BAB TIGA PULUH ENAM LEO

BAB TIGA PULUH ENAM LEO

PADA PENGUJUNG KORIDOR, BERDIRILAH PINTU kayu walnu yang memajang plakat perunggu: ASCLEPIUS DR, DRG, DME, DC, BT, EGP, OMG, STFT, TTYL, IDSY, GW, OTW OD, OT, SPFK, TOPGBT, SKEP, PHD, TBK.,

LOL Mungkin akronim dalam daftar tersebut masih banyak lagi, tapi pada saat itu kepala Leo sudah serasa mau pecah. Piper mengetuk pintu. "Dr. Asclepius?" Pintu pun terbuka. Pria di dalam memiliki senyum ramah, kerut-kerut di seputar matanya, rambut pendek kelabu, dan janggut yang dipotong rapi. Dia mengenakan jas lab putih di atas setelan jas resmi dan stetoskop dikalungkan ke lehernya —busana dokter yang biasa, terkecuali satu hal: Asclepius memegang tongkat hitam mengilap yang dililiti ular piton hijau hidup. Leo tidak bahagia melihat ular lagi. Si piton memperhatikannya dengan mata kuning pucat dan Leo mendapat firasat bahwa hewan itu tidak diset ke level idiot. "Halo!" kata Asclepius. "Dokter." Saking hangatnya, senyum Piper niscaya mampu melelehkan Boread. "Kami akan sangat berterima kasih atas hantuan Dokter. Kami membutuhkan obat dari tabib." Leo bahkan bukan targetnya, tapi charmspeak Piper menerpanya demikian kuat. Leo bakalan rela berbuat apa saja untuk membantu Piper memperoleh obat tersebut. Dia bakal rela masuk sekolah kedokteran, meraih dua belas gelar doktor, dan tnembeli ular piton hijau besar yang membelit tongkat. Asclepius menempelkan tangan ke dada kirinya. "Waduh, tentu, Anak Manis, aku senang jika bisa membantu." Senyum Piper memudar. "Sungguh? Maksud saya, tentu saja Dokter bersedia." "Mari! Silakan masuk!" Asclepius menggiring mereka ke dalam kantornya. Saking baiknya lelaki itu, Leo curiga kantornya penuh dengan alat penyiksaan, tapi ternyata semata-mata seperti kantor dokter: meja besar dari kayu maple, rak berisi buku-buku kedokteran dan model organ plastik yang gemar Leo mainkan semasa dia kanak-kanak. Dia teringat pernah mendapat masalah suatu ketika karena mengubah penampang melintang ginjal dan tulang kaki menjadi monster ginjal dan menakut-nakuti perawat. Hidup lebih sederhana ketika itu. Asclepius menduduki kursi dokter besar nan nyaman dan meletakkan tongkat serta ular di mejanya. "Silakan duduk!" Jason dan Piper menempati dua kursi di sisi pasien. Leo harus tetap berdiri. Dia tak keberatan, sebab dia tidak ingin matanya sejajar dengan mata si ular. "Jadi." Asclepius menyandarkan diri. "Aku tidak bisa mengungkapkan betapa menyenangkannya mengobrol dengan pasien. Beberapa ribu tahun terakhir, administrasi sudah semakin merepotkan. Selalu diburu-buru. Isi formulir ini-itu. Birokrasi

