Memahami Ayat-Ayat Kauniyyah sebagai Isyarat Ilmiah

2. Memahami Ayat-Ayat Kauniyyah sebagai Isyarat Ilmiah

Ada dua pandangan tentang ayat-ayat memiliki tendensi ilmiah; pertama, yang menganggap bahwa al-Quran semata-mata kitab hidayah yang tidak memberi tempat bagi ilmu kealaman, bahkan muncul gejala umum dalam masyarakat yang mengkristal dalam bentuk budaya dan adat istiadat sebuah persepsi yang menganggap al-Quran sebagai kitab sakral dan ritual. Al-Quran diberi status tersendiri dalam masyarakat sebagai naskah yang dianggap memiliki nilai "sakti" dan "petuah" yang mengandung daya penangkal bala, dianggap memiliki dinamika untuk menjauhkan

Ahmad Fuad Pasya, Dimensi Sains, h. 60. 169 Afzalur Rahman, Ensiklopediana , h. 39.

170 Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities, h. 50.

seseorang dari bahaya, dianggap sebagai "jimat" baik dalam naskahnya yang utuh atau potongan ayat maupun huruf tersendiri. 171 Pendapat kedua, menganggap bahwa

al-Quran bersifat universal, melintasi berbagai disiplin ilmu; hukum, sejarah, sosial, politik, seni, pendidikan, ekonomi, bahkan ilmu pengetahuan alam atau kosmologi. 172

Al-Ghazali pernah memberi isyarat mengenai hal ini, dengan mengutip pernyataan Ibnu Mas'ud bahwa jika seseorang ingin memiliki pengetahuan masa lampau dan

modern, maka selayaknya ia merenungkan al-Quran. 173 Perenungan al-Quran adalah bentuk upaya menguak makna yang terselubung dalam teks sehingga memungkinkan

adanya pertemuan makna teks itu dengan ilmu-ilmu klasik dan modern. Salah satu metode untuk sampai pada hal itu adalah melalui observasi atau penelitian ilmiah dengan bantuan sains yang memiliki fungsi menjelaskan, meramalkan dan mengendalikan.

a. Peran Sains dalam Menjelaskan Ayat-Ayat Lingkungan

Berbicara tentang abad modern berarti berbicara tentang sains, yang dirintis oleh para ilmuan dan pemikir seperti Galileo, Descartes, Newton, Albert Einstein, Thomas Aquines dsb. Semua tokoh tersebut telah melahirkan teori-teori ilmu pengetahuan ilmiah, melalui observasi, verifikasi dan eksperimentasi, sehingga melahirkan teknologi dalam segala inovasinya, dalam mewadahi dan memfasilitasi kehidupan manusia di bumi. Di bidang transportasi, misalnya, telah diciptakan alat- alat yang menjangkau dan mempermudah perjalanan hidup manusia, sehingga yang jauh menjadi dekat dan mudah dikunjungi. Dalam bidang telekomunikasi, media cetak dan elektronik, telah mempermudah manusia menjalin komunikasi dan

Abdul Madjid bin Aziz al-Zindani, et.al., Mukjizat al-Quran dan as-Sunnah tentang Iptek (Jakarta: Gema Insani Press, 1997) cet. 1, h. 36. 172 Kosmologi adalah ilmu yang berhubungan dengan penciptaan alam materi, disebut juga

sebagai titik awal dari semua pengetahuan dalam Islam. Lihat Afzalur Rahman, Ensiklopediana , h. 65. 173 Abû Hamîd Muhammad al-Ghazâlî, Ihyâ' 'Ulûm ad-Dîn (Beirut: Dâr al-Ma'rifah, t.t.) jilid

5, h. 1.

memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Semua temuan teknologi tersebut merupakan perangkat kehidupan yang dihasilkan oleh kreasi dan cipta karya manusia.

Sains dengan penerapannya dalam teknologi telah berjasa dalam mengungkapkan apa yang tidak diketahui oleh manusia tentang alam. Sains dan teknologi memberikan hasil yang begitu memuaskan bagi manusia dalam bidang material, lahirnya teori-teori sains menghantarkan cara yang lebih mudah bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan hidup di bidang material-ekonomi,

kerja sama, hubungan antar negara, budaya dsb. 174 Syukron Kamil menilai bahwa sains dan teknologi telah berhasil membawa manusia pada kehidupan material

melampaui kehidupan manusia sebelumnya, khususnya karena perannya dalam pemenuhan kebutuhan teknis dengan cara yang memudahkan manusia. 175 Masyarakat

petani misalnya, jika pada masa dulu masih menggunakan kerbau atau sapi untuk membajak sawah, namun dengan lahirnya sains dan teknologi modern, penggarapan dan pengolahan sawah menjadi lebih mudah, cepat dan efisien dengan adanya alat- alat seperti traktor dsb. Di samping itu dengan adanya sains dan teknologi masyarakat petani mampu menghasilkan hasil pertanian yang lebih besar dan baik, dengan ditemukannya bibit-bibit yang mampu menghasilkan buah yang lebih baik dengan bahan-bahan perawatan pupuk yang bagus. Ini semua membuktikan betapa sains dan teknologi memberikan peran yang signifikan dalam kehidupan manusia.

