Makassarku, Kemenanganku

Makassarku, Kemenanganku

Oleh: Estianna Khoirunnisa

Bagi anak SMA, olimpiade bidang pelajaran merupakan suatu ajang kompetisi yang sangat bergengsi. Begitu pun yang kurasakan tiga tahun yang lalu, tepatnya tahun 2008. Dan siapa sangka pada akhirnya aku bisa sampai ke tingkat nasional? Wallahu’alam. Maka sekarang aku akan membawa kalian menikmati kisah perjalanan dan pengalamanku di bumi Makassar, negeri yang kaya akan kisah perjuangan para pahlawan kemerdekaan.

Kontingen dari Yogyakarta yang berjumlah beberapa puluh anak terbang dengan Merpati Airlines dari bandara Internasional Adisucipto di pagi yang cerah pada hari Jum’at. Kami tiba di bandara Internasional Hasanuddin sekitar dua jam kemudian. Jantungku berdebar kencang begitu kami tiba di daratan ciptaan-Nya yang masih asing bagiku dan berusaha merekam situasi agar terpatri dalam ingatan. Lantas kami menuju hotel yang telah disiapkan oleh pemerintah setempat untuk melepaskan penat.

Rupanya hotel tempat kami menginap berpencar sesuai dengan bidang studi olimpiade. Kami harus berputar-putar mencari hotel-hotel tersebut. Ada beberapa peserta yang diturunkan di hotel Sahid, ada pula yang diturunkan di hotel bintang lima tepi pantai. Hingga pukul dua belas lewat, bus belum selesai juga menurunkan semua penumpangnya. Akibatnya, beberapa teman laki-laki yang Rupanya hotel tempat kami menginap berpencar sesuai dengan bidang studi olimpiade. Kami harus berputar-putar mencari hotel-hotel tersebut. Ada beberapa peserta yang diturunkan di hotel Sahid, ada pula yang diturunkan di hotel bintang lima tepi pantai. Hingga pukul dua belas lewat, bus belum selesai juga menurunkan semua penumpangnya. Akibatnya, beberapa teman laki-laki yang

Tibalah aku dan tim rombongan olimpiade Astronomi di hotel Dinasti ketika matahari mulai tergelincir ke barat. Aku segera check in, kemudian memasuki kamarku di lantai lima. Kulihat teman sekamarku telah tiba duluan. Aku tersenyum dan kami berkenalan. Rambut ikalnya dan pembawaannya yang supel langsung menarik hatiku. Namanya Vivin, dia berasal dari Makassar. Rupanya orang Makassar ramah dan baik hati. Aku cepat mengakrabkan diri dengannya. Dan malam harinya, kami berangkat bersama menuju lokasi lomba.

Sepanjang perjalanan, aku disibukkan dengan berdo’a dan berdo’a. Maklumlah, ini kali pertamaku mengikuti lomba bertingkat nasional. Sejak dari rumah, aku telah gugup tidak karuan. Aku merasa persiapanku belum maksimal. Dan alhasil, isi koperku malah didominasi oleh buku-buku dan materi olimpiade. Agak sedih juga rasanya karena begitu tiba di Makassar, waktu untuk mempelajari ulang materi-materi itu nyaris tidak ada. Aku hanya bertawakkal saja pada usahaku selama ini dan pada kuasa-Nya. Siap atau tidak, lomba malam ini tidak dapat ditunda dan harus kuhadapi.

Kami bertanding hingga tengah malam ditemani bintang- bintang yang cerah tak terhalang awan. Satu jam pertama adalah tes tertulis dilanjutkan dengan tes praktik. Subhanallah, sekali tes praktik Kami bertanding hingga tengah malam ditemani bintang- bintang yang cerah tak terhalang awan. Satu jam pertama adalah tes tertulis dilanjutkan dengan tes praktik. Subhanallah, sekali tes praktik

Kemudian lomba pun dimulai. Semua lampu dipadamkan dan kegelapan yang pekat menyelimuti kami semua. Aku ingat sekali saat itu aku diminta untuk menunjukkan Jupiter. Dengan euforia memegang teleskop yang mungkin tak akan kualami lagi dalam hidupku, aku mengatur sumbu azimuth dan altitude sesuai dengan posisi Jupiter saat itu. Bulan sabit tampak malu-malu dan berpendar dengan anggun. Untunglah planet raksasa Jupiter menjadi lebih jelas dan cincin tipisnya terlihat samar-samar.

Kami pulang pukul dua pagi. Sesampainya di kamar, aku shalat tahajud, memohon diberikan yang terbaik. Dan keesokan harinya tamasya ke Bantimurung, Fort Rotterdam, Fort Sombaopu, Pantai Losari, dan beberapa obyek wisata lain menanti kami semua. Bantimurung disebut juga surga kupu-kupu karena banyak sekali spesies kupu-kupu dengan sayap-sayap yang menakjubkan di sana. Air terjunnya pun mengalir deras dan banyak orang bermain air dengan gembira. Terdapat pula beberapa gua dihiasi stalakmit dan stalaktit yang megah dan menjuntai dengan ujung runcingnya. Aku membeli beberapa gantungan kunci akrilik dengan kupu-kupu cantik yang dikremasi di dalamnya sebagai oleh-oleh untuk keluarga di Yogyakarta.

