karena telah melahirkan suatu aturan atau peratuan hukum, melainkan tetap saja ada dan akan mampu terus melahirkan aturan dan

10 A.S. Homby, The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English, The English Language Book Society and Oxford University Press, 1972, halaman 769.

11 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1982, halaman 85.

peraturan hukum untuk seterusnya. 12 Asas hukum mengandung nilai-nilai dan tuntuan-tuntutan “etis”. Apabila kita membaca suatu peraturan hukum, mungkin kita tidak menemukan pertimbangan etis di situ, tetapi asas hukum menunjukkan adanya tuntutan etis yang demikian itu, atau setidak-tidaknya kita bisa merasakan

adanya petunjuk ke arah itu. 13

Aturan hukum sebagai suatu sistem tidak menghendaki adanya konflik, dan andaikata timbul konflik dalam sistem hukum itu, asas-asas hukumlah yang berfungsi untuk menyelesaikan konflik-konflik itu. Sebagai contoh, jika ada konflik antara suatu peraturan yang umum dengan peraturan sederajat yang khusus, maka diselesaikan dengan asas “Lex specialis derogat legi generali ”, hukum khusus didahulukan dari hukum umum. Demikian juga jika ada peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, diselesaikan dengan asas “Lex superior derogat legi inferiori”, hukum yang lebih tinggi tingkatannya didahulukan dari hukum yang lebih rendah. Jika ada pertentangan antara peraturan lama dengan peraturan baru, maka diselesaikan dengan asas “Lex posteriori derogat legi priori”, peraturan yang baru didahulukan dari peratuan yang lama.

Meskipun asas hukum bukan peraturan hukum, namun keberadaannya adalah sebagai susuatu yang bersifat “ratio legis-nya” hukum, tidak ada hukum yang dapat dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada didalamnya. Asas hukum berperan sebagai pemberi arti “etis” terhadap peraturan-peraturan hukum, tata hukum, dan sistem hukum.

12 Paton (1971: 204) dalam Rusli Effendy, Achmad Ali, Poppy Andi Lolo, Teori Hukum, Cet. I, Hasanuddin University Press, Ujung Pandang, 1991, halaman 28.

13 Satjipto Rahardjo, op.cit., hal. 86.

Berbagai pernyataan dari kalangan para pakar ilmu hukum tentang pentingnya peranan asas hukum sebagai pemberi arti etis terhadap aturan hukum, tata hukum, dan sistem hukum, dapat di baca dalam pernyataan-

pernyataannya berikut ini : 14

Bellefroid, menyatakan bahwa asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum itu merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.

Van Eikema Hommes, menyatakan bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang kongkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain, asas hukum ialah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.

Paul Scholten, menyatakan bahwa asas hukum adalah kecenderungan- kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum, merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.

Dari ketiga pernyataan para pakar hukum di atas tentang keberadaan asas hukum, pandangan Bellefroid tidak memberikan gambaran jelas tentang apa yang disebut asas hukum. Kemudian apa yang dikemukakan oleh Van Eikema Hommes dan Paul Scholten adalah lebih jelas, di mana dari keduanya dapat disimpulkan bahwa asas hukum bukan peraturan hukum yang kongkrit, melainkan pikiran dasar yang bersifat umum dan merupakan latar belakang dari peraturan yang

14 Baca Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1986, halaman 32-34.

kongkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam wujud peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim.

Paul Scholten, di samping telah memberikan pernyataan tentang asas hukum sebagaimana diuraikan di atas, dia juga mengajarkan tentang adanya 5 (lima) asas hukum yang universal, yaitu : 15 1). Asas Kepribadian, 2). Asas Persekutuan, 3). Asas Kesamaan, 4). Asas Kewibawaan, dan 5). Asas Pemisahan antara baik dan buruk.

“Asas Kepribadian” dicerminkan dengan pengakuan hak dan kewajiban serta pengakuan adanya subyek hukum. “Asas Persekutuan” dicerminkan oleh kehendak untuk mewujudkan keutuhan masyarakat. “Asas Persamaan” mencerminkan keinginan untuk memperoleh keadilan dan berdasarkan pada “asas persamaan” itu di bidang peradilan di kenal dengan “asas persamaan bagi” setiap orang untuk diberlakukan sama di muka hukum, dan “Asas Kewibawaan” adalah mencerminkan adanya keinginan akan adanya ketidaksamaan. Sedangkan asas pemisahan antara baik dan buruk adalah melingkupi ke-empat asas

sebelumnya. 16

C. LATAR BELAKANG LAHIRNYA ASAS HUKUM

Latar belakang lahirnya asas hukum adalah dipengaruhi oleh dan dari konteks sosial tertentu. Oleh sebab itu, apabila kita berbicara tentang konteks sosial, maka unsur keyakinanlah yang lebih dominan melatarbelakangi terbentuknya asas hukum, meskipun pada sisi lain tidak tertutup kemungkinan apabila kita berbicara tentang konteks sosial, maka berarti kita berlatar-

15 Paul Scholten, Handleiding tot de Beoefening vat Het Nederlandsch Burgerlijke Recht, Algemeen Deel, Zwolle, Tjeenk, Willink, 1954, hal.405.

16 Ibid.

belakangkan keyakinan bahwa asas hukum itu tidak lain lahir dari hasil pemikiran masyarakat tertentu.

Asas hukum yang lahir dari hasil pemikiran masyarakat tertentu dapat diberikan contoh yang populer di kalangan pemerhati dan pengkaji hukum, yakni asas “the rule of law”. Asas ini lahir pada abad XVIII sebagai alat dari kaum

Borjuis 17 ketika itu, untuk melawan kekuasaan raja dan kaum bangsawan yang feodal. 18 Untuk dapat merebut dan meruntuhkan pengaruh raja dan kaum bangsawan yang feodal itu yang keberadaannya sangat dominan pengaruh

kekuasaannya, maka kaum borjuis menciptakan suatu struktur sosial baru yang dapat mengatasi dan membatasi kekuasaan raja dan kaum bangsawan, yakni menciptakan “asas hukum” berupa “the rule of law” yang bertujuan untuk mendudukkan semua manusia adalah sama kedudukannya di muka hukum. Sebenarnya asas hukum “the rule of law” ini lahir untuk menunjang kepentingan perebutan kekuasaan golongan borjuis terhadap raja dan kaum bangsawan yang berkuasa ketika itu.

