Dieng, Percikan Surga di Tanah Tua Jawa

Dieng, Percikan Surga di Tanah Tua Jawa

Oleh : Bardatin Lutfi Aifa

Menarik, eksotik, berbaur mistik. Tiga kata yang menggambarkan Dieng. Siapa yang tak kenal dengan dataran tinggi

yang terhampar di perbatasan Banjarnegara dan Wonosobo ini? Pesona alam Dieng yang sungguh memukau menggugah jiwa petualang saya untuk menjelajahinya.

Kawasan wisata Dieng dapat ditempuh dari pusat kota Wonosobo baik dengan kendaraan umum maupun pribadi. Bagi yang menyukai tantangan seperti saya, kendaraan pribadi menjadi pilihan. Cukup mengarah ke utara dari alun-alun Wonosobo dan saya sudah mendapati jalan utama ke Dieng. Jalan beraspal cukup baik meskipun terdapat kerusakan yang tengah diperbaiki di beberapa titik. Sungguh luar biasa perjuangan menuju ke sana. Jalan menanjak dan meliuk-liuk bak ular melingkari bebukitan, dengan tebing di sebelah kiri dan jurang di sebelah kanan. Adrenalin membuncah memenuhi darah. Jantung terpacu, nafas memburu. Lisan ini tak henti bertalu, menyebut asma Sang Pencipta Yang Maha Kuasa. Bukan hanya karena rasa takut, melainkan juga rasa kagum atas kemolekan alam ciptaan-Nya. Saya menyempatkan diri berhenti di satu titik di mana saya bisa melihat Gunung Sindoro berdiri kokoh di hadapan saya, bersebelahan dengan bukit-bukit pengunungan Dieng yang tak kalah mentereng. Tertimpa cahaya sang surya, ceruk-ceruk perbukitan tampak jelas dengan gradasi warna yang elok.

Kawasan Dataran Tinggi Dieng dibagi menjadi dua zona yang masing-masing mencakup beberapa tempat wisata. Zona 1 meliputi Kompleks Candi Arjuna, Museum Kaliasa, Kawah Sikidang, Dieng Plateau Theater, serta Telaga Warna. Sedangkan zona 2 meliputi Sumur Jalatunda, Kawah Sileri, dan Telaga Merdada.

Di antara sekian tempat, Telaga Warna menjadi pilihan utama saya. Saya hanya perlu membayar Rp5.000,00 untuk bisa memasuki kawasan wisata ini. Dinamakan Telaga Warna karena warna airnya yang beralih-alih antara hijau dan biru dikarenakan kandungan belerang di dalamnya. Tiga kali kunjungan saya ke sana, momen terbaik saya dapatkan saat kunjungan terakhir. Saya sebut yang terbaik karena kala itu mentari bersinar sangat terik, membuat air telaga benar-benar tampak berwarna-warni sesuai namanya. Ya, ternyata bila sedang berselimut kabut, Telaga Warna hanyalah kumpulan air berwarna hijau tua. Jadi saat terbaik untuk mengunjungi Telaga Warna adalah saat musim kemarau. Pantulan sinar mentari juga membuat permukaan telaga berkilap keperakan. Riak air telaga berpadu dengan burung-burung yang terbang rendah sungguh menyuguhkan pemandangan yang eksotik.

Di kunjungan terakhir itu pula saya menemukan sisi-sisi terbaik untuk menikmati keindahan panorama telaga yang berlatar bebukitan tersebut. Kebanyakan pengunjung begitu memasuki area Telaga Warna akan berjalan ke sebelah kiri dan hanya berhenti hingga pelataran berpaving. Hal itu bisa dimaklumi karena selepas itu hanya ada jalan tanah setapak berpagar ilalang. Dan disayangkan juga tidak ada pemandu wisata ataupun penunjuk arah yang Di kunjungan terakhir itu pula saya menemukan sisi-sisi terbaik untuk menikmati keindahan panorama telaga yang berlatar bebukitan tersebut. Kebanyakan pengunjung begitu memasuki area Telaga Warna akan berjalan ke sebelah kiri dan hanya berhenti hingga pelataran berpaving. Hal itu bisa dimaklumi karena selepas itu hanya ada jalan tanah setapak berpagar ilalang. Dan disayangkan juga tidak ada pemandu wisata ataupun penunjuk arah yang

Sekilas tampak, telaga yang mulanya berasal dari sisa kaldera yang telah mati ini seolah mengeluarkan buih-buih bak air mendidih. Tapi coba celupkan tangan di airnya, kita akan mendapati airnya sangat dingin dan tentu saja berbau belerang yang menyengat.

Di kompleks Telaga Warna ini terdapat tiga buah gua yaitu Gua Jaran, Gua Semar, dan Gua Sumur yang kesemuanya merupakan gua pertapaan. Terdapat pula Telaga Pengilon persis di seberang Telaga Warna. Namun sayangnya jalan setapak menuju ke sana tidak dapat dilalui, sehingga saya hanya bisa menikmatinya dari kejauhan.

Satu hal yang tidak pernah saya lewatkan, saya selalu membeli kue bandros di depan pintu masuk Telaga Warna. Kue yang dijajakan oleh tiga kakak beradik yang masih kecil-kecil. Di sebelah mereka, sang ayah berjualan kacang rebus. Pemandangan yang membuat hati ini miris. Mengingatkan pada saya untuk selalu bersyukur atas segala nikmat yang Allah berikan. Nikmatnya hidup Satu hal yang tidak pernah saya lewatkan, saya selalu membeli kue bandros di depan pintu masuk Telaga Warna. Kue yang dijajakan oleh tiga kakak beradik yang masih kecil-kecil. Di sebelah mereka, sang ayah berjualan kacang rebus. Pemandangan yang membuat hati ini miris. Mengingatkan pada saya untuk selalu bersyukur atas segala nikmat yang Allah berikan. Nikmatnya hidup

Tak jauh dari Telaga Warna, terdapat Dieng Plateau Theater yang memutar film dokumenter mengenai sejarah terbentuknya Dataran Tinggi Dieng serta fenomena budaya masyarakatnya. Salah satu fenomena yang sangat terkenal adalah fenomena anak berambut gimbal yang dipercayai merupakan titipan dari penguasa alam gaib dan membawa keberuntungan. Awalnya anak terserang demam yang sangat tinggi disertai mengigau saat tidur. Gejala ini tidak bisa diobati hingga akhirnya akan normal sendiri tetapi rambut anak menjadi gimbal. Rambut ini baru bisa dipotong setelah adanya permintaan dari anak itu sendiri, dan proses pemotongannya pun menggunakan ritual tersendiri.

Selain Telaga Warna dan Dieng Theatre masih terdapat tempat-tempat lainnya yang masih bisa dikunjungi. Namun bila waktu sudah melewati dhuhur, lebih baik segera bersiap untuk turun. Hujan orografis sering mengguyur dataran tinggi ini selepas dhuhur. Dan bila hujan telah turun, hampir dapat dipastikan kabut segera mengikut.

Tiga kali saya menjelajahi bumi Dieng, dan saya tak pernah bosan menikmati keindahan alamnya. Sungguh laksana percikan surga di tanah tua Jawa.