Untuk Kedua Kalinya

Untuk Kedua Kalinya

Oleh : Srimulyani

Pagi menjelang subuh saat kami tiba di hotel ‘Dyar International’ setelah penerbangan panjang yang melelahkan, Bontang-Balikpapan-Singapore-Dubai-Jeddah-Madinah. Akhirnya kujejakkan lagi kaki di sini, di kota nabi setelah tujuh tahun berlalu untuk menjalankan ibadah umroh selama 10 hari. Umroh yang selalu kami impikan karena kami pergi sekeluarga: aku, suami, ketiga anakku, dan ibu kandungku. Koper-koper merah masih bertumpuk di dekat pintu. Aku melepas jam tangan dan jilbabku, lalu kutaruh di atas meja. Sementara suamiku meraba kantung-kantung baju dan celananya. Wajahnya agak menegang. Tentu saja aku jadi curiga ketika ia melakukannya berulang-ulang.

“Ada apa sih?” tanyaku penasaran. “Dompet,” katanya singkat. “Kenapa dompetnya? Hilang?” aku menebak. “Keliatannya begitu...” jawabnya ragu. “Coba diingat-ingat, terakhir ditaruh dimana?” “Disini. Kantung celana luar,” jawabnya.

“Lho, biasanya kan Abi kalau naruh dompet di celana pendek bagian dalam. Coba periksa lagi!” saranku.

“Enggak ada!” Aku berusaha tenang, tapi tak urung keluar juga pertanyaan,

“Kartu-kartu ditaruh di dompet semua?” “Enggak! Kartu ATM dan kartu kredit ada di sini,”

tunjuknya pada tempat kartu. “Tapi KTP, SIM, dan uang ada di dompet,” lanjutnya.

“Telpon Ustadz saja! Busnya kan bus carteran. Siapa tahu tertinggal di bus. Tapi kalau jatuh di tempat beli ‘teh susu’ di Jeddah atau justru ketinggalan di penginapan di Singapore, ya sudah.. wassalam,” kataku.

Aku heran, dua kali kami bertandang ke kota Haram, dua kali pula suamiku mengalami hal serupa. Tujuh tahun yang lalu kami menunaikan ibadah haji pada bulan Januari 2004. Aku ingat, waktu itu baru hari ketiga kami tinggal di Mekkah setelah 8 hari kami menghabiskan waktu di Madinah. Tas kecil berisi paspor, dompet, dan surat-surat penting suamiku tertinggal di Hijr Ismail seusai kami melakukan tawaf dan shalat sunnah. Kejadiannya pun sama, di dini hari menjelang shalat subuh. Semua uang bekal rupiah dan living cost berupa Riyal kepunyaannya ada di tas itu. Pucat pasi kami melapor kepada askar penjaga di sela-sela padatnya jama’ah. Mulanya mereka melarang kami masuk karena melawan arus. Untunglah salah seorang dari mereka akhirnya berkenan mengantar kami ke sisi kanan Hijr Ismail setelah kujelaskan masalah yang kami Aku heran, dua kali kami bertandang ke kota Haram, dua kali pula suamiku mengalami hal serupa. Tujuh tahun yang lalu kami menunaikan ibadah haji pada bulan Januari 2004. Aku ingat, waktu itu baru hari ketiga kami tinggal di Mekkah setelah 8 hari kami menghabiskan waktu di Madinah. Tas kecil berisi paspor, dompet, dan surat-surat penting suamiku tertinggal di Hijr Ismail seusai kami melakukan tawaf dan shalat sunnah. Kejadiannya pun sama, di dini hari menjelang shalat subuh. Semua uang bekal rupiah dan living cost berupa Riyal kepunyaannya ada di tas itu. Pucat pasi kami melapor kepada askar penjaga di sela-sela padatnya jama’ah. Mulanya mereka melarang kami masuk karena melawan arus. Untunglah salah seorang dari mereka akhirnya berkenan mengantar kami ke sisi kanan Hijr Ismail setelah kujelaskan masalah yang kami

Melihat wajah kami yang kecewa, ia pun mengajak kami ke sebuah kantor yang letaknya di sisi luar Masjidil Haram, dekat daerah Safa. Sambil melangkah cepat, ia sesekali bertanya mengenai isi tas suamiku. Dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, kami menjawab setiap pertanyaannya. Beruntung kami bertemu dengan penjaga yang bisa berbahasa Inggris, karena pengalamanku selama

