Catatan Pelangi Tanah Bandung

Catatan Pelangi Tanah Bandung

Oleh: Endang S.S.N.

Travelling menjadi salah satu kegiatan yang sangat aku sukai. Menjelajah alam seperti melukis mimpi di atas kanvas langit.

Mengitari aneka catatan anugerah-Nya yang tak pernah habis untuk dieja dan diterjemahkan sebagai nilai-nilai kehidupan.

Bermula dari keaktifanku di salah satu organisasi pecinta alam, secara perlahan aku mulai menaruh minat yang besar atas kegiatan ini. Entah mengapa selalu saja ada rindu yang menyeruak di kalbu. Memahami lukisan-Nya dengan cara berbeda sebagai manifestasi insan.

Bandung, beberapa tahun yang lalu menjadi kota impian untuk kujajaki. Berbagai liputan yang menarik telah mengantarkan harapku pada puncak untuk menapak di sana dengan cara yang tak biasa pula. Maklum saja, berbekal uang saku sebagai anak kos tak mungkin mencukupi untuk memanjakan rasa. Apalagi Bandung terkenal sebagai surga belanja, Paris Van Java. Tak ada satupun dari wisatawan-wisatawan yang tak tercengang dengan Bandung. Lalu aku? Perhatikan saja nantinya.

Menghirup udara Bandung setelah menghabiskan waktu selama sepuluh jam dari Surabaya. Mengawali perjalanan sebagai backpacker sejati dari stasiun Gubeng baru tepat jam sepuluh pagi. Dengan menggunakan kereta Turangga, aku mulai merajut asa.

Berbagai bayangan tentang Bandung mulai kucari. Berbekal peta yang sengaja aku bawa sebagai petunjuk selama di sana. Walaupun telah ada kecanggihan GPS di ponselku, tetap saja aku lebih suka menggunakan alat bantu yang telah ada sejak zaman dulu. Entah mengapa, serasa benar-benar petualang saja.

Tak terasa malam minggu aku telah menjejak kaki di Bandung. Sesampainya di stasiun kereta, segera kuhubungi salah seorang kawan semasa Sekolah Dasar dulu. Entah telah lebih dari sepuluh tahun aku tak berjumpa dengannya. Wajahnya pun aku nyaris lupa. Maklum saja, kedewasaan seseorang kadang membuatnya tak bisa dikenali, kecuali beberapa kebiasaannya yang unik. Setelah mengamati orang yang lalu lalang, sebuah sapa membuatku terperanjat. Hey, dia masih seperti yang dulu. Wajah dan cara bicaranya masih aku kenali dengan baik. Kecuali perawakannya yang sedikit berubah, menjadi lebih berisi. Senyum terkembang, membawa langkah mengitari Bandung dalam aroma yang berbeda, setelah menemukan sebuah penginapan dengan fasilitas yang bagus namun tak terlalu menyita kocek. Berada tepat di tengah kota, bersebelahan dengan Bandung Indah Plaza (BIP). Takjubku kian parah, suasana kota yang berbeda dengan tanah asalku.

“Pak, pesan ayam penyet dua ya,” ucapku di salah satu warteg pinggir jalan.

“Ya, Neng.” “Oh ya, minumnya es teh ya.”

Setelah menunggu beberapa saat, pesanan kami datang. Aromanya benar-benar membuatku semakin merasakan lapar saja. Pedagang di sini sangat ramah. Setiap kali mata tak sengaja bersinggungan, maka senyum mereka langsung saja terkembang.

“Loh, Ndi. Kok minumnya dikasih empat gelas sih? Kita kan pesannya hanya dua gelas saja.”

Aku melihat Andi tersenyum. Pasti ada sesuatu yang disembunyikannya sedari tadi.

“En, kalau disini makanan yang kamu pesan itu sudah satu paket dengan minumannya. Hanya saja yang kamu dapat teh tawar hangat.”

Aku baru mengetahuinya. Kebiasaan yang unik. Lumayan juga untuk anak kos dan backpacker sepertiku, hal ini bisa mengirit pengeluaran.

