Konsep Taskhîr SDA dalam al-Quran: wacana perdebatannya dengan cara pandang masyarakat modern
B. Konsep Taskhîr SDA dalam al-Quran: wacana perdebatannya dengan cara pandang masyarakat modern
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa relasi manusia dengan lingkungannya bukanlah relasi kuasa dengan menempatkan alam hanya sebagai objek dan sasaran, akan tetapi diposisikan sebagai partner yang
mendukung manusia dalam menjalankan kekhalifahannya di muka bumi. Cara pandang seperti ini membantu manusia dalam upanya menggali segala hal untuk memenuhi kebutuhannya disertai dengan rasa tanggung jawab untuk merawat dan memelihara kelestarian alam. Dalam Q.S. an-Nahl (16): 14
Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan ", diselenggarakan di Bali pada 18-19 Juli 2006, diperoleh dari http://www.egroups.com/group/berita lingkungan/messages.
352 The Climate Change Action Network, Climate Change: A Readers Guide to the IPCC Report (London: 287 City Road, 1990) h. 6.
Dan Dialah Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur
Ayat ini mengandung pemahaman bahwa alam adalah sumber kehidupan manusia, darinya manusia mengekspresikan diri, berkreasi dan melakukakan kerjasama dengan yang lain. Oleh karena itu, untuk tetap tersedianya daya dukung
353 alam maka manusia harus bersikap yang proporsional dan fungsional dalam alam. Cara pandang inilah yang ditekankan dalam Islam sebagai bagian dari amanah
konservasi manusia terhadap lingkungannya. Namun dengan lahirnya abad modern di Barat telah berdampak pada perubahan pola hidup dan cara pandang manusia dalam segala aspek kehidupan. Abad modern juga ditandai dengan lahirnya sains dan teknologi yang menjadi perangkat dan media yang membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup, terutama dalam masalah material-ekonomi. Maka dalam konteks peran yang demukian sebetulnya sains dalam lingkungan yang harus
digunakan secara baik oleh manusia untuk memahami dan memanfaatkan alam. 354
Dalam konteks kosmologi, masyarakat modern tidak lagi melihat alam sebagai entitas yang memiliki nilai-nilai spiritualitas transendental. Hal ini disebabkan oleh cara pandang manusia modern yang bersifat antroposentris dan sekuler, sehingga diskursus krisis lingkungan hidup pun mencuat ke permukaan. Era modern mempengaruhi pola hidup masyarakat, nilai-nilai tradisional mengalami distorsi dan marjinalisasi. Hingga nilai-nilai etika dan estetika tradisional seakan
Al-Quran menyebut daya dukung alam sebagai karunia yang tidak ada habisnya meskipun ditulis dengan lautan sebagai tintanya. Lihat Q.S. al-Kahfi (18): 109. Di ayat lain ditegaskan pula bahwa manusia tidak akan mampu menghitung karunia Tuhan dalam alam meskipun pohon dijadikan pena dan laut dijadikan tinta. Lihat Q.S. Lukmân (31): 27.
354 Hal ini jika dilihat dari makna Sains sebagai sebuah disiplin ilmu yang sistematis yang lahir dari proses berpikir dan berintraksi manusia dengan fenomena alam, sedangkan teknologi merupakan
buah hasil dari sains atau pelaksana sains dalam tataran praktis.
