PERADILAN AGAMA PADA MASA PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA
C. PERADILAN AGAMA PADA MASA PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA
Pelaksanaan hukum Islam melalui sarana peradilan adalah merupakan keyakinan umat Islam termasuk umat Islam di Indonesia, apalagi hukum adanya peradilan dalam hukum Islam fardu kifayah, sehingga negara-negara Islam di seluruh Indonesia yang berbentuk kerajaan pada waktu itu, juga mengadakan sistem peradilan yang bercorak peradilan Islam, dengan istilah yang berbeda satu sama lainnya, meskipun masih terdapat peradilan adat sebagaimana yang telah dijelaskna dalam sub bab tersebut di atas.
Pada awalnya terdapat dikalangan orang-orang Belanda berpendapat yang kuat bahwa hukum yang berlaku di Indoensia adalah hukum Islam yang menjadi dasar, dan bukan suatu pendapat yang eklusif. Kedudukan hukum Islam di Indonesia dalam rangka pelaksanaan hukum eropa (barat) Mr. Scholten van Oud Haarlem sebagai Ketuaa komisi menyesuaikan Undang-undang Belanda dengan keadaan di hukum di Indonesia, yang kemudian ia membuat nota yang berbunyi : “ Untuk mencegak timbulnya keadaan yang baik dan mungkin Pada awalnya terdapat dikalangan orang-orang Belanda berpendapat yang kuat bahwa hukum yang berlaku di Indoensia adalah hukum Islam yang menjadi dasar, dan bukan suatu pendapat yang eklusif. Kedudukan hukum Islam di Indonesia dalam rangka pelaksanaan hukum eropa (barat) Mr. Scholten van Oud Haarlem sebagai Ketuaa komisi menyesuaikan Undang-undang Belanda dengan keadaan di hukum di Indonesia, yang kemudian ia membuat nota yang berbunyi : “ Untuk mencegak timbulnya keadaan yang baik dan mungkin
Para ahli Belanda banyak yang mendukung pendapat Mr.Scholten itu diantaranya Carel Prederik Winter, (1799-1859).Solomon Keyzer (1823-1868), yang menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Belanda. Kemudian muncul Prof. Mr. Lodewyk Willem Chjritian van den Berg (1945-1927) yang memperkuat pemikiran yang berlaku hukum di Indonesia adalah hukum Islam dalam ajaran Imam Syafi’i dan Imam Hanafi, dengan tulisannya hukum family dan hukum waris di Jawa dan Madura meskipun terdapat beberapa penyimpangan.
Pandangan van den Berg tersebut sependapat dengan “teori receptio in complexio”, bahwa pandangan beliau tesebut adalah “hukum mengikuti agama yang dianut seseorang, kalau orang itu agama Islam yan g berlaku baginya” Bahkan menurut dia bahwa “orang Indonesia telah melakukan receptie hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai kesatuan. Pandangan ini sesuai dengan perintah dalam Al-Qur’an bahwa orang masuk Islam itu harus keseluruhan, tidak sebagian-sebagian .
Disamping itu juga banyak peninjau dan ahli-ahli orang-orang Eropa dan Belanda sependapat dengan pendapat tersebut, diantaranya Raffles, Marsden, dan Crawfurd yaitu pendapat tentang adanya percampuran antara norma-norma dan nilai-nilai agama Islam dengan kebiasaan masyarakat yang berbeda-beda di
seluruh nusantara. 7 Bahkan ahli hukum dan budaya Belanda sendiri mengakui bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam. Oleh karena itu penerapan hukum
7 . Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Depatemen Agama, Kenang-Kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta : CV.Ade Cahya, 1985, hlm.9 7 . Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Depatemen Agama, Kenang-Kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta : CV.Ade Cahya, 1985, hlm.9
Dengan demikian pada mulanya pemerintah Belanda dengan tegas telah mengakui bahwa undang-undang Islam atau hukum Islam berlaku bagi orang Indonesia yang beragama Islam. Bahkan Peradilan yang diperlukan untuk mereka juga peradilan dengan hukum Islam. Keadaan seperti ini sudah berjalan sebelum orang-orang Belanda datang di Indonesia, Bahkan waktu itu pemerintah Hindia Belanda memperkuat dan memperkokoh keberadaan peradilaan dan hukum Islam dengan memngeluarkan peraturan perundang-undangan dengan Regeering Reglement (RR) 1955.