Di hari kedua, aku menikmati Bandung tak lagi dengan Andi. Kesibukannya sebagai seorang guru seni di salah satu sekolah swasta membuat waktunya tak cukup banyak menemaniku. Akhirnya kuputuskan untuk menikmati Bandung seorang diri. Berbekal peta dan tentu saja dengan bertanya kesana kemari, aku mulai menyusuri tempat-tempat terkenal seperti Cibaduyut (di mana aku harus rela menikmati perjalanan di tengah derasnya hujan), Cihampelas (bukan mencari jeans dengan bandrol harga super murah, tapi kutemukan mi kocok paling enak disana), Gazebo (tempat paling rame di setiap hari

Minggu dengan jajanan dan barang-barang murah), Gedung Sate (ikon yang tak pernah lekang, kalau belum bernarsis ria di tempat ini maka belum ada stempel sah pernah menjejaki Bandung), dan Dago (keren banget, sungguh). Bandung, pantas saja tak pernah ada kata bosan untuk selalu kembali, kembali, dan kembali.

Hari ketiga menjadi catatan paling berkesan di Bandung. Bukan hanya karena panorama bagian Bandung lainnya yang memanjakan mataku, atau juga karena kuliner yang membuat lidahku menyerah pada kata super lezat. Tapi ini untuk pertama kalinya aku menerima tawaran kopdar dari seorang kawan dunia maya. Anasiti, aku belum pernah bertemu dengannya. Wajahnya pun aku tak tahu. Bahkan komunitas kami tak sama. Bukan juga berangkat dari hobi yang serupa. Semua berawal dari kegigihannya untuk menjalankan roda bisnis. Entah mengapa dia meng-add aku sebagai salah satu temannya, yang aku tahu kemudian dia melihat aku sebagai perempuan tangguh dan pekerja keras. Dan itu adalah salah satu modal untuk direkrutnya dalam sebuah bisnis MLM. Walaupun pada akhirnya aku sama sekali tak tertarik dan menolaknya dengan halus.

“Ana, aku harus naik kendaraan apa untuk sampai di tempatmu?”

“Naik bis saja, Mbak. Nanti turun di terminal Cileunyi. Kalau sudah sampai, telepon aku ya.”

Setelah bertanya kepada beberapa orang, akhirnya aku mendapatkan juga bis jurusan Cileunyi. Sepanjang jalan tak henti aku mengedarkan pandang ke setiap penunjuk arah dan bacaan- bacaan yang bertebaran. Ada ketakutan akan terlewat. Berulangkali menanyakan pada sang kondektur, mungkin dia sampai bosan mendengarnya. Maklumlah seorang diri butuh perjuangan untuk bisa survive di tanah asing begini.

Selang satu jam dari Bandung, aku akhirnya sampai juga di terminal Cileunyi. Tak ada satupun yang kukenal. Setelah memberi kabar pada Ana, aku mencari tempat duduk. Setiap orang yang datang kuperhatikan. Diakah Ana? Berulangkali. Hingga satu jam Ana tak juga menampakkan dirinya. Aku terserang demam bosan. Lagu-lagu dari MP3 yang kuputar rasanya nyaris kuhafal semua. Sempat berfikir tak biasa, jangan-jangan dia mengingkari janjinya. Aku belum lama memgenalnya.

“Hey, En ya?” sebuah suara membuatku terperanjat Aku mengangguk pelan sembari meyakinkan perasaanku

bahwa dia adalah perempuan yang aku tunggu sejak satu jam yang lalu.

“Maaf ya, sudah terlalu lama menunggu. Sekarang aku ajak kamu jalan-jalan yuk!”

Ana tak mengenalkanku dengan teman yang diajaknya. Aku cuek saja. Baru setelah dalam perjalanan menuju Tangkuban Perahu, di saat kami telah menjadi sangat akrab aku baru tahu kalau lelaki Ana tak mengenalkanku dengan teman yang diajaknya. Aku cuek saja. Baru setelah dalam perjalanan menuju Tangkuban Perahu, di saat kami telah menjadi sangat akrab aku baru tahu kalau lelaki

“Kalau sudah pasti, jangan lupa ya undangannya dikirim juga ke Surabaya.”