lenyap dan sirna. Pemikiran manusia modern selalu bertumpu pada pemenuhan kebutuhan dan keuntungan, dan objek pemenuhan kebutuhan tersebut -salah satunya- adalah alam. Alam kemudian dikaji guna mendapatkan manfaat material dengan mengetahui hukum-hukum yang ada pada setiap entitas bendawi. Maka dengan
eksploitasi alam tanpa batas tersebut terjadilah degradasi lingkungan. 355 Perilaku masyarakat terhadap lingkungan sangat ditentukan oleh cara pandang
dan penilaian terhadap signifikansi kelestarian lingkungan. Dengan bergesernya paradigma hidup manusia ke arah modern, hal itu mengakibatkan transformasi baik
kelembagaan maupun tata nilai dan norma-norma. Dari sisi kelembagaan, terdapat kecenderungan untuk menghindar dari bentuk-bentuk kelembagaan yang tidak menghasilkan materi, ikatan-ikatan kelompok lebih berinteraksi pada common interest yang biasanya berupa materi. Dari sisi nilai dan norma, manusia kurang menghargai ritual, lebih berfikir praktis dan rasional. Manusia akan melakukan
sesuatu yang hanya menguntungkan dirinya. 356 Dalam Q.S. al-Muthaffifîn (83): 1-3, manusia semacam ini disebut sebagai orang-orang curang yang tidak saja berdampak
pada diri sendiri akan tetapi secara luas memiliki akses dengan orang lain. Untuk lebih menegaskan konsep al-Quran terkait dengan manusia dan fungsinya di alam, maka perlu untuk membandingkannya dengan cara pandang masyarakat modern yang secara garis besar ada tiga hal: antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme.
Antroposentrisme adalah teori etika memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. 357 Dengan posisi manusia yang demikian, ia dianggap sebagai
yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Manusia dan kepentingannya merupakan nilai tertinggi, hanya manusia yang mempunyai nilai
Muhammad H.M.S., "Degradasi Lingkungan: Kebijakan Prinsip Ekonomi Islam, Tawuran Normatif Kasus Illegal Logging di Kalimantan", Jurnal Islam dan Lingkungan Hidup, III, 1, (2002), h. 2.
356 Lihat Faridal Arkam, "Kepedulian terhadap Lingkungan Hidup sebagai Suatu Gerakan Moral, Cukupkah?", Jurnal Islam dan Lingkungan Hidup, IV, 1 (2003), h. 40.
A. Sonny Kerap, Etika Lingkungan (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2006) cet. 3, h. 33.
yang mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh karenanya, alam pun dilihat hanya sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya media dalam rangka mencapai tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Cara pandang ini bersifat instrumentalistik, dalam arti pola hubungan manusia dan alam dilihat hanya dalam relasi instrumental. Alam difahami sebagai alat dalam memenuhi kepentingan manusia. Jika sikap peduli terhadap alam dilakukan manusia, maka hal itu semata-
mata demi menjamin kebutuhan hidup manusia, dan bukan karena pertimbangan bahwa alam memiliki nilai pada diri sendiri sehingga pantas untuk dilindungi dan dijaga. Teori ini juga bersifat egoistis, karena hanya mengutamakan kepentingan manusia. Adapun kepentingan makhluk hidup lain tidak menjadi pertimbangan moral manusia. Karena berciri instrumentalistik dan egoistis, teori ini dianggap sebagai
sebuah etika lingkungan yang dangkal dan sempit (shallow environmental ethics). 358 M. Soeryani menyebut antroposentrisme sebagai pandangan exclusivisme,
yaitu yang memposisikan manusia tidak lagi sebagai bagian dari lingkungan melainkan sebagai bagian luar lingkungan. 359 Manusia diposisikan sebagai makhluk
istimewa, super being dan sebagai penguasa absolut lingkungan, sehingga wajar jika masyarakat modern berlomba-lomba untuk menguasai alam demi memakmurkan diri
secara material belaka. 360 Memang alam dipersiapkan Tuhan bagi manusia untuk mendukung kehidupannya (Q.S. al-Baqarah (2): 29), akan tetapi yang dikedepankan
manusia modern justru hal-hal yang hanya bersifat kesenangan, keuntungan individual, dan berakhir pada kesombongan 361 Pandangan ini dianggap sebagai salah
satu penyebab dari krisis lingkungan yang sedang dialami masyarakat dunia.
A. Sonny Kerap, Etika Lingkungan, h. 35. 359 M. Soeryani, Manusia dalam Keserasian Lingkungan (Jakarta: UI Press, 1998) h. 2.
