Maaf Tak Kuinjakkan Kaki di Puncakmu

Maaf Tak Kuinjakkan Kaki di Puncakmu

Oleh : Irwan Sanja

Setiap aroma pucuk daun teh menyeruak menembus dinding penciumanku, selalu kuingat sebuah perjalanan yang sangat berkesan dan takkan terlupakan. Kembali kukuliti kepala untuk mengeluarkan isinya yang memuat sebuah catatan perjalanan membelah sebuah gunung untuk menaklukkan puncaknya. Gunung itu terletak di kabupaten tempat tinggalku yaitu Garut. Nama lengkap gunung itu adalah Gunung Cikuray.

Walau secara periode catatan perjalanan ini sudah usang, namun secara pengalaman, catatan perjalanan ini masih menggebu ingin kuceritakan. Bahkan, jika suatu saat nanti aku sudah memiliki cucu pun, catatan perjalanan ini sungguh tak akan pernah kubiarkan menguap di ingatanku. Perjalanan ini terjadi kala kain putih abu-abu melekat di usiaku, waktu kejadiannya pada bulan Mei 2003.

Tangan kedelapan teman-temanku di Pramuka menggenggam barang bawaan masing-masing. Ada yang melekat erat dengan tikar, tenda, hingga panci. Libur merah dua hari berturut- turut itu tidak disia-siakan oleh kami, anggota Pramuka yang sudah menjadikan alam sebagai kawan sejiwa dan sehati. Tujuan kami yaitu ingin menaklukan puncak Cikuray yang merupakan salah satu gunung tertinggi di kabupaten Garut.

Setelah semua berkumpul di alun-alun Garut, kami naik angkot warna biru ke abu-abuan jurusan Cilawu. Jelas kami tidak ingin mencarter angkot, kami menganggap kami bukan rombongan. Kalau mencarter angkot dan kami ini bukan rombongan, jelas harga ongkosnya bisa cukup mahal. Maka kami putuskan untuk menganggap kami perorangan dengan naik angkot yang berbeda- beda, dan kami bertemu di pemberhentian yang sama.

Tarif ongkos dari alun-alun menuju pemberhentian yaitu di desa Dayeuh Manggung pada waktu itu sekitar Rp1.500,00 (kalau sekarang sekitar Rp4.000,00). Sesampainya di sana, kami melanjutkan perjalanan menuju kaki Gunung Cikuray, tepatnya di tempat pabrik pengolahan daun teh untuk menjemput teman kami yang tinggal di sana. Lumayan, dapat pemandu gratis, walau sebenarnya dia juga teman pramuka kami. Perlu waktu setengah jam untuk menempuh perkampungan tersebut dari jalan raya tempat kami turun dari angkot tadi. Namun, itu tidak jadi masalah, karena perjalanan setengah jam yang tentu saja menanjak bisa terobati setelah beristirahat sejenak di rumah teman kami. Di sana terlihat aktivitas pengolahan daun teh menjadi serbuk-serbuk teh siap seduh dan secangkir mendarat ke tiap tenggorokan kami dengan aroma alami yang menyegarkan.

Garangnya mentari tak mampu mengalahkan kesejukan udara-udara yang dikeluarkan oleh stomata hasil fotosintesisnya. Tepat ketika mentari bertengger di ubun-ubun, kami tiba di tempat yang biasanya suka didirikan tenda oleh para pendaki puncak. Di dekat tempat ini ada objek wisata IPTEK, walau tidak cukup terkenal dan dijadikan rekomendasi. Namun ketika aku SD, pernah satu kelas mengadakan tur ke sana. Di tempat itu tertanam beberapa tower pemancar TV. Tentu saja ada operator-operator yang bekerja di sana. Sehingga kita akan merasa aman dan nyaman mendirikan tenda di sekitarnya. Tower pemancar TV tersebut berada di ¾-nya gunung. Itu artinya perjalanan kami menembus puncak tinggal ¼-nya lagi.

Oh iya, aku sampai lupa menceritakan mengapa kami begitu cepat sampai tower TV tersebut. Biasanya kalau berjalan kaki, para pendaki bisa sampai ke tower tersebut menjelang sore. Namun, kami sengaja menumpang truk pengangkut teh yang akan mengambil petikan teh di perkebunan sekitar tower TV untuk dibawa ke pabrik pengolahan teh. Lumayan, dengan menumpang truk tersebut kami bisa menyimpan tenaga sepanjang setengah perjalanan.

Bulir air mata langit jatuh satu-satu. Kami bergegas masuk ke dalam tenda. Hanya dua tenda yang kami bawa, satu untuk laki- laki dan satunya lagi untuk perempuan. Selang beberapa jam, pekik petir membahana meruntuhkan dinding mata langit. Hingga akhirnya turunlah hujan yang cukup deras. Sisi kain tenda ternyata tidak cukup kuat menahan rembesan air hujan yang tergenang di atas tanah luar tenda. Hingga kami harus tidur berjejal di tengah tenda, dan Bulir air mata langit jatuh satu-satu. Kami bergegas masuk ke dalam tenda. Hanya dua tenda yang kami bawa, satu untuk laki- laki dan satunya lagi untuk perempuan. Selang beberapa jam, pekik petir membahana meruntuhkan dinding mata langit. Hingga akhirnya turunlah hujan yang cukup deras. Sisi kain tenda ternyata tidak cukup kuat menahan rembesan air hujan yang tergenang di atas tanah luar tenda. Hingga kami harus tidur berjejal di tengah tenda, dan

Dini hari pun mengusir mimpi kami. Langit terlihat cerah nan rupawan. Kami semua berjamaah mendirikan shalat malam, bermuhasabah mensyukuri nikmat Tuhan atas keagungan ciptaan- Nya.