Keberadaan asas “the rule of law” yang sangat populer dewasa ini, memang tidak dapat sangkal mengenai nilai positifnya, namun dengan melihat latar belakang sejarahnya, asas “the rule of law” ini tidaklah dapat kita terima begitu saja sebagai doktrin yang universal, yang pasti cocok dan dapat ditransfer di masyarakat mana saja. Penerapan asas “ the rule of law” ini membutuhkan

“penyesuaian sosial” 19 di mana asas ini ingin diterapkan. Sebab persepsi setiap masyarakat terhadap konkritisasi dari asas “ the rule of law” akan senantiasa ditentukan dan dipengaruhi oleh berbagai faktor non hukum, seperti faktor politik, budaya, dan sosial.

17 Kaum Borjuis adalah kaum intelektual dan usahawan

18 Kaum Feodal adalah kalangan raja dan bangsawan.

19 Satjipto Rahardjo, op.cit., halaman 90.

Menurut Schuyt, asas hukum yang dibentuk dalam konteks sosial tertentu, apabila ingin diterapkan pada kondisi masyarakat sosial tertentu lainnya harus selektif dan hati-hati, sebab kondisi sosio-masyarakat dalam satu tempat dengan kondisi sosio-masyarakat pada tempat lainnya tidak selalu sama. Pandangan Schuyt ini sejalan dengan pendapat Robert Seidman yakni “the law of the non transferbility of law” (hukum itu tidak dapat begitu saja ditransfer dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya). Terlebih lagi, dinamika hukum yang hidup di dalam masyarakat tertentu sangat berbeda dengan dinamika hukum yang hidup pada masyarakat lainnya yang berkembang secara pesat mengikuti perkembangan masyarakatnya masing-masing. Apabila asas hukum yang dibentuk oleh kondisi masyarakat tertentu pada masa lalu, belum tentu sesuai dengan fakta sosial masa sekarang dan masa yang akan datang. Hal ini, sesuai dengan pendapat yang menyatakan “het recht hinkt achter de feiten aan” (hukum selalu tertatih-tatih

mengejar fakta). 20

D. ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA DAN PENERAPANNYA DI PENGADILAN AGAMA

Asas-asas yang berlaku di lingkungan peradilan agama adalah melekat secara menyeluruh terhadap batang tubuh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah mengalami perubahan kedua berupa Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Oleh karena asas-asas tersebut melekat pada keseluruhan batang tubuh, maka menjadi fondamentum umum dan pedoman umum dalam melaksanakan penerapan seluruh jiwa dan semangat undang-undang. Asas dapat dikatakan sebagai sebagai karakter yang melekat pada keseluruhan rumusan pasal-pasal. Sehingga pendekatan penafsiran, penerapan dan pelaksanaannya tidak boleh menyimpang

20 Ibid.

dan bertentangan dengan jiwa dan semangat yang tersurat dan tersirat dalam

setiap asas tersebut. 21

Di antara asas-asas yang berlaku di lingkungan peradilan agama adalah sebagaimana asas-asas yang berlaku di lingkungan peradilan umum kecuali yang secara khusus termuat dalam batang tubuh peraturan perundang-undangan yang berlaku di lingkungan peradilan agama. Adapun di antara asas-asas yang berlaku di lingkungan peradilan agama adalah :

1. Asas Ketuhanan

Peradilan Agama dalam menerapkan hukum terhadap perkara ekonomi syari’ah selalu berpedoman pada sumber hukum agama Islam dan hukum-hukum lain yang tidak berlawanan dengan prinsip- prinsip hukum Islam, sehingga tiap putusan dan penetapan harus dengan kalimat BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan irah- irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 57 UU No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 3 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Asas Personalitas Islam dan Penundukan Diri

a. Sebagaimana Pasal 2 UU No. 50 Tahun 2009 bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Amandemen UU No. 7 Tahun 1989 tentang

21 Dr. H. Ahmad Kamil, SH., M.Hum., Asas-asas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ( Dalam Kapita Selekta Hukum Perdata Agama dan Penerapannya),

Mahkamah Agung RI., 2008, halaman 167.

peradilan yang meliputi perkara Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.

b. Ketentuan Pasal 2 dan Penjelasan Umum angka 2 alenia ketiga serta Pasal 49 ayat (1) diuraikan bahwa asas personalitas keislaman yang melekat pada UU No. 7 Tahun 1989 adalah :

1) Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk

agama Islam;

2) Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah.

3) Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.

c. Apabila terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara tersebut di atas, maka khusus mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Sebaliknya, apabila terjadi sengketa hak milik yang subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, maka obyek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara tersebut.

d. Para pihak berperkara dalam sengketa ekonomi syari’ah yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan Peradilan Agama hanyalah mereka yang beragama Islam termasuk di dalamnya adalah orang atau badan hukum atau mereka (non Muslim) yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam (Pasal 2 dalam Penjelasan Umum angka 2 alenia ketiga dan Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 49 dan Penjelasannya UU No. 3 Tahun 2006). Adapun letak personalitas d. Para pihak berperkara dalam sengketa ekonomi syari’ah yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan Peradilan Agama hanyalah mereka yang beragama Islam termasuk di dalamnya adalah orang atau badan hukum atau mereka (non Muslim) yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam (Pasal 2 dalam Penjelasan Umum angka 2 alenia ketiga dan Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 49 dan Penjelasannya UU No. 3 Tahun 2006). Adapun letak personalitas

3. Asas Kebiasaan

a. Asas ini merupakan asas paling sentral dalam kehidupan peradilan. Sebab peradilan diselenggarakan secara merdeka, bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diijinkan undang-undang (Pasal 24 UUD 1945 jo. Pasal 1 UU No. 48 Tahun 2009).

b. Pada dasarnya, asas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU Nomor 50 Tahun 2009 adalah merujuk dan bersumber kepada ketentuan yang diatur dalam Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1 UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Apabila kita baca dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada bagian konsederan maupun pada penjelasan umum, bahwa UU No. 7 Tahun 1989 merupakan salah satu upaya untuk “melaksanakan” kekuasaan kehakiman. Lebih lanjut, dalam penjelasan umum angka 1 alenia kelima ditegaskan bahwa “dengan demikian, Undang-Undang yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan peradilan agama ini merupakan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dan asas yang tercantum dalam undang- undang tentang kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, asas-asas umum yang diatur dalam undang-undang tentang peradilan agama harus konsisten dengan asas-asas yang tercantum dalam undang- undang kekuasaan kehakiman.

c. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab 1, dalam ketentuan umum, sebagaimana c. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab 1, dalam ketentuan umum, sebagaimana

d. Memperhatikan bunyi pasal tersebut di atas, maka dapat dijabarkan beberapa sendi filosofi dalam upaya penegakan hukum yang dilaksanakan oleh badan-badan peradilan, yakni :

1) Kekuasaan kehakiman (judicial power) dalam melaksanakan fungsi peradilan adalah sebagai “alat kekuasaan negara” yang lazim disebut kekuasaan “yudikatif”.