360 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. 457-458 361 Abdul Majid bin Aziz al-Zindani, et.al., Mukjizat al-Quran dan as-Sunnah tentang Iptek
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997) cet. 1, h. 179. Lihat juga Q.S. al-Isrâ' (17): 37-38.
Adapun Biosentrisme, secara harfiah dikenal sebagai teori lingkungan yang berpusat pada kehidupan. 362 Jika antroposentrisme menuntut manusia untuk
menyelamatkan lingkungan didasarkan pada alasan bahwa lingkungan dan alam semesta dibutuhkan manusia demi memuaskan kepentingannya, bahkan cenderung mengarahkan manusia pada sikap arogansi dan keangkuhan pada manusia, bio- sentrisme justru menolak argumen ini. Dalam pandangan biosentrisme, tidak benar bahwa hanya manusia yang mempunyai nilai, alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri lepas dari kepentingan manusia. Sony Kerap menyebut ciri utama
etika ini adalah biocentric, karena teori ini menganggap setiap kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Teori ini menganggap serius setiap kehidupan dan makhluk hidup di alam semesta. Semua makhluk hidup bernilai pada dirinya sendiri sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Alam perlu diperlakukan secara moral, terlepas dari apakah ia
bernilai bagi manusia atau tidak. 363 Teori ini memiliki prinsip bahwa setiap kehidupan di muka bumi ini
mempunyai nilai moral yang sama sehingga harus dilindungi dan diselamatkan. Teori ini mendasarkan moralitas pada keluhuran kehidupan, baik pada manusia maupun makhluk hidup lainnya. Jadi, biosentrisme menilai bahwa manusia memiliki nilai moral dan berharga karena kehidupan dalam diri manusia bernilai pada dirinya sendiri. Oleh karena itu, manusia dalam mengelola lingkungan harus memperhatikan
kepentingan lingkungan secara simultan. 364 Prinsip yang sama berlaku bagi segala sesuatu yang hidup dan yang memberi serta menjamin kehidupan bagi makhluk
hidup. Tanah, atau bumi, dengan demikian bernilai moral dan harus diperlakukan secara moral, karena memberi begitu banyak kehidupan. Konsekuensinya, alam semesta adalah sebuah komunitas moral, dimana setiap kehidupan dalam alam
A. Sonny Kerap, Etika Lingkungan, h. 51.
A. Sonny Kerap, Etika Lingkungan, h. 48. 364 Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Quran (Jakarta: Paramadina,
2001) cet. 1, h. 151.
semesta ini, baik manusia maupun yang bukan manusia, sama-sama mempunyai nilai moral, atau dalam al-Quran hubungan manusia dengan makhluk hidup lainnya
disebut sebagai 365 ﻢﹸﻜﹸﻟﺎﹶﺜﻣﹶﺍ ﻢﻣﹸﺍ
(makhluk yang memiliki kedudukan yang sama). Secara biologis, jika manusia memiliki pasangan, maka demikian yang terjadi dengan hewan
ataupun tumbuhan, 366 semua memiliki potensi berpasangan (Q.S. ar-Ra'd (13): 3). Mengomentari ayat ini, Maurice Bucaille menyatakan, bahwa kata "pasangan" adalah
penerjemahan dari kata zauj sebagaimana yang terdapat dalam ayat tadi, makna aslinya adalah: yang bersama-sama dengan yang lain, atau yang dimaksudkan dengan
berpasangan adalah jantan dan betina, pahit dan manis, putih dan hitam, besar dan kecil, dll. 367 Tidak itu saja, seluruh kehidupan di alam juga pada dasarnya membentuk
sebuah komunitas moral. Karenanya, kehidupan makhluk apapun pantas diperhatikan dengan serius dalam setiap keputusan dan tindakan moral, bahkan lepas dari perhitungan untung-rugi bagi kepentingan manusia.
