Nge’bolang’ ke Masjid Agung Jawa Tengah

Nge’bolang’ ke Masjid Agung Jawa Tengah

Oleh: Nuurus Saadah

Saat-saat paling seru menjadi mahasiswa rantau adalah ketika mudik menjelang lebaran. Tradisi unik masyarakat muslim Indonesia (yang bukan muslim pun tak jarang pula ikut meramaikan). Pada tahun-tahun sebelumnya, aku lebih memilih untuk ikut rombongan OMDA FOKMA (Organisasi Mahasiswa Daerah Forum Komunikasi Mahasiswa Bahurekso, Kendal), paguyuban mahasiswa rantau dari tiap daerah di Institut tempat ku menuntut ilmu. Karena selain nggak ribet harus nenteng-nenteng barang ke terminal, suasana yang hidup juga ditawarkan ketika berada dalam bus. Tahun ini akan menjadi lebaran terakhirku di rantau orang dengan status mahasiswa S-1 (semoga). Lalu bertolak dari situ, aku ingin menimba pengalaman baru. Lantas aku dan Leni (seorang teman asal Kendal) memutuskan untuk tidak ikut dalam rombongan mudik FOKMA.

Libur kurang dua hari lagi, aku belum dapet tiket pulang (belum nyari lebih tepatnya). Lalu ketika menghadiri acara buka bersama di pesantren tempat aku tinggal, aku ditawarin Ita (adik tingkat kami yang dulu pernah tinggal di pesantren ini) untuk ikut mudik gratis yang diadakan oleh salah satu perusahaan retail terbesar di Indonesia. Tanpa basa-basi aku dan dua orang temanku (Leni -asal Kendal- dan Dewi -asal Solo-) mengiyakan. Tujuan kami adalah Semarang, lalu mampir ke Jepara untuk menengok salah satu sahabat kami yang sedang sakit.

Subuh hari selepas sholat berjama’ah dan berpamitan kepada ustadz pengasuh, kami bertiga (Aku, Leni, Dewi) berangkat menuju stasiun. Ita dan beberapa temannya telah terlebih dahulu berangkat. Kami berjanji untuk bertemu di stasiun tepat pukul 06.00 WIB sebelum kereta jurusan Bogor-Jakarta berangkat. Starting point mudik bareng tahun ini dimulai dari lapangan Jakarta Convention Center, Senayan. Di sinilah repotnya, kami harus menerobos macetnya Bogor, berjubelan di dalam kereta, dan harus sampai di Jakarta sebelum jam 09.00 WIB atau jika tidak mudik kami terancam gagal.

Macet! Meski masih pagi buta, Bogor ternyata sudah bangun dari tidurnya (atau malah mungkin tidak tidur? Entahlah!). Dua kali naik angkot harus kami lakukan untuk mencapai stasiun. Setelah sempat sedikit khawatir, akhirnya kami tiba di stasiun kota Bogor. Langkah kami bagai dikejar maling atau mungkin seperti maling yang dikejar polisi. Ah, aku tak ambil pusing. Yang penting kami harus segera masuk gerbong KRL ekonomi AC jurusan Jakarta yang ada di jalur enam.

Sip! Itu dia keretanya. Hup! Masuk. Eits, mana adik tingkat kami?

“Ada di gerbong paling belakang,” katanya lewat SMS. Padahal kami bertiga masuk di gerbong paling depan. Jadilah kami berjalan menyusuri gerbong kereta. Agak sedikit santai karena paling tidak kami sudah ada di dalam kereta. Beberapa kali aku berpapasan dengan orang-orang yang menjajakan barang dagangannya, terutama koran dan makanan karena mungkin masih terlalu pagi untuk penjual “Ada di gerbong paling belakang,” katanya lewat SMS. Padahal kami bertiga masuk di gerbong paling depan. Jadilah kami berjalan menyusuri gerbong kereta. Agak sedikit santai karena paling tidak kami sudah ada di dalam kereta. Beberapa kali aku berpapasan dengan orang-orang yang menjajakan barang dagangannya, terutama koran dan makanan karena mungkin masih terlalu pagi untuk penjual

KRL yang kami tumpangi menyediakan gerbong khusus untuk wanita. Kami beruntung, meski telat kami mendapat tempat di gerbong khusus. Paling tidak kami merasa sdikit aman. Kereta mulai berjalan menyusuri relnya. Beberapa dari penumpang terlelap dalam tidurnya, beberapa yang lain sibuk dengan korannya dan beberapa yang lain sibuk dalam pikirannya. Aku termasuk golongan ketiga. Aku tak mengantuk, aku alihkan pandanganku pada anak kecil yang sedang makan apel. Lalu ketika ada sepasang suami istri yang masuk, mataku beralih kepada mereka. Kasihan, mereka harus terpisah sementara karena pria tak boleh ada di gerbong khusus.

