Perjalanan itu Berakhir (Guntung)

Perjalanan itu Berakhir (Guntung)

Oleh : Putra Afriansyah

“Bulan Ramadhan kali ini kamu pulang, ya?” aku hanya bisa melongok tak percaya bila saat seperti ini bisa datang pada diriku.

“Pulang????” Abangku menganggukkan kepalanya. Mendengar tawaran tadi setiap hari aku selalu berkhayal tentang pulang kampung pertama kali. Ini adalah keajaiban untuk diri ini. Bagaimana tidak? Mungkin ini menjadi hal biasa saja untuk orang lain, tapi buat aku ini adalah hal sangat berharga dan tidak akan pernah terlupakan sampai kapan pun. Bagaimana aku bisa melupakannya, sudah 12 tahun aku tak mengenal kampungku. Aku tak mengenal ayahku, aku tak mengenal keluargaku, aku tak mengenal siapapun. Yang aku tahu hanya namaku dan tempat aku lahir. Hanya itu. Selama 12 tahun aku hanya 3 kali berhubungan telpon dengan ibuku dan kali ini aku akan pergi berjumpa dengan semua yang tak pernah aku kenal itu, semuanya.

Baru dua tahun aku bisa berhubungan dengan abang kandungku, mendapatkan tawaran pulang adalah mimpi yang menjadi nyata, selama ini aku tinggal dengan orang tua angkat dan beberapa tahun ini aku tinggal di sebuah pondok. Akhirnya tahun ke-

12 aku bisa juga kembali ke kampung halamanku. Semua keperluan sudah aku bereskan. Mulai tiket pesawat dua minggu sebelum berangkat sudah aku urus. Pakaian yang akan aku bawa pulang 12 aku bisa juga kembali ke kampung halamanku. Semua keperluan sudah aku bereskan. Mulai tiket pesawat dua minggu sebelum berangkat sudah aku urus. Pakaian yang akan aku bawa pulang

Akhirnya tanggal 15 Ramadhan datang, inilah saatnya aku berangkat. Ssemuanya sudah siap. Barang, uang, dan segala keperluan sudah siap, saatnya berangkat. Dari UKI aku naik mobil yang menuju Bandara Soekarno-Hatta. Sialnya dalam perjalanan aku tak mengatakan jika aku berangkat dari terminal IB, mobil yang kutumpangi sudah sampai di terminal II. Untung sopirnya baik hati, dia rela memutar balik hanya untuk mengantarkan aku. Ini pengalaman pertama untukku naik pesawat. Prosedurnya pun aku tak mengerti, yang jelas aku ikuti saja semua yang dikatakan seorang teman yang lebih berpengalaman. Katanya sejam sebelum keberangkatan aku harus sudah tiba dan chek-in. Aku sampai 1 jam lebih cepat. Sambil bertanya-tanya, akhirnya huhhhh!!! Aku lega juga semuanya berjalan dengan lancar, saat pesawat mulai terbang. Sungguh aku belum percaya aku akan berjumpa dengan keluargaku, aku tidak percaya akhirnya bisa pulang juga.

Perjalanan pulang menuju Riau (kampungku). Aku sampai di bandara Hang Nadim di Batam. Di sini aku punya seorang sahabat yang dulu pernah tinggal bersama di Jakarta, selama beberapa hari aku putuskan untuk berlibur di Batam. Kuinjakkan kaki, aku masih belum percaya jika aku ada di Batam, berpikir untuk pulang pun aku tak pernah walau ingin.

“Halo, Dik. Gua udah sampai di Hang Nadim!” “Oke-oke, awak juga sudah di Hang Nadim.” Aku mencari

di mana temanku itu. Dia bilang ada di dekat pintu keluar dan aku mencarinya.

“Kiting, Kiting balik kampung juga kau akhirnya. Hahahaha,” canda Andika kawanku. Dia datang berdua dengan Rayen yang juga temanku saat masih di Jakarta.

“Ayolah, kita langsung saja ke rumahku. Awak pasti lelah habis perjalanan jauh.” Setelah mengobrol banyak, Andika membawa aku ke rumahnya. Dia tinggal di sebuah perumahan di Simpang Barelang bersama pamannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00.