2) Tujuan diberikan kemerdekaan bagi kekuasaan kehakiman dalam menyelenggarakan fungsi peradilan adalah :

- Agar hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dapat

ditegakkan; - Benar-benar dapat diselenggarakan kehidupan bernegara berdasar hukum, kerena memang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Hukum ( Rechtstaat).

e. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara, dan kekuasaan kehakiman adalah milik negara dan bangsa Indonesia, bukan milik swasta atau milik golongan tertentu. Setiap lingkungan peradilan yang diberi tugas, fungsi, dan kewenangan untuk menyelenggarakan peradilan adalah lembaga “kekuasaan negara” dan sekaligus milik negara dan seluruh rakyat Indonesia. Sekalipun lingkungan peradilan agama didasarkan atas azas personalitas keislaman, bukan berarti lembaga peradilan agama milik swasta dan kelompok yang beragama Islam saja.

4. Asas Menunggu

Inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak dalam perkara di lingkungan peradilan agama adalah diserahkan sepenuhnya kepada pihak yang berkepentingan, dengan kata lain dikenal dengan asas “nemo judex sine actor / Judex ne pralebat ex officio”/ who kein klanger ist, ist kein richter (kalau tidak ada penuntutan maka tidak ada hakim). Namun demikian, sekali perkara diajukan kepadanya, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, meskipun dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas (Pasal 16 (1) UU No. 4 Tahun 2004 jo. Pasal 56 UU No. 7 Tahun 1989).

5. Asas Pasif

a. Ruang lingkup perkara di lingkungan peradilan agama ditentukan oleh para pihak berperkara, bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan (justiciable) untuk tercapainya keadilan (Pasal 5 (2) UU No. 4 Tahun 2004). Sebagai contoh, diakhirinya suatu perkara dengan cara damai atau pencabutan gugatan (Pasal 130 HIR/154 RBg).

b. Hakim tidak boleh menjatuhkan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut (Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR atau Pasal 189 ayat (2 dan 3) RBg.).

c. Hakim tidak boleh menghalang-halangi kepada para pihak bila para pihak yang berperkara akan mencabut perkaranya (Pasal 138 HIR atau 154 RBg).

d. Upaya hukum banding diseranhkan sepenuhnya kepada para pihak, bukan hakim (Pasal 199 RBg).

e. Mengenai pembuktian, hanya peristiwa yang disengketakan saja yang harus dibuktikan, hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak dan para e. Mengenai pembuktian, hanya peristiwa yang disengketakan saja yang harus dibuktikan, hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak dan para

f. Pengertian pasif bukan berarti hakim tidak aktif sama sekali tetapi hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara. Oleh karena itu hakim berhak:

1) Memberikan nasehat kepada para pihak (pasal 119 HIR atau

Pasal 143 RBg.).

2) Hakim berhak menunjukkan upaya hukum dan memberikan keterangan secukupnya kepada para pihak (Pasal 132 HIR atau Pasal 156 RBg).

6. Asas Sidang Tebuka Untuk Umum

a. Persidangan perkara di pengadilan agama harus terbuka untuk umum kecuali apabila ditentukan lain oleh undang-undang atau karena ada alasan penting maka persidangan dinyatakan tertutup untuk umum.

b. Persidangan terbuka untuk umum, hal ini dimaksudkan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin objektifitas pemeriksaan yang fair.

c. Apabila tidak memenuhi asas ini, maka seluruh pemeriksaan dalam perkara tersebut beserta putusannya tidak sah, tidak memiliki kekuatan hukum, serta putusan batal demi hukum. Akibatnya putusan menjadi non executieble (Pasal 19 dan Pasal

20 UU No. 4 Tahun 2004 jo. Pasal 59 (1) dan (2) UU No. 7 Tahun 1989).

d. Yang dimaksud dengan terbuka untuk umum adalah terbuka untuk siapa saja yang ingin menghadiri, menyaksikan dan mendengar

persidangan tanpa mempersoalkan apakah mereka ada kepentingan atau tidak.

jalannya

pemeriksaan pemeriksaan

f. Asas terbuka untuk umum adalah bernilai sebagai tata tertib umum (public order).

7. Asas Equality (Mendengar kedua belah pihak)

Asas equality terdiri dari : a). Equality before the Law (persamakan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan), b). Equal Protection on Law (Hak perlindungan yang sama oleh hukum), dan c). Equal Justice Under the Law (Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum).

Ketiga asas tersebut di atas adalah makna yang terkandung dalam Pasal 4 (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 58 (1) UU Nomor 50 Tahun 2009, yaitu pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

Bahwa pengadilan agama mengadili perkara menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Untuk itu, hakim harus memperlakukan sama kepada kedua belah pihak berperkara, sehingga tidak ada pembedaan yang bersifat diskriminatif, baik dalam bentuk diskriminasi normatif maupun diskriminasi kategoris. Maksud dari diskriminasi normatif adalah membedakan aturan hukum yang berlaku terhadap pihak-pihak yang berperkara. Sedangkan yang dimaksud dengan diskriminasi kategoris adalah membeda-bedakan perlakuan pelayanan berdasarkan status social, ras, agama, suku, jenis kelamin dan budaya (Pasal 121 (2) HIR.).

8. Asas Ratio Decidendi/Basic Reason (Putusan Harus Disertai Alasan)

Semua putusan dalam perkara di lingkungan peradilan agama harus mamuat alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk mengadili, memuat pasal-pasal tertentu dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dapat dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 50 (1) UU No. 48 Tahun 2009).

Asas ratio decidendi / basic reason, secara yuridis normatif diatur dalam Pasal 184 ayat (1) HIR jo. Pasal 195 ayat (1) RBg. Dan Pasal 50 (1) UU No. 48 Tahun 2009, di mana sebuah putusan harus mencakup tiga hal pokok yakni:

a. Rasional;

b. Aktual; dan

c. Mengandung nilai-nilai kemanusiaan, peradaban dan kepatutan.