10 hari tiba di negara ini, jarang kami menemukan penjaga masjid, penjaga toko, ataupun penjual makanan yang mau berbahasa Inggris. Selain bahasa Arab, adakalanya mereka berbahasa campur, misalnya Melayu. Itupun tak banyak kosakata yang mereka kuasai. Paling- paling mereka bilang, “Indonesia, mari murah!” atau hitungan satu sampai sepuluh, lima puluh, seratus, atau ucapan terima kasih, dan sebagainya. Selebihnya bahasa isyarat.

Ketika aku bertanya, “Can you speak English?” Mereka spontan menjawab, “No! Arabian.” Hadeuh... kalau sudah begini, aku menyesal kenapa nggak belajar bahasa Arab. Apalagi ketika di Mesjid Nabawi, seorang wanita muda dan cantik dari Turki mengajak berkenalan. Lagi-lagi dia hanya bisa bahasa Arab. Aku yang tidak mengerti bahasa Arab hanya terdiam. Sedangkan di sebelahku, seorang ibu tua dari Indonesia langsung nyamber bercakap-cakap dengannya pakai bahasa Arab. Ih, malu banget deh. Masak kalah sama nenek-nenek! Entah kenapa, selama 10 hari itu aku jarang bertemu dengan penjaga ataupun penjual berkebangsaan

Indonesia. Apa karena kami tiba sangat awal waktu itu? Padahal di hari-hari berikutnya, ternyata banyak sekali TKI di sana.

Kembali ke kisahku mencari tas yang hilang. Di kantor itu ada rak kotak-kotak seperti tempat menaruh sandal yang isinya berbagai macam tas paspor dari berbagai negara. Lagi-lagi tak ada tas kepunyaan suamiku. Penjaga kantor hanya bisa prihatin atas keadaan kami. Sementara Askar menyarankan kami untuk shalat subuh karena adzan mulai berkumandang. Dia pun mengingatkan kami untuk memohon pada Allah dalam doa kami. “Selesai shalat barang Anda akan kembali, insyaAllah,” hiburnya.

Hilang sudah kesempatan untuk shalat tahajud di Masjidil Haram sepertiga malam itu akibat keteledoran kami. Perjalanan masih panjang. Masih sebulan kami akan berada di sini, sementara uang yang tersisa hanya kepunyaanku saja. Aku tak membawa uang banyak. Bukan tak mau, tapi memang tak punya. Niat kami ke tanah suci waktu itu hanyalah beribadah, bukan untuk belanja. Jadi ketika uang telah cukup untuk membayar ONH, kami nekat berangkat tanpa tambahan bekal uang yang banyak. Itulah sebabnya kami selalu membawa uang kami kemana pun kami pergi. Maksudnya sih biar lebih aman. Karena menurut pengalaman teman-teman yang sudah pernah menjalankan ibadah haji, tempat penginapan tak selalu aman.

Nyatanya, kami justru kehilangan separuh uang kami. Aku mulai berhitung, mengira-ngira jumlah pengeluaran selama sebulan ke depan untuk makan berdua dan membayar dam. Untunglah Nyatanya, kami justru kehilangan separuh uang kami. Aku mulai berhitung, mengira-ngira jumlah pengeluaran selama sebulan ke depan untuk makan berdua dan membayar dam. Untunglah

Tak dinyana, selepas shalat subuh handphone kami berbunyi tanda SMS masuk. “Mas Epi dan Mbak Ade, tas paspornya ada di kami,” bunyi SMS dari seorang teman satu rombongan. SMS singkat yang membuat kami melonjak, menebarkan semangat baru dan kegembiraan yang luar biasa. Alhamdulillah, tak terkira senangnya hati kami! Siapa yang menyangka teman kami itu shalat tepat di belakang kami tadi, sehingga ketika melihat tas yang ditinggal suamiku, dia segera menyelamatkannya. Sebuah keberuntungan yang nyata. Sejak saat itu, kemana pun pergi, suamiku hanya membawa uang seperlunya. Uang yang lain dia taruh di koper tak berkunci di penginapan. Nyatanya sampai hari terakhir kami menginap, penginapan kami termasuk tempat yang aman.