“Ting, mau ke barelang nggak?” Aku menganggukkan kepala. Siapa yang tak mau ke Barelang, jembatan yang menghubungkan pulau-pulau terdekat di Batam. Barelang merupakan jembatan yang menghubungkan beberapa pulau yang berawal dari Batam dengan pulau di sekitarnya. Nama Barelang didapat dari singkatan dari ketiga pulau yang saling terhubung yaitu BA-tam, RE-mpang, dan Ga-LANG. Namun pulau-pulau yang terhubung tak hanya ketiga pulau ini saja, diantaranya dari pulau Batam-Tonton-Nipah-Rempang-Galang- Galang Baru. Ada satu hal lagi yang menarik dari jembatan ini adalah walaupun namanya Barelang, namun setiap jembatan yang terhubung ke setiap pulau mempunyai nama masing-masing. Dan keenam nama jembatan itu adalah jembatan pertama bernama Tengku Fisabillilah, yang kedua

Nara Singa, ketiga Raja Ali Haji, kemudian Sultan Zainal Abidin, selanjutnyaTuanku Tambusar, dan yang terakhir Raja Kecik.

Bukan hanya sejarah Barelang yang menarik, suasana laut dengan angin yang sepoi-sepoi tak kalah menarik. Coba kita rasakan dari jembatan ini di sore hari. Jika sore telah datang maka jembatan ini akan menjadi tempat berkumpul orang-orang di sekitar Barelang. Mereka datang kemari hanya sekedar duduk berdua dengan kekasihnya atau menghabiskan senja dengan menatap pemandangan indah dari jembatan ini. Bagi para turis, jembatan ini termasuk tempat wisata menarik untuk mereka. Karena bila ke Batam tak ke Barelang, sama saja belum berkunjung ke Batam. Begitulah masyarakat sekitar katakan.

Aku terkagum-kagum dengan jembatan ini. Sayangnya, aku tak bisa menyusuri keenam jembatan yang ada. Sekarang aku hanya duduk di atas jembatan pertama, jembatan Barelang, sambil menunggu berbuka adalah hal yang menyenangkan. Dari jembatan ini aku bisa melihat laut dengan pulau-pulaunya. Selama ini aku hanya bisa menikmati keindahan-keindahan lewat membaca dan foto-foto. Sekarang aku benar-benar ada di tempat yang indah itu. Sepuluh menit lagi akan tiba waktunya berbuka, kami mencari tempat makan. Tak sulit mencari tempat makan di Batam karena di pinggir-pinggir jalan banyak tersedia berbagai makanan, sama halnya dengan di Jakarta. Di sini banyak terdapat penjual sate, pecel lele, masakan padang, dan macam-macam rumah makan. Kami berhenti di sebuah warung yang menyediakan sea food. Aku memesan udang goreng dengan minumannya es jeruk dan Andika juga sama, hanya saja dia memesan es teh obeng.

“Teh obeng ini khasnya orang Batam,” katanya. Aku tidak bertanya apa istimewanya, yang aku lihat hanya teh manis dengan es batu. Oh, mungkin es batunya itu yang berbeda. Kalau kita menggunakan es batu biasa, kalau teh obeng menggunakan es batu yang bulat memanjang lalu di tengahnya terdapat bolongan.

Setelah hari pertama aku mengunjungi Barelang, Andika selanjutnya mengajakku mengunjungi Coastarina. Coastarina adalah wisata di pesisir pantai Batam yang diresmikan tahun 2009. Di Coastarina kita bisa melakukan berbagai olahraga air misalnya berenang dan naik banana boat. Selain olahraga air kita juga bisa bermain bianglala yang letaknya di atas air. Saat berada di atasnya kita bisa menatap tulisan COASTARINA terpampang besar, sehingga dari jarak jauh pun kita bisa melihat tulisan tersebut. Dari Coastarina kita juga bisa menikmati matahari tenggelam sangat menyenangkan. Selain itu, untuk masalah makanan di sini kita tak perlu takut karena di pinggir pantai sudah ada tempat-tempat yang menyajikan berbagai makanan laut. Selain itu, kita juga bisa melihat banyak patung binatang dan juga huruf-huruf yang dibuat dengan ukuran yang sangat besar dan diletakkan di tempat-tempat berbeda di wilayah wisata Coastarina. Coastarina memiliki panggung besar dan di panggung besar inilah yang menjadi andalan untuk berbagai macam acara, misalnya saja acara musik, acara-acara dari Coastarina sendiri, dan lainnya.