9. Asas Biaya Perkara, Prodeo dan Posbakum

Penanganan perkara di pengadilan agama pada asasnya dikenai biaya perkara yang rinciannya telah diperkirakan oleh pengadilan agama, sehingga sejumlah uang yang dibayarkan sebagai uang panjar perkara kepada petugas di kepaniteraan akan diperhitungkan kemudian. Bagi yang tidak mampu membayar biaya perkara, dapat mengajukannya secara cuma-cuma (prodeo) dengan mendapatkan ijin untuk dibebaskan pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala desa / lurah tempat tinggalnya yang disahkan oleh camat setempat. Meskipun telah menyertakan surat tidak mampu membayar biaya perkara, Penanganan perkara di pengadilan agama pada asasnya dikenai biaya perkara yang rinciannya telah diperkirakan oleh pengadilan agama, sehingga sejumlah uang yang dibayarkan sebagai uang panjar perkara kepada petugas di kepaniteraan akan diperhitungkan kemudian. Bagi yang tidak mampu membayar biaya perkara, dapat mengajukannya secara cuma-cuma (prodeo) dengan mendapatkan ijin untuk dibebaskan pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala desa / lurah tempat tinggalnya yang disahkan oleh camat setempat. Meskipun telah menyertakan surat tidak mampu membayar biaya perkara,

Berdasar Pasal 56 (1 dan 2) UU No. 48 Tahun 2009 jo. Pasal 89 dan 90 UU No. 7 Tahun 1989, bahwa setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum, dan negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak mampu.

Kemudian pada pasal 57 (1, 2, dan 3) UU No. 48 Tahun 2009 disebutkan bahwa setiap pengadilan dibentuk pos bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum. bantuan hukum yang dimaksud diberikan secara cuma-cuma pada semua tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

10. Asas Fleksibelitas (Peradilan Sederhana, cepat dan biaya ringan)

Pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan ( Pasal 4 (2) UU No. 48 Tahun 2009 jo. Pasal 57 (3) UU No. 7 Tahun 1989 ).

Yang dimaksud dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan

adalah : 22

a. Sederhana, yaitu proses beracara dengan jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit serta tidak terjebak pada formalitas-formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Sebab apabila terjebak pada formalitas-formalitas yang berbelit-belit

memungkinkan

timbulnya berbagai

penafsiran;

22 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah (lengkap dengan blanko-blanko), Penerbit IKAHI- MA-RI, Jakarta, 2008 halaman 9.

b. Cepat, yaitu dalam melakukan pemeriksaan hakim harus cerdas dalam menginventarisir persoalan yang diajukan dan mengidentifikasikan persoalan tersebut untuk kemudian mengambil intisari pokok persoalan untuk selanjutnya digali lebih dalam melalui alat-alat bukti yang ada. Apabila segala sesuatunya sudah diketahui majelis hakim, maka tidak ada cara lain kecuali mejelis hakim harus secepatnya mengambil putusan untuk dibacakan di muka persidangan yang terbuka untuk umum;

c. Biaya ringan, yaitu harus diperhitungkan secara logis, rinci dan transparan, serta menghilangkan biaya-biaya lain di luar kepentingan para pihak dalam perkara. Sebab tingginya biaya perkara menyebabkan para pencari keadilan bersikap apriori terhadap keberadaan pengadilan. Khusus persoalan biaya sebenarnya harus mengacu pada payung hukum tersendiri berupa PP, karena menyangkut mengenai penerimaan negara bukan pajak, melalui lembaga negara berupa pengadilan.

11. Asas Legalitas

Asas legalitas dalam perkara di lingkungan peradilan agama adalah merupakan hak perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hukum (Pasal 4 (1) UU No. 48 Tahun 2009 jo. Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006), dan pada asasnya pengadilan agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan pengadilan agama tidak terabaikan.

Yang dimaksud dengan hak perlindungan hukum dan persamaan hukum dalam perkara adalah semua tindakan yang dilakukan oleh pengadilan agama adalah tidak menyimpang dari nilai- nilai hukum Islam, mulai dari tindakan pemanggilan, pemeriksaan di persidangan, keterangan saksi, penyitaan, pemeriksaan setempat, pertimbangan hukum dalam putusan, dan pelaksanaan putusan tidak atas dasar kehendak dan kemauan pribadi hakim.

12. Asas Perdamaian

Upaya perdamain harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh hakim yang menyidangkan perkara dalam setiap tahapan proses persidangan sampai perkara diputus, dan sifat perdamaian yang dilakukan oleh majelis hakim adalah bersifat imperative.

Dasar hukum upaya perdamaian:

a. Pasal 65 dan Pasal 82 (1dan 2) UU No. 7 Tahun 1989.

b. Pasal 10 (2) UU No. 48 Tahun 2009.

c. Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974

d. Pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975.

Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiap perselisihan dengan melalui pendekatan islah (damai), sebab bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian. Dalam suatu putusan yang bagaimanapun adilnya, pasti harus ada pihak yang dikalahkan dan yang dimenangkan. Tidak mungkin kedua pihak sama-sama dimenangkan atau sama-sama dikalahkan. Seadil-adilnya putusan yang dijatuhkan hakim, akan tetap dirasa tidak adil oleh pihak yang kalah.

13. Asas Aktif Memberikan Bantuan

Hakim harus aktif memberikan bantuan kepada kedua belah pihak berperkara dalam pemeriksaan perkara mengenai tata cara persidangan untuk tercapainya keadilan. Di samping itu, pengadilan harus membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Dasar hukum pengadilan memberi bantuan bagi pencari keadilan:

a. Pasal 119 HIR jo. Pasal 143 R.Bg.

b. Pasal 58 (2) UU No. 50 Tahun 2009.

c. Pasal 4 (2) UU No. 48 Tahun 2009.

Keaktifan hakim memberikan bantuan hanya sebatas pada masalah hukum formil tidak berkenaan dengan masalah hukum materiil atau pokok perkara. Adapun permasalahan hukum formil yang dimaksud adalah sebatas pada hal-hal sebagai berikut:

a. Membantu membuat gugatan / permohonan bagi yang buta huruf. Hal ini diatur dalam Pasal 120 HIR / Pasal 144 (1) R.Bg, yakni apabila penggugat tidak dapat menulis, maka ia dapat mengajukan gugatannya secara lisan kepada ketua pengadilan yang membuat catatan atau memerintahkan untuk membuat catatan gugatan itu;

b. Memberi pengarahan tata cara izin “prodeo” (HIR Pasal 144 dan 145);

c. Memberikan saran sahnya surat kuasa ( Pasal 123 (3) HIR / Pasal 147 R.Bg. jo. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 01/1971 tanggal 23 Januari 1971 yang berisi:

1) Harus berbentuk tertulis (bisa berupa akta bawah tangan yang dibuat oleh pemberi kuasa dan penerima kuasa, bisa akta yang dibuat panitera pengadilan yang dilegalisir oleh ketua ketua pengadilan atau seorang hakim, atau dengan akta otentik yang dibuat oleh notaries);

2) Harus menyebut nama pihak yang berperkara,

3) Harus menegaskan tentang hal yang disengketakan termasuk jenis dan objek sengketa, dan

4) Merinci batas-batas tindakan yang dapat dilakukan penerima kuasa.

d. Menyarankan perbaikan surat gugatan/permohonan, dalam hal ini biasanya mengenai surat gugatan yang tidak jelas (obscure libel), pihak yang digugat tidak jelas orangnya (error in persona/diskualifikasi in persona);

e. Memberi penjelasan alat bukti yang sah, baik secara formil maupun materiil (Pasal 145 HIR / Pasal 172 R.Bg) dan mengenai batas minimal alat bukti yang sah (Pasal 146 HIR / Pasal 174 R.Bg);

f. Memberikan penjelasan tentang cara mengajukan bantahan dan jawaban, baik yang berkaitan dengan eksepsi (Pasal 136 HIR / Pasal 162 R.Bg);

g. Bantuan memanggil saksi secara resmi. Pada prinsipnya dalam perkara perdata saksi adalah melekat dengan sendirinya kepada para pihak, namun kadangkala para pihak tidak bisa membawa saksi di persidangan, untuk pengadilan berwenang memanggil para saksi secara resmi, dan apabila dua kali panggilan berturut-turut saksi tidak mau datang, maka saksi tersebut dihadirkan dengan cara paksa oleh

Polisi untuk memenuhi kewajibannya (Pasal 139 (1) dan Pasal 141 (2) HIR / Pasal 165 dan 167 (2) R.Bg).

14. Asas “Inter Partes” dan/atau “Erga Omnes”

Yang dimaksud dengan “inter partes” adalah putusan yang akibat-akibatnya hanya berlaku pada perkara yang diputuskan. Terhadap perkara lain yang datang kemudian dan mengandung persmaan belum tentu diberlakukan, semuanya diserahkan sepenuhnya kepada hakim yang memutuskannya, hal ini dalam perkara sengketa ekonomi syari’ah yang menjadi kewenangan peradilan agama memungkinkan berlaku asas ini, sebab di lingkungan peradilan agama belum ada perkara sengketa ekonomi syari’ah yang bisa dijadikan dasar yurisprudensi. Sedangkan yang dimaksud dengan “erga omnes” adalah putusan yang akibat-akibatnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Di Indonesia secara doktriner akan berlaku sistem inter partes, kalaupun dalam praktik terdapat semacam erga omnes, namun hal ini hanya terjadi karena otoriter yurisprudensi yang diikuti dalam praktik peradilan.

15. Asas Nemo Judex Indoneus in Propria Causa

Maksud dari asas “nemo judex indoneus in propria causa” ini adalah bahwa tidak seorangpun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri. 23 Secara tekstual maupun kontekstual penerapan asas ini dapat diberlakukan secara universal di berbagai negara yang mendasarkan diri sebagai negara hukum.

23 Rusli Effendy, op.cit., halaman 72.

Asas nemo judex indoneus in propria causa ini sering juga disebut sebagai “asas objektivitas” dari hakim. Penerapan asas ini, dalam hukum positif Indonesia diimplementasikan ke dalam:

a. Pasal 17 ayat (1 s/d 7) UU Nomor 48 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman;

b. Pasal 374 ayat (1) HIR;

c. Pasal 34-44 Rv, dan

d. Pasal 702 RB.g, yakni:

1) Tidak seorang hakimpun dibolehkan memeriksa suatu perkara dalam mana ia sendiri baik secara langsung maupun secara tidak langsung mempunyai kepentingan atau suatu perkara yang menyangkut diri istri-istrinya atau salah satu keluarganyasendiri atau semenda dalam urutan lurus tanpa kecuali orangya dalam garis keturunan manyamping hingga pupu ke-empat; dan

2) Seorang hakim yang dikecualikan menurut ketentuan tersebut wajib untuk secara rela menjauhkan diri dari pemeriksaan perkara tanpa untuk itu perlu diminta oleh pihak yang berkepentingan.

16. Asas Audi Et Alteram Partem

Makna dari asas audi et alteram partem ini pada mulanya adalah “dengarlah juga pihak lain” 24 namun dalam perkembangannya asas ini dapat juga dimaknai sebagai keterangan saksi di persidangan yang bersumber dari keterangan (cerita) orang lain, bukan keterangan yang bersumber dari suatu peristiwa hukum yang saksi dengar, lihat,

24 Ibid.

dan/atau alami sendiri. Kembali pada makna asal dari asas audi et alteram partem, yakni “dengarlah juga pihak lain”, hakim diwajibkan untuk tidak memutus suatu perkara yang diperiksanya sebelum kedua belah pihak yang berperkara didengar keterangannya terlebih dahulu, berikut bukti-bukti yang diajukannya. Di dalam hukum acara pidana, asas ini dapat dipersamakan dengan asas “the presumption of

innocence” (asas praduga tak bersalah). 25

Asas audi et alteram partem yang dapat disejajarkan dengan asas the presumtion of innocence di atas, dalam penerapannya menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia adalah:

a. Pasal 9 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Kemudian pada Pasal 6 (2) UU ini memperluas pemaknaan asas the presumption of innocence yakni “ Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yag sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.

b. Pasal 58 (1) UU No. 50 Tahun 2009;

c. Pasal 121 (2) dan Pasal 152a HIR.

25 Sebagaimana Pasal 8 dan Pasal 6 (2) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan /atau dihadapkan di depan pengadilan wajib

dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan bahwa tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorangyang dianggap dapat bertanggung jawab, telah besalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

d. Pasal 145 (2) dan 157 RBg; dan

e. Pasal 147 Rv.

f. Dokrirn Islam, Seorang hakim wajib menyamakan kedudukan para pihak yang berperkara dalam 5 (lima) hal, yakni:

1) Ketika menyuruh masuk dalam persidangan;

2) Ketika di hadapan hakim;

3) Ketika menghadapai para pihak;

4) Ketika mendengar keterangan para saksi; dan

5) Ketika menghukum.

g. Kelima doktrin dalam Islam tersebut adalah:

1) Kesamaan derajat;

2) Kesamaan hak di persidangan; dan

3) Para pihak mempunyai kedudukan yang sama di muka persidangan.

