SEJARAH PERADILAN AGAMA PADA MASA KEMERDEKAAN

D. SEJARAH PERADILAN AGAMA PADA MASA KEMERDEKAAN

Setelah Indonesia terlepas dari penjajahan kolonial Belanda, penataan kekuasaan kehakiman termasuk Pengadilan Agama, baru tahun 1951 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesaatuan Susunan, kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, meskipun Indonesia telah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945.

Undang-Undang Darurat Nomor 1 tahun 1951 tersebut mulai berlakau tanggal 14 Januari 1951 dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1. Semua bentuk Pengadilan pada zaman pra Federal serta penuntut umum padanya dihapuskan dan digantikan dengan Pengadilan Negeri

dan Kejaksaan Negeri;

2. Semua bentuk Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat secara berangsur-angsur diha[puskan dan kekuasannya diserahkan kepada

Pengadilan Negeri ;

3. Pengadilan Agama yang merupakan bagia tersendiri dari Peradialn Swapraja daan Peradilan Adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya

diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang darurat tersebut untuk penataan Pengadilan Agama mengalami hambatan-hambatan, sebab penataan itu diperlukan adanya Peraturan Pemerintah, lain halnya dengan penataan Pengadilan Negeri. Akan tetapi pada saat bersamaan berlakunya UU Darurat No. 1/1951 tersebut Kementerian Agama telah meperluas pelaksanaan Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Nikah Talah, Cerai dan Rujuk (NTCR).Dimana berlaku untuk seluruh luar jawa dan Madura, dengan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 1954.

Ditingkat Propinsi, Kabupaten.Kotamadya dan Kecamatan dibentuk Kantor Urusan Agama, sehingga dengan adanya pengembangan organisasi ini, Ulama dan Pejabat lingkungan pemerintahan Swapraja dan Adat termasuk jabatan Pengadilan Agama sebagai pejabat bidang pencatatan NTCR, (Huwelijks Ordonantie Buitengewesten). Dengan diangkatnya mereka sebagai pegawai Kantor Urusan Agama, maka beberapa pemerintahan Swapraja di Kalimantan seperti di sambas, Pontianak, Bulongaan dan lain-lain menyerahkaan instansi- instansi Pengadilan Agama kepada Departemen Agama. Kemudian diikuti pemerintahan Swapraja di daerah Sulawesi dan Nusa Tenggaran Barat. Akan tetapi penyelesaian perselisihan-perselisihan di Pengadilan Agama untuk di luar Jawa masih berdasarkan Staatsblad 1938 Nomor 80.

Dalama pengembangan Peradilan Agama berdasarkan Staatsblag 1882 Nomor 152, Menteri Agama melalui Keputusan/Penetapan di Jawa dan Madura telah dibentuk Kantor Pengadilan Agama disetiap kota Kabupaten dan Kota Madya. Demikian juga di Kalimantan Selatan bertdasarkan Staatsblad 1937

Nomor 638 dikembangan/dibentuk Kantor Pengadilan Agama, seperti Pengadilan Agama Marabahan, Martapura, Plehari daan lain-lain.

Kemudian struktur Pengadilan Agama baru mulai ditata kembali, namun penataan baru mulai berdasarkan undang-undang Darurat Nomor 1 tahun 1951. Kelihatannya sejak tahun 1945 sampai dengan 1950 meskipun Indonesia telah merdeka belum ada kesempataan untuk menata secara penuh mengenai kehakiman.

Kemudian untuk Peradilan Agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan dalam sejarah perkembangannya sejalan dengan tata pemerintahan pribumi yang berlaku setempat, dan dapat dibedakan dala corak ialah:

1. Peradilan Agama yang berada dalam lingkungan Swapraja

2. Peradilan Agama yang beradan dalam lingkungan Adat.

Bentuk dan susunannya beraneka ragam ada yang berdiri sendiri dan ada pula yang bercampur dengan Peradilan Swapraja dan Adat setempat. Sedangkan istilah yang digunakan pada umumnya ialah Mahkmah Syari’ah.