berbelit-belit. Belum lagi penjaga pualam raksasa yang mencoba membunuh semua orang di ruang tunggu. Dunia pengobatan menjadi tidak menyenangkan!" "Iya," kata Leo. "Hygeia memang mengecewakan." Asclepius menyeringai. "Hygeia putriku yang asli tidak seperti itu, kuyakinkan kalian. Dia lumayan ramah. Singkat kata, kerjamu bagus, mampu memprogram ulang patung itu. Tanganmu selihai tangan dokter bedah." Jason bergidik. "Leo memegang pilau bedah? Jangan didukung." Sang dewa dokter terkekeh-kekeh. "Nah, apa persoalan kalian?" Dia mencondongkan badan ke depan dan memperhatikan Jason. "Hmm luka tusukan pedang Imperial, tapi sudah sembuh. Tidak kena kanker, tidak ada masalah jantung. Awasi tahi lalat di kaki kirimu, tapi aku yakin itu jinak." Jason memucat. "Bagaimana Dewa —" "Oh, tentu saja!" kata Asclepius. "Kau agak rabun jauh! Solusinya mudah." Dia membuka laci, mengeluarkan notes resep dan kotak kacamata. Dia mengguratkan sesuatu di notes, lalu menyerahkan kacamata dan resep kepada Jason. "Simpan resep ini untuk acuan di masa mendatang, tapi lensa ini semestinya manjur. Cobalah." "Tunggu," kata Leo. "Jason rabun jauh?" Jason membuka kotak. "Aku —aku memang kesulitan melihat benda-benda dari jarak jauh akhir-akhir ini," dia mengakui. "Kukira aku cuma capek." Dia mencoba kacamata, yang bergagang tipis dari emas Imperial. "Wow. Iya. Begini mendingan." Piper tersenyum. "Kau kelihatan berwibawa sekali." "Entahlah, Bung," kata Leo. "Kalau jadi kau, aku akan memilih lensa kontak —yang warnanya jingga berpendar dengan pupil mata berbelit-belit. Belum lagi penjaga pualam raksasa yang mencoba membunuh semua orang di ruang tunggu. Dunia pengobatan menjadi tidak menyenangkan!" "Iya," kata Leo. "Hygeia memang mengecewakan." Asclepius menyeringai. "Hygeia putriku yang asli tidak seperti itu, kuyakinkan kalian. Dia lumayan ramah. Singkat kata, kerjamu bagus, mampu memprogram ulang patung itu. Tanganmu selihai tangan dokter bedah." Jason bergidik. "Leo memegang pilau bedah? Jangan didukung." Sang dewa dokter terkekeh-kekeh. "Nah, apa persoalan kalian?" Dia mencondongkan badan ke depan dan memperhatikan Jason. "Hmm luka tusukan pedang Imperial, tapi sudah sembuh. Tidak kena kanker, tidak ada masalah jantung. Awasi tahi lalat di kaki kirimu, tapi aku yakin itu jinak." Jason memucat. "Bagaimana Dewa —" "Oh, tentu saja!" kata Asclepius. "Kau agak rabun jauh! Solusinya mudah." Dia membuka laci, mengeluarkan notes resep dan kotak kacamata. Dia mengguratkan sesuatu di notes, lalu menyerahkan kacamata dan resep kepada Jason. "Simpan resep ini untuk acuan di masa mendatang, tapi lensa ini semestinya manjur. Cobalah." "Tunggu," kata Leo. "Jason rabun jauh?" Jason membuka kotak. "Aku —aku memang kesulitan melihat benda-benda dari jarak jauh akhir-akhir ini," dia mengakui. "Kukira aku cuma capek." Dia mencoba kacamata, yang bergagang tipis dari emas Imperial. "Wow. Iya. Begini mendingan." Piper tersenyum. "Kau kelihatan berwibawa sekali." "Entahlah, Bung," kata Leo. "Kalau jadi kau, aku akan memilih lensa kontak —yang warnanya jingga berpendar dengan pupil mata

