Realitas Alam sebagai Wahyu (al-Âyât)

1. Realitas Alam sebagai Wahyu (al-Âyât)

Pembahasan ini bertumpu pada ayat al-Quran tentang realitas alam, kemudian menyandingkannya dengan ayat-ayat lain yang satu pemahaman dengannya. 156 Ayat

yang dimaksud terdapat pada Q.S. al-Jâtsiyah (45): 13:

Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Quran, terj. Machasin (Jakarta: INIS, 1997) h. 160.

153 Istilah lingkungan adalah ungkapan singkat dari lingkungan hidup yang memiliki makna yang sama dengan dunia atau alam. Istilah ini merupakan pengalihan dari istilah asing seperti al-Bi'ah

(Arab), environmet (Inggris), milliu (Belanda), L'evironment (Perancis), alam sekitar (Malaysia) dll. 154 Lihat misalnya Q.S. ar-Rûm (30): 24, dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia

memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan Dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya.

155 Ilmu pengetahuan manusia berawal dari memenuhi rasa ingin tahu dan penasaran dalam hidupnya sehingga berupaya untuk mengusahakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk pemenuhan

kebutuhan itu. Secara argumentatif, manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta rekayasanya justru karena ia tidak 'siap pakai' dan 'siap jalan' dalam menghadapi hidup. Lihat Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia (Jogjakarta: LESFI, 2002) cet. 1,

h. 125-126. 156 Bagian terbanyak dari ayat-ayat al-Quran adalah seruan untuk mempergunakan akal dalam

rangka memperhatikan alam sekelilingnya, merenung dan memikirkannya. Setelah maju ilmu pengetahuan modern, bertambah jelaslah arti yang dikandungnya di dalam ayat-ayat itu. Semuanya

Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah SWT.) bagi kaum yang berfikir

Ayat ini menekankan urgensi alam sebagai sesuatu yang harus difikirkan untuk sampai kepada mengenal pencipta-Nya. Ada dua jenis wahyu yang Allah SWT., turunkan untuk manusia sebagai pedoman hidupnya; pertama, wahyu yang bercorak verbal dengan menggunakan bahasa manusia, yakni al-Quran; kedua, wahyu

yang bercorak non-verbal berupa gejala-gejala alami yang terdapat dalam alam. 157 Sebagai wahyu verbal, al-Quran adalah susunan kata-kata simbolik dan inspiratif, 158 serta petunjuk bagi manusia dalam menjalani kehidupan dunia. 159 Al-Quran hadir

sebagai pembentuk semangat, etos, kebudayaan dan peradaban kaum muslim. Jika dilirik ke belakang, yakni sejarah panjang agama-agama dan peradaban-peradaban, maka akan ditemukan bagaimana ayat-ayat al-Quran telah mengawali lahirnya sebuah agama, masyarakat, kebudayaan dan peradaban sekaligus. Pernyataan ini tidaklah berlebihan, mengingat al-Quran telah mampu menjadi pembentuk karakter kaum

menjadi bukti bahwa al-Quran bukanlah karangan Muhammad saw., melainkan langsung dari Allah SWT.

157 Wahyudi, Islamologi Terapan (Surabaya: Gitamedia Press, 1997) h. 93. 158 Muhammad Ridhô al-Hakîmî, al-Qurân Yasbiqu al-'Ilma al-Hadîts, (selanjutnya disebut

al- Qurân Yasbiqu), (Kuwait: Dâr al-Qabas, 1977) cet. 5, h. 21-23. 159 Ar-Râghib al-Ashfahâni dalam Muqaddimah al-Tafsîr mengatakan bahwa meskipun pada

hakikatnya merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia, pemahaman terhadap al-Quran tidaklah sama. Manusia memahami al-Quran sesuai dengan tingkat kemampuan dan kondisi masing-masing. Ahli balagah memahaminya dari segi kefasihan bahasanya, ahli fiqih memahami dari segi hukumnya, ahli kalam memahami dari segi pembuktian akalnya, sejarawan dari segi kisah-kisahnya. Semakin besar kemampuan manusia mencapai ilmu, maka akan semakin bertambah pula pengetahuannya tentang makna-makna al-Quran.

muslim. Dawam Raharjo menyebutkan bahwa masa depan Islam terletak pada inspirasi al-Quran. 160

Adapun yang bercorak non-verbal, wahyu dapat disaksikan pada alam dengan segala keragaman, keserasian, keajaiban dan jalinan antara berbagai fenomenanya. Fazlur Rahman menyebut alam sebagai God's Sign for Human, yaitu tanda-tanda dan

simbol eksistensi Tuhan. 161 Alam adalah data bagi manusia untuk diterjemahkan dan dimaknai sebagai realitas yang bermuara dari Allah SWT., sumber eksistensi dari

segenap realitas alam. Antara wahyu verbal dan non-verbal memiliki hubungan yang erat, dimana ajaran tentang realitas alam sebagai wahyu non-verbal dan perintah untuk memahaminya tidak saja diperlihatkan melalui gejala-gejala ilmiah, akan tetapi secara tegas dibahasakan secara verbal dalam al-Quran.

