Melancong di Tiga Negara Macan Asia

Melancong di Tiga Negara Macan Asia

Oleh: Okti Li

Walau dengan status buruh migrant, tapi pengalaman perjalanan yang didapat saat berada di tiga negara Macan Asia 11 :

Singapura, Hongkong, dan Taiwan tak kalah istimewa dari sekadar perjalanan dinas, tour, atau kunjungan keluarga. Kesan yang dirasa tak akan bisa dilupakan begitu saja. Antara sedih, senang, takjub, kagum, semua rasa yang dialami bercampur dan tersusun dalam kisah ini.

Perbedaan yang dirasakan dalam hal kebudayaan, seni kuliner atau makanan khas, kendaraan, dan sistem pelayanan lalu lintasnya, semua telah memperkaya pemahamanku. Keanekaragaman yang inspiratif penuh hikmah, tak akan bisa kulupakan sepanjang masa.

Di awal tahun 2000, aku mengunjungi Singapura, tempat mengais rezeki. Subhanallah, aku terkagum-kagum dengan kemegahan bandara internasionalnya. Secara, kali itu untuk yang

Tiga negara dari empat negara yang menjuluki Macan Asia, juga dikenal dengan Empat Naga Kecil Asia. Yaitu menunjuk ke negara Hong Kong, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan. Wilayah-wilayah dan negara tersebut menjaga pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan industrialisasi yang cepat antara awal 1960-an dan 1990-an.

pertama kalinya menginjakkan kaki di bandara luar negeri Changi Airport.

Hal selanjutnya yang membuatku kembali menggelengkan kepala adalah sistem transportasinya yang tertib serta kebersihan yang sangat terjaga. Sangat jauh berbeda dengan kondisi tanah airku, tentu saja.

Dari segi kuliner, yang pertama cocok di lidah waktu itu adalah makanan khas Melayu seperti nasi lemak, mie goreng seafood, sampai ke otak-otak. Lama-lama, makanan Chinese pun bisa kunikmati dan belajar membuatnya. Hainan chicken rice, kwetiau, dan Chinese dumpling menjadi menu favorit.

Minuman yang namanya sempat membuatku tertawa jika mengingatnya adalah teh tarik. Dulu, saat disodorkan daftar menu minuman oleh pelayan bertuliskan teh tarik, aku mengerutkan kening cukup lama. Namanya kok aneh dan unik, ya? Bagaimana bentuknya teh yang ditarik? Kontan mesem-mesem sendiri saat teh yang dimaksud dihidangkan. Oalah, kirain teh tarik itu teh yang dibuatnya ditarik-tarik, ternyata bukan.

Tinggal dan bekerja maupun melancong ke Singapura tak menyebabkan mabuk kampung halaman. Kebudayaan serumpun dan bahasa Melayu yang tak begitu jauh berbeda, wilayah Batam yang menjadi perbatasan, siaran radio yang bisa dipantau sangat Indonesia banget, dan masih banyak lagi hal lain yang membuatku kerasan tinggal di Singapura. Seakan tak jauh dari kampung saja.

Singapura memang memberikan keindahan dan kemewahan. Satu hal yang membuatku memilih untuk meninggalkannya setelah finish contract adalah soal gaji yang saat itu sangat sedikit. Uang Singapura $230 teramat pas-pasan untuk dikirim ke kampung demi memenuhi kebutuhan hidup. Alhasil, selama dua tahun kerja aku sama sekali tidak mempunyai simpanan.

Perjalanan selanjutnya Hongkong. Pertama menginjakkan kaki di negara beton ini tepat pada saat musim dingin yang sangat mengigit. Tak akan terlupakan saat merasakan perubahan musim yang terasa sangat menyiksa. Terbiasa tinggal di daerah khatulistiwa yang suhunya terbilang normal, tiba-tiba mengalami suhu dingin yang berkepanjangan. Perlu waktu sepanjang musim dingin tahun itu untuk bisa menyesuaikan diri dengan suhu setempat. Perihnya tangan yang pecah-pecah, berdarah, dan mengeras, sempat kurasakan penuh kesakitan. Bukan hanya tangan, tapi bibir juga kering mengelupas dan mengeluarkan darah.

Berkat bantuan teman yang memberikan vaselin, lip glos, dan lotion untuk mencegah kulit kering, alhamdulillah semua kesakitan itu bisa berkurang. Hingga musim dingin selanjutnya, aku bisa menjalaninya tanpa kesakitan lagi.

Gaya hidup orang-orang Hongkong dan kedisiplinannya yang sangat tinggi lama-lama bisa aku imbangi. Waktu adalah uang. Waktu yang berlalu tak akan kembali, sangat mempengaruhi sikap dan jalan hidupku selanjutnya. Jalan cepat menuju stasiun, ketertiban dalam kendaraan dan tempat-tempat umum, menjaga sampah supaya tidak tercecer dan membuangnya di tempat seharusnya, sampai hidup Gaya hidup orang-orang Hongkong dan kedisiplinannya yang sangat tinggi lama-lama bisa aku imbangi. Waktu adalah uang. Waktu yang berlalu tak akan kembali, sangat mempengaruhi sikap dan jalan hidupku selanjutnya. Jalan cepat menuju stasiun, ketertiban dalam kendaraan dan tempat-tempat umum, menjaga sampah supaya tidak tercecer dan membuangnya di tempat seharusnya, sampai hidup

Pelaksanaan ibadah di Hongkong yang notabene negara non- muslim namun sangat dijunjung tinggi. Masjid Tsim Tsa Sui dan Masjid Amar di Wan Chai menjadi pusat dakwah dan ibadah. Organisasi ketenagakerjaan selalu mengadakan acara yang dihadiri para ulama kondang, maupun artis dari tanah air. Selain sebagai hiburan, hal itu sekaligus menjadi sarana pembelajaran. Banyak teman-teman yang tidak hanya sukses secara finansial setelah merantau ke Hongkong, namun juga berhasil dalam karir dan wirausaha.