Walau uang telah kembali, aku tetap bertekad untuk berhemat. Di penginapan tersedia dapur lengkap dengan kompor gas dan kulkas. Aku membeli penggorengan dan panci seharga 6 real. Menyusuri gang-gang di daerah Misfalah, ternyata aku menemukan toko yang menjual beras, telur, daging, sayur-mayur, tempe, dan tahu dengan harga terjangkau. Bila membeli makanan matang, sehari Walau uang telah kembali, aku tetap bertekad untuk berhemat. Di penginapan tersedia dapur lengkap dengan kompor gas dan kulkas. Aku membeli penggorengan dan panci seharga 6 real. Menyusuri gang-gang di daerah Misfalah, ternyata aku menemukan toko yang menjual beras, telur, daging, sayur-mayur, tempe, dan tahu dengan harga terjangkau. Bila membeli makanan matang, sehari

Berulang kali aku menjumpai mobil pick-up yang melemparkan bungkusan makanan ke para pejalan kaki seperti kami. Ada kala pula tiba-tiba seseorang memberi aku sebungkus plastik berisi penuh roti. Pernah seorang Tuan Arab sedang belanja bersama istri, anak-anak, dan pembantunya, tanpa kami minta dia membayar harga kurma berisi almond yang kami beli. Pernah juga seorang TKI berdarah Sunda yang tak kukenal memberiku sekardus jeruk mandarin dan sekantong kresek kue. Gara-garanya sederhana saja. Ia mendengar aku berkata dengan logat Sundaku, “Duh, Umi kok mual ya, Bi. Coba ada yang jualan jeruk di sini.” Memang waktu itu kami sedang berada di Mina, kesasar di antara perkemahan orang-orang India. Tak ada seorang penjual pun. Dengan bantuannya pula akhirnya kami menemukan jalan menuju kemah kami. Sungguh rejeki-Nya datang dari arah yang tak disangka-sangka. Pada akhirnya saat menjelang pulang ke tanah air, uang kami cukup untuk membeli oleh-oleh bahkan bersisa 300 riyal. Alhamdulillah.

Nah, itu kejadian tujuh tahun yang lalu. Kalau sekarang kejadian kehilangan terulang lagi, akankah keberuntungan pun terjadi? Wallahu’alam. Ini kota suci. Kami selalu percaya pertolongan Allah. Yang pertama harus kami lakukan tentu saja melapor pada ustadz pembimbing untuk mencoba menghubungi supir bus dan mencari tahu adakah dompet tersebut tertinggal di sana. Tentu saja kami berharap keberuntungan berpihak pada kami. Walau uang di dompet yang hilang tak sebanyak dulu, tapi malas Nah, itu kejadian tujuh tahun yang lalu. Kalau sekarang kejadian kehilangan terulang lagi, akankah keberuntungan pun terjadi? Wallahu’alam. Ini kota suci. Kami selalu percaya pertolongan Allah. Yang pertama harus kami lakukan tentu saja melapor pada ustadz pembimbing untuk mencoba menghubungi supir bus dan mencari tahu adakah dompet tersebut tertinggal di sana. Tentu saja kami berharap keberuntungan berpihak pada kami. Walau uang di dompet yang hilang tak sebanyak dulu, tapi malas

Untunglah alat komunikasi saat ini sudah begitu mudahnya. Dan yang terpenting masih ada orang-orang jujur bertebaran di bumi ini. Siang itu menjelang city tour di kota Madinah, ustadz pembimbing datang membawa sebuah dompet berisi KTP, SIM, dan uang milik suamiku, utuh! Entah siapa yang menemukannya, kami sampai lupa bertanya saking senangnya. Wow, betapa beruntungnya kami! Untuk kedua kalinya hal ini terjadi. Barang kami kembali dengan utuh. Dompet itu memang terjatuh di bus, bukan di toko minuman di Jeddah seperti perkiraanku. Apalagi di penginapan Singapore! Aku spontan berdoa, “Alhamdulillah.... Ya Allah, semoga ini kehilangan yang terakhir!” Tentu saja kami berharap tak akan ada lagi kejadian kehilangan “part tiga”. Tidak di perjalanan umroh kali ini. Tidak juga di kemudian hari bila Allah mengijinkan kami ke sini lagi. Kehilangan? Wew, ogah dah!