Asclepius berdeham. "Aku sudahlah. Lupakan yang kukatakan. Nah, jadi kalian menginginkan obat dari tabib." Piper mengerutkan keing. "Tapi —" "Serius nih, Teman-teman," kata Leo. "Aku baik-baik saja. Satu-satunya masalah cuma Gaea yang besok bakal menghancurkan dunia. Mari kita fokus." Mereka tidak kelihatan senang, tapi Asclepius maju terus. "Jadi, aster ini dipetik oleh ayahku, Apollo?" "Iya," kata Leo. "Dia kirim salam." Asclepius mengambil bunga itu dan mengendusnya. "Aku sungguh berharap semoga Ayah baik-baik saja selepas perang ini. Zeus terkadang keterlaluan. Nah, satu-satunya bahan yang kurang adalah detak jantung dewa yang dirantai." "Saya punya," kata Piper. "Paling tidak saya bisa memanggil makhai." "Bagus sekali. Tunggu sebentar, Anak Manis." Sang dewa memandang pitonnya. "Spike, apa kau siap?" Leo menahan tawa. "Ular Dokter bernama Spike?" Spike memandang Leo dengan garang. Dia mendesis sambil membentangkan cucuk-cucuk di seputar lehernya seperti basilisk. Tawa Leo tertelan kembali ke dalam tenggorokannya. "Maaf," katanya. "Tentu saja namamu Spike." "Dia agak pemarah," kata Asclepius. "Orang-orang selalu mengelirukan tongkatku dengan tongkat Hermes, yang dilengkapi dua ular, sudah jelas. Sepanjang berabad-abad ini, orang-orang menyebut tongkat Hermes sebagai simbol kedokteran, padahal seharusnya tongkatku yang menjadi simbol itu. Spike merasa diabaikan. George dan Martha mendapatkan seluruh perhatian. Pokoknya ..." Asclepius meletakkan aster dan racun di depan Spike. "Mint Pylosian —maut nan pasti. Kutukan Delos—menambatkan yang tidak bisa ditambatkan. Bahan terakhir: detak jantung dewa yang dirantai —kekacauan, kekerasan, dan rasa takut mati." Dia berpaling kepada Piper. "Anak Manis, silakan lepaskan makhai." Piper memejamkan mata. Angin berpusing di ruangan. Suara-suara marah melolong. Leo merasakan hasrat aneh untuk menghajar Spike dengan palu. Dia ingin mencekik sang dokter baik hati dengan tangan kosong. Kemudian Spike membuka rahangnya dan menelan angin marah itu. Leher si ular menggembung sementara roh-roh pertempuran meluncur di kerongkongannya. Dicaploknya aster dan vial berisi mint Pylosian untuk hidangan penutup. "Tidakkah racun itu menyakitinya?" tanya Jason. "Tidak, tidak," kata Asclepius. "Tunggu dan saksikanlah." Sesaat berselang, Spike memuntahkan vial Asclepius berdeham. "Aku sudahlah. Lupakan yang kukatakan. Nah, jadi kalian menginginkan obat dari tabib." Piper mengerutkan keing. "Tapi —" "Serius nih, Teman-teman," kata Leo. "Aku baik-baik saja. Satu-satunya masalah cuma Gaea yang besok bakal menghancurkan dunia. Mari kita fokus." Mereka tidak kelihatan senang, tapi Asclepius maju terus. "Jadi, aster ini dipetik oleh ayahku, Apollo?" "Iya," kata Leo. "Dia kirim salam." Asclepius mengambil bunga itu dan mengendusnya. "Aku sungguh berharap semoga Ayah baik-baik saja selepas perang ini. Zeus terkadang keterlaluan. Nah, satu-satunya bahan yang kurang adalah detak jantung dewa yang dirantai." "Saya punya," kata Piper. "Paling tidak saya bisa memanggil makhai." "Bagus sekali. Tunggu sebentar, Anak Manis." Sang dewa memandang pitonnya. "Spike, apa kau siap?" Leo menahan tawa. "Ular Dokter bernama Spike?" Spike memandang Leo dengan garang. Dia mendesis sambil membentangkan cucuk-cucuk di seputar lehernya seperti basilisk. Tawa Leo tertelan kembali ke dalam tenggorokannya. "Maaf," katanya. "Tentu saja namamu Spike." "Dia agak pemarah," kata Asclepius. "Orang-orang selalu mengelirukan tongkatku dengan tongkat Hermes, yang dilengkapi dua ular, sudah jelas. Sepanjang berabad-abad ini, orang-orang menyebut tongkat Hermes sebagai simbol kedokteran, padahal seharusnya tongkatku yang menjadi simbol itu. Spike merasa diabaikan. George dan Martha mendapatkan seluruh perhatian. Pokoknya ..." Asclepius meletakkan aster dan racun di depan Spike. "Mint Pylosian —maut nan pasti. Kutukan Delos—menambatkan yang tidak bisa ditambatkan. Bahan terakhir: detak jantung dewa yang dirantai —kekacauan, kekerasan, dan rasa takut mati." Dia berpaling kepada Piper. "Anak Manis, silakan lepaskan makhai." Piper memejamkan mata. Angin berpusing di ruangan. Suara-suara marah melolong. Leo merasakan hasrat aneh untuk menghajar Spike dengan palu. Dia ingin mencekik sang dokter baik hati dengan tangan kosong. Kemudian Spike membuka rahangnya dan menelan angin marah itu. Leher si ular menggembung sementara roh-roh pertempuran meluncur di kerongkongannya. Dicaploknya aster dan vial berisi mint Pylosian untuk hidangan penutup. "Tidakkah racun itu menyakitinya?" tanya Jason. "Tidak, tidak," kata Asclepius. "Tunggu dan saksikanlah." Sesaat berselang, Spike memuntahkan vial