Gejala-gejala alam yang oleh Seyyed Hossein Nasr merupakan Vestigia Dei atau tanda-tanda ketuhanan menunjukkan pada hubungan antara wahyu, alam semesta dan Tuhan. Apabila seorang muslim melihat fenomena alam, maka dengan sendirinya

akan mengingat Tuhan. 162 Wahyu Allah SWT., mengajak akal manusia untuk menyingkap dan memahami nilai dan kekuatan hakiki dari dunia material ini. Ajakan

itu diawali melalui penelitian dan observasi terhadap fenomena alam dan melakukan refleksi yang mendalam mengenai rahasia dan keajaibannya. 163 Melalui penelitian ini

akan memperjelas pentingnya mempergunakan akal dalam melihat realitas yang ada, dan menekankan betapa pentingnya manusia dalam menghuni bumi, sehingga dapat menghayati keberadaan zat transenden yang mencipta dan meletakkan hukum-hukum

penciptaan-Nya. 164

160 Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 2002) cet. 2, h. 2.

161 Fazlur Rahman, Major Themes of the Quran (Malaysia: Islamic Book Trust, 1999) h. 69. 162 Baca Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam, (selanjutnya disebut Ideals and

Realities), (London: George Allen & Unwin Ltd, 1975) h. 55. 163 Afzalur Rahman, Ensiklopediana Ilmu dalam al-Quran, terj. Taufiq Rahman, (selanjutnya

disebut Ensiklopediana), (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007) cet. 2, h. 25. 164 Imam Syafi’i, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam al-Quran; Telaah dan Pendekatan Filsafat

Ilmu (Yokyakarta: UII Press, 2000) cet. 1, h. 94.

Tuhan adalah realitas immaterial. Keberadaan-Nya mustahil dapat diketahui melalui pengalaman empirik, akan tetapi dapat dikenal melewati tanda-tanda-Nya yang dipersepsikan oleh manusia. Oleh karena itu, tanda-tanda yang ada di alam merupakan pengetahuan yang sangat berharga dalam rangka mengetahui hakikat penciptaan. Penciptaan alam dengan segenap fenomena yang ditunjukkannya merupakan realitas yang bukan tanpa tujuan. Dalam Q.S. al-Anbiyâ' (21): 16 disebutkan:

Dan tidaklah kami ciptakan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya secara sia-sia.

Ayat ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa fenomena alam berjalan dengan tujuan dan sasaran tertentu. Adanya kedua hal itu dalam penciptaan merupakan kenyataan alamiah yang menjadikan alam dalam keadaan tertib dan indah. Hal ini agar manusia bisa mangambil kebaikan dari alam, dengan cara mengenal hakikat alam yang harmonis dan seimbang. Dalam bahasa Yunani, citra alam yang

demikian disebut sebagai cosmos, 165 lawan dari kata chaos yang berarti kacau atau tidak teratur. 166 Alam adalah ayat-ayat Allah SWT., yang menjadi sumber pelajaran dan ajaran bagi manusia, di samping ayat-ayat-Nya yang bersifat verbal. Realitas alam adalah wahyu yang menunjuk pada keberadaan Tuhan. Menurut Nurcholis Madjid, keserasian dan keharmonisan pada alam yang merupakan pelajaran dan ajaran sekaligus, adalah eksistensi teleologis (hikmah) yang mencerminkan hakikat

Tuhan, Maha Pencipta, Yang maha Kasih dan Sayang. 167

Osman Bakar menyebut kosmologi sebagai sumber kerangka konseptual yang berada di antara ilmu pengetahuan partikular dengan realitas metafisika. Lihat Osman Bakar, Tauhid dan Sains: Essai-Essai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994) h. 85.

166 Agus Purwadi, Kosmologi Haqqiyah (Jogjakarta: Bayumedia, 2002) cet.1, h. 59. 167 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,

1992) cet. 1, h. 289.

Sebagai firman Tuhan yang sifatnya non-verbal, realitas alam mengandung arti bahwa manusia diperintahkan untuk mempelajari unsur-unsur yang terdapat di dalamnya, untuk memanfaatkannya serta mengenali fakta dan rahasia di balik setiap

fenomena yang ditunjukkannya. 168 Pemanfaatan itu adalah realisasi dari kata ﺮّﺨ ﺳ (menundukkan, memudahkan) dalam Q.S. al-Jâtsiyah (45): 13 di atas tadi.

Kata ﺮﺨــﺳ memiliki dua pengertian: pertama, segala sesuatu diletakkan

sepenuhnya di bawah kendali manusia dan ia dapat menggunakannya sebagaimana yang diinginkan. Kedua, ada sistem hukum yang regular dan tetap yang mengatur

169 jalannya segala sesuatu dan yang dapat diambil manfaatnnya oleh manusia. Seyyed

Hossein Nasr mengatakan bahwa al-Quran mengandung prinsip ilmu pengetahuan, tanpa harus menyebut detail dari susunan materi pada alam. 170 Fenomena alam

sebagai gejala ilmiah yang menuntut untuk dihayati dan difahami sebagai ayat Tuhan (Q.S. an-Nahl (16): 65) sesungguhnya dapat diungkap dengan capaian manusia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan teknologi, manusia dapat mengungkap dan menemukan banyak hal yang belum diketahuinya. Dengan bertambahnya kemajuan ilmu pengetahuan, semua ayat Tuhan di alam dapat dengan mudah difahami.