Tiga Catatan Satu Perjalanan

Tiga Catatan Satu Perjalanan

Oleh: Eneng Susanti

Aku akan bercerita tentang kebun binatang, kota besar, dan sebuah senja dengan kemilau cahaya.

Pada suatu Minggu pagi yang cerah, aku dan 11 orang anggota keluargaku menumpang sebuah bus bertuliskan ‘Angkutan Karyawan’. Kami akan pergi piknik bersama rombongan karyawan pabrik. Jika ada yang bertanya, “Lho, kok bisa?” Tentu saja akan aku jawab, “Bisa”. Salah satu saudaraku kan bekerja di pabrik tersebut. Setiap tahun pabrik itu mengadakan acara piknik bagi para pekerjanya. Setiap pekerja mendapatkan 2 buah tiket gratis. Sementara keluarga kami ada 11 orang. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, “Bagaimana bisa?” Tapi jawabanku akan tetap sama, “Bisa.” Keluargaku yang lainnya kan membeli tiket pada teman-teman saudaraku yang juga bekerja di pabrik itu, tapi mereka tidak berminat ikut. Maklum, tujuan piknik tahun ini adalah Ragunan. Mungkin sudah banyak karyawan yang bosan piknik ke sana terus beberapa tahun terakhir ini. Hehehe....

Bagiku Jakarta itu adalah kota yang memusingkan kepala. Memikirkan akan pergi ke sana membuatku merasa tidak karuan. Grogi, ngeri, sekaligus antusias bercampur dalam satu rasa. Hampir membuatku muntah di jalan. Dulu aku memang pernah ke Jakarta, tapi urusannya berbeda. Kali ini kan piknik. Seharusnya aku senang, Bagiku Jakarta itu adalah kota yang memusingkan kepala. Memikirkan akan pergi ke sana membuatku merasa tidak karuan. Grogi, ngeri, sekaligus antusias bercampur dalam satu rasa. Hampir membuatku muntah di jalan. Dulu aku memang pernah ke Jakarta, tapi urusannya berbeda. Kali ini kan piknik. Seharusnya aku senang,

Kami sampai di lokasi sekitar pukul 10 pagi. Area parkir Kebun Binatang Ragunan dijejali bus-bus pariwisata dan para pengunjung juga pedagang. Suasananya ramai. Sesaat hiruk-pikuk itu menyihirku. Aku tidak tahu harus melangkah ke mana. Untung saja, sekali lagi kukatakan, ini piknik rombongan. Jadi aku tidak terlalu mengkhawatirkan kisruh di pikiran. Melangkah saja mengikuti jejak anggota rombongan. Lagipula keluargaku ada 11 orang. Itu cukup untuk menjamin keamananku selama berada di sana.

Ragunan sangat luas dan ramai. Keramaian orang-orang bahkan mengalahkan selebritas penghuni kebun binatang. Setelah berkumpul di sebuah lapangan rumput, kami makan-makan. Acara selanjutnya yaitu penjelajahan. Benar saja, susah juga menemukan kandang-kandang binatang di tengah lalu lalang ratusan bahkan ribuan manusia. Tapi kami ke sana kan bukan untuk berdiam diri saja. Masa piknik ke kebun binatang tapi tidak ketemu binatang? Kan tidak lucu. Maka, aku dan saudara-saudaraku pun memaksakan diri menerjang keramaian, melawan hawa panas, menyeret langkah kaki mencari kandang-kandang penghuni Ragunan. Mulanya kami bertemu orang utan tua yang kelihatan sudah begitu lelah menghadapi kehidupan yang monoton di rumahnya. Gurat kesedihan tampak jelas di wajahnya. Aku merasa bersimpati pada binatang mirip manusia itu. Tapi ada juga monyet yang tampak bahagia dan sangat hiperaktif. Mungkin karena banyak penggemar yang melemparinya kacang.

Petualangan berlanjut ke kandang-kandang berikutnya. Unggas, reptil, dan lain sebagainya berhasil kami temui. Bahkan, hingga ke pedalaman Ragunan. Tak perlu menunggu waktu yang lama, kami pun tersesat. Ini gawat. Namun, pemikiran simpelku berhasil meluruskan arah tujuan. Selama kami masih berada di area bonbin dan kami masih memiliki lidah untuk bertanya sana sini, mengapa harus takut tersesat. Toh, ke manapun kaki melangkah juntrungannya pasti kesitu-situ juga. Selalu ada dalam rute Kebun Binatang Ragunan.