ini, Penguasa Dunia Bawah protes kepada Zeus, dan aku mati tersambar petir. DUAR!" Leo berjengit. "Dokter kelihatannya baik-baik saja untuk ukuran orang mati." "Oh, kondisiku sudah membaik. Itulah bagian dari kompromi. Jadi begini, ketika Zeus membunuhku, ayahku, Apollo, gusar sekali. Dia tidak bisa balas dendam langsung pada Zeus; raja dewa-dewa terlalu perkasa. Jadi, Apollo justru membalas dendam pada si pembuat petir. Dia membunuh sejumlah Cyclops Tetua. Atas perbuatan itu, Zeus menjatuhi Apollo hukuman ... yang cukup berat. Akhirnya, untuk berdamai, Zeus setuju menjadikanku Dewa Kedokteran, asalkan aku takkan lagi menghidupkan orang dari kematian." Mata Asclepius tampak bimbang. "Tapi, justru inilah yang kulakukan memberi kalian obat itu." "Karena Dokter menyadari betapa pentingnya ini," kata Piper, "Dokter bersedia membuat perkecualian." "Ya ..." dengan enggan, Asclepius menyerahkan vial kepada Piper. "Yang jelas, ramuan itu harus diberikan sesegera mungkin setelah korban mati. Obat dapat disuntikkan atau dituangkan ke mulut. Jumlahnya hanya cukup untuk satu orang. Apa kalian mengerti?" Dia menatap lurus ke arah Leo. "Kami mengerti," Piper berjanji. "Apa Dr. Asclepius yakin tidak ingin ikut dengan kami? Penjaga Dokter sedang tidak bisa bertugas. Dokter pasti akan sangat membantu di atas Argo II." Asclepius tersenyum melankolis. "Argo ... ketika aku masih seorang demigod, aku berlayar dengan Argo yang asli, kalian tahu. Ah, andai aku bisa kembali menjadi petualang nan bebas!" "Iya ..." gerutu Jason. "Bebas." "Tapi, sayangnya tidak bisa. Zeus pasti marah karena aku sudah membantu kalian. Lagi pula, si penjaga akan memprogram kembali dirinya tidak lama lagi. Kalian sebaiknya pergi." Asclepius berdiri. "Semoga berhasil, Demigod. Jika kalian bertemu ayahku lagi, tolong sampaikan penyesalanku." Leo tidak yakin apa yang dia maksud, tapi mereka pun pamit. Sekembalinya ke Argo II, mereka berkumpul di mes dan menceritakan kejadian tersebut kepada awak yang lain. "Aku tidak suka," kata Jason, "cara Asclepius memandang Leo —" "Aduh, dia cuma merasakan penyakit hatiku yang merindu." Leo mencoba tersenyum. "Kalian tahu, aku setengah mati ingin bertemu Calypso." "Manisnya," kata Piper. "Tapi, tidak usah sebut-sebut kata mati." Percy memandangi vial merah berpendar yang diletakkan di tengah-tengah meja, keningnya berkerut. "Salah satu dari kita mungkin bakal mati, ya? Jadi, yang penting kita bawa-bawa terus saja ramuan ini." "Dengan asumsi hanya satu dari kita yang mati," Jason mengingatkan. "Dosisnya cuma cukup untuk satu orang." Hazel dan Frank menatap Leo. Dia memelototi mereka, seperti hendak mengatakan Hentikan. Bersikaplah biasa. Yang lain tidak memiliki gambaran utuh. Karena badai atau api dunia akan terjungkal —Jason atau Leo. Di Olympia, Nike telah memperingatkan bahwa satu dari keempat demigod yang hadir akan mati: Percy, Hazel, Frank, atau Leo. Dari kedua daftar itu, hanya satu nama yang sama: Leo. Dan jika rencana Leo berhasil, dia takkan didampingi siapa-siapa ketika mengeksekusi rencana itu. Teman-teman Leo