Dengan lahirnya sains dan teknologi manusia mampu menyingkap rahasia penciptaan pada alam. Manusia mengetahui hukum-hukum penciptaan pada setiap makhluk yang ada di bumi dan di langit, sehingga dengan demikian manusia mampu mempergunakan alam dalam kehidupannya dengan diketahuinya hukum-hukum yang ada pada setiap entitas tersebut. Manusia menjadi tuan dari alam, sehingga dengan

Armahedi Mahzar, Revolusi Integralisme Islam: Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islam , (Bandung: Mizan, 2004) cet. 1, h. 161.

175 Syukron Kamil, Sains dalam Islam Konseptual dan Islam Aktual (Jakarta: PBB UIN, 2003) cet. 1, h. 1.

mudah manusia mampu mengambil hikmah dari alam. Sebetulnya dengan lahirnya sains dan teknologi, manusia telah mendapatkan hikmah yaitu materi dan spiritual.

Penerapan sains oleh teknologi ini secara aksiologis dapat terlihat secara merata dalam kehidupan masyarakat, baik masyarakat level bawah dalam hal ini adalah masyarakat pedesaan, maupun masyarakat terdidik yang lebih banyak tinggal di perkotaan. Namun penggunaaan sains dan teknologi pada alam dan kehidupan manusia lebih dilihat pada konteks fungsinya dalam bidang ekonomi, sehingga nilai spiritualitas yang terkandung di balik alam dan semua yang ada di dalamnya tidak

mampu ditebus dan dinikmati, lebih-lebih pada masyarakat kota. Mungkin masyarakat desa mampu melihat itu dalam proses penggarapan dan panen hasil pertanian atau perkebunannya, sehingga syukur tetap dilontarkan, bahkan dalam proses pertumbuhan dan perawatan tanaman selalu disertai dengan doa kepada Tuhan agar tanaman mereka dilindungi dan mendapatkan hasil ekonomi yang melimpah. Itulah sebabnya al-Quran memberikan informasi tentang alam hanya sebatas informasi yang harus dibuktikan agar terungkap kebenarannya. Misalnya al-Quran berbicara tentang kelebihan dan fungsi air, maka sains dan teknologi membuktikannya dengan cara menghadirkan fungsi air tersebut secara rill dan pragmatis dalam kehidupan manusia. Dengan demikian bahwa jelaslah apa yang dikatakan Tuhan bahwa semua yang ada di langit dan di bumi dan setiap fenomena

alam dan kehidupan merupakan tanda kekuasaan Tuhan bagi mereka yang berfikir. 176 Al-Quran bukanlah ayat-ayat yang terbatas pada ajaran tentang muamalat,

ibadah, hukum dan tauhid, ia juga merupakan kumpulan ayat yang berisi simbol atau inspirasi sains dan ilmu pengetahuan. 177 Oleh karena ia adalah simbol, pada

perkembangan selanjutnya, manusia menempuh dan merumuskan konsep tentang sains dan ilmu pengetahuan. Proses berfikir merupakan langkah utama dan penting dalam melakukan riset dan perumusan ilmiah oleh para ilmuan. Maka kebebasan

Lihat misalnya Q.S. al-Baqarah (2): 164, Âli Imrân (3): 190, 191, an-Nahl (16): 11-13, 15, 65-69, 76, al-Anbiyâ' (21): 16, 31-33, al-Mu'minûn (23): 84, 86, 88, al-An'âm (6): 11, 75-78.

177 Muhammad Ridhô al-Hakîmî, al-Qurân Yasbiqu, h. 21-23.

berfikir merupakan hal yang wajar bahkan penting untuk dilakukan dalam rangka menghasilkan kesimpulan dan hasil riset yang ilmiah. Kebebasan berfikir lebih luas dan umum daripada kebebasan observasi. Akal tidak bisa dibatasi dalam berpikir dikarenakan bentuk asli akal manusia itu sendiri. Akal diciptakan Tuhan dengan nilai kebebasannya, sehingga dengan itu semua manusia bebas berpikir tentang banyak

hal. 178 Dalam al-Quran, kegiatan berfikir ini diisyaratkan pada Q.S. al-Ghâsyiyah (88): 17-22. 179

Mengawali penafsirannya mengenai hal ini, ar-Râzî menunjuk kepada spesies secara umum. Dalam tafsinya ia mengatakan bahwa setiap spesies di muka bumi diciptakan dengan memiliki organ yang sama untuk kelangsungan hidupnya. Perbedaannya hanya terletak pada bentuk masing-masing organ. Perbedaan ini pula yang mengakibatkan masing-masing spesies memiliki respon yang beragam terhadap

kebutuhan hidupnya, satu spesies memerlukan spesies lain. 180 Hubungan antar spesies ini dalam ilmu lingkungan dinamakan sistem interaktif, dimana terpadunya interaksi

masing-masing spesies dengan yang lainnya sebagai bagian dari proses memenuhi kelangsungan hidup. 181 Selain menunjuk pada penciptaan spesies di alam, al-Quran

juga memberi penekanan pada pentingnya memperhatikan bagaimana struktur penciptaan alam seperti gunung, hamparan bumi, langit dan lainnya, agar dapat

difahami integralitas alam semesta sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna. 182