Paul Taylor menyatakan, biosentrisme didasarkan pada empat keyakinan sebagai berikut. Pertama, keyakinan bahwa manusia adalah anggota dari komunitas kehidupan di bumi dalam arti yang sama dan dalam kerangka yang sama dimana rnakhluk hidup yang lain juga anggota dari komunitas yang sama. Kedua, keyakinan bahwa spesies manusia, bersama dengan semua spesies lain, adalah bagian dari sistem yang saling tergantung sedemikian rupa sehingga kelangsungan hidup dari makhluk hidup manapun, serta peluangnya untuk berkembang biak atau sebaliknya, tidak ditentukan oleh kondisi fisik lingkungan melainkan oleh relasinya satu sama lain. Ketiga, keyakinan bahwa semua organisme adalah pusat kehidupan yang mempunyai tujuan sendiri. Artinya, setiap organisme adalah unik dalam mengejar
Lihat Q.S. al-An'âm (6): 38. 366 Komentar yang diberikan al-Quran mengenai reproduksi tumbuhan bersifat lebih panjang
daripada merujuk kepada pembiakan dalam hewan. Baca Maurice Bucaille, Asal Usul Manusia menurut Bibel, al-Quran, Sains, terj. Rahmani Astuti, (selanjutnya disebut Asal Usul Manusia), (Bandung: Mizan, 1998) cet. 12, h. 198.
367 Lihat pendapat Maurice Bucaille dalam Asal Usul Manusia, h. 198-199.
kepentingan sendiri sesuai dengan caranya sendiri. Keempat, keyakinan bahwa manusia pada dirinya sendiri tidak lebih unggul dari makhluk hidup lain. 368 Prinsip
ini melahirkan paradigma baru dimana manusia dinilai sama dengan makhluk biologis lain, mendiami bumi yang sama dengan bumi makhluk hidup lain, dan merupakan bagian dari suatu keseluruhan alam.
Cara pandang ketiga terhadap alam adalah ekosentrisme, atau sering disebut kelanjutan dari biosentrisme, bahkan sering pula disamakan dengan istilah itu. Kedua teori ini mendobrak cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan
etika hanya pada komunitas manusia atau bahkan memperluas keberlakuan etika untuk mencakup komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, etika diperluas untuk mencakup komunitas biosentrisme. Sementara pada ekosentrisme, etika diperluas
untuk mencakup komunitas ekologis seluruhnya. 369 Artinya, seluruh komponen lingkungan harus serempak menjadikan lingkungan sebagai muara segala
aktifitasnya. Bahkan semua komponen dalam lingkungan harus mengabdi pada lingkungan. Tidak ada toleransi bagi komponen lingkungan apapun untuk menentang arus tata lingkungan. Sebab, manusia pada hakikatnya adalah milik lingkungan dan
bagian integral dari lingkungan. 370 Pola hidup yang arif mengurus dan menjaga alam sebagai sebuah rumah tangga ini bersumber dari pemahaman dan kearifan bahwa
segala sesuatu di alam semesta mempunyai nilai pada dirinya sendiri, dan nilai ini jauh melampaui nilai yang dimiliki oleh dan untuk manusia. Dengan demikian tidak hanya manusia yang mempunyai nilai dan kepentingan yang harus dihargai, melainkan juga semua entitas dia alam ini.
Melihat ketiga cara pandang terhadap lingkungan seperti yang disebutkan tadi, maka yang lebih dominan diterapkan adalah cara pandang antroposentrisme sehingga eksploitasi terhadap alam menjadi tak terelakkan. Dalam konteks Islam,
Paul Tylor, Respect for Nature: a Theory of Environmental Ethics (Princeton: Princeton Univ. Press, 1986) h. 99-100.