Perjalanan selanjutnya adalah Pantai Losari. Ketika kukunjungi sore itu, Pantai Losari tampak kumuh dan seolah-olah tak terawat. Airnya tak jernih lagi, serta banyak sampah yang mengapung di atasnya. Satu-satunya sisi menarik dari pantai ini hanyalah pemandangan matahari terbenam dengan bias-bias cahayanya yang memantul di riak ombak pantai ini. Namun kekhusyukan momen ini terganggu oleh banyaknya pengemis dan orang-orang tunawisma yang mendekati kami. Pada awalnya aku merasa sangat iba melihat kondisi mereka. Namun lama-kelamaan, pengemis menjadi semakin banyak dan menguntit kami, sehingga aku dan rombongan memilih untuk segera pergi dari pantai itu. Sungguh fenomena yang aneh sekali, pengemis di tempat itu begitu melimpah seolah-olah pemerintah Sulawesi Selatan tidak menaruh kepedulian terhadap mereka.

Malam harinya, kami diundang untuk menghadiri acara penyambutan kontingen olimpiade seluruh Indonesia. Aku mengenakan seragam batik berwarna coklat dengan ornamen putih yang telah disiapkan oleh pemerintah propinsi DIY. Malam itu kami semua berpesta ria di Benteng Rotterdam. Makanan melimpah ruah, mulai dari makanan yang rasanya manis seperti pisang coklat, hingga pepes ikan yang sangat lezat, dan coto Makassar yang bumbu rempah-rempahnya membuat lidah menggelora. Semua orang tampak begitu warna-warni dengan balutan busana khas daerah mereka masing-masing. Semuanya membaur dan menikmati suguhan hiburan yang ditampilkan oleh pemerintah Makassar selaku tuan rumah. Akhirnya jam menunjukkan pukul sebelas. Makanan dan Malam harinya, kami diundang untuk menghadiri acara penyambutan kontingen olimpiade seluruh Indonesia. Aku mengenakan seragam batik berwarna coklat dengan ornamen putih yang telah disiapkan oleh pemerintah propinsi DIY. Malam itu kami semua berpesta ria di Benteng Rotterdam. Makanan melimpah ruah, mulai dari makanan yang rasanya manis seperti pisang coklat, hingga pepes ikan yang sangat lezat, dan coto Makassar yang bumbu rempah-rempahnya membuat lidah menggelora. Semua orang tampak begitu warna-warni dengan balutan busana khas daerah mereka masing-masing. Semuanya membaur dan menikmati suguhan hiburan yang ditampilkan oleh pemerintah Makassar selaku tuan rumah. Akhirnya jam menunjukkan pukul sebelas. Makanan dan

Pada hari keempat, kami semua dikumpulkan di Celebes Convention Hall untuk menghadiri upacara penganugerahan penghargaan dan medali kepada para juara Olimpiade Sains Nasional 2008. Jantungku berdebar begitu cepat seperti mau keluar dari rongganya. Sepertinya semua orang menampakkan kegalauan yang sama sepertiku. Tak lama kemudian akhirnya acara dimulai dan api olimpiade disulut. Sambutan-sambutan berlalu dengan begitu lama, membuat kami semua semakin pasrah saja. Hingga tibalah agenda pembacaan para pemenang. Nama-nama peraih medali emas dipanggil dengan khidmat, dan beberapa kursi berderit di segala penjuru. Beberapa sosok yang kukenal maju ke podium untuk menerima penghargaan. Hatiku hampir mencelos. Kemudian nama- nama peraih medali perak menggema beberapa saat setelah teriakan euforia kloter medali emas mereda.

Dan aku terpekik begitu bahagia, ketika namaku disebutkan dengan lantang. Benar-benar namaku. Kebahagiaan itu menggulir sebagai air mata syukur yang merembes dari kedua mataku. Aku melangkah dengan mantap, lalu menerima medali perak yang dikalungkan di leherku, serta memeluk boneka ayam jantan yang merupakan maskot daerah ini.

Kebahagiaanku aku simpan serapat mungkin di dalam hati, meski sulit dan terkadang mengalir dengan sendirinya dalam ekspresiku. Karena aku sadar tidak semua temanku memperoleh Kebahagiaanku aku simpan serapat mungkin di dalam hati, meski sulit dan terkadang mengalir dengan sendirinya dalam ekspresiku. Karena aku sadar tidak semua temanku memperoleh

Lalu pada hari kelima, kami berjalan-jalan sepanjang jalan Sombaopu untuk mencari cinderamata. Jalan itu begitu mirip dengan Malioboro, dengan toko-tokonya yang berjajar di jalur itu. Aku pergi ke sana bersama dengan teman bapak yang tinggal di Makassar. Beliau bernama ibu Asep. Beliau sangat baik dan menyenangkan. Aku dibelikan gantungan kunci Toraja, gantungan kunci kapal Phinisi, kaos Toraja, makanan yang menerbitkan air liur, dan masih banyak lagi.

Sampailah aku pada hari perpisahan. Aku mengucapkan selamat tinggal pada ibu Asep dan beliau menitipkan salam untuk keluargaku. Aku menyalami Vivin, teman sekamarku yang baik hati dan berjanji akan menjaga silaturahmi setelah ini. Lalu aku pulang dan terjaga sepanjang perjalanan sembari merenungi pengalaman yang begitu mengasyikkan ini. Sungguh, pengalaman yang langka dan membuatku sadar bahwa kesempatan itu mungkin tidak datang dua kali. Semoga lain waktu aku bisa berkunjung ke tanah ini lagi. Amiin.