Pada masa pemerinntahan Jepang eksistensi peradilan agama tidak berubah sebagaimana dalam Stasblad 1882 :152 jo Staatsblad 1937 No 610, 638 dan 639, meskipun pemerintah Jepang membentuk yang disebut Shumubu kantor Agama Pusat yang fngsinya mirip dengan kantor Voor Islamietische Zaken dan kewenanag Peradilan Agama tidak berubah.

Secara konkrit pemerintah pendudukan Jepang dalam sebuah peraturan peralihan yang dituangkan dalam Undang-Undang No 1 Tahu 1942 dimana dalam pasal 3 nya dinyatakan bahwa semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang bagi pemerintahan yang dahulu, Secara konkrit pemerintah pendudukan Jepang dalam sebuah peraturan peralihan yang dituangkan dalam Undang-Undang No 1 Tahu 1942 dimana dalam pasal 3 nya dinyatakan bahwa semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang bagi pemerintahan yang dahulu,

Kemudian setelah kemerdekaan bentuk dan susunan serta kewenangan Peradilan Agama di Indonesia beragam, terlepas dari pengaruh penjajah, maka struktur Peradilan Agama diatur dalam Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951.dan mulai berlaku pada tanggal 14 Januari 1951. Dimana Undang-Undang Darurat tersebut terhadap peradilan agama menentukan bahwa “ Peradilan Agama yang merupkan bagian tersendiri dari Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya di atur dengan Peraturan Pemerintah”.

Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tersebut baru pada tahun 1957 baru dikeluarkan Peraturan pemerintah, yaitu Paraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957. Dimana dalam Peraturan Pemerintah tersebut menentukan bahwa “ Ditempat-tempat yang ada Pengadilan Negeriada sebuah Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah dan daerah hukumnya sama dengan daerah hukum Pengadilan Negeri “.

Kemudian tindak lanjut dari Peraturan pemerintah No.45 tahun 1957 tersebut Menteri Agama mendirikan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah dengan beberapa Penetapan Menteri Agama. Selain itu Menteri Agama dengan penetapannya juga mendirikan Pengadilan tingkat banding di Surabaya dan Bandung dengan bentuk Cabang Mahkmah Islam Tinggi dan di luar Jawadi luar Jawa dengan istilah Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah Propinsi.

Kewenangan peradilan agama di Jawa dan di luar Jawa, meskipun dalam keadaan kemerdekaan masih tetap berdasarkan peraturan perundang- undangan yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda, ”masih Kewenangan peradilan agama di Jawa dan di luar Jawa, meskipun dalam keadaan kemerdekaan masih tetap berdasarkan peraturan perundang- undangan yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda, ”masih

berdasarkan Staatsbald 1882 Nomor 152, jo Staatsblad 1937, Nomor 611 dan 612, dengan nama Pengadilan Agama untuk timgkat pertama dan Mahkmah Islam tinggi untuk tingkat banding, sedangkan untuk Peradilan Agama di Kalimantan Selatan kecuali Pulau laut dengan Staatsblad 1937 Nomor 638. dengan nama Kerapatn Kadi untuk tingkat pertama dan Kerapatan Kadi Besar untuk tingkat banding. Kemudian untuk peradilan agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan kecuali Pulau laut berdasarkan Peraturan pemerintah Nomor 45 Tahun 1975, dengan nama Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah untuk tingkat pertama dan Pengadilan Agama Syari’ah Propinsi untuk timgkat banding.

Dengan demikian di Indonesia sebagai negara kesatuan terdapat peradilan agama 3 (tiga) bentuk peradilan agama dan satu sama lain mempunyai kewenangan yang berbeda, yaitu:

1. Untuk Peradilan Agama di Jawa dan Madura dengan nama Pengadilan Agama untuk peradilan tingkat pertama dan Mahkmah Islam tinggi untuk tingkat banding yang kewenangannya hanya semata-mata Nikah, Talak, Cerai dan Ruju (NTCR)

2. Untuk Peradilan Agama di Kalimantan Selatan kecuali Pulau laut dengan nama Kerapatan Kadi untuk peradilan tingkat pertama dan Kerapatan kadi Besar untuk peradilan tingkat banding yang kewenangannya sama dengan peradilan agama di jawa yaitu semata- mata Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR).