Dari uraian itu, ada dua hal penting yang ingin disampaikan al-Quran sebagaimana dijelaskan ar-Râzî, yaitu mengungkap fenomena kestabilan dalam

Muhammad Kamil Abdushshamad, Mukjizat Ilmiah dalam al-Quran, terj. Alimin et.al., (selanjutnya disebut Mukjizat), (Jakarta: Akbar, 2007) cet. 7, h.20.

179 Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, (17) Dan langit, bagaimana ia ditinggikan (18) Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan (19) Dan bumi

bagaimana ia dihamparkan (20) Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu adalah orang- orang yang memberi peringatan. (21) Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.

180 Fakhruddin ar-Râzi, at-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, (selanjutnya disebut Mafatih al-Ghaib), (Beirut: Dar al-Fikr, 1985) juz 16, h. 157.

181 Budiman Chandra, Pengantar Ilmu Lingkungan, (selanjutnya disebut Ilmu Lingkungan), (Jakarta: Penerbit Ilmu Kedokteran EGC, 2007) cet. 1, h. 3.

182 Ar-Râzi, Mafâtih al-Ghaib, juz 16, h. 158-160.

lingkungan manusia dan keteraturan alam semesta yang tidak cukup hanya dilihat, tetapi dihayati, ditelaah dan difikirkan. Karena tanpa proses ini, maka manusia tidak akan sampai pada kesimpulan yang sempurna. Sama halnya dengan telaah terhadap satu spesies, tidak akan sempurna jika meninggalkan kajian atas spesies yang lain. Dengan demikian, yang tampak dari penjelasan ini adalah metode al-Quran ketika tantang alam terlebih dahulu menyebut secara global kemudian memberikan pengkhususan. Fenomena tersebut dengan maksud agar manusia dengan mudah

mengkajinya dan mengambil manfaat darinya. 183 Tuntunan Tuhan dalam masalah pembatasan fenomena-fenomena yang harus dikaji di atas, sesuai dengan metode riset

ilmiah, yaitu pembatasan pokok-pokok permasalahan. 184 Dalam kaitan dengan kajian penulis, pembatasan pada fenomena perubahan iklim adalah bagian dari metode ini,

atau dalam metodologi tafsir disebut metode tematik atau dalam istilah arabnya adalah maudhû`î, yang secara kontruksional-deskriptif tafsir maudhû'î dapat didefinisikan sebagai ilmu yang membahas kandungan-kandungan masalah dalam al-Quran dengan satu persepsi tujuan dengan cara mengumpulkan ayat-ayatnya yang terpisah di berbagai serta memberikan ulasan secara tematik dengan cara-cara tertentu dan syarat-syarat khusus untuk menjelaskan makna dan mengeluarkan

unsur-unsurnya serta menghubungkannya dengan korelasi yang universal. 185 Tafsir tematik juga dimaknai sebagai penafsiran yang berusaha mendekati al-Quran lewat

tema-tema tertentu dengan mengambil salah satu kata kunci yang sifatnya konseptual atau mengangkat gagasan-gagasan dasar al-Quran yang merespon tema-tema abadi yang menjadi keprihatinan manusia sepanjang sejarah. Berkembangnya metode tematik lebih disebabkan karena tuntutan zaman yang semakin kompleks, yang hampir setiap hari persoalan muncul dan meminta jawaban dari al-Quran sekaligus

Kamil Abdushshamad, Mukjizat, h. 22. 184 Kamil Abdushshamad, Mukjizat, h. 21.

185 Baca Mushthafâ Muslim, Mabâhits fî at-Tafsîr al-Maudhû`î (Damaskus: Dâr al-'Ilmi, 1989) h. 30-31.

memancing dan memaksa kaum cendikia 186 untuk terus berimprovisasi dalam usaha menyajikan jawaban yang solutif atas segala problematika sosial dengan menggali

dan mengkaji al-Quran yang diyakini oleh umat sebagai kitab petunjuk universal dan berlaku sepanjang masa. 187

b. Bentuk perjumpaan teks kauniyyah dengan sains

Keterkaitan tema kajian lingkungan dalam al-Quran, khususnya menyangkut perubahan iklim, dengan temuan ilmiah, maka penafsiran ayat-ayat lingkungan tidak dapat dipisahkan dari pendekatan ilmiah pula. Dalam konteks metodologi tafsir, hal

ini disebut penafsiran dengan corak 'Ilmî 188 yaitu, penafsiran yang menyelaraskan kandungan al-Quran berdasarkan teori ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan

dengan ayat-ayat Kauniyyah. Tafsir jenis ini berkembang pesat setelah kemajuan peradaban di dunia Islam. 189 Perkembangannya juga didukung oleh eksistensi ilmu

pengetahuan, sains dan teknologi modern dewasa ini. Dengan itu, terbuka banyak rahasia alam, penciptaan dan hasil-hasilnya. 190 Walaupun demikian, al-Quran

bukanlah kitab yang menerangkan kepada manusia tentang berbagai teori ilmiah, problem-problem seni, arsitektur dan aneka warna pengetahuan, melainkan ia hanya dasar-dasar pengetahuan atau simbol bagi lahirnya penemuan-penemuan sains.