Akan tetapi apabila diperhatikan secara mendalam, meskipun Belanda telah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang memperlakukan peradilan dan hukum Islam, tetapi ada sebagian orang-orang Belanda sejak permulaan adanya kekuasaan Belanda di Indonesia, meskipun masih dalam bentuk pedagang-pedagang pemerintah V.O.C ada golongan-golongan atau orang-orang Belanda tidak menyukai berlakunya peradilan dan hukum Islam, setidak-tidaknya pengaruh hukum Islam. Orang-orang ini perlu disebut seperti seorang Residen Belanda di Cirebon atau katakanlah gezant pemerintah VOC di kerajaan Cirebon. Namanya “Gobius” Dia menjadi residen (Gezant) di Cirebon pada tahun 1714-1717.
Gobius sebagai residen Cirebon tersebut tidak setuju dengan pengaruh agama Islam pada sistem pemerintahan maupun kehidupan masyarakat di Indonesia, oleh karena itu waktu terjadi peralian daerah Priangan Timur dari kekuasaan Mataram ke tangan pemerintahan VOC, berusaha mengapus hukum Islam atau keputusan-keputusan pengadilan. Dengan cara Gabius membuat surat kepada VOC dengan tanggal 26 Maret 1715 yang mengusulkan :
1. Agar VOC langsung mengadili perkara-perkara yang diadili langsung oleh Susushunan Mataram
2. Membiarkan perkara-perkara yang ditangan jaksa (Hakim) dan dilarang penghulu-penghulu campur tangan dan putusan tersebut tidak boleh dilaksanakan sebelum diperkenankan oleh pemerintah VOC.
Menurut analisa Prof. Dr. Mr.Soepomo dam Prof.Dr.Mr. Djoko Soetono kedua kemungkinan tersebut diambil alih oleh pemerintah VOC, dan akan menghapnskan pengaruh hukum Islam dan pejabat-pejabat agama atau penghulu-penghulu yang selama ini diikuti pendapatnya. Selanjutnya atas surat residen Cirebon Gabius tersebut mengaambil alternatif kedua dengan penetapan tanggal 9 Mei 1715 dengan resolusi 1715, VOC mendapat beberpa keuntungan:
1. Peradilan asli di Prianga Timur jatuh di bawah pengawasan preventif VOC.
2. VOC tidak terlibat langsung mengadili suatu perkara, meskipun dia yang mengendalikan
3. Pengawasan itu dilakukan oleh residen Cirebon, sedangkan pengadilan Aria Cirebon tidak ditunjuk lagi mengawasi pengadilan seperti sebelumnya
4. Pelaksanaan pengawasan itu dalam praktik (Soepomo) oleh Residen Cirebon dan pegawai VOC , bahkan pengawasan banyak campur tangan dengan peradilan Priangan Timur.
5. Pengaruh hukum Islam pegawai-pegawai agama dan penghulu telah disingkirkan.
Pemerintah VOC dalam penghapusan hukum Islam dengan mempergunakan kekuatan hukum adat , namun dalam menghadapi hukum Islam untuk menghancurkannya pemerintah Belanda mengalami permasalahan, karena hukum Islam telah mengakar dalam jiwa anggota masyarakat. Sehingga Pemerintah VOC dalam penghapusan hukum Islam dengan mempergunakan kekuatan hukum adat , namun dalam menghadapi hukum Islam untuk menghancurkannya pemerintah Belanda mengalami permasalahan, karena hukum Islam telah mengakar dalam jiwa anggota masyarakat. Sehingga
Kemudian dalam perkembangannya dalam sistem peraturan perundang- undangan pemerintah VOC. dan kolonial Belanda meskipun tidak respon dan tidak senang terhadap peradilan agama Islam, tetapi belum mampu menghilangkan keberadaan peradilan agama Islam, Sehingga pada waktu itu memberikan peraturan secara formil dalam bentuk paraturan perundang- undangan. Peraturan tersebut ialah pasal 34 ayat (1) Indonehce Staatsregering (IS) sebagai landasan pembentukan Raad Agama (Peradilan Agama) Bunyi pasal tersebu ialah “ Akan tetapi sekedar tidak diatur secara lain lagi dengan ordonantie, maka perkara hukum sipil antara orang Islam, harus diperiksa oleh Hakim Agama, kalau dikehendaki oleh hukum adatnya”.