A. Sonny Kerap, Etika Lingkungan, h. 75. 370 Mujiyono, Agama Ramah Lingkungan, h. 148.
manusia ditempatkan pada porsi yang proporsional. Artinya, lebih dinamis dibandingkan ekosentrisme yang cenderung radikal dengan mengatakan bahwa manusia adalah milik lingkungan dengan kewajiban untuk tunduk pada aturan
lingkungan secara ketat. 371 Islam memandang bahwa meskipun manusia adalah bagian dari lingkungan, akan tetapi ia bukan milik lingkungan, sehingga tak perlu
terjebak dalam pandangan yang menghantarkan manusia berlabuh dalam pola animisme dan dinamisme. Pada dasarnya manusia dan lingkungan sama-sama berada pada posisi cipta kreasi Tuhan dalam kesatuan sistem. Manusia mendapat legitimasi
untuk memberdayakan alam sesuai kebutuhannya (Q.S. al-Hijr (15): 20), dan pada saat yang sama dituntut untuk memperlakukan lingkungan sebagai sebuah wujud yang mesti dijaga, dilestarikan, dan tidak bersikap sewenang-wenang, sebagaimana diisyaratkan Q.S. Luqmân (31): 20:
ِﺽﺭَﻷﹾﺍ ﻲِﻓﺎﻣﻭ ِﺕﺍﻭﺎﻤﺴﻟﺍ ﻲِﻓﺎﻣ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﺮﺨﺳ َ ﷲﺍ ﱠﻥﹶﺃ ﺍﻭﺮﺗ ﻢﹶﻟﹶﺃ Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk
(kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi....
Kata ﻢـﹸﻜﹶﻟ pada ayat di atas memiliki kata kunci pada huruf ل yaitu lâm li al-
Tanfî' yang memiliki pengertian hak memanfaatkan, bukan li al-Tamlîk atau hak kepemilikan. 372 Implikasinya, manusia diberi hak dan wewenang oleh Tuhan untuk
memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan dalam batas-batas kewajaran ekologis. Kewajaran berarti bahwa dalam pemanfaatan alam, manusia harus melirik spesies lain yang berhak pula mengekspresikan dirinya pada lingkungan. Dalam Q.S.
Ketat dalam arti larangan untuk mengolah dan memanfaatkan lingkungan. Misalnya jika air memiliki hukum mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, maka tidak boleh menghalanginya dengan alasan apapun. Pandangan ini berimplikasi pada terbentunya masyarakat tradisional dengan perilaku irrasional yang relatif sulit diajak maju. Lihat Mujiyono, Agama Ramah Lingkungan , h. 149.
372 Lebih lengkap baca Fuâd Ni'mah, Mulakhash Qawâ'id al-Lughah al-'Arabiyyah (Damaskus: Dâr al-Hikmah, t.t.) cet. 9, juz 2, h. 155.
al-Rahmân (55): 10 disebutkan ِﻡﺎﻧَﻸِﻟ ﺎﻬﻌﺿﻭ ﺽﺭَﻷﹾﺍﻭ . Kata Anâm dalam ayat ini, oleh
Tanthawî Jauharî diartikan sebagai seluruh makhluk (spesies). 373 Implikasinya, semua makhluk di bumi berhak atas pemanfaatan sumber daya alam sebagai pelengkap
kehidupannya. Dalam konteks Islam, alam adalah bagian dari makhluk Tuhan yang ditundukkan bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, alam juga memiliki fungsi yang sangat signifikan dan fundamental, yaitu sebagai sumber ekonomi, sumber pengetahuan, dan sumber spiritual.
Dalam posisi demikianlah manusia memainkan perannya sebagai khalifah,
yakni pusat tanggung jawab pemeliharaan dan pemanfataan terhadap alam. Sebagai pemegang amanah Tuhan manusia memiliki kemampuan intelektual untuk memanfaatkan alam sebagai objek pemenuhan kebutuhan hidup. Di Barat antroposentrisme difahami dan berfungsi sebagai pusat segala sesuatu, manusia memiliki hak otonom atas alam, sehingga dengan kemampuan intelektualnya manusia berhak dan berkuasa atas alam. Seyyed Hossein Nasr melihat sikap Barat terhadap alam sebagai yang diperlakukan seperti pelacur yang apabila telah dinikmati dan
dimanfaatkan sedemikian rupa tanpa ada arti kewajiban dan tanggung jawabnya. 374 Berbeda dengan konsep khalifah dalam Islam, alam ditundukkan bagi manusia tapi
tidak bersikap arogan dan eksploitatif, namun harus dijaga keharmonisan dan sistem kehidupan yang ada pada alam, sehingga alam menjadi lestari dan menjadi bagian dari kehidupan.