Cendikia yang dimaksud di sini adalah para pengkaji ilmu agama dengan menyelaraskan pemahamannya dengan konteks zaman. Dari kalangan sunni dikenal nama Amîn al-Khullî (w.1966) di Mesir dengan bukunya Manâhij al-Tajdîd yang kemudian dilanjutkan oleh istrinya 'Âisyah 'Abdurrahmân atau dikenal dengan nama bintu Syâti` dalam tafsirnya at-Tafsîr al-Bayân li al-Qurân al-Karîm. Di kalangan Syi’ah dikembangkan oleh Sayyid Muhammad Husein Thabaththabâ’i (w. 1981) dengan tafsirnya al-Mizân fî at-Tafsîr al-Qurân.

187 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta: Paramadina, 1996) cet. 1, h.193. 188 Abdul Majid al-Zindani, Mukjizat al-Quran dan al-Sunnah mengenai IPTEK (Jakarta:

Gema Insani Press, 1999) h. 26. 189 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhû ’ i , (Jakarta: PT. Raja Grafindo Utama,

1996, cet. 2, h. 26.

Zaghlûl an-Najjâr, min  yât al-I'jâz al-'Ilmî (Beirut: Dâr al-Ma'rifah, 2001) h. 30.

Terkait dengan upaya menyelaraskan agama (baca: al-Quran) yang mengandung ayat-ayat kauniyyah 191 dengan sains, Ian G. Barbour mengemukakan

empat tipologi 192 dalam upaya itu; pertama, tipologi konflik. Agama dan sains dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan. Pandangan ini dianut oleh kaum

materialisme ilmiah dan literalisme kitab suci. Yang pertama berkeyakinan bahwa keyakinan agama bukanlah data publik yang dapat diuji dengan percobaan dan kriteria koherensi, sekaligus bersifat subjektif, tertutup, paroki, tidak kritis dan sulit berubah. Adapun sains bersifat objektif, terbuka, umum, kumulasi dan progresif.

Sedangkan yang kedua berpendirian bahwa penafsiran harfiah kitab suci mengatakan bahwa teori ilmiah seperti evolusi melambungkan filsafat materialisme dan

merendahkan perintah moral Tuhan. 193 Pandangan ini sejalan dengan yang pernah disampaikan Muhammad 'Imârah sebagai kritikannya terhadap anggapan bahwa al-

Quran memiliki dimensi keilmuan. Kritikan itu disampaikannya dalam al-Islâm wa Qadhâyâ al-'Ashr sebagai berikut:

1. Tidak benar menafsirkan kata-kata al-Quran dengan cara yang tidak diketahui oleh orang-orang Arab pada masa Nabi.

2. Al-Quran diwahyukan tidak untuk mengajari manusia sains dan teknologi, akan tetapi merupakan kitab petunjuk. Karena itu membicarakan ilmu kealaman adalah

di luar tujuannya.

Adalah ayat-ayat yang berbicara tentang ilmu pengetahuan manusia, dengan karakter ilmiah. Lihat Madhat Hafidz Ibrâhîm, al-Isyârât fî al-Qurân al-Karîm (Fujâlah: Maktabah Gharîb, 1992) h. 30.

192 Keempat tipologi ini adalah refleksi dari benturan teori tentang alam antara para ilmuan dan pengkaji bibel dalam tradisi kristen. Ketidakselarasan pandangan ini menimbulkan reaksi yang

keras dari kalangan agamawan kristen yang berujung pada hukuman mati bagi ilmuan yang berbeda pandangan dengan para pengkaji bibel. Dalam hal ini, penulis ingin memberikan gambaran bahwa dalam Islam, tidak ada pertentangan al-Quran dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. al-Quran mengawali setiap fenomena yang diobservasi di alam dengan tuntutan untuk memikirkan dan menghayati setiap fenomena tersebut. Antara sains ilmiah dan al-Quran adalah satu kesatuan dimana yang satu memakai kata-kata simbolis, kemudian sains ilmiah menjelaskan secara lebih rinci.

193 Lihat Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, terj. E.R. Muhammad, (selanjutnya disebut Juru Bicara Tuhan), (Bandung: Mizan, 2002) h. 55-62.