Mereka tertawa, aku heran dengan sikap keduanya. “En, kami ini adalah suami istri dan sudah dikaruniai

seorang anak yang sekarang berusia satu tahun.” Subhanallah, aku terkejut. Bagaimana bisa aku berfikir

mereka adalah sepasang anak muda yang sedang menikmati indahnya pacaran. Ah, pelajaran penting dari Ana.

Ana mengajakku menikmati panorama Tangkuban Perahu. Sebuah tempat yang menjadi legenda. Di sini kupatrikan kembali catatan pelangiku. Ada gerimis yang mengguyur. Namun tak menghalangi begitu banyak wisatawan yang berkunjung. Disambut oleh senyum ramah para pedagang syal dengan warna-warni pelangi. Akhirnya akupun tertarik untuk memiliki salah satunya.

Gunung yang menjulang dengan udara dingin serta tanah terjal oleh bebatuan. Sedikit menanjak dari areal parkir. Tepat di bagian atas, aku dengan jelas dapat melihat ke dalam kawah. Aroma belerang segera tercium menyengat. Indah, Tuhan memang pelukis Maha Hebat. Tangkuban Perahu sangat indah dalam kanvas langit. Beberapa pedagang yang dihimpun secara resmi oleh pihak pengelola tempat wisata sengaja ditempatkan di bagian tersendiri. Membentang sepanjang sisi dalam dari Tangkuban Perahu. Hujan Gunung yang menjulang dengan udara dingin serta tanah terjal oleh bebatuan. Sedikit menanjak dari areal parkir. Tepat di bagian atas, aku dengan jelas dapat melihat ke dalam kawah. Aroma belerang segera tercium menyengat. Indah, Tuhan memang pelukis Maha Hebat. Tangkuban Perahu sangat indah dalam kanvas langit. Beberapa pedagang yang dihimpun secara resmi oleh pihak pengelola tempat wisata sengaja ditempatkan di bagian tersendiri. Membentang sepanjang sisi dalam dari Tangkuban Perahu. Hujan

Anasiti, seorang sahabat yang kukenal dalam cara tak biasa, bertemu dengan kisah yang luar biasa dan membawaku pada keindahan yang memang semestinya disaksikan. Menjadikan kita semakin bersyukur atas segenap kesempatan. Tangkuban Perahu, sebuah catatan perjalanan.

Malam menutup Bandung dengan hal luar biasa. Andi mengundangku ke sebuah acara yang semula kuanggap pasti akan membosankan. Menyetujui permintaannya sekedar menghargainya saja. Aku bukan orang yang bisa menikmati suasana ketika berada di sebuah pameran lukisan. Bukan antipati tapi karena aku tak mengerti dengan komunitas seni yang satu itu. Memaknai sebuah lukisan masih terlalu sulit bagiku, nalarku belum bisa menyatu dangan hati yang melahirkan rasa.

Selasar Sunaryo, kali ini melengkapi petualanganku di Bandung. Ada banyak lukisan yang dipajang di berbagai ruang. Melihatnya lalu berusaha menerjemahkannya seperti yang diinginkan si pelukis. Sungguh sangat susah.

Di tempat ini, bukan saja kutemukan dunia baru dalam komunitas yang masih asing. Tapi juga sebuah pelajaran penting dari Di tempat ini, bukan saja kutemukan dunia baru dalam komunitas yang masih asing. Tapi juga sebuah pelajaran penting dari

I’m nothing without you, ungkapan sederhana yang menggugah kita bahwa di balik setiap kesuksesan selalu saja ada tangan-tangan penuh cinta yang siap membimbing kita. Ah, Selasar Sunaryo sungguh indah. Menutup catatan pelangiku di tanah Bandung dengan klimaks yang cerdas.

Tanpa Andi, aku tak mungkin menemukan kisah klasik pedagang kaki lima.

Tanpa Ana, aku tak mungkin menjejak kaki di sini.Tanpa segenap cinta, kita bukanlah apa-apa.I’m nothing without you.