Tidak lupa juga Andika mengajak aku untuk shalat di Masjid Raya Batam dan malam harinya kami bermain futsal di sebuah lapangan sintetis di daerah Batam Centre. Setelah tiga hari berada di Batam, aku sudah ditunggu keluarga di kampung.

Pagi yang cerah dan hari ini aku harus melanjutkan perjalanan ke kampung halamanku. Setelah kemarin pengalaman pertama naik pesawat, kali ini aku juga akan merasakan untuk pertama kalinya naik kapal marina. Aku sampai satu jam sebelum keberangkatan. Aku segera memesan tiket yang mengarah ke Guntung. Aku bisa juga mampir di Ferry International Batam Centre, pelabuhan yang terhubung langsung dengan Mega Mall melalui jembatan penyeberangan dari pelabuhan ke dalam mall pelabuhan yang hanya melayani perjalanan international ke Malaysia dan Singapura.

Setelah waktu keberangkatan tiba, aku kembali ke pelabuhan Sekupang. Dari sini aku akan menumpangi marina. Kata teman di sebelahku, biasanya kalau hari-hari menuju lebaran orang-orang penuh di pelabuhan ini. Tapi kali ini untung saja tak terlalu ramai, masih ada kursi yang kosong. Selama perjalanan aku sudah melewati beberapa pelabuhan. Aku tidak tahu apa saja nama pelabuhan, yang kutahu hanya pelabuhan Pulau Burung dan Maro atau Moro, tak tahulah apa namanya. Perjalanan selama dua jam sudah aku tempuh, akhirnya tiba juga. Aku hanya bermodalkan nomor telpon saja untuk pulang ke kampung. Setelah sampai di pelabuhan HK Guntung, aku coba untuk menelpon abang pertamaku yang tidak kukenal wajahnya. Jadi hanya bermodal HP saja. Ada seorang pria yang terus memperhatikanku, kuangkat kedua tas besarku.

Tiba-tiba laki-laki itu memelukku, “Apa kabarnya, dhek? Sekarang udah besar ya?” ternyata ini abang kandungku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Jujur saja aku serasa berjumpa dengan orang lain. Sampai di rumah semua keluarga sedang berkumpul. Aku menghampiri ibu, lalu memeluknya. Begitu juga dengan keluarga Tiba-tiba laki-laki itu memelukku, “Apa kabarnya, dhek? Sekarang udah besar ya?” ternyata ini abang kandungku. Aku tak bisa berkata apa-apa. Jujur saja aku serasa berjumpa dengan orang lain. Sampai di rumah semua keluarga sedang berkumpul. Aku menghampiri ibu, lalu memeluknya. Begitu juga dengan keluarga

Aku masih tidak bisa percaya, padahal sekedar berpikir untuk kembali berpijak di tanah Guntung adalah sebuah hal yang mustahil menjadi kenyataan. Guntung merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Indra Giri Hilir yang terdiri dari mayoritas masyarakat Melayu, Bugis, China, Jawa, dan lain-lain. Biaya hidup di Guntung sementara ini sangat mahal karena seluruh distribusi ke tempat ini melalui jalur laut sedikit lamban. Jadi pasokan barang-barang ke Guntung adakala sangat minim dan membuat semua orang harus hemat. Guntung, wilayah yang berada tepat di pinggir laut dengan satu pelabuhan besar yang diberi nama HK dan banyak pelabuhan kecil untuk menuju pulau-pulau sekitar seperti Sambu, penghasil santan kelapa dengan pabriknya yang terkenal besar karena mengekspor hasilnya hingga ke Singapura. Ada Pulau Burung dan banyak lagi pulau sekitar.