17. Asas Unus Testis Nullus Testes

Maksud dari asas unus testis nullus testes adalah “satu saksi bukan saksi”. Asas ini berlaku universal sifatnya, yakni berlaku di hampir seluruh sistem hukum di dunia modern dewasa ini.

Khusus untuk hukum positif yang berlaku di Indonesia adalah diatur dalam:

a. Pasal 169 HIR, yakni : “Keterangan dari seorang saksi saja, dengan tidak ada suatu alat bukti yang lain, di dalam hukum tidak dapat dipercaya”.

b. Pasal 306 R.Bg.

c. Pasal 1905 BW.

Untuk membuktikan suatu peristiwa di muka persidangan pengadilan, tidak cukup hanya dengan keterangan seorang saksi saja, tanpa adanya alat bukti lainnya. Untuk itu, bagi pihak berperkara yang ingin membuktikan dalilnya paling sedikit harus membawa 2 (dua) orang saksi. Kalaupun hanya dapat mendatangkan satu orang saksi, maka harus mengajukan alat bukti lain misalnya surat dan/atau sumpah.

18. Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori

Maksud asas lex superior derogat legi infiriori ini adalah bahwa jika antara aturan hukum yang lebih tinggi hierakhinya bertentangan dengan aturan yang lebih rendah hierarkhinya, maka yang akan didahulukan adalah aturan yang lebih tinggi hierarkhinya. Asas lex superior derogat legi infiriori tampaknya telah dijadikan sebagai asas hukum yang universal, karena telah dianut pada semua sistem hukum di dunia modern ini. Asas lex superior derogat legi infiriori sejalan juga dengan asas hukum Islam, yakni kalau suatu Hadits bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits itu harus dianggap palsu, siapapun yang

meriwayatkan hadits itu. 26

Metode sederhana untuk mengukur kreterium hadits dan mengukur setiap berita yang berhubungan dengan Nabi ialah sebagaimana telah diceritakan orang tentang Nabi ‘alaihissalam ketika menyatakan : “kamu akan berselisih sesudah kutinggalkan, maka oleh karena itu, apa yang dikatakan orang tentang diriku, cocokkanlah dengan al-Qur’an, mana yang cocok itu dariku, dan mana

26 Haekal, 1982 dalam Rusli Effendy, op.cit. halaman 102.

yang bertentangan bukan dari aku”. 27 Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Chaldun, “ saya tidak percaya akan kebenaran sanad sebuah Hadits, juga tidak percaya akan kata-kata seorang sahabat terpelajar yang bertentangan dengan al-Qur’an, sekalipun ada orang yang memperkuatnya. Beberapa pembawa hadits dipercayai karena keadaan lahirnya yang dapat mengkelabui, sedang batinnya tidak baik.

19. Asas Ius Curia Novit

Maksudnya adalah bahwa hakim dianggap tahu akan hukum. Sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk tidak mengetahui hukum.

Asas ius curia novit secara yuridis formal hukum positif di Indonesia adalah diatur dalam:

a. Pasal 5 (1) dan Pasal 10 (1) UU No. 48 Tahun 2009;

b. Pasal 56 (1) UU No. 50 Tahun 2009.

Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas (recht vacum), melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Menggali hukum dapat dilakukan melalui peraturan perundang-undangan maupun nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law/ local wisdem).

20. Asas Ultra Pertium Partem

Maksudnya adalah bahwa hakim tidak boleh mengabulkan yang tidak dituntut atau dengan kata lain hakim tidak boleh memutus lebih dari yang dituntut.

27 Ibid.

Secara yuridis normatif asas ultra pertium partem diatur dalam hukum positif kita, yakni:

a. Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR;

b. Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) R.Bg.

Asas ini menunjukkan bahwa hakim harus bersikap untuk tidak boleh menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut.

21. Asas Legitima Persona Standi in Yudicio

Maksudnya adalah para pihak, baik penggugat maupun tergugat yang diketegorikan memiliki hak atau kewenangan untuk bertindak selaku pihak.

Asas legitima persona standi in yudicio dalam contoh tentang batasan umur untuk bertindak hukum atau batasan usia minimal untuk dapat melangsungkan pernikahan menurut UU No. 1 Tahun 1974 bagi laki-laki berumur 19 tahun dan 16 tahun bagi perempuan.

22. Asas Nemo yudex Sine Actor

Maksudnya adalah bahwa “tidak ada tuntutan hak, maka tidak ada hakim”. Oleh karena itu, suatu perkara atau tuntutan hak diajukan atau tidak diajukan sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan.

23. Speedy Admninistration of Justice

Maksudnya adalah bahwa penyelenggaraan administrasi perkara yang baik menjadi bagian tegaknya hukum dan keadilan.

Adapun dasar hukum asas ini adalah Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

24. Asas Actor Squitur Farum Rei

Maksudnya adalah bahwa Pengadilan berwenang memeriksa gugatan atau tuntutan hak di mana tergugat bertempat. Adapun dasar hukum asas ini adalah Pasal 118 ayat (3) HIR., jo Pasal 142 ayat (5) R.Bg.

25. Asas Actor Squitur Farum Rei Sita

Maksudnya adalah bahwa gugatan diajukan di pengadilan di mana benda tidak bergerak berada atau terletak. Adapun dasar hukum asas ini adalah Pasal 118 ayat (3) HIR., jo Pasal 142 ayat (5) R.Bg.

E. ASAS HUKUM SPESIFIK

Selain asas-asas hukum universal yang telah diuraikan di atas, terdapat juga berbagai asas hukum spisifik yang berlaku pada suatu negara dan masyarakat tertentu. Asas-asas hukum spisifik itu antara lain adalah:

1. Asas The Binding Force of Presedent

Asas hukum the binding of presedent disebut juga dengan asas “staro decisis et quieta nonmovere” (tetap pada apa yang telah diputuskan dan yang dalam keadaan istirahat tidak digerakkan). Dalam implementasinya, hakim terikat pada putusan terhadap perkara yang serupa dengan yang akan diputus, artinya hakim berpedoman pada putusan-putusan pengadilan terdahulu jika hakim tersebut dihadapkan pada suatu perkara (sengketa).

Asas hukum the binding force of presedent ini hanya dianut oleh sistem hukum Anglo Saks. Asas ini berbeda dengan masyarakat yang menganut sistem Eropa Kontinental, yakni putusan pengadilan bersifat “persuasive presedent” artinya putusan hakim terdahulu tidak memiliki kekuatan yang mengikat terhadap putusan hakim berikutnya dalam kasus sejenis, tetapi

hanya memiliki kekuatan yang meyakinkan. 28

2. Asas Cogatitionis Poenam Nemo Patitur

Asas cogatitionis poenam nemo petitur ini menganggap bahwa tidak seorangpun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan atau dibatinnya. Asas ini jelas hanya berlaku bagi masyarakat yang menerapkan sistem hukum skuler dan tidak berlaku bagi masyarakat yang menerapkan hukum agama.