3. Untuk Peradilan Agama di luar Jawa Madura dan Kalimantan Selatan kecuali Pulau laut dengan nama Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah untuk peradilan agama tingkat pertama dan untuk peradilan tingkat banding Pengadilan Agama/mahkamah Syari’ah Propinsi untuk peradilan tingkat banding, dengan kewenagnagnnya selain 3. Untuk Peradilan Agama di luar Jawa Madura dan Kalimantan Selatan kecuali Pulau laut dengan nama Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah untuk peradilan agama tingkat pertama dan untuk peradilan tingkat banding Pengadilan Agama/mahkamah Syari’ah Propinsi untuk peradilan tingkat banding, dengan kewenagnagnnya selain

Dalam perkembangannya pada tahun 1964 dikeluarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentua Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam pasal 7 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Lembaga Pengadilan yaitu:

1. Pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Umum

2. Pengadilan dalam Lingkungan Pengadilan Agama

3. Pengadilan dalam Lingkungan Pengadilan Militer

4. Pengadilan dalam Lingkungan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Selanjutnya pada pasa orde baru Undang-Undang No 19 Tahun 1964 tersebut belum sempat berlaku, kemudian dicabut dan diganti dengan Undang- Undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang tersebut menentukan “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan:

1. Peradilan Umum

2. Peradilan Agama

3. Peradilan Militer

4. Peradilan Tata Usaha Negara.

Dalam sistem peradilan di Indonesia peradilan agama menjadi mantap dan kuat, sebagaimana dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (UU N0. 14/1970) tersebut, tetapi kewenangannya tidak berbeda dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya.

Kemudian setelah keluarnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 serta Peraturan Menteri Agama RI nomor 3 Tahun 1975 jo Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor D/INS/117/75 yang mengatur secara jelas kewenangan Peradilan Agama dalam melaksanakan Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974, bagi warga negara yang beragama Islam.

Berdasarkan Peraturan Menteri Agama jo Instruksi Dirjem Bimas Islam sebagai petunjuk Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tersebut di atas,. kewenangan Peradilan Agama dalam Undang-Undang Perkawinan tidak semata-mata NTCR seperti dalam Staatsblad yang dikeluarkan oleh pemerintah Kolonial Belanda, tetapi lebih luas, bahkan seluruh bidang Perkawian termasuk kewenangan Peradilan Agama sebagaimana secara umum diatur dalam pasal 63 Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974, yaitu bagi warga negara yang beragama Islam bila terjadi perselisihan sebagaimana ditegaskan dalam pasal 63 ayat (1) undang-undang perkawinan yang berbunyi : “Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang- Undang ini” ialah:

a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam

b. Pengadilan Umum bagi yang lainnya.

Adapun kewenangan Peradilan agama berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tersebut adalah:

1. Izin untuk beristri lebih dari satu orang atau poligami, (pasal 4 dan pasal 5 UUP)

2. Izin melangsung perkawinan seseorang yang belum mencapai berumur 21 tahun , (pasal 5 dan 6 UUP).

3. Izin untuk tidak tinggal dalam satu rumah bagi suami istri salama berlangsungnya gugatan perceraian,( pasal 24 UUP).

4. Dispensasi dalam hal penyimpangan dari ketentuan umum minimun pria 19 tahun wanita 16 tahun. (pasal 7UUP).

5. Pencegahan terhadap Perkawinan, (pasal 17 UUP).

6. Penolakan Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan (pasal 21 UUP).

7. Pembatalan perkawinan, (pasal 25 dan 28 UUP).

8. Kelalaian kewaajiban suami istri, (pasal 34 (3) UUP)

9. Cerai talak oleh suami,(Pasal 14 s/d 17 PP.9/1975)

10. Cerai gugat oleh istri ( pasal 40 jo pasal 20 s/d 34 PP)

11. Hadlanah, (pasal 41 (a) UUP

12. Biaya pemeliharaan pendidikan anak (pasal 41 (c)UUP

13. Biaya penghidupan bagi bekas istri (pasal 41(c) UUP

14. Sah dan tidaknya anak (pasal 44 UUP)

15. Pencabutan kekuasaan orang tua selain kekuasan sebagai wali nikah (pasal 49 (1) UUP)

16. Pencabutan penggantian wali (pasal 53 UUP)

17. Kewajiban oleh wali yang menyebabkan kerugian (pasal 54 UUP)

18. Penatapan asal-usul seorang anak sebagai pengganti Akte kelahiran (pasal 55 (2 dan 3UUP)

19. Penolakan pemberian Surat keterangan oleh pegawai Pencatat Nikah dnlam hal perkawinan campuran (pasal 60 (3, 4 dan 5) UUP).

20. Perselisihan harta bersama

Akan tetapi Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi juga mengeluarkan Surat Edaran Nomor 0807/Pemb/1975 yang menentukan bahwa yang menjadi kewenangan Peradilan Agama adalah sepanjang yang telah diatur dalam Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975. Apabila belum diatur dalam Peraturan Pemerintah dianggap belum berlaku, dan harus diberlakukan ketentuan lama, berarti masih kewenangan pengadilan Agama yang diatur Akan tetapi Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi juga mengeluarkan Surat Edaran Nomor 0807/Pemb/1975 yang menentukan bahwa yang menjadi kewenangan Peradilan Agama adalah sepanjang yang telah diatur dalam Peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975. Apabila belum diatur dalam Peraturan Pemerintah dianggap belum berlaku, dan harus diberlakukan ketentuan lama, berarti masih kewenangan pengadilan Agama yang diatur

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung tersebut di atas, akibatnya kewenangan Peradilan Agama yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 belum bisa dilaksanakan sebagai ketentuan pasal 63 Undang- Undang Perkawinan No. 1/1974 tersebut, karena belum ada peraturan pemerintah yang dikehendaki oleh undang-undang perkawinan tersebut.

Selain itu adanya permasalahan tersebut di atas, dalam pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan malahan ada ketentuan yang mengaatakan bahwa Pengadilan belum bisa melaksananan putusannya sebagaimana layaknya institusi pengadilan yaitu melaksanakan putusannya, Namun putusan pengadilan agama diwajibkan adanya pengukuhan dari pengadilam dalam lingkungan Pengadilan Umum. Pengaturan pasal 63 (20 tersebut berbunyi sebagai berikut : “Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum” Sehingga Pengadilan Agama betul-betul masih menganut teori recptie, meskipun dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman peradilan agama merupakan salah satu sistem peradilan, tetapi masih dikebiri, sehigga tidak boleh melaksanakan putusannya sendiri. Dengan demikian putusan Pengadilan Agama merupakan putusan yang tidak dapat dilaksanakan sebelum dikukuhkan oleh Penagdilan Umum, artinya semua putusan pengadilan agama non eksekutoir .

Disamping maslah-masalah tersebut realitanya Mahkamah Agung dengan Departemen Agama pada waktu itu masih banyak perbedaan dalam memahami hukum acara bagi Peradilan Agama seperti masalah kasasi meskipun Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1977 tentang Penerapan Kasasi bagi perkara pedata diputus Pengadilan Agama, tetapi oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama seharusnya peraturan Disamping maslah-masalah tersebut realitanya Mahkamah Agung dengan Departemen Agama pada waktu itu masih banyak perbedaan dalam memahami hukum acara bagi Peradilan Agama seperti masalah kasasi meskipun Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1977 tentang Penerapan Kasasi bagi perkara pedata diputus Pengadilan Agama, tetapi oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama seharusnya peraturan