Untuk kehidupan di Guntung, masyarakat terkadang lebih memilih membangun rumah panggung. Bukan karena alasan tidak mampu membeli bahan beton, namun lebih karena alasan alamnya. Tanah gambut di Guntung membuat masyarakat sulit untuk membangun rumah beton karena tanah ini jika digali jarak satu meter akan muncul air dari galian itu. Tanah ini juga lembut, jika kita letakkan beban yang berat di atasnya maka tanah ini akan jeblos ke dalam. Lalu masyarakat sekitar juga rata-rata mengandalkan air hujan untuk diminum dan mencuci. Sedangkan untuk mandi mereka menggunakan air perigi, yaitu air tanah yang berwarna kecoklatan seperti warna air teh. Air perigi ini mudah didapatkan. Mereka hanya tinggal menggali tanah sedalam dua meter dan air akan langsung terlihat dan langsung bisa digunakan. Selain itu, Guntung saat ini baru memiliki satu rumah sakit yang menjadi andalan mereka dengan sebuah ambulance untuk mengangkut jenazah. Untuk transportasi, sementara ini masyarakat Guntung menggunakan kendaraan bermotor karena mobil tidak memungkinkan untuk beroperasi di tempat ini. Alasannya adalah infrastruktur yang masih kacau.

Untuk wisata, Guntung memiliki tempat wisata kolam. Kolam merupakan tempat wisata yang terdiri dari tujuh kubangan air yang luasnya kira-kira 15x20 meter. Wisata ini akan sering dikunjungi di saat sore hari atau akhir pekan di saat mereka libur kerja atau sekolah. Yang menarik dari kolam adalah karena sebelum wisata ini bisa digunakan untuk tempat reakreasi kolam, merupakan tempat hidup buaya. Karena masyarakat resah dan takut akan terjadi hal-hal yang dapat menganggu kehidupan mereka, akhirnya mereka membunuh buaya-buaya itu lalu menguburkannya di dekat salah satu Untuk wisata, Guntung memiliki tempat wisata kolam. Kolam merupakan tempat wisata yang terdiri dari tujuh kubangan air yang luasnya kira-kira 15x20 meter. Wisata ini akan sering dikunjungi di saat sore hari atau akhir pekan di saat mereka libur kerja atau sekolah. Yang menarik dari kolam adalah karena sebelum wisata ini bisa digunakan untuk tempat reakreasi kolam, merupakan tempat hidup buaya. Karena masyarakat resah dan takut akan terjadi hal-hal yang dapat menganggu kehidupan mereka, akhirnya mereka membunuh buaya-buaya itu lalu menguburkannya di dekat salah satu

Dan itulah tentang perjalanan pulang kampung pertamaku setelah 12 tahun tak pernah pulang. Setelah kepulangan ini aku tak merasa berbeda lagi dari yang lainnya karena aku sudah berjumpa dengan ibu, nenek, dan semua keluarga di kampung. Tapi ada satu hal yang membuat aku merasa malu pulang ke kampung. Aku lupa dengan bahasa Melayu. Aku sudah tak bisa lagi melafalkan kata-kata dalam bahasa Melayu, padahal aku ingin sekali menguasainya. Setelah ini aku akan selalu merindukan rumah panggung, tanah gambut, air perigi, duduk sore hari di pinggir laut, dan semua tentang Guntung.

Semua barang sudah aku kemas, juga rasa rindu yang selama ini aku pendam. Kini aku kemas lagi untuk aku bawa ke Jakarta. Pagi ini aku harus sudah kembali ke Jakarta. Sialnya hari ini, ibuku tak sempat mengucapkan kata-kata perpisahannya padaku. Begitu pula aku. Karena saat datang dan membeli tiket marina, kapal ini langsung berangkat menuju Batam. Ibu, aku akan selalu Semua barang sudah aku kemas, juga rasa rindu yang selama ini aku pendam. Kini aku kemas lagi untuk aku bawa ke Jakarta. Pagi ini aku harus sudah kembali ke Jakarta. Sialnya hari ini, ibuku tak sempat mengucapkan kata-kata perpisahannya padaku. Begitu pula aku. Karena saat datang dan membeli tiket marina, kapal ini langsung berangkat menuju Batam. Ibu, aku akan selalu