Akhirnya kami tiba di Stasiun Cawang, lalu menuju Lapangan Senayan dengan metromini. Sedikit kaget, meski aku sudah tiga tahun tinggal di Bogor, tapi aku jarang ke Jakarta. Menumpang sebuah metromini ternyata bukan pilihan yang tepat. Benar-benar mual aku dibuatnya, seenaknya saja bang supir nge-rem dan nge-gas.

Kupikir dengan turun dari metromini selesai sudah perjuangan (penderitaan) kami. Tapi ternyata kami masih harus berjalan kaki. Benar-benar pengalaman baru yang berkesan. Perjalanan kami semakin lengkap ketika harus mencari-cari satu diantara puluhan bus Kupikir dengan turun dari metromini selesai sudah perjuangan (penderitaan) kami. Tapi ternyata kami masih harus berjalan kaki. Benar-benar pengalaman baru yang berkesan. Perjalanan kami semakin lengkap ketika harus mencari-cari satu diantara puluhan bus

Setelah diadakan checking, kami pun siap meluncur. “Semaranggg... i’m coming,” pekikku dalam hati. Sepanjang jalur pantura (pantai utara Jawa) kami disuguhi pemandangan indah ala Indonesia. Berselang-seling berjejeran pesawahan dengan padi yang menguning, rumah-rumah di perkampungan, pertokoan, dan pantai. Tepat pukul dua belas siang kami diberi waktu untuk sekedar ke kamar mandi, istirahat, dan sholat pada suatu terminal di Indramayu. Lalu mata kami kembali dimanjakan oleh sawah, laut, rumah, toko, dan bahkan hutan.

Ada yang unik ketika sampai di kota Brebes, kota yang dikenal dengan bawang merah dan telur asinnya. Hampir di setiap warung yang ada di pinggir jalan, tak kosong dari tiga komoditas utama yaitu bawang merah yang dijual diikat dengan daunnya, telur asin, dan labu atau waluh dalam bahasa Jawa. Padahal warung- warung itu berjarak tak seberapa jauh. Lalu aku jadi teringat kolak waluh buatan ibuku yang tak pernah absen menjadi menu buka puasa Ramadhan.

Ketika menjelang adzan maghrib kami tiba di kota Kendal. Berhenti pada SPBU untuk sekedar berbuka. SPBU tempat kami berhenti hanya berjarak kira-kira 2 km dari rumahku. Hmmm... pengen rasanya segera pulang, tapi kembali lagi ke niat awal. Niat Ketika menjelang adzan maghrib kami tiba di kota Kendal. Berhenti pada SPBU untuk sekedar berbuka. SPBU tempat kami berhenti hanya berjarak kira-kira 2 km dari rumahku. Hmmm... pengen rasanya segera pulang, tapi kembali lagi ke niat awal. Niat

Dengan menumpang taxi, kami berempat meluncur ke MAJT di Jalan Gajah Raya, Kelurahan Sambirejo, Kota Semarang. Selain istirahat, kami juga ingin beri’tikaf di sana mumpung di bulan Ramadhan. Kerlap-kerlip lampu di lingkungan masjid langsung menyambut kami turun dari taxi. Meski rumahku tak jauh dari Semarang, ini adalah kali pertama aku menginjakkan kaki di kompleks masjid yang pesonanya telah jauh-jauh hari sampai ke telingaku.

Sesudah menyerahkan beberapa lembar uang kepada sopir, kami langsung menuju kafetaria masjid mengobati rasa lapar dengan menu makanan khas Jawa. Seharian berpuasa merangkap melakukan perjalanan ternyata membuat kami dilanda lapar. Magrib tadi kami hanya berbuka dengan roti dan air meneral. Usai makan, kami juga membeli makanan untuk sahur besok. Kami harus sahur karena besok pagi, kami harus ke Jepara untuk menengok sahabat kami.

Setelah merasa cukup, kami berjalan menuju bangunan utama masjid sambil memuaskan mata. Bergantian melihat ke langit, lingkungan masjid, dan kerlip lampu di daerah pemukiman yang lebih rendah. Sampai di bangunan utama masjid, kami bergantian ke kamar mandi untuk membersihkan badan dan menjaga barang. Kami Setelah merasa cukup, kami berjalan menuju bangunan utama masjid sambil memuaskan mata. Bergantian melihat ke langit, lingkungan masjid, dan kerlip lampu di daerah pemukiman yang lebih rendah. Sampai di bangunan utama masjid, kami bergantian ke kamar mandi untuk membersihkan badan dan menjaga barang. Kami

Di ruang utama masjid tidak diijinkan untuk tidur, maka kami mengusung barang-barang kami dan bergabung dengan beberapa orang yang beristirahat. Meski cukup banyak nyamuk yang mengganggu istirahat kami, toh akhirnya kami terlelap juga mungkin karena terlalu letih.