Dengan terjaganya alam maka sumber-sumber kehidupan dan perekonomian pada alam juga akan tetap tersedia. Fungsionalisasi alam sebagai sumber ekonomi memiliki beragam bentuk dan cara pemanfaatannya; di bidang pertanian, perkebunan, penggalian emas, mutiara, dan minyak tanah, manusia diberi kesempatan untuk memanfaatkan semua itu dengan sebaik-baiknya. Islam memberikan pedoman dan
Lihat Thanthâwi Jauharî, al-Jawâhir, juz 14, jilid 12, h. 16.
374 Seyyed Hossein Nasr, Antara Tuhan, Manusia dan Alam, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003) h.
pandangan dalam fungsionalisasi alam tersebut sebagai sumber kebutuan meterial- ekonomi, yakni dengan tidak bersikap berlebihan dan melampaui batas-batas hukum yang telah ditentukan pada alam. Allah SWT berfirman:
Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (QS. al-A'râf (7): 31).
Kata yang digaris bawahi dalam ayat ini meniscayakan ajaran moral 375 dalam konsumsi kebutuhan hidup di alam. Islam membicarakan hal ini sebagai wujud perhatiannya terhadap golongan manusia atau makhluk lain di alam yang berhak atas
pemberdayaan SDA yang jika dimonopoli oleh kelompok tertentu apalagi dengan cara yang eksplotatif maka berdampak luas pada kelompok lain secara umum. Itulah mengapa ekonomi kapitalis tidak patut diterapkan dalam kebijakan pengelolaan SDA karena memiliki semangat egoisme dan sistem yang liberal, dimana manusia dipandang sebagai binatang ekonomi (homo-economicus) yang selalu mengejar keuntungan sebanyak-banyak dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Manusia hanya berorientasi pada kepentingan diri sendiri, kebaikan yang muncul hanya demi
menjaga kepentingan pribadi, bukan berasal dari dorongan moral. 376 Dengan diberikannya kesempatan dalam pengelolaan SDA untuk memenuhi
kebutuhannya, manusia memiliki kewajiban moral lain dengan tuntutan untuk bersyukur dan mengeluarkan zakat sebagai pelengkapnya. 377 Semua itu mengajarkan
pada manusia sebuah etika hidup dalam melihat alam dan lingkungan sekitar, sebab
Sikap moral adalah wujud dari pengakuan akan pertanggungjawaban manusia lingkungannya. Dalam segala hal manusia dituntut mengekspresikan dirinya dengan semangat
ketuhanan ( ﻚ ـﺑﺭ ﻢـﺳﺎﺑ ) dengan tidak merugikan kepentingan umum. Pemahaman secara luas ini dapat
dilihat pondasinya pada ar-Râzi, al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib (selanjutnya disebut Mafâtih al-Ghaib), (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985) juz 32, h. 14.
376 Darwis Hude, et.al., Cakrawala Ilmu dalam al-Quran (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002) cet. 2, h. 136.
377 Zakat dalam Islam memiliki dua makna sekaligus; mensucikan pelakunya dan menumbuhkan ikatan solidaritas dalam masyarakat. Lihat Q.S. at-Taubah (9): 103; al-An'âm (6): 141.
etika tersebut mencirikan manusia sebagai makhluk yang tidak serakah dalam masalah ekonomi. Manusia yang tidak serakah inilah yang bisa melihat alam sebagai sebuah bagian dari kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dan diabaikan, manusia yang tidak serakahlah yang bisa memfungsikan alam secara baik. Jadi, secara ekonomi Islam mengajarakan norma dalam memfungsikan alam, yakni memulai dengan iman (melihat alam sebagai makhluk Tuhan) dan mengakhiri dengan iman pula (bersyukur).