3. Sains belum mencapai tingkat kemajuan yang paripurna, karena itu, tidaklah benar menafsirkan al-Quran menurut teori-teori yang dapat berubah. Teori tertentu sangat populer selama periode tertentu, tetapi kemudian digantikan oleh teori yang lain. Adalah salah mengasumsikan bahwa al-Quran itu mendukung teori-teori yang kontradiktif. Para ilmuan muslim masa lampau seperti al-Biruni,

Ibnu Sina, at-Thusi, Ibnu Haytsam dll., tidak mencari rumus-rumus sains dalam al-Quran meskipun mereka memiliki keyakinan kuat atasnya dan sangat mengenalnya. Mencocokkan al-Quran dengan teori-teori sains yang tidak mapan

itu juga sangat berbahaya karena akan mengancam kemantapan fakta-fakta al- Quran dan membuka pintu bagi penafsiran-penafsiran yang tidak dapat diterima.

4. Adalah kehendak Allah bahwa manusia dapat menemukan rahasia-rahasia alam dengan menggunakan indera dan inteleknya. Jika al-Quran mencakup seluruh

ilmu kealaman, maka akal manusia akan mengalami kejumudan dan kebebasan manusia menjadi tidak bermakna. 194

'Imârah juga mengutip apa yang dikatakan oleh Muhammad Abduh, jika Rasul itu harus menerangkan ilmu-ilmu kealaman dan astronomi, maka itu berarti akhir dari aktifitas indera dan akal manusia, dan akan merendahkan kebebasan manusia itu sendiri. Memang benar, Nabi Muhammad secara ringkas menasehati umatnya untuk menggunakan indera dan akal terhadap apa saja yang menyejahterakan mereka, memperluas ilmu mereka dan akhirnya meningkatkan jiwa- jiwa mereka. Karena itu, pintu-pintu ilmu adalah akal dan eksperimentasi, bukan

hadis atau ilmu-ilmu agama. 195

Kedua , tipologi independensi. Tipe ini menolak adanya konflik dalam agama dan sains, karena antara keduanya berada pada domain yang berbeda. Argumen yang dijelaskan oleh pendapat ini adalah:

Muhammad 'Imarah, al-Islâm wa Qadhâyâ al-'Ashr, (selanjutnya disebut al-Islâm), (Kairo: Dâr al-Wahdah, tt.) h. 75. kritikan ini dikutip juga oleh Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut al- Quran , terj. Agus Efendi (Bandung: Mizan, 1993) cet. 5, h. 142.

195 'Imârah, al-Islâm, h. 75. Lihat juga Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains, h. 142.

1. Sains mengajukan pertanyaan "bagaimana" yang bersifat objektif. Sedangkan agama mengajukan pertanyaan "mengapa" tentang makna dan tujuan serta asal mula dan takdir terakhir.

2. Sains melakukan prediksi kuantitatif yang secara eksperimental dapat diuji.

3. Bahasa ilmiah berfungsi untuk melakukan prediksi dan kontrol (ilmiah), sedangkan agama menawarkan jalan hidup dan seperangkat pedoman mengenai

prinsip moral tertentu. 196

Ketiga , tipologi dialog. Tipe ini melakukan perbandingan antara sains dan agama. Keduanya dipandang dapat menunjukkan adanya hubungan teologis dan kesejajaran konseptual antar keduanya; misalnya ketika sains berupaya untuk mengkaji hubungan antara Tuhan dengan alam yang tercipta dengan keteraturan yang sempurna. Ian G. Barbour menulis:

Beberapa penulis mengangkat kesejajaran metodologis antara sains dan agama, seperti John Polkinghorne, filosof Holmes Rolston, Stephen Toulmin, mereka mengakui bahwa ada perbedaan metode antara sains dan agama. Sains jauh lebih objektif daripada agama dalam setiap hal yang telah disebutkan di atas. Jenis data yang dipakai dalam agama jauh berbeda dengan data sains, dan kemungkinan untuk menguji keyakinan agama jauh lebih terbatas. Agama lebih sekedar sistem intelektual karena tujuannya adalah melakukan transformasi personal dan menawarkan jalan hidup. Akan tetapi semua penulis menekankan bahwa ada kesejajaran metode signifikan dalam kedua bidang tersebut, termasuk penggunaan kriteria konsistensi dan kongruensi dengan pengalaman. Mereka berpendapat bahwa teologi merupakan upaya kritik diri dan reflektif yang membuka wawasan baru,

termasuk yang berasal dari sains. 197

Menanggapi tipologi dialog ini, Andi Rosadisastra menekankan upaya pencarian persamaan atau perbandingan secara metodis dan konseptual antara sains dan agama, yang dalam hal ini berbeda dengan model independen yang lebih

Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, h. 67-69. 197 Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, h. 81-82.

menekankan pada perbedaan. 198 Tipologi keempat, integrasi. Tipe ini mencoba mencari titik temu antara agama dan sains melalui perumusan gagasan-gagasan

teologi tradisional yang lebih ekstensif dan sistematis daripada yang dilakukan oleh pendukung dialog. 199