Kami terbangun tepat pukul dua. Usai sahur, mandi, dan berwudhu, kami kembali ke ruang utama masjid bergabung bersama puluhan jama’ah lainnya. Menunggu adzan berkumandang sambil berdzikir dan menderas Al Qur’an. Kadang-kadang diselingi dengan anggukan kepala beberapa jama’ah pertanda kantuk.

“Dug.. dug.. dug.. tek.. teretek.. tek..” Pukulan bedhug pertanda adzan segera berkumandang. Rindu sekali akan suara bedhug. Di Bogor tak pernah lagi kudengar suara khas menjelang panggilan sholat. “Allahu akbar” takbiratul ihram menjadi pertanda sholat telah dimulai.

Pada setiap ba’da subuh, kuliah subuh selalu menjadi agenda kami di pesantren. Jama’ahnya terdiri dari bapak-bapak, ibu-ibu, serta mahasiswa di sekitar pesantren kami. Tak disangka, ternyata di

MAJT juga ada kuliah subuh. Terasa benar suasana Ramadhan meski kami sedang melakukan perjalanan.

Agenda berikutnya adalah hunting foto. Meski telah terekam jelas di mata kami betapa indahnya MAJT, tapi kami tetap ingin mengabadikan pesonanya dalam jepretan-jepretan kami sendiri. Setelah semua barang bawaan kami siap, maka dimulailah penelusuran foto di setiap sudut masjid. Mengamati bangunan seluas sepuluh hektar bargaya arsitektur perpaduan antara Timur Tengah, Jawa Tengah, dan Yunani. Gaya Timur Tengah terlihat dari kubah dan empat minaretnya. Gaya Jawa tampak dari bentuk tanjungan di bawah kubah utama. Sedangkan gaya Yunani tampak pada 25 pilar-pilar kolosium yang dipadu dengan kaligrafi yang indah.

Yang paling menggoda adalah serambi masjid bagian depan atau yang lebih sering disebut plasa MAJT. Meski tak berhasil melihat payung elektrik mengembang, tapi kami merasa beruntung. Kami berada pada saat yang tepat, suasana menjelang kemunculan matahari membuat beberapa awan jingga menggantung indah di langit. Beberapa lampu yang nampaknya sengaja belum dimatikan membuat suatu pesona tambahan yang sangat memukau. Lalu, lantai yang mengkilap terlihat seperti telaga bening yang sejuk. Kalau saja waktu itu tidak terlalu dingin, mungkin kami sudah hanyut dalam banyangan kesejukannya.

Hari itu adalah hari Ahad. Setelah mentari menyembul, banyak orang berduyun-duyun mendatangi MAJT. Tua, muda, anak- anak, laki-laki, dan perempuan. Saat kami sedang asyik berfoto, tiba- Hari itu adalah hari Ahad. Setelah mentari menyembul, banyak orang berduyun-duyun mendatangi MAJT. Tua, muda, anak- anak, laki-laki, dan perempuan. Saat kami sedang asyik berfoto, tiba-

Puas di serambi kami berpindah ke pelataran, lalu mendekat ke menara MAJT. Menara ini dinamakan menara al asma’ul husna karena tingginya 99 meter. Seperti pada Tugu Monumen Nasional di Jakarta, menara tersebut selain merupakan ruang studio radio DAIS MAJT, museum perkembangan islam Jawa Tengah, rumah makan berputar, dan tempat rukyat al-hilal, juga dilengkapi dengan teropong atau gardu pandang kota Semarang. Sayang, waktu kami berkunjung kurang tepat. Teropong beroperasi dari pukul 08.00 sampai pukul 20.00. “Mungkin lain kali,” kata kami menghibur diri.

Tak sampai di sini, dalam perjalanan kami menuju ke jalan raya kami melihat replika rukun Islam terpajang sangat indah. Lalu kami dikejutkan oleh delman kecil yang berputar-putar memanjakan penumpangnya, beriringan dengan jejeran PKL yang menjajakan dagangannya di sepanjang Jalan Gajah. Suasana crowded dan unik. Kami menikmatinya sambil menunggu bus yang akan membawa kami ke Terminal Terboyo. Seketika kami teringat Bogor. Tiap hari Minggu di sepanjang Jalan Babakan Raya menuju kampus IPB juga banyak para pedagang. Kami memanggilnya “pasar kaget”.

Setelah menuggu hampir setengah jam, akhirnya bus yang kami tunggu-tunggu datang juga. Lalu naiklah kami berempat ke dalamnya. Meninggalkan pesona kemegahan Jawa Tengah menuju rumah sahabat kami yang tengah sakit. Perjalanan singkat yang Setelah menuggu hampir setengah jam, akhirnya bus yang kami tunggu-tunggu datang juga. Lalu naiklah kami berempat ke dalamnya. Meninggalkan pesona kemegahan Jawa Tengah menuju rumah sahabat kami yang tengah sakit. Perjalanan singkat yang