Kemudian juga mengeluarkan Staatsblad 1820 Nomor 22 yang isinya memberikan intruksi kepada Bupati-Bupati yang antara lain disebutkan bahwa perselisihan mengenai pembagian warisan dikalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada Alim Ulama’Islam. Dalam Staatsblad tersebut belum berbicara Peradilan Agama, mskipun sudah ada, hanya penyerahan perkara, Selanjutnya peraturan tersebut ditindak lanjuti dengan Staatsblad 1835 Nomor
58 dinyatakan dengan tegas kewenangan Pengaddilan Agama Jawa dan Madura senagai berikut : “ Jika diantara orang-orang jawa dan madura terjadi perselisihan tentang perkawinan atau pembagian harta benda dan sebagimana yang harus diputus menurut hukum Islam, akan tetapi segala persengketaan dari hal pembagian harta benda atau pembayaran yang terjadi karena keputusan itu 58 dinyatakan dengan tegas kewenangan Pengaddilan Agama Jawa dan Madura senagai berikut : “ Jika diantara orang-orang jawa dan madura terjadi perselisihan tentang perkawinan atau pembagian harta benda dan sebagimana yang harus diputus menurut hukum Islam, akan tetapi segala persengketaan dari hal pembagian harta benda atau pembayaran yang terjadi karena keputusan itu
Selanjutnya baru tahun 1882 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan tentang eksistensi Peradilan Agama melalui Staatsblad 1882 No 152, dan pada masa itu dikalangan orang-orang Belanda berendapat bahwa hukum yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka (goosdientige wetten) yakni hukum Islam. Mereka mengikuti teori yang dikenal teori receptie in Conplexu” dengan dukungan peraturan perundang- undangan Hindia Belanda via pasal 75, 78 dan 109 RR (Stb 1855 No 2). Sedangkan dalam Staatsblad tersebut tidak mengatur kewenangan Peradilan Agama, dan Peradilan Agama sendiri yang menetapkan perkara-perkara yang dipandangnya masuk dalam lingkungan kekuasaannya, masih seperti Staatsblad 1835 No.58.
Dalam perkembangan selanjutnya police hukum pemerintah Hindia Belanda terhadap negara jajahannya tentang hukum kekuarga berubah, hal ini dikarenakan kritik Snouch Hurgronye dan C van Vollenhoven yang menyerang pasal 75 dan 109 RR Staatsblad 1855 : 2, dan menentang teori receptio in comlekxu dari pemikiran para ahli –ahli budaya dan hukum Belanda seperti Paul Scholten, Carel Frederik Winter, Solomon Keyzer, L.W.C. van den Berg dan para ahli pemikir Belanda sebelumnya. Kemudian Snouch Hurgronye menciptakan teori recptie untuk melawan teori receptie in comlpexu tersebut.
Teori receptie yang diciptakan Snouch Horgronye dan dikembangkan C. van Vollenhoven dan Ter Haar dan kawan kawanya, kemudian mendapat dukungan para sarjana hukum Indonesia sekuler dan yang belajar di Ledien University Belanda. Tidak ada kejelasan rumusan atau peraturan tertentu tentang teori receptie antara para ahli hukum Belanda, tetapi diikuti mereka
juga. Kemudian penganut aliran teori receptie tersebut mengemukakan bahwa sebenarnya yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Ke dalam hukum adat asli itu memang ada pengaruh sidikit-sedikit hukum Islam. Pengaruh Hukum Islam itu, baru mempunyai kekuatan kalau sudah diterima oleh hukum adat dan lahirlah dia keluar sebagai hukum adat dan bukan sebagai hukum Islam. Pahan ini seperti itu, faham yang salah karena tidak mengerti kaidah ushul fiqih yang berbunyi “ al-adat al- mukhakamah “, bahkan nampaknya kesalahan itu kelihatannya memang disengaja oleh penicptanya yaitu Snouch Hurgronye yang juga mengerti hukum Islam maupun ushul fiqh, karena dia lama belajar Islam/hukum Islam di Arab Saudi. Disitulah “kebohongan” atau “kecurangan” Snouch Hurgronye dan teman-temannya seperti C.van Vollenhoven, Ter Haar dan lain-lain, sampai-sampai dia berani kebohongan dalam akademis.