ini, Penguasa Dunia Bawah protes kepada Zeus, dan aku mati tersambar petir. DUAR!" Leo berjengit. "Dokter kelihatannya baik-baik saja untuk ukuran orang mati." "Oh, kondisiku sudah membaik. Itulah bagian dari kompromi. Jadi begini, ketika Zeus membunuhku, ayahku, Apollo, gusar sekali. Dia tidak bisa balas dendam langsung pada Zeus; raja dewa-dewa terlalu perkasa. Jadi, Apollo justru membalas dendam pada si pembuat petir. Dia membunuh sejumlah Cyclops Tetua. Atas perbuatan itu, Zeus menjatuhi Apollo hukuman ... yang cukup berat. Akhirnya, untuk berdamai, Zeus setuju menjadikanku Dewa Kedokteran, asalkan aku takkan lagi menghidupkan orang dari kematian." Mata Asclepius tampak bimbang. "Tapi, justru inilah yang kulakukan memberi kalian obat itu." "Karena Dokter menyadari betapa pentingnya ini," kata Piper, "Dokter bersedia membuat perkecualian." "Ya ..." dengan enggan, Asclepius menyerahkan vial kepada Piper. "Yang jelas, ramuan itu harus diberikan sesegera mungkin setelah korban mati. Obat dapat disuntikkan atau dituangkan ke mulut. Jumlahnya hanya cukup untuk satu orang. Apa kalian mengerti?" Dia menatap lurus ke arah Leo. "Kami mengerti," Piper berjanji. "Apa Dr. Asclepius yakin tidak ingin ikut dengan kami? Penjaga Dokter sedang tidak bisa bertugas. Dokter pasti akan sangat membantu di atas Argo II." Asclepius tersenyum melankolis. "Argo ... ketika aku masih seorang demigod, aku berlayar dengan Argo yang asli, kalian tahu. Ah, andai aku bisa kembali menjadi petualang nan bebas!" "Iya ..." gerutu Jason. "Bebas." "Tapi, sayangnya tidak bisa. Zeus pasti marah karena aku sudah membantu kalian. Lagi pula, si penjaga akan memprogram kembali dirinya tidak lama lagi. Kalian sebaiknya pergi." Asclepius berdiri. "Semoga berhasil, Demigod. Jika kalian bertemu ayahku lagi, tolong sampaikan penyesalanku." Leo tidak yakin apa yang dia maksud, tapi mereka pun pamit. Sekembalinya ke Argo II, mereka berkumpul di mes dan menceritakan kejadian tersebut kepada awak yang lain. "Aku tidak suka," kata Jason, "cara Asclepius memandang Leo —" "Aduh, dia cuma merasakan penyakit hatiku yang merindu." Leo mencoba tersenyum. "Kalian tahu, aku setengah mati ingin bertemu Calypso." "Manisnya," kata Piper. "Tapi, tidak usah sebut-sebut kata mati." Percy memandangi vial merah berpendar yang diletakkan di tengah-tengah meja, keningnya berkerut. "Salah satu dari kita mungkin bakal mati, ya? Jadi, yang penting kita bawa-bawa terus saja ramuan ini." "Dengan asumsi hanya satu dari kita yang mati," Jason mengingatkan. "Dosisnya cuma cukup untuk satu orang." Hazel dan Frank menatap Leo. Dia memelototi mereka, seperti hendak mengatakan Hentikan. Bersikaplah biasa. Yang lain tidak memiliki gambaran utuh. Karena badai atau api dunia akan terjungkal —Jason atau Leo. Di Olympia, Nike telah memperingatkan bahwa satu dari keempat demigod yang hadir akan mati: Percy, Hazel, Frank, atau Leo. Dari kedua daftar itu, hanya satu nama yang sama: Leo. Dan jika rencana Leo berhasil, dia takkan didampingi siapa-siapa ketika mengeksekusi rencana itu. Teman-teman Leo