Dengan melihat keempat tipologi di atas, maka tipe integrasi adalah metode yang tepat untuk mencari titik temu antara penemuan sains dan konsep al-Quran, terutama menyangkut ayat-ayat kauniyyah. Titik temu ini bukan berarti menentukan konsep ilmiah yang rinci dalam al-Quran sebagaimana yang diinginkan tipe dialog,

melainkan menemukan isyarat yang dikandungnya. Madhat Hâfidz Ibrâhîm mengemukakan bahwa isyarat al-Quran mencakup semua bidang ilmu kauniyyah yang ada, tidak ada penemuan ilmiah dalam kehidupan manusia kecuali telah ada

isyarat yang diberikan al-Quran. 200 Sebagai contoh, al-Quran dengan jelas

mengungkap bahwa pada dasar laut terdapat api, 201 ﺭﻮﺠﺴﻤﹾﻟﺍ ﺮﺤﺒﹾﻟﺍﻭ

. Isyarat ilmiah ini kemudian mendapat legitimasi dengan penemuan Rachel L. Carson yang

mengungkap bahwa lautan sumber energi panas. Di dalamnya mengandung 10 triliun ton deuterium, sejenis isotop hidrogen yang kelebihan neutron di inti atomnya. Deuterium ini mudah dipisahkan dari air laut dan merupakan bahan bakar utama reaktor pembangkit energi sistem nuklir fusion. Isotop deuterium jika dikombinasikan dengan sejumlah isotop tritium, dipanaskan dengan suhu sangat tinggi dalam tabung hampa akan membentuk inti helium yang lebih berat. Hasil sampingannya berupa panas dan neutron-neutron bebas yang bergerak cepat. Neutron ini dibiarkan menabrak lapisan material khusus yang mengubah energi tubrukan tadi menjadi panas. Panas ini ditampung menjadi uap, selanjutnya uap ini memutar dinamo yang membangkitkan listrik. Proses nuklir fusion inilah yang berlangsung di matahari yang

Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial, (selanjutnya disebut Metode Tafsir), (Jakarta: Amzah, 2007) h. 19.

199 Andi Rosadisastra, Metode Tafsir, h. 19. 200 Madhat Hafidz Ibrâhîm, al-Isyârât fî al-Qurân al-Karîm, h. 143. 201 Lihat Q.S. at-Thûr (52): 6.

menghasilkan energi panas bagi planet-planet di sekitarnya. Dengan teknologi nuklir yang aman, laut akan mencukupi kebutuhan energi panas sedunia menggantikan

minyak bumi. 202

Kalimat al-Quran ketika berhadapan dengan ayat-ayat kauniyyah selalu disertai dengan perintah untuk memahami, mengobservasi dan mengujinya dengan

ilmu pengetahuan. 203 Meski sains dan al-Quran berada pada domain yang berbeda, akan tetapi penemuan ilmiah berawal dari isyarat, anggapan-anggapan dsb., dan al-

Quran berada pada posisi awal itu. Yûsuf al-Qardhâwî berpendapat bahwa isyarat ilmiah dalam al-Quran sebenarnya hanyalah kemukjizatan secara retoris, dimana tidak ada pertentangan ayat al-Quran yang telah turun 14 abad lalu, dengan berbagai penemuan sains kontemporer. Seandainya al-Quran adalah kitab karangan manusia dan tersusun oleh akal mereka, ungkapan-ungkapannya tentu tidak mampu meliputi perkembangan manusia dengan zaman yang berbeda. Karena itu menetapkan perkara ilmiah yang dikandung al-Quran mesti terhadap masalah-masalah yang sudah jelas

dan baku, yang tidak mengundang keraguan dan kesangsian. 204 Az-Zarqânî menambahkan, tafsiran ini juga hendaknya menyerupai kitab tafsir bukan kitab

sains. 205 Dengan demikian, Tendensi ilmiah dalam al-Quran tidak hanya merangsang penelitian ilmiah, akan tetapi dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan

teknologi secara signifikan memberikan dukungan yang kuat untuk membuktikan kebenaran ilmiah al-Quran. 206 al-Quran memang tidak berbicara secara umum tentang

segala macam permasalahan, dalam arti tidak secara definitif dan final dibicarakan. Ini disebabkan karena al-Quran hanya memberikan informasi kepada manusia, untuk selanjutnya manusia mengolah dan mengeksplorasinya menjadi sebuah disiplin

202 Bambang Pranggono, Percikan Sains dalam al-Quran: Menggali Inspirasi Ilmiah (Jakarta: penerbit Khazanah Intelektual, 2005) cet. 1, h. 64-65.

203 Madhat Hafidz Ibrâhîm, al-Isyârât fî al-Qurân al-Karîm, h. 40. 204 Yûsuf al-Qardhâwî, Kaifa Nata ’ âmal ma ’ a al-Qurân (Kairo: Dâr as-Syurûq, 2000) h. 455. 205 Muhammad 'Abdul 'Azhîm az-Zarqânî, Manâhil al-'Irfân (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2001)

Jilid 2, h. 101-104.