Gagasan teori receptie oleh perumus orang-orang Belanda seperti Snouch Hurgronye. C van Vollenhoven dan kawan-kawannya itu dalam rangka menlaksanakan politik hukum adat yang tujuannya untuk mendesak hukum Islam sekaligus melaksanakan politik devide et empera, (politik adu domba) dengan berdalih mempertahankan kemurnian hukum adat, yang sebelumnya pemerintah Hindia Belanda melancarkan politik hukum yang anti hukum adat, kemudian menggunakan hukum adat, hal ini mereka pandang sebagai sarana pengaman kepentingan pemerintahan Kolonial.
Berdasarkan teori recepti tersebut, pemerintah Belanda merubah ketentuaan lama yang mengatur penggunaan godsdisnstige atau undang-undang agama (Islam) bagi orang Islam Indonesia mulai dirubah dengan seistimatik dan halus secara berangsur-angsur diperlunak terhadap pasal 75, dan 78 dan 109 RR ayat (2) Staatsblad 1855 : 2, yang menguntungkan umat Islam. Awal perubahan itu pada tanggal 31 Desember 1906 dengan Saatsblad 1906 : 364 kata-kata tegas Berdasarkan teori recepti tersebut, pemerintah Belanda merubah ketentuaan lama yang mengatur penggunaan godsdisnstige atau undang-undang agama (Islam) bagi orang Islam Indonesia mulai dirubah dengan seistimatik dan halus secara berangsur-angsur diperlunak terhadap pasal 75, dan 78 dan 109 RR ayat (2) Staatsblad 1855 : 2, yang menguntungkan umat Islam. Awal perubahan itu pada tanggal 31 Desember 1906 dengan Saatsblad 1906 : 364 kata-kata tegas
Usaha-usaha peruahan itu terus dilakukan dengan setapak demi setapak , kemudian pada tanggal 6 Juni 1919 RR tersebut dirubah lagi , perubahan tetap pada pasal 75, yaitu ayat (2), huruf b-nya yang memperlunak ungkapan “
memperlakukan peraturan yang berkenaan dengan agama itu”, menjadi “
memperhatikan peraturan yang berkenaan agama dan kebiasaan itu “ Perubahan itu dimuat dalam Staatsblad 1919 : 286. Selanjutnya huruf b ditambah lagi suatu ketentuan baru berupa “ dimana diperlukan perlakuan atas mereka itu dapat pula menyimpang dari peraturan agama dan kebiasaannya itu apabila penyimpangan itu menguntungkan kepentingan umum dan masyarakat ”.
Jadi berdasarkan teori receptie terlihat sudah dua kali dan dua perubahan bentuk menurunan dan pelemahan atas berlakunya hukum agama Islam di Indonesia. Pertama merobah kata-kata “memperlakukan undang-undang agama” menjadi “ memperlakukan ketentuan yang berhubungan dengan agama”. Kedua mulanya “memperlakukan”, menjadi “memperhatikan” . Begitu pula dalam pasal
75 ayat 2 huruf b ditambah suatu ketentuan baru berupa “ dimana diperlukan perlakuan atas mereka itu dapat pula menyimpang dari peraturan agama dan kebiasaan apabila penyimpangan itu menguntungkan kepentingan umum dan masyarakat.
Sejalan dengan pemelemahkan dan penghentian hukum agama dan kebiasaan serta undang-undang yang memperlakukan hukum agama (Islam) dan peradilan agama pemerintah kolonial Belanda berdasarkan ajaran (teori) receptie Snouch Hurgronye dilancarkan pengejaran dan pembunuhan terhadap ruang kehidupan Ulama’-Ulama’ besar, baik terhadap person maupun penyempitan ruang kehidupan pesantren-pesantren. Pengejaran dan pembunuhan tokoh-tokoh/ dan Ulama Islam tentera Belanda di bawah pimpinan Jenderal van Heutsz dan snouch Hurgronye sebagai penasihatnya Tengku Umar mati syahid serta istrinya Cut Nya’din dapat dikalahlan. Demikian juga didaerah Banten tahun 1888 timbul pemberontakan dan dapat ditumpas, dan para pemimpinnya dibunah di buang ke tempat lain. Di daerah masyarakat Batak tokoh Islam Sisingamangaraja juga dihancurkan.