Aku nekat saja. Pemikiran sederhanaku menuntun langkah kaki ini mengikuti jejak-jejak para pejalan. Maju terus pantang mundur. Walhasil, banyak tempat yang kami lewati. Dalam ketersesatan itu, petualangan kami justru mengantarkan pada banyak hal yang belum tentu diketahui oleh setiap orang yang ikut dalam rombongan. Kami bahkan tahu tempat strategis para muda-mudi untuk

kebun binatang. Astaghfirullahaladziim..., sungguh memalukan sekali. Melihat itu aku jadi berfikir, apa bedanya manusia dengan binatang penghuni Ragunan jika mereka sudah tidak menghiraukan rasa malu lagi.

mojok berduaan

di

area

Alhamdulillah, setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan, kami akhirnya sampai juga di tempat berkumpulnya

piknik ini tidak semembosankan yang aku pikirkan. Setidaknya, pada kesempatan seperti inilah aku bisa berkumpul dan bersilaturahim bersama keluarga. Menyegarkan pikiran yang sehari-harinya penat oleh rutinitas pekerjaan. Melihat hal-hal baru yang tidak biasa.

rombongan.

Ternyata

Berkenalan dengan alam dan binatang-binatang. Pengalaman ini lumayan menarik. Itu catatan pertamaku.

Bukankah selalu ada hikmah dari setiap peristiwa? Aku percaya itu ada. Bahkan, aku mendapatkan satu hikmah ketika terjebak dalam kemacetan di pintu keluar kebun binatang. Antrian mobil dan bus yang begitu panjang mulai dari parkiran hingga gerbang, membuat bus rombongan kami kesulitan bergerak maju meninggalkan lokasi.

Jakarta-Purwakarta seharusnya hanya membutuhkan waktu sekitar 3 jam perjalanan. Namun, dengan kemacetan separah ini, harapan untuk bisa segera sampai di rumah, berbaring melepas lelah sirna sudah. Aku hanya mampu menatap sendu area parkir bonbin Ragunan yang makin lengang.

Hari sudah mulai senja. Kerumunan orang-orang sudah berkurang. Aktivitas perdagangan pun sudah hampir tiada. Kuperhatikan ada dua anak kecil di sana. Laki-laki dan perempuan. Lusuh. Mereka berjalan beriringan membawa kantong keresek hitam di tangannya. Memunguti gelas-gelas plastik yang berserakan di sekitar pelataran parkir. Aku memandang mereka dari kejauhan. Di balik kaca mobil bus yang buram, mengembun oleh tetesan gerimis yang mulai menyapa.

Si anak perempuan tiba-tiba berlari secepat kilat saat aku baru saja meratapi nasib yang menimpa. Mataku bahkan belum sempat berkedip ketika anak itu dengan cepat menyambar sebuah Si anak perempuan tiba-tiba berlari secepat kilat saat aku baru saja meratapi nasib yang menimpa. Mataku bahkan belum sempat berkedip ketika anak itu dengan cepat menyambar sebuah

Aku tidak mengerti. Sungguh. Hanya demi sebuah gelas tak berharga yang sudah dibuang orang dan menjadi sampah, ia berlari sekencang itu tanpa menghiraukan bahaya ataupun celaka. Semangatnya berapi-api. Larinya kencang mengalahkan angin.

Kejadian itu membuka mataku lebar-lebar. Anak itu sungguh-sungguh bekerja. Dan, sungguh-sungguh itu adalah sebaik- baik bekerja. Aku malu telah mengeluh dan meratapi nasibku sebagai buruh. Di sana, di bawah pohon rindang di pelataran parkir Ragunan, anak yang bekerja sebagai pemulung itu bersemangat, ceria, dan ringan menjalani pekerjaannya. Padahal sulit dan hasilnya tidak seberapa. Tapi kesulitan itu mungkin hanya ada di mata kita. Toh, mereka mampu mengalahkan kesulitan hidup itu hanya dengan sebuah kesungguhan. Mereka masih bisa tersenyum, bercanda, dan tertawa. Pelataran parkir ini adalah ladang mereka. Sebuah tambang emas, sumber penghidupan bagi mereka. Rasanya tidak pantas lagi aku mengeluh sedemikian rupa. Sebab Allah telah mengatur hidup kita dengan sempurna. Ini menjadi catatan penting kedua.

Senja kemilau oleh cahaya. Ternyata banyak hikmah yang aku bawa pulang. Kota besar memang benar-benar menakjubkan. Jalannya beruas-ruas, panjang, berbelok, dan berliku, bahkan bertingkat-tingkat. Orang-orang bisa saja tersesat. Berbeda dengan jalan di desaku. Karena kemacetan yang padat, kami mengambil jalan pintas untuk pulang. Sebuah jalan desa yang panjang, lurus, berbatu, dan becek. Tapi jalanan ini tidak menyesatkan kami.

Dari dua jalan itu terlihat perbedaan yang jelas. Banyaknya orang kota yang tersesat arah langkah dalam hidupnya mungkin disebabkan karena jalan yang mereka lalui di sana, sulit dan rumit. Sedangkan di desa jauh lebih bersahaja. Meskipun jalan hidup melalui aral rintangan yang kadang berupa becek atau bahkan jeblok, tapi selama semua dilalui dengan lurus, insyaAllah kita tidak akan tersesat dalam menempuhnya. Itulah catatan ketigaku. Aku bersyukur atas perjalanan ini.