206 J.M.S. Baljon, Tafsir al-Quran Muslim Modern (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) cet. 4, h. 132.

pengetahuan yang sistematis-ilmiah dan fungsional. Dalam rangka keperluan ilmiah itu, Fuad Pasya menilai dalam mendekati al-Quran dari aspek ilmiah, kajian al-Quran harus melalui kerjasama dengan berbagai spesialisasi ilmu yang terkait dengannya, termasuk di dalamnya para filolog (ahli filologi) dan ahli agama (ulama) yang konsisten dengan kaidah penafsiran umum yang sesuai dengan batasan bahasa dan

batasan syariat. 207 Namun begitu, hal ini bukan berarti mempersempit kajian atas sesuatu yang bersifat ilmiah, melainkan merumuskan metodologi yang bersifat hati-

hati dalam rangka menghimpun, mengklasifikasi dan mengklarifikasi ayat-ayat menyangkut fenomena-fenomena yang saling berkaitan dalam kehidupan. Karena Tuhan pun senantiasa menyeru manusia untuk melakukan riset dan mempelajari al-

Quran. 208 Menyuarakan dan membunyikan al-Quran tentu tidak berhenti pada tataran kekaguman yang tinggi terhadap barisan narasinya, 209 tidak pula menjadikan al-

Quran hanya sebagai dendangan dalam parade ritus yang bernuansa keagamaan. Lebih dari itu, al-Quran disuarakan dengan menguak selubung-selubung yang menabirinya, selubung yang membuat siapapun berhenti untuk lebih jauh menjamah

Fuad Pasya, Dimensi Sains al-Quran, h. 48. 208 Al-Quran menyimpan potensi yang sangat dahsyat. Sejarah merekam pengaruh besarnya

ketika ia melahirkan sebuah peradaban yang oleh Nasr Hamid Abu Zaid disebut sebagai "peradaban teks" (hadhârah al-nash). Pernyataan ini tidak memberi pengertian bahwa teks an sich yang membangun peradaban, sebab, teks apapun takkan mampu membangun dan menegakkan ilmu pengetahuan dan peradaban. Yang membangunnya adalah dialektika manusia dengan realitas di satu pihak dan dialognya dengan teks di pihak lain. Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Quran. Terj. Khairon Nahdliyin (Yogyakarta: LKiS, 2003) cet. 3, h. 1-2. Sebagai teks, al-Quran memberi ruang yang terbuka untuk dapat dijamah, baik berupa pembacaan, penerjemahan, penafsiran, sampai pengambilannya sebagai sumber rujukan. Bagi Komaruddin Hidayat, Kehadiran teks al-Quran di tengah umat Islam melahirkan pusat pusaran wacana keislaman yang tak pernah berhenti dan menjadi pusat inspirasi bagi manusia untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya. Baca Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutika (Jakarta: Paramadina, 1996) h. 15.

209 Barisan narasi al-Quran diyakini sebagai salah satu mukjizat bagi manusia sampai akhir zaman. Kekuatan narasinya mampu mengalahkan tradisi prosa yang telah berkembang lebih dahulu

pada masa jahiliyah. Dengan kenyataan itu, anggapan bahwa Al-Quran adalah hasil karangan Muhammad menjadi terbantahkan. Salah satu yang mendasar dalam pengertian ini adalah kekuatan teks Al-Quran dalam bentuknya yang independen (ifrâd) dan terstruktur (tarkîb). Lebih lanjut baca 'Abdul Hamîd al Hindawî Ahmad Yûsuf al Hindawî, al-I'jâz al-Sharfî (Beirut: al-Maktabah al- 'Ashriyah, 2001) cet. 1. h. 49.

dan mencernanya, sekaligus pada saat yang sama mengangkat pesan tertingginya

sebagai petunjuk bagi manusia, 211 sebagaimana diisyaratkan Q.S. al-'Alaq (96) 1-5. Ar-Râzî memulai menjabarkan ayat ini dimulai dengan analisis semantik kata

ﻢـﺳﺎﺑ . Ar-Râzî juga menunjukkan ketidaksefahamannya dalam memaknai huruf ب

sebagai ﺓﺩﺎﻳﺰﻟﺍ ﻑ ﺮﺣ (huruf tambahan) sehingga berarti ﻚـﺑﺭ ﻢـﺳﺍ ِ ﹾﺃﺮﹾﻗ ﺇ (bacalah nama

Tuhanmu). Ar-Râzî lebih setuju pemaknaannya sesuai dengan zahir ayat dan huruf ب

adalah bagian integral dari ayat dan bukan huruf tambahan. Kritik ar-Râzî terhadap

pendapat yang menyatakan bahwa huruf ب adalah huruf tambahan, bersifap humanis dan realistis. Jangankan manusia di masa sekarang, Rasul pun memiliki beragam

kesibukan sehingga tidak mungkin mengucap nama Tuhan secara terus menerus. Sebaliknya, memaknai ayat dengan zahirnya, memberikan pemahaman bahwa apapun

yang akan dilakukan seseorang maka harus didasarkan pada nama-nama Tuhan. 212 Artinya, ada prinsip ilahiyah dalam setiap pekerjaan dan olah fikir manusia. 213