3. Asas Restitutio in Integrum

Asas restitutio in integrum ini maksudnya adalah bahwa di dalam masyarakat haruslah dipulihkan pada keadaan semula. Asas restitutio in integrum ini hanya berlaku bagi masyarakat sederhana yang cenderung menghindari konflik di dalam masyarakatnya, di mana budaya kompromistis selalu mewarnai berlakunya asas ini.

4. Asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali

Asas “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali” disebut juga dengan asas legalitas maksudnya adalah bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dihukum, kecuali jika sudah ada undang-undang yang sebelumnya telah mengancam sanksi atas perbuatan itu. Asas legalitas ini termasuk asas yang tidak bersifat universal, melainkan spesifik sifatnya, karena hanya mungkin

28 Knottenbelt, Inleiding in het Nederlandsrecht, Gouda Quint BV Arnhem, B and R.A.Torringa, 1979, halaman 96.

dianut oleh masyarakat yang telah memiliki hukum tertulis saja, terhadap masyarakat yang berpegang pada hukum adat atau kebiasaan misalnya tidak mengenal asas legalitas ini secara konsisten.

Asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali ini dianut dan diterapkan dalam perkara hukum pidana, tidak terkecualikan di dalam hukum positif pidana Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

F. ASAS HUKUM DALAM SEBUAH SISTEM PERADILAN

Asas hukum dalam sistem peradilan tergantung pada sistem hukum apa yang dianut oleh suatu masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa sistem peradilan di dunia modern kini tidak seragam. Meskipun demikian, ada sejumlah asas peradilan yang secara universal menjadi asas-asas peradilan yang secara unversal pula telah menjadi anutan dari berbagai masyarakat modern dewasa ini, tentu saja ada hal-hal spesifik dari sebuah asas hukum dalam sistem peradilan tersebut.

Pada umumnya negara modern dewasa ini memproklamirkan bahwa negaranya adalah sebagai negara hukum (rechtstaat) yang menganut asas “the rule of law”. 29 Sebagai konsekuensinya, dengan menganut asas “negara hukum” (rechtstaat) itu, harus dianut pula asas peradilan bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya eksra yudisial, baik dalam hal teknis yudisialnya maupun dalam hal non teknis yudisialnya. Syarat negara hukum seperti ini, tidak hanya dianut oleh negara-negara leberal, tetapi juga dianut oleh negara-negara sosialis seperti Uni Sovyet (sebelum menjadi Negara Rusia dan negara-negara lain pecahan dari Uni Sovyet) menyebutkan pula di dalam konstitusi mereka, yakni “ judges are

29 Rusli Effendy, op.cit., halaman 112.

independent and subject only to the law”. Peradilan yang berlaku di negara Uni Sovyet berprinsip pada “independent of wxtra-judicial factors”.

Prinsip “independent judge” juga dianut oleh negara kita pasca diterapkannya asas “peradilan satu atap” di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1 : “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasar Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indoneseia”. Kemudian di dalam penjelasan otentik UU No. 4 Tahun 2004 ini lebih terlihat kepada keinginan yang kuat untuk berpegang pada “independent judge”, yakni “kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Lebih lanjut penjelasan pasal ini disebutkan “kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia”.

Secara garis besar, sistem peradilan di dunia modern dewasa ini terdapat

2 (dua) kelompok besar, di mana masing-masing kelompok dibedakan lagi menjadi sub-sub sistem dalam suatu negara. Meskipun demikian, dua kelompok besar itu terdapat kesamaan, yakni sama-sama menerapkan asas pemisahan kekuasaan kehakiman (yudikatif) dengan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Adapun kedua kelompok besar tersebut adalah :

1. Sistem Peradilan Juri Sistem peradilan Juri ini dianut oleh negara-negara Anglo Saks., seperti Inggris, USA, Australia, dan sebagainya. Dalam praktiknya sistem 1. Sistem Peradilan Juri Sistem peradilan Juri ini dianut oleh negara-negara Anglo Saks., seperti Inggris, USA, Australia, dan sebagainya. Dalam praktiknya sistem

undang-undang, melainkan putusan pengadilan yang sejenis. 30

Sistem Peradilan Anglo Saks, metode yang digunakan oleh hakim adalah “analogi”, di mana hakim melakukan perbandingan antara peristiwa- peristiwa yang sejenis, kemudian hakim melakukan “reasoning by analogy” atau “reasoning from case to case”. Kemudian asas yang digunakan dalam sistem peradilan Anglo Saks adalah “stare decisis” (“berhenti pada atau mengikuti putusan-putusan”, apabila muncul suatu situasi atau serangkaian fakta seperti pernah terjadi sebelumnya, maka putusan yang akan dijatuhkan oleh pengadilan dapat diharapkan sama dengan putusan yang dijatuhkan ketika itu) asas stare decisis disebut juga dengan asas “the binding force of

precedent”. 31 Asas ini sejalan dengan apa yang pernah di gagas oleh Aristoteles, yakni “peristiwa yang sejenis harus diputus sejenis”. Yang dimaksud dengan “precedent” adalah tidak lain merupakan suatu lembaga yang terdiri dari sebagian besar hukum tidak tertulis (ius non scriptum) yang bersumber dari putusan-putusan pengadilan. Jadi apabila kita sering mendengar istilah “common law sistem” tidak lain adalah sistem

30 Curzon, L.B., Jurisprudence, M & E Handbooks, 1979. Halaman 85.

31 Bodenheimer, Jurisprudence, The Philosophy and Method of the Law, Cambridge Mass : Harvard University Press, 1974, halaman 76.

pengadilan yang dalam penerapan hukumnya sebagian besar bersumber dari hukum tidak tertulis (ius non scriptum) yang dihimpun dalam “law report”.