Tapi kali ini, Leo yakin tidak ada cara lain. Seperti yang selalu Annabeth katakan kepada mereka, ramalan percuma raja dilawan. Jika kita coba-coba, masalah yang timbul niscaya kian bertambah. Leo harus memastikan agar perang ini berakhir, untuk sekali ini dan selamanya. "Kita siapkan lebih dari satu opsi," Piper mengusulkan. "Kita harus menugasi salah seorang sebagai paramedis untuk membawa racun — seseorang yang bisa bereaksi sigap dan menyembuhkan siapa pun yang tewas." "Ide bagus, Ratu Kecantikan," Leo berdusta. "Kunominasikan kau." Piper mengerjapkan mata. "Tapi Annabeth lebih bijaksana. Hazel bisa bergerak lebih cepat apabila menunggangi Arion. Frank bisa berubah jadi hewan —" "Tapi, kau punya hati dan nyali." Annabeth meremas tangan temannya. "Leo benar. Ketika saatnya tiba, kau pasti tahu harus berbuat apa." "Iya," Jason sepakat. "Aku punya firasat kaulah pilihan terbaik, Piper. Kau akan mendampingi kami sampai akhir, apa pun yang terjadi, badai atau api." Leo memungut vial. "Apa semuanya setuju?" Tiada yang keberatan Leo menatap mata Hazel lekat-lekat. Kau tahu apa yang harus terjadi. Dia mengambil kain chamois dari sabuk perkakas dan membungkus obat dari tabib dengan lagak heboh. Kemudian dia menyerahkan bungkusan tersebut kepada Piper. "Oke, kalau begitu," kata Leo. "Athena besok pagi, Kawan-kawan. Bersiaplah untuk bertarung melawan raksasa." "Iya ..." gumam Frank. "Aku tahu aku bakal tidur nyenyak." . Seusai makan malam, Jason dan Piper berusaha mencegat Leo. Mereka ingin membicarakan reaksi Asclepius tadi, tapi Leo menghindari mereka. "Aku harus menggarap mesin," katanya, yang memang benar. Begitu berada dalam ruang mesin, hanya ditemani Buford si Meja Ajaib, Leo menarik napas dalam-dalam. Dia merogoh sabuk perkakas dan mengeluarkan vial berisi obat dari tabib yang sesungguhnya —bukan versi tipuan Kabut yang dia serahkan kepada Piper. Buford mengembuskan uap kepadanya. "Hei, Bung, aku harus melakukannya," kata Leo. Buford mengaktifkan hologram Hedge. "PAKAI BAJUMU!" "Harus begini. Kalau tidak, kita semua akan mati." Buford mengeluarkan pekikan merana, lalu berkelotakan ke pojok sambil mengambek. Leo menatap mesin. Dia sudah menghabiskan begitu banyak waktu untuk merakit semua jadi satu. Dia telah mengorbankan berbulan-bulan yang penuh keringat, kepedihan, dan kesepian. Sekarang Argo II tengah mendekati akhir pelayarannya. Seluruh hidup Leo —masa kanak-kanaknya bersama Tia Callida; kebakaran bengkel yang menyebabkan ibunya meninggal; tahun-tahun sebagai anal( asuh; bulan-bulan di Perkemahan Blasteran bersama Jason Piper —semua akan berkulminasi besok pagi dalam satu pertarungan final. Leo membuka panel akses. Suara Festus berderak-derak lewat interkom. "Iya, Sobat," Leo setuju. "Sudah waktunya." Bunyi berderak-derak lagi. "Aku tahu," kata Leo. "Bersama-sama sampai akhir?" Festus berderit mengiyakan.

Leo mengecek astrolab perunggu kuno, yang kini dipasangi kristal dari Ogygia. Leo hanya bisa berharap semoga astrolab i berfungsi.

"Aku akan kembali padamu, Calypso” gumamnya. "Alm bersumpah demi Sungai Styx." Leo menggeser kenop dan menyambungkan alat navigasi itu ke jaringan

internet. Dia mengeset pengatur waktu ke durasi dna puluh empat jam. Akhirnya dia membuka tingkap ventilator mesin dan me-masukkan vial berisi obat dari tabib ke sana. Benda itu menghilang ke dalam pembuluh nadi kapal disertai bunyi kelotak. "Sekarang sudah terlambat untuk mengurungkan niat," ujar

Leo. Dia bergelung di lantai dan memejamkan mata, bertekad untuk menikmati dengung mesin yang tak asing lagi untuk kali terakhir malam ini.[]