Dengan demikian, penulis meyakini bahwa al-Quran semestinya diakui sebagai kitab petunjuk bagi kemajuan manusia, dan mencakup apa saja yang

210 Lihat Ahmad Fawaid Syadzili, "al-Quran dan Juru Bicara Tuhan", Jurnal Afkar, 18 (2004) h. 3. Seyyed Hossein Nasr membagi jenis petunjuk al-Quran bagi manusia menjadi tiga macam: pertama , doktrin yang memberi pengetahuan tentang struktur kenyataan dan posisi manusia di dalamnya. Doktrin itu berisi petunjuk moral dan hukum yang menjadi dasar syariat yang mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Doktrin itu juga mengandung metafisika tentang Tuhan, kosmologi tentang alam semesta serta kedudukan berbagai makhluk dan benda di dalamnya, dan pembahasan kehidupan di akhirat.karenanya al-Quran adalah dasar dari hukum Tuhan dan pengetahuan metafisis. Kedua , berisi petunjuk yang menyerupai ringkasan sejarah manusia, rakyat biasa, raja-raja, orang- orang suci dan para nabi sepanjang zaman dan segala cobaan yang menimpa mereka. Ketiga, berisi sesuatu yang sulit dijelaskan dalam bahasa modern. Sesuatu itu disebut "magi" yang agung, bukan dalam srti harfiah, melainkan dalam arti metafisis. Ayat al-Quran karena diturunkan oleh Tuhan, mengandung kekuatan yang berbeda dari apa yang kita pelajari dalam al-Quran secara rasional. Baca Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, h. 50-52.

211 Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang paling pemurah. Yang mengajarkan

manususi dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui .

212 Ar-Râzi, Mafâtih al-Ghaib, juz 32, h. 14. 213 Prinsip ilahiyah yang dimaksud adalah usaha mencontoh Tuhan melalui nama-nama-Nya

yang mulia dalam al-Asmâ' al-Husnâ.

dibutuhkan manusia dalam wilayah iman dan amal. Namun pada sisi lain, tidak menolak bahwa al-Quran menjadi rujukan dalam mengungkap fenomena alam. Hal ini tidak berarti mencocokkan teks al-Quran dengan teori-teori sains yang berubah- ubah, melainkan mempertemukannya dalam domain penafsiran. Al-Quran adalah isyarat ilmiah dan sains menjadikannya mudah untuk dilacak. Pemahaman ini sama dengan apa yang menjadi keyakinan Mushtafâ al-Marâghi, bahwa al-Quran mengandung prinsip-prinsip umum, dalam arti seseorang dapat menurunkan seluruh pengetahuan tentang perkembangan fisik dan spiritual manusia yang ingin

diketahuinya dengan bantuan prinsip-prinsip tersebut. Adalah kewajiban para ilmuan yang terlibat dalam berbagai sains itu untuk menjelaskan rincian yang diketahui kepada masyarakatnya. Namun begitu, penafsiran terhadap ayat-ayat saintifis tidak terlalu diperluas sehingga menjadi belebihan. Bagaimanapun, jika fakta ilmiah itu

telah mantap, maka penafsiran al-Quran dilakukan atas dasar itu. 214 Mahdi Ghulsyani juga mengutarakan hal senada dimana al-Quran tidak dijadikan sebagai teori atau

ensiklopedi sains melainkan sebagai bantuan dalam menarik perhatian manusia kepada keagungan Allah SWT. 215

Atas dasar ini, dapat diketahui bahwa al-Quran pada hakikatnya memiliki dimensi pengetahuan secara teoritis maupun praktis, atau al-Quran bukan saja mengandung kebenaran tekstual, melainkan juga kontekstual. Konsekuensinya, para penafsir al-Quran tidak ingin ketinggalan zaman untuk menemukan cara-cara perdebatan untuk membuktikan bahwa kitab suci ini mampu memenuhi kebutuhan masa kini dengan dua dimensi: Materi maupun spiritual. Inilah maksud dari anjuran al-Quran untuk mengkaji alam. Karena alam merupakan ayat-ayat dan kalam Tuhan yang tersirat, dan dengan terkuaknya rahasia alam, maka manfaat dari alam juga akan didapat. Manfaat inilah yang menjadi hikmah bagi manusia, yakni hikmah dalam

Lihat Muhammad Husain al-Dzahabî, al-Tafsir wa al-Mufassirûn (Beirut: Dar al-Kutub al- Hadîts, t.t.) jilid 2, h. 519.

215 Lihat Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains, h. 143.

bentuk material dan spiritual tadi. 216 Dengan begitu, maka simbolisasi sains dalam al- Quran merupakan sebuah metode dalam rangka menguak nilai kebenaran ilmiah

dalam al-Quran yang bersifat material tanpa meninggalkan dimensi ruhaniyah sebagai bagian dari pendidikan kealaman Tuhan, karena alam adalah cerminan diri-Nya yang sempurna.