Empat kali musim dingin aku lewatkan di negerinya Jacky Chan sebelum akhirnya aku memutuskan meneruskan perjalanan ke Taiwan. Taiwan yang saat itu masih ada di bawah pimpinan Chen Sui Bian kondisinya tak jauh beda dengan Hongkong. Tak harus kepayahan menyesuaikan diri saat menginjakkan kaki di negara pulau yang memisahkan diri dari RRC ini karena aku sudah mempersiapkan diri dari sebelumnya.

Seperti Hongkong, disiplin dan etos kerja orang Taiwan terbilang tinggi. Ritme kerja yang on time dan mengutamakan loyalitas menjadi pelajaran tersendiri buatku. Andai setiap pekerja Indonesia di Taiwan bisa menerapkan apa yang didapat itu di tanah air, aku yakin untuk mencapai kemajuan Indonesia tak harus menunggu lama.

Di Taiwan, setiap penghujung musim panas selalu ada thyphoon yang melintas. Pertama mengalaminya aku sangat ketakutan. Hujan badai disertai angin yang sangat kencang berputar- putar di langit Taiwan. Suaranya menderu, bising, dan sangat mencekam. Namun tentu saja antisipasi dari pemerintah Taiwan sudah sedia. Berbagai instansi terkait dengan fasilitas yang serba canggih selalu siap sedia. Para petugas berjaga-jaga menangkal kemungkinan terjadi bencana yang membawa korban. Stasiun televisi dan radio tak henti-hentinya menyampaikan berbagai berita dan informasi yang berkaitan.

Dalam kondisi seperti itu keberadaan Tuhan tak bisa dikesampingkan. Doa dan ibadah semakin yakin aku panjatkan, merasa menjadi hamba kecil yang berada di bawah kekuasaan-Nya Yang Maha. Sebagai hamba yang tiada daya upaya, hanya kepada- Nya memohon dan kembali.

Taiwan High Speed Rail (THSR atau HSR) adalah kereta tercanggih di Taiwan dengan kecepatan 345 km per jam. Beruntung aku bisa merasakan kenyamanannya saat melakukan perjalanan dari ibu kota Taipei ke kota Kaohsiung. Perjalanan dari Utara Taiwan ke Selatan itu hanya ditempuh dengan waktu 2 jam saja.

Makanan khas Taiwan yang unik dan tak akan terlupakan adalah chou tou fu (tahu bau). Entah bagaimana bisa, tahu yang digoreng dengan minyak banyak itu bisa mengeluarkan aroma yang sangat bau menyengat. Orang yang belum tahu, mungkin tidak akan berani makan karena dengan mencium baunya saja sudah bisa membuat (maaf) muntah. Padahal, setelah dicicipi, enak juga lho!

Irisan tahu goreng diberi bumbu manis asam pedas, lalu ditaburi asinan sayur kol. Wah, seger bener....

Isu (atau resiko?) yang sangat terkenal di kalangan orang Indonesia jika bekerja di Taiwan (dan negara nonmuslim lainnya) adalah susahnya mengonsumsi makanan halal dan menjalankan ibadah wajib. Benarkah demikian?

Pemerintah Taiwan di bawah pimpinan Ma Ying Jiou, saat ini sangat menghargai keanekaragaman budaya dan agama. Taiwan mengakui adanya agama Islam. Tujuh buah masjid berdiri dengan megahnya di enam kota yang berbeda. Pelaksanaan ibadah dan konsumsi makanan pun sangat dilindungi. Memang pernah terjadi pemaksaan makanan tidak halal yang dilakukan oleh majikan terhadap pekerja muslim Indonesia, dan itu sudah ditindak tegas oleh pemerintah Taiwan. Si majikan mendapatkan hukuman dan peringatan keras, berlaku bagi semua warga.

Pengalamanku dalam hal ini, yang terpenting adalah mengedepankan komunikasi antara pekerja muslim dengan majikan yang non-muslim. Keterbukaan dan informasi perlu disampaikan kepada majikan karena masih banyak warga Taiwan yang belum mengenal islam dengan baik. Karenanya banyak kesalahfahaman, dan itu semua bisa diminimalis.

Jika dihitung berdasarkan angka, saat ini gaji bekerja di Taiwan sebagai pekerja nonformal masih menduduki peringkat gaji terbesar dibanding dengan negara lainnya dengan profesi yang sama.

Sayangnya, pemerintah Taiwan membatasi masa tinggal dan bekerja di Taiwan maksimal 9 tahun per orang.

Enam tahun tinggal dan bekerja di Taiwan, telah melahirkan sekian banyak catatan perjalanan yang berkesan, informatif, dan tak akan mudah terlupa setiap waktunya. Bersyukur aku diberi kesempatan mengalami selusin tahun melancong ke tiga negara Macan Asia.