Alam adalah sumber ilmu pengetahuan. Dalam Islam manusia dituntut agar mengkaji setiap fenomena alam (Q.S. al-Jatsiyah (45): 13). Hal ini bertujuan agar manusia memiliki pengetahuan tentang alam, karena alam juga merupakan ayat-ayat Tuhan, maka mengkaji alam berarti mengakaji bukti-bukti kekuasaan Tuhan. Dengan mengkaji alam maka manusia akan mengetahui hukum-hukum penciptaan, dan dengan dikuasainya hukum-hukum penciptaan akan membatu manusia dalam memudahkan fungsionalisasi alam. Dilihat dari sejarah Islam pada abad pertengahan, telah lahir para ilmuan muslim yang mengkaji fenomena alam sebagai sebuah kajian
ilmiah. 378 Dalam bidang spiritual dan tradisi keilmuan tradisional (kuno), ilmu bertujuan untuk mencari kearifan, termasuk dengan cara memahami alam dan tatanan
alam dan kehidupan yang harmonis dengan alam. 379 Islam melihat alam sebagai tanda-tanda kekuasaan Tuhan, maka pemahaman tentang alam adalah analog dengan
pemahaman tanda-tanda yang bisa membawa manusia pada pengetahuan tentang Tuhan, untuk memperkuat nilai-nilai ketakwaan. 380 Dengan mengkaji alam maka
akan lahir sebuah kesadaran teologis pada manusia, bahwa di balik fenomena ada nomena yang bersifat transenden dan imanem. Dengan mengkaji alam akan lahir sebuah sikap etis dan religius, dan dengan lahirnya manusia yang religius inilah yang
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut al-Quran, terj. Agus Efendi (Bandung: Mizan, 1989) cet 2, h. 66.
379 Baca Pritjof Capra, Titik Balik, h. 46. 380 Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains, h. 78.
akan mampu melihat dan memfungsikan alam dengan baik, tidak serakah dan eksploitatif.
Secara konseptual, cara pandang biosentrisme dan ekosentrisme dengan Islam memiliki korelasi. Namun tetap memiliki sebuah perbedaan yang fundamental. Perbedaannya adalah bahwa konsep dan cara pandang biosentris dan ekosentris merupakan sebuah cara pandang radikal yang lahir dari sikap etis dalam melihat alam yang sudah rapuh akibat penerapan sains dan teknologi oleh masyarakat yang berparadigma antroposentrisme tersebut. Karenanya sikap hormat dan menghargai
serta menjaga segala yang ada pada alam dan lingkungan tidak didasarkan atas pandangan keagamaan, sehingga terlepas dari sebuah kesadaran teologis. Artinya, cenderung menolak penerapan sains dan teknologi dalam eksplorasi alam.
Sedangkan dalam Islam sebagaimana yang telah dijelaskan di atas lebih melihat alam sebagai sebuah tanggung jawab amanah yang diberikan Tuhan kepada manusia sebagai wakil Tuhan di bumi. Dalam menjalankan tugas sebagai wakil Tuhan tersebut manusia dibekali alam semesta beserta segala isinya sebagai daya dukung dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan menemukan nilai-nilai spiritualitas, tentunya setelah melewati proses pengkajian yang mendalam. Dengan demikian relasi kasih sayang (nurturing power) antara manusia dan lingkungan sekitarnya terjalin dengan baik. Islam tidak menolak kemajuan sains dan teknologi, akan tetapi dalam penerapannya harus didasarkan pada pola relasi yang tidak memposisikan alam sebagai objek dan sasaran yang bebas untuk diberdayagunakan tanpa mengacu pada nilai moral dan etis, bukan pula dominatif dan eksploitatif sebagaimana yang terjadi pada pandangan masyarakat modern yang antroposentrisme di atas.