Menurut Satjipto Rahardjo, asas precedent bagi negara common law sistem sebenarnya tidak mengikat secara mutlak, sebab ada beberapa alasan yang dapat mengakibatkan hapus atau lemahnya kekuatan mengikat dari

precedent itu, yaitu disebabkan oleh beberapa hal : 32

a. Keputusan-keputusan yang dibatalkan. Yakni suatu keputusan tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat, manakala sesudah keputusan itu dijatuhkan, diundangkan suatu peraturan yang bertentangan dengannya atau apabila ia digugurkan oleh keputusan yang lebih tinggi. Pengguguran ini terjadi apabila dalam suatu kasus lain, pengadilan yang lebih tinggi menentukan bahwa precedent itu telah diputus secara salah dan oleh karena itu tidak perlu diikuti;

b. Ketidaktahuan mengenai adanya peraturan. Suatu precedent tidak mengikat, apabila ia dibuat karena ketidaktahuan mengenai suatu peraturan;

c. Keidakadaan konsistensi dengan keputusan pengadilan yang lebih tinggi. Suatu precedent jelas menjadi batal, apabila ia mengabaikan keputusan dari pengadilan yang lebih tinggi yang inkonsisten dengan precedent yang dibuat tersebut;

d. Ketidakadaan konsistensi antara keputusan-keputusan yang setingkat. Suatu pengadilan tidak terikat pada keputusan-keputusan yang ia buat sebelumnya yang bertentangan satu sama lain. Apabila yang demikian itu terjadi, maka pengadilan bebas untuk mengikuti keputusan- keputusan yang terdahulu atau yang sekarang;

32 Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, Sinar Baru, Bandung, 1985, halaman 99.

e. Precedent-precedent yang dibuat sub silentio atau tidak sepenuhnya dipertahankan. Secara teknik, suatu keputusan yang dibuat sub silentio adalah apabila suatu butir tertentu dalam hukum yang terlibat dalam pengambilan keputusan tidak dipertimbangkan oleh pengadilan atau tidak muncul dalam pikirannya.

f. Keputusan yang keliru. Suatu keputusan bisa juga salah atas dasar bahwa ia dilandaskan pada asas-asas yang keliru atau bertentangan dengan asas-asas fundamental dari common law. Apabila suatu keputusan yang salah telah diterima untuk waktu lama dan dianggap telah membentuk hukum, sehingga masyarakat bertindak sebagaimana hukum itu, dan dalam keadaan yang demikian itu tetap saja dipertahankan, meskipun sebenarnya keliru, maka hal inilah disebut sebagai communis error facit jus.

2. Sistem Peradilan Eropa Kontinental

Sistem peradilan Eropa Kontinental, bahwa hakim terikat dengan undang-undang (peraturan tertulis). Jadi kepastian hukum yang dijamin oleh asas “ the binding force of precedent” di negara Anglo saks, maka di negara Eropa Kontinental, kepastian hukumnya dijamin dengan sifat tertulisnya hukum. Cara berfikir hakim di negara Eropa Kontinental adalah secara “deduktif” (berfikir dari yang umum ke yang khusus), dan metode yang digunakan adalah “subsumptie”, maksudnya adalah memasukkan peristiwa ke dalam peraturannya. Metode subsumptie ini lebih digunakan dalam perkara pidana.

Di dalam sistem peradilan Eropa Kontinental, sangat jelas pemisahannya antara perkara perdata dengan perkara pidana dan hukum acaranyapun berbeda. Perbedaan prinsipil antara hukum acara perdata dan hukum acara pidana adalah: Di dalam sistem peradilan Eropa Kontinental, sangat jelas pemisahannya antara perkara perdata dengan perkara pidana dan hukum acaranyapun berbeda. Perbedaan prinsipil antara hukum acara perdata dan hukum acara pidana adalah:

Inisiatif pengajuan perkara pidana di muka pengadilan adalah Jaksa selaku penuntut umum yang mewakili kepentingan publik. Sedangkan dalam perkara perdata, inisiatif terletak kepada para pihak untuk mewakili kepentingannya sendiri. Berbeda juga dalam pengajukan alat bukti. Dalam perkara perdata pembuktian dibebankan kepada pihak berperkara untuk membuktikan kebenaran dalilnya atau bantahan terhadap dalil lawannya, sedangkan perkara pidana, inisiatif bukti kesalahan terdakwa terletak pada jaksa selaku penuntut umum;

b. Perbedaan Keterikatan Hakim Pada Alat Bukti

Dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat bukti yang sah atau dalam istilah lain disebut “preponderance of evidence” (pengaruh yang lebih besar dari alat bukti). Sedangkan dalam hukum acara pidana, hakim selain terikat dengan alat bukti yang sah juga harus yakin atas kesalahan terdakwa atau dalam istilah lain disebut

“beyond reasonable doubt”. 33 Dalam acara pidana dikenal dengan pameo hukum : “ lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah, dari

pada menghukum 1 (satu) orang yang tidak bersalah”. Sebab penghukuman terhadap terdakwa yang tidak bersalah dapat dikategorikan sebagai “ cold blooded execution” (eksekusi berdarah dingin).

c. Perbedaan Kebenaran yang Ingin dicapai

Hukum acara perdata lebih mengedepankan pada tercapainya kebenaran “formal”, sedangkan dalam hukum acara pidana adalah semata-mata ingin mencapai kebenaran “material”.

33 Dalam praktik hukum positif Indonesia baca Pasal 6 (2) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian

yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

G. KESIMPULAN

Pentingnya asas hukum terhadap penegakan hukum adalah dimaksudkan untuk menjaga konsistensi para hakim dan pengadilan dalam menerima, memeriksa dan memutus serta melaksanakan setiap perkara yang ia tangani. Di samping itu, asas hukum itu berfungsi sebagai pijakan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam sistem hukum itu sendiri, sebagai contoh: adannya asas “lex superior derogat legi inferiori” ( peraturan hukum yang hirarkhinya lebih tinggi harus didahulukan dari pada yang lebih rendah). Dan demikian juga terhadap asas “res judicata proveri tate habetur” (apa yang diputus oleh hakim, harus diterima sebagai hal yang benar).

Bahwa asas hukum sebagai aturan yang abstrak dapat dilahirkan kembali secara lebih kongkrit melalui berbagai bentuk, baik dalam bentuk peraturan- peraturan hukum, maupun dalam kebiasaan dan jurisprudensi.

Dewasa ini, sistem peradilan di dunia masih didominasi oleh 2(dua) kategori besar, yakni : 1). Sistem peradilan juri di negara-negara Anglo Saks, seperti di Inggris, USA, Australia, dan sebagainya; dan 2). Sistem peradilan Eropa Kontinental, termasuk di dalamnya adalah negara Indonesia sebagai bekas jajahan Belanda.

Bahwa asas Hukum Acara Perdata dan Asas Hukum Acara Pidana adalah sangat berbeda, paling tidak perbedaannya adalah meliuti: segi inisiatif penuntutan, segi keterikata hakim pada alat bukti, dan dari sisi kebenaran yang ingin dicapai.