PERADILAN AGAMA DALAM SISTEM UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA

E. PERADILAN AGAMA DALAM SISTEM UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA

Sesuai dengan tuntutan masyarakat Indonesia sebagaimana dalam sistem kekuasaan kehakiman dalam undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok –pokok kekuasaan kahakiman dalam pasal 12 mengharuskan adanya undang-undang yang mengatur susunan, kekuasan dan acara Peradilan Agama dalam undang-undang tersendiri, kemudian pada tahun 1989 lahirlah Udang Undang Peradilan Nomor 7 Tahun 1989, yang mulai berlaku secara efektif tanggal 1 Januari 1990.

Dalam Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 tahun 1989 tersebut. teori receptie dalam sisten paraturan perundang-undangan Indonesia telah lenyap dari Indonesia, meskipun masih ada diantara orang-orang ahli hukum Indoensia masih ada terpengaruh atau berpandangan kepada teori receptie tersebut.

Setelah lahirnya Undang-Undang Peradilan Agama pada taun 1989 dengan Undang-undang No.7 tahun 1989 baru eksistensi Peradilan Agama dalam sistem Pengadilan Agama sebagai lembaga layaknya peradilan pada umumnya. Sehingga dengan undang-undang tersebut, Peradilan Agama mempunyai Setelah lahirnya Undang-Undang Peradilan Agama pada taun 1989 dengan Undang-undang No.7 tahun 1989 baru eksistensi Peradilan Agama dalam sistem Pengadilan Agama sebagai lembaga layaknya peradilan pada umumnya. Sehingga dengan undang-undang tersebut, Peradilan Agama mempunyai

Dengan adannya undang-undang peradilan agama itu, Peradilan Agama tidak lagi sebagai peradilan semu (banci) lagi. Nama dan kewenanagan peradilan agama tidak berbeda-beda lagi sebagaimana sebelumnya, yaitu Pengadilan Agama bagi peradilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama bagi peradilan tingkat banding. Dan kewenangan peradilan agama juga tidak berbeda- beda diantara peradilan agama di Jawa, Madura, Kalimantan Selatan dengan Pengadilan Agama di luar Jawa, Madura dam Kalimantan Selatan.

Kewenangan Peradilan Agama sebagai bentuk iplementasi hukum Islam telah mengalami perobahan yang signifikan dan telah menamatkan teori receptie dalam peraturan Peradilan Agama, namun dalam undang-undang tersebut masih ada ganjelan yaitu adanya “pilihan hukum atas perkara kewarisan” yang berarti adanya pengabaian Pengadilan Agama dan hukum Islam bagi pelaksanaan dan belakunya hukum Islam bagi warga negara Indoenesia yang beragama Islam .

Adapun kewenangan Peradilan Agama yang diatur dalam undang-undang Peradilan Agama No. 7/1989 tersebut adalah:

1. Perkara-perkara Perkawinan

2. Perkara kewarisan

3. Perkara Hibah

4. Perkara wasiat

5. Perkara wakaf dan

6. Sadaqah

Disamping itu peraturan tentang pengukuhan putusan pengadilan agama oleh Pengadilan Umum yang diatur dalam pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan No/1/1974 telah dihapus, sehingga Pengadilan Agama telah dapat melaksanakan putusan-putusannya sendiri (eksekusi) seperti peradilan pada umumnya.

Struktur organisasi Peradilan Agama juga telah diatur secara jelas dalam undang-undang peradilan agama tetsebut, seperti kedudukan hakim Peradilan Agama, Panitera/ Panitera Pengganti,Juru sita/Jurisita Pengganti dan lain sebagainya.

Selain itu dalam undang-undang peradilan agama tersebut dengan sendirinya perbedaan penafsiran antara Depatermen Agama dan Mehkamah Agung tentag hukum acara telah hilang dan Peradilan Agama benar-benar telah menjadi satu sistem peradilan di Indonesia dan sistem kasasi ke Mahkmah Agung, seperti kepada Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara

Sesuai dengan tuntuan masyarakat dan realita hukum yang berkembanag di Indonesia Undang-Undang Peraadilan Agama Nomor 7 tahun 1989 disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang- Undang Nomor 50 Tahun 2009, kewenangan diperluas selain seeperti diatur dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut menyelesaikan ekonomi syari’ah, sebagaimana diatur dalam pasal 49 kedua Undang-Undang tersebut, sehingga kewenangan Peradilan Agama, ialah : “Memeriksa dan memutus dan menyelesaikan antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

1. Perkawinan;

2. Kewarisan

3. Wasiat

9. Ekonomi Syari’ah

Kewenangan Peradilan Agama sebagaimana disebutkan di atas, berdasarkan asas personalitas keislaman dengan ketentuan : pertama penyelesaian perkara-perkara tersebut terhadap warga negara Indonesia yang beragama Islam, kedua hukum yang digunakan dalam penyelesaiannya adalah hukum Islam. Pengertian hukum disini adalah yang dijadikan dasar perbuatan hukum, baik yang dijadikan dasar perbuatan subyek hukum, maupun dasar penyelesaian terjadinya perselisihan antara subyek hukum, atau hukum yang dijadikan dasar hukum perbuatan hukum para subyek hukum.

Asas personalitas keislaman tersebut dalam perkembangannya dalam realita melai bergesar menjadi tidak mutlak, karena khusus dalam perselishan ekonomi syari’ah subyek hukum tidak hanya kepada orang-orang yang bergama Islam saja, tetapi dapat juga orang-orang di luar yang beragama Islam. Tetapi hukum yang dijadikan dasar perbuatan hukum tetap hukum Islam. Hal ini dalam ekonomi syari’ah yang menjadi dasar kewenangan Peradilan Agama adalah hukum yang dijadikan dasar perbuatan hukum seperti akad ekonomi atau perjanjian dalam ekonomi syari’ah, meskipun salah satu subyek hukum nya bukan orang-Islam, tetapi tetapi perbuatan hukumnya hukum Islam.

Kata “berdasarkan hukum Islam” memberikan arti yaitu “ bahwa perkara-perkara tersebut antara orang-orang yang beragama Islam dan hukum Kata “berdasarkan hukum Islam” memberikan arti yaitu “ bahwa perkara-perkara tersebut antara orang-orang yang beragama Islam dan hukum

Dengan demikian pihak-pihak yang berperkara baik dalam pihak materiil maupun pihak formil, artinya untuk menjadi pihak di muka pengadilan agama tidak diharuskan yang beragma Islam, meskipun pada dasarnya Pengadilan Agama bagi pengadilan mereka yang beragama Islam. Namun Pengadilan Agama merupakan sistem dari kekuasaan kehakiman yang mereka gunakan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Bahkan dimungkinkan perkara-perkara pidana atau jinmayah pada Pengadilan Agama (Mahkmah Syari’ah) tetentu, seperti Mahkamah Syari’ah di Nanggro Aceh Darusslam sebagaimana ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang- Undang Nomor 50 Tahun 2009.

BAB II

ALUR PENERIMAAN PERKARA DI PENGADILAN AGAMA 8