Selanjutnya pada tahun 1925 dirubah lagi pertama nama Regeeringsreglment (RR), menjadi Indiscvhe Staatsregeling yang disingkat I.S, degan lengkapnya “Wet op de Staats Inricting van Nederlands Indie” yang tercantum dalam pasal 1, dengan Stsstsblad 1925 Nomor 415. Pasal-pasal dalam RR yang berjumlah 132 dirobah dan ditambah dengan pasal-pasal baru, sehingga menjadi 146 pasal.
Dalam pasal 146 merupakan pasal baru yang isinya masih sama pada perubahan yang terakhir (1919), Namun dalam kata-kata dalam pasal itu ada yang dirubah, seperti kata-kata “algemeene verordening” diganti “ordonantie” .dan lain sebagaainya. Dan kalau diartikan istilah Indonesche Sttatsrgeling (IS), adalah Undang-Undang Dasar Negara Jajahan Hindia Belanda.
Dalam perubahan istilah RR deganti IS (Indonesche Staatsregeling) dan subtansi nya bukan lagi pelunakan pemakaian hukum agama dalam undang- Dalam perubahan istilah RR deganti IS (Indonesche Staatsregeling) dan subtansi nya bukan lagi pelunakan pemakaian hukum agama dalam undang-
Dalam IS dengan pasal 134 ayat 2 IS dengan Staatsblad 1925 dari asalnya pasal 78 ayat 2 Staatsblag 1855 :2 dirubah dengan Staatsblag 1929 : 221 seagai dasar teori receptie, dengan perubahan tersebut berbunyi “ Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh Hakim agama Islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh hukum adat mereka dan sejauh tidak ditentukan lain dengan sesuatu ordonantie”. Atau hukum Islam berlaku apabila telah menjadi hukum adat.
Sejak saat itu mulai suatu pendapat dimana masyarakat Indonesia seakan-akan masyarakat Indonesia telah merasakan sebagai suatu hal yang benar bahwa hukum Islam itu bukan hukum Indonesia, dan telah terjadi dalam pikiran orang bahwa yang berlaku adalah hukum adat, dan hanyalah kalau hukum Islam telah menjadi hukum adat barulah menjadi hukum.
Pada saat itu bermulalah suatu masa dimana masyarakat Indonesia yang mempunyai hubungan dengan soal-soal hukum merasakan pengaruh dari teori receptie yang kuat, dan sebagai dasarnya selalu pasal 134 ayat (2) yang berasal dari pasal 78 ayat (2) RR tahun 1855, maka berdasarkan dan semangat untuk menghacurkan Islam dan umat Islam pemerintah Hindia Belanda mengambil garis politik hukum dan peradilan dengan mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang menyangkut nama dan kewenangan Pengadilan Agama. Salah satu usaha untuk menekan dan menghapus hukum Islam antara lain mengeluarkan Staatsblad 1931 Nomor 53 yang merupkan pengebirian terhadap kewenangan Pengadilan Agama tanpa memasukan perkara-perkata kewarisan, wakaf, hibah wasiat hadlonah dan harta bersama.
Staatsblad 1931 Nomor 53 belum dapat dilaksanakan, kemudian pada tahun 1937 secara tegas kewenangam Pengadilan Agama dihapus hanya memeriksa nikah, talak, cerai dan rujuk (NTCR) yaitu dengan merubah Staatsblad tahun 1882, dengan mengeluarkan Staatsblad 1937, dengan merubah dasar hukum keberadaan peradilan agama dalam sistem perundangan pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk Jawa dan Madura serta Kalimantan Selatan dari Staatsbald 1882 : 152 menjadi Staatsblad 1937 No 610 dan 611, untuk Jawa dan Madura dan Staatsblad 1937 : 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan. Dalam Staatsblad tersebut kewenangan Peradilan Agama hanya semata- mata Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR) .Sedangkan untuk di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan belum dikutik-kutik oleh pemerintah Kolonial Hindia Belanda.